Konstelasi politik makin hangat saat komplitnya bagub dan bacawagub Jateng yang diprediksikan sebelumnya terdiri dari
Perebutan simpatik dan popularitas di mata pemilih akan di garap total oleh peserta pemilihan ini. Berbagai upaya untuk menyadarkan, memberdayakan atau mempengaruhi masyarakat dengan cara-cara paksaan sudah lagi tidak relevan digunakan saat ini. Nilai-nilai dan semangat demokrasi menolak tegas adanya segala bentuk paksaan terhadap masyarakat. Di sini kampanye dan aktivitas politik yang etis sebagai salah satu instrument penting masyarakat demokratis. Bagaimana kemudian peserta pemilihan ini menggunakan cara kampanye dan aktivitas etis ini berupa wujud tindakan komunikasi yang secara inheren bersifat persuasif.
Pelaksanaan strategi persuasif dalam aktivitas politik, patut bagi peserta pemilihan untuk bersikap dan bertindak melakukannya secara etis. Idea demokrasi menawarkan politik etis yang menghargai perbedaan dengan segala derivatifnya untuk tetap memperhatikan perbedaan-perbedaan objektif (nature) dari individu-individu dalam suatu konteks sosial. Dalam paradigm ini politik semata-mata diabdikan untuk kepentingan berkuasa dengan cara yang sangat mempertimbangkan aspek moral (code of moral), karena sikapnya akomodatif, egaliter, dan menjunjung tinggi eksistensi manusia dan yang paling terpenting adalah dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dalam suatu mekanisme yang terlihat manusiawi. Tanpa adanya pembodohan publik, pengerahan massal dengan tujuan yang tak jelas, dan setidak-tidaknya masih ada beberapa hal yang urgen lain dalam hal menuju implementasi demokrasi yang etis ini. Pertama, penghormatan pada aturan main, menempatkan buah gagasan teori kedaulatan hukum (rule of law dan rechtsstaat) yang harus dipatuhi. Kepatuhan ini mencerminkan dimensi moral yang terlihat dari peserta pemilihan. Baik-buruknya peserta pemilihan terukur dari ketaatan mereka pada aturan main, semakin taat, maka semakin tinggi kapasitas moralnya, begitu juga sebaliknya.
Kedua, aspek komunikasi persuasif etis, artinya suatu perilaku yang saling menghargai harkat dan keberadaan antarpeserta pemilihan. Khususnya terminimalisirnya kampanye hitam dan kampanye negartif yang akan dan mungkin terjadi saat pentas demokrasi berlangsung.Kampanye hitam (black campaign) bertujuan untuk menjatuhkan dan melakukan pembunuhan karakter (character assassination) seorang calon dengan memaparkan isu salah tanpa bukti, selain pemberitaan yang bernuansa fitnah sampai menyentuh wilayah privacy. Dengan kata lain, kampanye hitam bersifat menyesatkan, membangun keresahan dan membodohi sehingga menjadi kontraprodutif dengan demokrasi. Sedangkan kampanye negatif (negatif campaign) secara objektif lebih bernuansa untuk membuka sisi-sisi minus seorang calon dengan referensi data yang kuat. Dari sinilah kampanye tidak lagi menjadi sarana komunikasi yang etis, karena cenderung melebih-lebihkan, memperkasar, membuat polemik dan menertawakan (lawan). Benih konfrontasi yang direncanakan memiliki satu tujuan, yakni membangkitkan rasa ragu pada diri salah satu calon. Background peserta pemilihan Jateng dapat kita lihat dari segmentasi yang cukup beragam, mulai dari politisi, kalangan pendidikan, birokrasi, bahkan santri. Tentunya dibalik background ini selayaknya unsur kesalahan, kelemahan, kekurangan calon sebagai insan manusia tetaplah ada.
Ketiga, mengindarkan diri dari politik uang. Sadar bahwa politik uang hanya akan membawa keberlangsungan pada waktu yang singkat, kadar loyalitas yang rendah, sehingga tidak efektif dipakai sebagai sarana untuk jual-beli pengaruh dalam jangka panjang. Sehingga politik uang tak hanya menjadi perbuatan yang di hindari karena kriminalitas saja, akan tetapi justru menjiwai kebijakan dan program para peserta pemilihan untuk tidak menggunakan politik uang karena kemanfaatannya yang rendah. Ketiga konsep diatas, ketaatan pada aturan main, persuasi yang etis, dan sadar antipolitik uang hendaknya menjadi modal dasar para peserta untuk tetap menjaga citra dan secara tak langsung berkontribusi pada pembangunan demokrasi local.
Pilgub yang Demokratis
Pilgub Jateng yang demokratis setidak-tidaknya mensyaratkan KPUD Jateng sebagai penyelenggara pemilihan yang independen dan non partisipan, panwas yang objektif dan professional, Pemantau Independen sebagai mitra kritis penyelenggara pemilihan, Adanya pemajuan dan peningkatan pendidikan politik warga, dan tanpa kekerasan. Sementara bagi Kevin Evans, variabel- variable penting proses pemilihan langsung mencangkup : netralitas panitia penyelenggara, kompetisi fair antar calon atau partai-partai politik yang bersaing, pelibatan warga Negara sebagai pemilih, kebebasan pemilih, kerahasiaan pilihan dan perhitungan yang jujur.
Banyak sederatan konsep tentang standar dan ukuran demokrasi dalam pemilihan langung. Namun kita masih tetap berharap bahwa kebebasan untuk menggunakan hak-hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties) tetap di perhatikan disamping persamaan (antidiskriminasi) dan penghormatan terhadap kehendak rakyat mayoritas sebagai prinsip demokrasi partisipatoris.
Selain abstraksi kriteria ukuran demokrasi dalam pilgub, pengujian system pemilihan seharusnya memang sangat perlu dilakukan. Beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan dalam system pemilihan menurut CETRO harus tidak terlalu rumit sehingga pemilihan bisa dilakukan oleh rata-rata pemilih dan realitas dengan keadaan financial teknis administrasi negara yang bersangkutan. Pembaharuan system sedikitnya nampak dilihat dari terbitnya perangkat hukum baru UU No 22 Tahin 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan yang membuat KPUD juga harus bekerja keras dalam menginterpretasi dan mengimplementasikan peraturan perundang-undangan tersebut disamping UU ama yang masih berlaku untuk saat ini. Apakah system pemilihan yang mengalami pembaharuan tersebut menambah kerumitan dan meningkatkan pengeluaran secara financial.
Awaludin Marwan
Direktur Democracy Watch Organization (DEWA ORGA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar