Setelah sebulan penuh, bahkan lebih, kita ngrembuk hal-hal yang serius, bolehlah kiranya kali ini, untuk meragamkan ocehan kita, saya memposting tentang hal yang saya yakin hampir semua kita suka dan menikmatinya, tapi lumayan “enteng” pula untu dibahas (dibaca). Kata Jules César : beri rakyat roti dan sirkus, maka semua akan baik-baik saja. Sepakbola adalah sirkusnya, dan rotinya, kita mungkin telah, sedang atau akan segera kelimpungan mencarinya. Voila…
Menjelang awal tahun 2007, dibawah asuhan Peter Withe, Timnas gagal bahkan hanya untuk lolos dari fase grup di piala AFF. Sebuah pencapaian yang boleh dibilang sangat buruk karena pada ajang yang sama di tahun-tahun sebelumnya Indonesia tidak pernah lepas dari gelar juara, minimal finalis. Sang pelatih, yang cukup berkarakter dan berkualitas, akhirnya dilepas diganti dengan Ivan Kolev yang dinilai mengenal baik sepakbola Indonesia dan Asia Tenggara. Namun mendung masih belum ingin beranjak pergi. Setelah berguru selama 4,5 bulan di Belanda dengan biaya puluhan milyar rupiah dan diasuh langsung oleh Fope de Haan, Indonesia dihajar babak belur oleh tim-tim Timur Tengah di kualifikasi Asian Games. Entah kemana hasil latihan selama di Belanda itu yang seakan hilang tak berbekas. Kekecewaan agak terobati ketika Indonesia tampil menawan di Piala Asia. Inilah, mungkin, momen paling membanggakan dalam sejarah sepakbola di negeri ini. Indonesia tampil sebagai Indonesia secara utuh, sebagai peserta, sebagai tuan rumah, para pemain, superter dan pemerintah. Walaupun gagal lolos ke putaran kedua, penghargaan tinggi tetap harus diberikan kepada Timnas kita.
Sayang, kebanggan itu tidak bertahan lama. Rasa percaya diri yang berlebihan dan mabuk keberhasilan di Piala Asia menjadi salah satu sebab Indonesia di permalukan 1-4 oleh Suriah di kandang sendiri pada kualifikasi Piala Dunia 2010. Kemudian dengan alasan sebagai ajang uji coba dan istilah “tak usah dihitung hasilnya”, kita mengirim timnas U-23 yang sebagian belum matang di kompetisi dan hanya berbekal latihan selama sebulan di Argentina untuk melawan singa-singa padang pasir di kandang mereka sendiri. Jelas hasilnya memang tidak usah dihitung, namun sangat membuat muka tidak bisa tegak, kalah 7-0 di Damaskus. Penutup tahun, lagi-lagi tidak bisa lolos dari fase grup di SEA Games Thailand. Rasanya gagal sudah menjadi hal yang biasa bagi sepakbola Indonesia.
Beberapa pihak, bahkan Ivan Kolev sendiri, menyatakan bahwa tidak akan maksimal hasil yang dicapai sebuah tim yang hanya dipersiapkan selama beberapa bulan, macam persiapan timnas di Belanda dan Argentina. Durasi waktu yang singkat tersebut tidak cukup untuk mengasah kekompakan dan mengetahui gaya bermain rekan se-tim. Tim akan solid jika pemain mengenal karakter rekannya dan hal ini hanya akan tercapai jika mereka sering bermain bersama baik sebagai lawan atau kawan, di pentas liga domestik. Namun sayang, kompetisi lokal justru tidak memberi kesempatan kepada pemain-pemain muda bertalenta untuk tampil. Regulasi yang membolehkan klub memiliki lima pemain asing dan menurunkan mereka semua sekaligus dalam setiap pertandingan, jelas menghambat laju pemain muda nasional. Bayangkan, jika sebuah klub menurunkan lima pemain asing dalam satu pertandingan, hanya ada enam pemain lokal yang tersisa, yang tentu saja akan diisi oleh pemain senior yang dianggap telah berpengalaman. Akibatnya, pemain muda harus rela menjadi penonton saja. Celakanya lagi, klub pasti memilih memainkan pemain asing karena mereka dibayar tinggi, sehingga sayang kalau hanya dibiarkan duduk-duduk saja. Akibatnya, tim nasional kita, terutama U-20 dan U-23, sebagian besar diisi oleh pemain yang menjadi cadangan di klub. Mereka jelas miskin pengalaman bertanding dengan determinasi tinggi, karena paling mentok hanya diturunkan pada laga uji coba atau menit-menit terakhir menjelang pertandingan usai. Bukankah mereka tampil sebagai pemain pilar di kompetisi Divisi I ?, kata sebagian pihak. Ya, beberapa pemain timnas U-20 dan U-23 memang menjadi pilihan utama jika mereka membela klub Divisi I. Tetapi pantaskah kita membandingkan Divisi I dan Divisi Utama dalam hal kualitas permainan ? Jelas Divisi I tidak “sekeras” Divisi Utama. Dan ketika mereka dihadapkan pada laga penting, hasil latihan yang hanya beberapa bulan di pemusatan latihan tidak cukup membangun mental bertanding dan kekompakan mereka. Kalah jelas menjadi hasil yang realistis.
Dalih yang mengatakan jika kuota pemain asing dikurangi maka mutu pertandingan liga domestik akan turun dan penonton tidak tertarik lagi, sepertinya tidak tepat dikemukakan. Bukankah muara liga domestik adalah terwujudnya Tim Nasional yang solid ? Jadi untuk apa mempunyai liga yang bagus tetapi Timnas jelek, karena liga didominasi pemain asing ? Penontonpun rasanya akan lebih bangga melihat pemain lokal bertanding dengan spirit dan determinasi tinggi ketimbang pemain asing yang –maaf, digaji sangat tinggi tetapi sedikit-sedikit cedera.
Mengurangi kuota pemain asing juga dapat membantu meringankan beban pembiayaan klub di tengah tuntutan pemerintah agar klub bisa mandiri dan lepas dari air susu APBD. Proses ini juga akan memperketat seleksi sehingga hanya pemain asing yang betul-betul berkualitas tinggi saja yang akan dikontrak klub dan akan menerima gaji besar. Memang akan sedikit ada penurunan kualitas permainan, tetapi setelah pemain muda lokal diberi kesempatan tampil dalam kompetisi utama dan mereka mau belajar dari seniornya, tentu liga domestik akan dihiasi kembali dengan permainan cantik talenta-talenta negeri sendiri.
Jadi, memilih menjadi Inggris yang liganya saat ini diklaim sebagai yang terbaik di dunia tetapi secara tragis tidak lolos di kualifikasi Euro 2008, atau menjadi Italia yang tetap berkharisma dan perkasa buah dari kompetisi yang tetap memberi hak kepada pemain muda lokal? Kita lihat saja bagaimana PSSI menyikapi hal ini.
Hidup sepak bola Indonesia !!! Semoga…
ardiansyah_jfc@plasa.com
4 komentar:
Kita memang cenderung gumunan sama yang (baik ide maupun orang) "baru" dan kelihatan "besar"...
barangkali kedua penyakit itu perlu diselidiki asal mulanya...!
indonesia saat ini memang tidak ada yang bisa di handalkan...
rasanya emosi dan pengen marah terus dengan tim kesebalasan indonesia. Udah gak pernah dapat juara, ngabisin dana yang besar sampai-sampai anggaran pendidikan tidak mencapai 20%, masih isu suap wasit, korip di manager, dan kerusuhan antarsuporter kian marak..
Rasa tidak percaya diri sebuah bangsa terlihat dari kegugupan dan tidak sabarnya masyarakat, juga ketidaksanggupan menerima kekalahan untuk soal sepak bola saja, dan untuk soal yang lebih besar bahkan sama sekali tahu klo sebenarnya kita sebagai bangsa telah kalah, ...
ya kita bangsa besar, hanya pemimpinnya yang berjiwa kerdil...
sebelumnya minta maaf, karena belum me,baca artikel dan langsung "njujug" ke koment2nya
mas luluk bilang kalau rasanya emosi dan pengen marah, gara-gara liat tim sepak bola indonesia (tim kabinet, tim jurkamnya cagub-capres, dan tim-tim lainnya termasuk juga mas?hehe)
trus mas edi bilang sebagian kita (wong indonesia) masih belum bisa sportif..
masinis indonesia pasti tau itu, tapi kok tetap begini?
masinis lain : perlu diberi kesempatan (minjem judulnya y mas..) mungkin bener juga
tetapi apalah arti seorang pemimpin jika tidak ditaati oleh yang dipimpin? saya sebagai orang kecil dan yang dipimpin, juga masih lebih suka mengoreksi orang lain sebelum mengoreksi diri saya sendiri..
apakah saya termasuk orang kecil yang taat (bukan buta)
bagaimana saya jika maen PS dan kalah, mencak-mencak, misuh-misuh? (belum lagi kalo nonton bola, bisa ikut tawuran kan?)
dan lain-lain..
Posting Komentar