online degree programs

Selasa, Maret 18, 2008

Meninjau Kembali Kurikulum Kita

Sapa kang nandur bakal ngundhuh

Siapa yang menanam akan memetik, bukan lagi hal yang istimewa bagi telinga kita. Tetapi yang terjadi justru yang menanam bukan yang memetik, dan mereka yang menikmati hasilnya bukanlah yang menanam. Diantara menanam dan memetik, ada suatu proses yang disebut ngopeni (memelihara), menjaga agar nantinya dapat dipetik dan dinikmati hasilnya. Demikian adalah konsekuensi logis dalam kegiatan “pertanian”. Selain menggambarkan suatu tuntutan tanggung jawab untuk merawat apapun yang ditanam, juga menerima kenyataan bahwa tidak menanam maka tidak memetik.

Menanam jika diartikan dengan konsepsi yang lebih luas, bukan hanya menanam biji jagung. Proses pendidikan dengan segala seluk beluknya terkait dengan ungkapan di atas, bisa dianggap kegiatan menanam yang pada saatnya nanti akan menuai hasil panen. Berbagai mata pelajaran, mulai dari Matematika, Bahasa dan Sastra, Sains, Agama, PPKn, dan Kesenian, diajarkan sebagai muatan dan tuntutan kurikulum, hanya saja dengan porsi yang belum bisa dikatakan proporsional. Hal ini bukan tanpa dasar. Tanpa dibuktikan dengan penelitian ilmiah pun, jutaan penduduk Indonesia akan mengakui hari-hari sekolah mereka menerima pendidikan yang “berat sebelah”. Matematika dan Bahasa (Indonesia) mempunyai frekuensi tertinggi dalam 1 minggu (6-8 jam pelajaran), diikuti Sains, selanjutnya PPKn, Agama, dan Kesenian. Mengingat jumlah materi menurut tuntutan kurikulum, hal ini bisa saja dibenarkan, dengan Ujian Nasional yang hanya bermuatan mata pelajaran berfrekuensi tinggi tersebut yang semakin menguatkan pembagian porsi semacam itu memang harus dilaksanakan.

Keseimbangan Otak
Secara garis besar, otak manusia dapat dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan, di mana otak kiri yang “berisi” logika matematis, dan otak kanan berkaitan dengan estetika. Kedua belahan otak tersebut tentu saja harus diperlakukan seimbang jika ingin melihat perilaku yang seimbang. Melihat kenyataan, penekanan yang dilakukan oleh pendidikan kita hanyalah pada otak kiri. Mata pelajaran Seni Rupa, Seni Musik, Ketrampilan Tangan, selain mendapatkan porsi yang demikia sedikit, juga mendapatkan reduksi menjadi satu Mata Pelajaran-Kesenian-saja. Belum melihat dari sisi Teknik Pengajaran menurut Psikologi Belajar Kogntif, Behavioristik, Kompetensi Staf Pengajar, penyediaan fasilitas pendukung, dan Jumlah siswa perkelas, sudah jelas yang terjadi masih jauh mendekati proporsi yang semestinya.

Proses Pendidikan semacam ini berjalan mulus dalam jangka waktu yang lama, seperti tanpa krentek untuk mengkaji ulang demi kebaikan bersama.

Petikan Hasil Pendidikan
Sedemikian lama proses menanam dan memetik silih berganti, sampai sekarang kita masih menanam sekaligus dapat merasakan hasilnya. Dalam konteks kekinian, apa yang terjadi tidak bisa lepas dari pengaruh proses pendidikan yang sebelumnya dijalani. Bermula dari semasa kanak-kanak, semenjak SD anak dibebani dengan kurikulum yang serba berlebih pada otak kanan mereka. Menilik dari sudut pandang Psikologi perkembangan, tuntutan perkembangan masa kanak-kanak adalah masa bermain yang bertujuan mengembangkan kreativitas. Dengan porsi pendidikan yang penuh angka, tak ayal berkembang prinsip barang apapun jika tidak disederhanakan dalam formula matematis (rumus), maka ia bukan ilmu pengetahuan yang berakibat runtuhnya pandangan amggapan pencipta seni sebagai orang yang memiliki kecerdasan. Bahkan pelaku seni dengan mudah merendahkan hasil karya pelaku seni lainnya, bisa jadi merupakan bagian dari ketimpangan.

Seperti yang dikatakan oleh Ludwig Wittgeinstein “bahasaku adalah batas duniaku” maka bahasa yang terbentuk melalui pembiasaan kurikulum tentu tidak jauh-jauh dari bahasa yang bersifat kuantitatif. Demonstrasi massa, tawuran pelajar, kekerasan komunal, sikap tidak jujur, membudayanya kecurangan sistemik (korupsi, kolusi, nepotisme), mudah saja terlihat dalam berita daerah dan nasional. Bukankah para pelakunya merupakan produk pendidikan yang diawali dari jenjang Sekolah Dasar? “Bahasa” yang kita kenal melalui pembiasaan dan proses pendidikan akhirnya terinternalisasi, menciptakan “dunia” dengan pertimbangan-pertimbangan logis-matematis. Mengharuskan variable-variabel yang pasti, menafikan dunia sesungguhnya adalah tempat ketidak pastian.

Satu pertanyaan Abraham Maslow yang pernah diungkapkan, “mengapa pendidikan kita mencurahkan perhatian begitu banyak pada angka-angka, nilai, kredit, dan ijazah, bukannya memusatkan perhatian pada pemahaman?” agaknya perlu ditinjau kembali. Sedangkan sebagai lembaga pencetak pendidik-pendidik bangsa, suara UNNES tentu saja banyak didengarkan oleh penggagas kurikulum pendidikan di dalam gedung sana.
(semoga UNNES bisa dan mau bersuara)

Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa Psikologi, FIP UNNES.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Ingat sekarang kita dalam selubung "rezim ijazah" dan formalisme absolut, pendidikan kita salah arah dan terjadi problem paradigmatik-ideologis, so ya klo mo benahi mesti dari dasar filoosi-ideologisnya, trus ke sistemnya, masalahnya sistem itu sudah terkooptasi sama kepentingan politi, jadi ya mesti kerja keras dari dalam dan luar secara sinergis.
Di luar itu, negara ini memang betul-betul sudah tak dapat dijadikan tumpuan masa depan anak-anak kita (dan diri kita sendiri), jadi kita mesti menggerakkan sumberdaya dan berdaya sendiri, pendidikan altrnatif yang kritis-progresif dan lebih humanis layak dilirik oleh masyarakat luas di kala pendidikan justru oleh pemerintah didekatkan pada mulut buaya kapitalisme global....

mas fahmi, mana tulisan soal SPL, itu klo km jd nulis ati2 karena masalah sensitif loh...posisi birokrat Unnes sekarang di atas angin, lha wong dengan biaya berapapun calon mahasiswa akan lebih milih PTN daripada PTS (imej "negeri" lebih bermutu tetap melekat), dengan biaya berapapun tampaknya tak masalah walau mesti uang sana-sini tuk dapatkan ijazah sebagai "jaminan" dapat kerja lebih baik nantinya...inilah "rezim ijazah".
Mau memutusnya, ya pake teori pembusukan -tak peroleh dari Cak Nun hehe- ya buah (sistem) yang sudah busuk dan dimakan ulat-ulat kita biarkan saja, lha gimana lagi, mo dimakan ya jijik, ada ulatnya....dibuang ulatnya pun...tetap kerasa gak enak. jadi pilihannya, cari "buah" baru dan membiarkan yang telah busuk biarlah membusuk, dan kita akan merawat benih-benih buah yang lebih bagus... semoga..

Anonim mengatakan...

saya sepakat dengan pendapat kedua teman sekaligus guru-guru saya ini.
kl dilihat dari teori peran, mayoritas guru(sebagai pendidik) telah memposisikan profesi mereka bukan lagi pada tujuan untuk mencerdaskan anak bangsa, tetapi lebih sebagai profesi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak agar masa depannya lebih pasti.
ini juga bukan tanpa dasar loh, bisa kita lihat dengan kasat mata bahwa banyak pendidik yang mengalami degradasi kualitas dalam mengajar, terperangkap pada kurikulum (saja), dan yang paling penting dan mengalahkan semuanya adalah gaji bulanan.
memang masih ada guru2 yangpunya dedikasi tinggi ,tetapi, menurutku jumlahnya nggak banyak....

mungkin ungkapan guru tanpa tanda jasa, sekarang telah terkalahkan oleh kebutuhan2 ekonomi. bagaimana mungkin mengajar dengan logika "ada uang;ada barang" hmm...

Anonim mengatakan...

oiya, tg teori lateralisasi otak kanan-kiri, sekarang sedang menghangat lagi.

dengan fenomena Michelle Mack yang sejak dalam kandungan, lahir hingga menjalani hidup hanya dengan sebelah otak (kanan).
tidak diketahui mengapa otak kirinya tidak ada. tetapi kelahirannya normal dan sehat. kecuali jika di rontgen kepalanya, maka baru terlihat bahwa otak sebelah kanannya tidak ada.di tmpt otak tsb hanya terisi lemak2.
Michelle dapat menjalani hidupnya dengan normal.
dia mempunyai kemampuan bahasa yang baik, proses mental, dan berhitung yg merupakan fungsi otak kiri dapat dilakukan dengan kategori "kilat". Michelle juga bisa berdoa, mencinta, dan mengikuti berita2 terkini (misalnya barrack Obama hehehe...)
hanya saja dia mengalami kesulitan pada fungsi spatial dan pemikiran2 yg terlalu absrak. seharusnya ini mjd fungsi otak kanan. tetapi malah tidak berkembang dengan baik.

singkatnya, fungsi otak kiri diambil alih otak kanan sembari otak kanan juga menjalankan fungsinya sendiri.hmm....

Mungkin teori Broca 140 thn yg lalu ttg lateralisasi otak akan segera tergantikan teori2 serupa yg lebih komprehensif.

tetapi, menurutku sampai sekarang teori lateral ini masih banyak dipakai dan relevan untuk digunakan.

Anonim mengatakan...

wah, aku baru ngerti teori pembusukan itu apa (hehe). tapi yang jelas ada benarnya juga walaupun tidak sepenuhnya..
kayaknya kok lebih tepat digunakan pada situasi yang kaya gimana, dan mungkin dalam situasi ini bisa tepat.

iya, dan itu saya sepakat dengan GM, yang bergesernya nilai guna menjadi nilai tukar, kreativitas menjadi produktivitas, apresiasi menjadi konsumsi, dan sebagainya.. tentang guru yang hanya sekedar profesi, datang-mulang-gajian, ya dari sisi si guru sendiri, dengan himpitan kebutuhan rumah tangganya, anak-anak, untuk memikirkan waktu belajar lagi y memang sulit.
jangankan guru, dosen2 UNNES aja banyak kok, iya ga mas haris?hehe..

wah iya, mohon maaf mas edi..
tulisan SPL itu, setelah saya timbang-timbang, dan sedikit mengikuti info-info di kampus, saya kok belum berani mengambil resiko untuk meniru soe hok gie. lagipula, seperti yang mas edi bilang, ortu calon2 mahasiswa emang ga keberatan, apalagi SPLnya untuk "meningkatkan mutu dan fasilitas kampus", katanya begitu...
lebih prihatin lagi kalau2 ada yang memanfaatkan "momen kebangkitan" fenomena SPL ini untk kepentingan2 tertentu..

waduh, aku juga baru tau yang michele mark itu, tapi (mekanisme pertahanan ego-ku) itu kan kasuistik mas..
haha..

Anonim mengatakan...

jika bukan anak-anak muda di kampus, lalu siapa lagi yang akan menyadarkan ketidakberesan sistem pendidikan?

Jika bukan yang beridealisme, lalu siapa yang akan memperjuangkan keadilan dan pendidikan untuk semua?

Apakah yang dapat diharapkan dari dari generasi pendamba ijazah dan kemewahan materi?

Apakah yang dapat diharapkan dari sistem yang mebodohkan dan kian membenamkan sisi kemanusiaan pada kubangan kapitalisme?

Saya merasa gagal untuk satu hal, yakni tidak berhasil membuat generasi setelah saya berani memperjuangkan idealisme dengan risiko apa pun, dengan strategi yang hebat, dan perhitungan yang tepat, walaupun saya tidak bisa seperti itu, minimal berusaha, maka keinginan saya adalah generasi setelah saya bisa melampaui capaian saya...

"Kulihat Ibu Pertiwi..sedang bersusah hati, air matanya berlinang....." (lagi: Ibu Pertiwi)

Anonim mengatakan...

ya mas edi,
saya menyesal.
menyesal telah membuat mas edi kecewa.
tetapi saya tidak menyesal atas langkah yang saya ambil,dan (insya Allah)akan selalu berusaha menerima konsekuensi atas apa yang saya
lakukan, disamping berkaca pada diri sendiri seperti apa yang selalu "ada" dalam setiap artikel yang saya posting-kan di blog maupun express. dan itulah yang saya yakini..

pun saya akan berusaha berlaku sesuai dengan apa yang saya yakini.

bukan itu mas, bahkan perhitungan saya bahkan belum sampai pada efek dari tulisan itu jika nantinya berhasil tercantum di media kampus saya sudah menulis tentang itu, sudah ada soft file-nya, tetapi setelah kembali ditimbang2, ternyata masih terkesan "waton" ngritik.. seperti, hanya karena "kejeglong" di jalanan kampus dan ban motor saya bocor lalu saya layangkan sms ke express, mengkritik pembangunan UNNES yang sedemikian buruk..

bukan itu mas,
saya sedang berusaha untuk "menyalahkan" diri saya. jika saya "kejeglong" maka itu saya anggap kurang hati-hati. ya, sejujurnya saya sangat simpatik dengan "nrimo"nya mas taufik itu..

saya tetap berkeinginan seperti yang mas edi inginkan, tetapi dengan jalan yang berbeda. mengajak berkaca pada diri masing2, " biso rumongso, ora rumongso biso. ora waton ngritik, nanging ngritik sing mawi waton"

memang terlalu muluk-muluk bagi sebagian orang, tetapi seperti bahasa mas taufik, "lebih romantis"

ya, itu saja..