online degree programs

Kamis, Maret 13, 2008

Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia

Dengan anggapan kemenangan partai oposisi Malaysia pada pemilu tanggal 8 Maret 2008 kemarin akankah membawa perubahan signifikan bagi kehidupan tata negara dan demokrasi Malaysia. Sekitar 10,92 juta pemilih terdaftar memberikan suaranya untuk 222 kursi parlemen dan 505 kursi negara bagian. Para pemilih terdaftar itu mendatangi 7.950 TPS. Memang, penghitungan suara, Barisan Nasional, koalisi yang memerintah pemerintah saat ini hanya meraih 139 dari 222 kursi parlemen. Jumlah tersebut kurang dari dua per tiga total yang diperlukan untuk dapat mengontrol parlemen dan mengubah undang-undang. Aliansi oposisi menganggap 82 kursi yang diraih sebagai sebuah kemenangan. Aliansi yang menamakan diri barisan alternatif terdiri dari Partai Keadilan Rakyat, Partai Aksi Demokrasi, dan Partai Islam se-Malaysia ini memperoleh mayoritas kursi di lima negara bagian. Hasil pemilu ini disambut baik rakyat Malaysia dengan harapan oposisi akan mampu berbuat banyak untuk kebaikan rakyat.

Babak baru bagi kehidupan demokrasi Malaysia pun lahir. Demokrasi yang menekankan sebuah metodologis untuk menghasilkan rotasi kekuasaan dan fungsi recruitment politik tercermin dalam pemilu kali ini. Barisan Nasional menjalankan fungsi alat politik cukup superior memimpin Malaysia. Barisan Nasional sebagai koalisi yang memerintah Malaysia sejak merdeka pada 1957 akhirnya akan mengalami kesulitan karena akan berhadapan dengan kelompok oposan di parlemen. Artinya terbuka keran lebar bagi kelompok oposan untuk masuk dalam jabatan politik dan menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Terbongkarnya tirani koalisi partai penguasa negara yang pada awalnya menyerupai keberadaan Golkar di era orde baru yang sulit digoyang. Namun kini ada secercah harapan yang menyediakan ruang bagi keinginan minoritas untuk bersuara dalam struktur kelembagaan negara di parlemen.

Keberadaan barisan nasional dalam lingkaran kehidupan politik negara memang sebelumnya cukup dominan. Barisan nasional (National Front) adalah sebuah gabungan partai-partai politik yang dibentuk pada 1973 kelanjutan Partai Perikatan (Alliance), partai ini telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaan tanpa terputus. Pada Desember 2003, partai anggota Barisan Nasional adalah: United Malays National Organization Organization (UMNO), Malaysia Chinese Association (MIC), Gerakan Rakyat Malaysia, People’s Progressive Party, Parti Pesaka Bumiputera Bersatu, Sarawak United People’s Party, Parti Bersatu Sabah, Liberal Democratic Party, Parti Bersatu Rakyat Sabah, United Pasokmomogun Kadazandusun Murut Organizatio, Sarawak Progresif Democratic Party. Partai ini melanggengkan kekuasaannya hingga saat ini.

Kekalahan barisan nasional banyak di nilai tidak hanya berasal dari kekecewaan warga terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah yang berkuasa saat ini –Pemerintahan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi-, hingga tokoh Barisan Nasional Mahattir mengklaim ini sebagai bentuk kesalahan tunggal penjabat Perdana Menteri saat ini. Akan tetapi, kekalahan tersebut juga di sebabkan oleh penerapan strategi politik yang tidak efektif dalam mendapatkan simpati khalayak pemilih oleh mesin politik partai. Partai Keadilan Rakyat (PKR) tampak lebih bersuara dan mendominasi wilayah-wilayah kampanye dengan kehadiran para tokohnya ke titik-titik atau kantong-kantong kuat yang dapat mempengaruhi hasil akhir perhitungan suara. Partai UMNO, sementara itu, memilih strategi dengan lebih menguasai dan mendominasi media massa sebagai alat untuk menyuarakan kehadiran mereka ke masyarakat luas. Dengan demikian, khalayak pemilih lebih memilih dan bersimpatik pada tatap muka langsung dengan komunikator terpercaya, yakni tokoh-tokoh di Barisan Alternatif, ketimbang mereka terbawa oleh opini yang di bangun oleh Barisan Nasional melalui saluran kampanye media massa yang justru kurang massif.

Namun, kabar mengembirakan peluang keseimbangan kekuatan di Malaysia ini –yang di tandai dengan kegagalan Barisan Nasional memperoleh suara penuh- tidak dibarengi dengan isu-isu yang masih bergulat pada persoalan etnisisme. Isu-isu etnis membanjiri bursa opini dalam pentas demokrasi negeri jiran itu. Memang dulu pernah terdapat catatan sejarah kelam konflik antaretnis di Malaysia. Memang, pernah terjadi pertikaian etnis di malaysia, lima orang tewas dan 37 cedera dalam konflik antar-etnis Melayu dan India pada 11 Maret 2001 di daerah Petaling Jaya. Konflik ditengarai oleh arak-arakan pemakaman masyarakat keturunan India melewati tempat perayaan pesta pernikahan warga melayu. Peristiwa ini merupakan yang pertama sejak Maret 1998 sejak terjadi protes kelompok Hindu Malaysia yang memprotes rencana pemindahan kuil Hindu di bagian utara nagara bagian Penang. Dalam peristiwa tersebut, 9 orang cedera.

Namun wacana etnisisme ini harusnya tidak terdapat di dalam pentas demokratis yang sehat semasa ini. Demokrasi yang menempatkan persamaan dan kebebasan hak, bukan kemudian di salah artikan ke dalam kebebasan untuk mengumpat etnis lain dan memunculkan jurang pemisah pada perbedaan yang telah ada.

Melayu merupakan mayoritas dalam penduduk Malaysia (55 persen), Cina sebanyak 30 pesren dan India sebanyak 10 persen. Penduduk keturunan India kebanyakan pekerja sebagai profesional, sementara banyak juga yang terpinggirkan dalam masyarakat Malaysia. Banyak yang mengkhawatirkan konflik antar-etnis ini akan mengulangi
peristiwa konflik etnis Cina-Melayu pada 1969. Dan sialnya, barisan nasional melalui stigma yang melekat pada Badawi, memperoleh predikat menganak emaskan etnis melayu ini.

Sistem Pemerintahan Pascapemilu

Dengan adanya perubahan komposisi di parlemen Malaysia, tentu banyak harapan untuk sebuah perubahan. Perubahan dalam skala besar ataupun kecil memiliki peluang yang sama. Perubahan skala besar di peroleh dari pembaharuan system ketatanegaraan, sedangkan skala kecil di tandai dengan perubahan norma-norma dan nilai-nilai social politik hukum dalam kehidupan bernegara.

Dapat dilihat dalam system ketatanegaraan Malaysia yang menganut sistem parlementer namun masih melestarikan pola feodal berupa dominasi raja (kerajaan) dalam struktur negara. Demokrasi parlementer suatu hal yang dapat di kenal dalam pola organisasi antara eksekutif dan legislatif yang selalu berhadapan dan berjalan berirama. Namun keberadaan kerajaan sebagai simbol negara masih dapat dipandang elemen struktural yang absolute dan otoritarian. Sebuah pandangan yang layim manakala kedudukan dan peran Yang Dipertuan Agung di Malaysia masih mencerminkan kesetengah-hatian Negara itu menjalankan system demokrasi subtansial –meskippun dalam praktek pemilihan raja menganut system “pergiliran kekuasaan” yang berasal dari 9 kerajaan yakni: Yang di Pertuan Besar dari Negeri Sembilan; Sultan Selangor, Raja Perlis, Sultan Terengganu, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Sultan Pahang, Sultan Johor, dan Sultan Perak. Meski, banyak Negara yang juga masih melestarikan budaya dan system kerajaan ini seperti Kerajaan Inggris Raya dengan Negara kesatuan (unitary state) berbaur dengan kerajaan (unitary kingdom) yang memiliki dua kamar terpisah : House of Commons (diketuai oleh PM) dan House of Lord (merupakan warisan keluarga kerajaan, kemudian kerajaan Jepang raya dengan Kaisar, Parlemen (kokkai), majelis tinggi (sangiin), majelis rendah (shugiin) ataupun kerajaan Arab Saudi dengan dinasti Ibnu Saud-nya, dan masih banyak berbagai Negara yang melestarikan kebudayaan dan system kerajaan ini. Kendatipun demikian, kita masih berharap bahwa perubahan akan terjadi pascapemilu terhadap keberadaan, peran, dan kedudukan kerajaan di Malaysia untuk pembaharuan kehidupan demokrasi sejati.

Satu catatan akhir untuk perubahan pascapemilu ini adalah akan lahirnya check and balances yang berjalan dengan baik. Perubahan komposisi di tubuh parlemen –banyaknya kubu oposisi dalam struktur- hendaknya mengarahkan pada hubungan eksekutif dan legislatif, di mana legislatif terus pro-aktif menjalankan fungsi pengawasan dan kontrolnya dengan baik dan efektif.

Awaludin Marwan, SH

Direktur Eksekutif

Democracy Watch Organization

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Dalil dasar: “Power tends to corrupt”
Maka: “Distribute the power to people”

Di mata orang waras kalau ada dalil: “Power tends to corrupt” maka konsekuensi logisnya: “more people with power, leads to more corruption”. Bukan demokrasi atau rule by mob sebagai jawaban untuk menghindari korupsi.

Diambil dari Tulisan Imam Semar

Anonim mengatakan...

Mohon dijelaskan dengan bahasa yang lebih memahamkan orang awak seperti saya ini, sekalian ada analogi dan contohnya ya, thanks!

Anonim mengatakan...

Haloo...!!!
untuk pandangan-pandangan politik yang saya kutip, itu bersumber dari Pak Imam Semar, dengan mengklik nama Giyanto akan tersambung ke Blog beliau...
Artinya: kalau dalil dasar bahwa kekuasaan itu cenderung korup, maka distribusi kekuasaan (bisa otonomi daerah atau demokrasi)yang berarti akan cenderung lebih korupsi...wong yang mimpin satu aja korupsi, apalagi yang mimpin semakin banyak?

Anonim mengatakan...

Haloo...!!!
untuk pandangan-pandangan politik yang saya kutip, itu bersumber dari Pak Imam Semar, dengan mengklik nama Giyanto akan tersambung ke Blog beliau...
Artinya: kalau dalil dasar bahwa kekuasaan itu cenderung korup, maka distribusi kekuasaan (bisa otonomi daerah atau demokrasi)yang berarti akan cenderung lebih korupsi...wong yang mimpin satu aja korupsi, apalagi yang mimpin semakin banyak?

Anonim mengatakan...

Haloo...!!!
untuk pandangan-pandangan politik yang saya kutip, itu bersumber dari Pak Imam Semar, dengan mengklik nama Giyanto akan tersambung ke Blog beliau...
Artinya: kalau dalil dasar bahwa kekuasaan itu cenderung korup, maka distribusi kekuasaan (bisa otonomi daerah atau demokrasi)yang berarti akan cenderung lebih korupsi...wong yang mimpin satu aja korupsi, apalagi yang mimpin semakin banyak?