Sebetulnya tulisan ini telah banyak nyebar di situs lain, gak tahulah dari mana mereka bisa dapat tulisan saya, mungkin dari blog saya...yang gak sempet tak up date. Dan ini tidak ada kaitannya dengan tema "ruang publik" yang saya angkat dan janjikan sama Kang Giyanto kemarin, ya sekadar untuk menyegarkan pandangan temen-temen di Semarang tentang sekitarnya, termasuk kota, kampus, dan pendidikan, nikmati saja...OK.
Perkembangan dunia pendidikan begitu pesatnya di Semarang. Memang sebagai Ibu Kota provinsi Jawa Tengah, Semarang adalah pusatnya segala aktivitas warga Jawa Tengah. Tak sekadar pusat bisnis yang cukup prospektif, Semarang juga merupakan pusat pendidikan masa depan.
Semarang sudah beken dengan Unnes, IKIP PGRI, IKIP Veteran, Undip, Unika Sugijapranata, Unissula, IAIN, dan perguruan tinggi lainnya sebagai pencetak para praktisi dan akademisi, pendidik, ilmuwan, dan tenaga profesional yang handal. Pendidikan dasar dan menengahnya pun tak kalah dari daerah lain dengan segudang prestasi akademik dan nonakademik yang disandangnya.
Ada satu fenomena yang patut dicermati, yaitu pada tiap sebuah lembaga pendidikan berdiri, di situlah ia berkembang menjadi sentrum atau pusat aktivitas masyarakat. Ambillah contoh Unnes yang berlokasi di Gunungpati. Sejak keberadaannya dan sampai sekarang di daerah sekitar kompleks kampus Unnes, yaitu Sekaran, Banaran, Patemon, bahkan Trangkil dan lainnya mulai dilirik oleh para pengembang perumahan. Sejumlah perumahan pun bermunculan di beberapa daerah lereng bukit yang sebenarnya tak layak sebagai daerah hunian yang aman.
Warga sekitar kampus juga mulai melirik adanya lahan usaha baru, mulai dari kost-kostan untuk mahasiswa, warung makan dengan harga mahasiswa, dan toko keperluan mahasiswa. Ada juga sebagian yang merelakan diri dan sekeluarga menyingkir dari “peradaban” ke daerah pinggiran, hanya agar rumahnya yang di dekat kampus digunakan untuk kos mahasiswa. Tak hanya itu, bahkan ada yang menjual tanah dan rumahnya untuk para pendatang yang lebih pandai melihat peluang bisnis, dan “terpaksa” warga membangun rumah di persawahan. Warung lesehan menjamur, baik yang bongkar pasang, semi permanen, maupun permanen.
Berbagai fasilitas kemudahan bagi warga kampus dan masyarakat sekitar mulai lengkap. Jadilah kampung yang tadinya sepi itu menjadi kota kecil yang hidup. Ya, kota baru itu mulai tumbuh dilengkapi dengan minimarket, rental komputer, rental CD dan film, kafe dan resto, warung lesehan yang cukup prestise, dan warung internet. Bahkan di beberapa tempat mulai muncul juga rumah-rumah kebugaran, diskotik kecil-kecilan, perpustakaan plus, persewaan balai pertemuan, penginapan, dan kantor-kantor kecil.
Memang setiap perkembangan masyarakat selalu ada lubang hitamnya. Pun demikian juga dengan perkembangan kota-kota kecil itu. Hingga beberapa waktu lalu sempat warga Tembalang memprotes rencana Undip untuk membangun asrama mahasiswa, karena khawatir mengurangi lahan usaha warga untuk kost-kostan. Namun semakin lama semakin tampak kesemrawutan “tata kota”nya. Pedagang kaki lima mulai berjejal di “trotoar-trotoar” jalan sekitar kampus, permukiman warga pun mulai berhimpit tak teratur, gang-gang sempit bermunculan, karena semakin banyak warga maupun pendatang membangun pertokoan dan kost-kostan.
Mereka membangun ternyata tak terlebih dahulu menganalisis dampak sosial dan lingkungannya, hal itu wajar saja kerena memang mereka bukan ahli tata ruang. Tapi jika dibiarkan terus menerus maka tak lama lagi embrio kota baru itu akan menjadi pusat kekumuhan baru dengan kompleksitas masalah sosial dan lingkungan. Jika sudah begitu bagaimana mungkin mencita-citakan kampus sebagai pusat pengembangan komunitas pembelajar, yakni komunitas yang berbudaya, humanis, ekologis, dan sekaligus intelektual.
Mengacu pada paradigma rekonstruksionisme sebagai kelanjutan dari proyek progresivisme pendidikan, idealnya institusi pendidikan adalah pusat perubahan sosial masyarakat. Mahasiswa dan segenap sivitas akademika kampus adalah agent of social change. Pusat pendidikan yang tengah berkembang tersebut adalah pusat-pusat baru masyarakat yang memiliki kesadaran sosial dan rasa memiliki tinggi, posisi tersebut menjadikannya sebagai penyangga kota Semarang dalam skup yang lebih besar agar dapat menjadi lebih kokoh berkarekter, berbudaya, dan beradab.
Pembenahan “Kota Baru”
Kita dapat berharap banyak dari embrio kota baru tersebut, karena mereka adalah gambaran ideal dari komunitas pembelajar yang dicita-citakan. Komunitas pembelajar pada kota baru inilah yang mempunyai pengaruh dan peran besar bagi rekonstruksi sosial masyarakat, baik secara kultural maupun struktural menuju masyarakat yang tinggi sensitivitas sosial dan rasa memilikinya atas lingkungan.
Semarang bawah sudah penuh sesak dan berjejal bangunan padat yang seringkali tak beraturan, macet, banjir, rob, polusi, panas, dan sekian banyak ketidaknyamanan lainnya. Sampai sekarang pun penanganan masalah rob dan banjir tak begitu berhasil, tak hanya karena political will pemerintah yang lemah, tapi masyarakatnya pun tak punya rasa memiliki terhadap fasilitas kota yang telah dibangun. Dan ini sudah menjadi semacam mentalitas yang sulit diubah. Sulit rasanya mengubah Semarang bawah menjadi lebih “manusiawi” dan berbudaya. Demikian juga ketika mau melakukan konservasi lahan hijau, karena semua sudah diincar pengembang usaha.
Jika kita mau realistis, maka pengembangan kota Semarang menuju kota baru ideal sebagaimana kota-kota besar dunia hanya mungkin ketika ke arah selatan, yakni di Kabupaten Semarang, Ungaran, dan sekitarnya. Tak mungkin ke utara, karena berbatas laut, lagipula pusat-pusat industri di Semarang utara ibarat sakit-sakitan terkena banjir dan rob. Pusat pendidikannya pun tak banyak, barangkali hanya Unissula yang masih berdiri menantang rob dan banjir.
Berbeda ketika kita melirik ke selatan. Daerah pegunungan yang sejuk dan masih dapat ditata dengan perencanaan yang berbudaya, humanis, dan ekologis, niscaya kota baru Semarang akan terwujud. Di samping itu Semarang selatan terdapat banyak institusi perguruan tinggi yang tengah berkembang sebagai embrio kota-kota kecil. Unnes di Gunungpati, Undip dan Polines di Tembalang, IAIN Walisongo di Ngaliyan, Unika Sugijapranoto di Bendan, Undaris di Ungaran, merupakan potensi besar bagi berkembangnya embrio kota-kota kecil yang berbudaya, humanis, ekologis, sekaligus intelektual.
Begitu besarnya magnitude kampus-kampus di Semarang selatan itu sekarang telah menjadikan daerah setempat berkembang begitu pesat. Itu adalah potensi dan kekuatan tersendiri untuk membentuk kota baru Semarang yang lebih kokoh, berkarakter dan berbudaya, sebagaimana diidam-idamkan. Potensi kampus sebagai pusat berkembangnya komunitas intelektual yang tentunya lebih mempunya sense of belonging terhadap lingkungan tepat betul jika disandingkan dengan potensi geografis Semarang selatan yang relatif belum terjamah tangan-tangan jahil.
Pantas jika kemudian digagas sebuah pengembangan kota baru Semarang dengan berporos pada keberadaan institusi perguruan tinggi tersebut. Namun ketika melihat betapa kian semrawutnya penataan pada masing-masing daerah sekitar kampus itu sekarang, maka layak dipikirkan bersama bagaimana agar mulai berbenah dari tampilan fisik dulu. Yakni dengan menata pedagang kaki lima, pertokoan-pertokoan baru, kost-kostan, dan jalur hijau. Di samping itu juga perlu menertibkan proyek pembangunan perumahan di daerah rawan di lereng-lereng bukit yang sekaligus mengurangi lahan resapan. Jika itu tak dilakukan maka beberapa waktu mendatang, Semarang bawah akan menjadi Jakarta yang menjadi langganan banjir dengan Semarang atas adalah daerah Puncaknya.
Selama ini memang tampak betapa kampus-kampus tersebut belum terlalu melibatkan masyarakat sekitar untuk proses pengembangan daerah menuju sebuah embrio kota kecil yang ideal, dan warga pun seolah acuh tak acuh, karena merasa sudah mendapatkan keuntungan finansial dari bisnis kecil-kecilan mereka.
Menggagas keberadaan institusi pendidikan tersebut sebagai poros pengembangan kota baru Semarang artinya merumuskan penataan yang lebih melibatkan masyarakat hingga akhirnya masyarakat tak hanya menjadi lebih intelek, berbudaya, memiliki rasa memiliki dan sensitivitas sosial tinggi, tapi juga tercipta lingkungan yang berbudaya, humanis, dan ekologis. Di sisi lain, dalam jangka panjang ini adalah peluang bagi potensi wisata edukatif yang tak ternilai harganya, sekaligus sebagai pelengkap aset wisata Semarang menuju the beauty of Asia.
Hal ini perlu dipikirkan mulai sekarang, agar kota-kota kecil yang sedang lucu-lucunya itu tak telanjur tumbuh menjadi seperti Semarang bawah yang penuh sesak, panas, berpolusi, dan tak nyaman lagi.
* Edi Subkhan, di Jakarta.
Selasa, Maret 04, 2008
Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Wah kalau orang mengamati sesuatu dari jauh teranyata lebih jeli ya...
Kalo gitu seandainya kita mengamati manusia bumi dari bulan...
barangkali kita enggan pulang,he2...
Posting Komentar