online degree programs

Kamis, Maret 13, 2008

SEJARAH"

Setumpuk rumput di musim panas:
Apakah perjuangan gagah berani para pahlawan,
Hanyalah mimpi yang berlalu?

Matsuo Basho, Jalan Kecil*

Tiga abad yang lalu Basho menulis. Keresahan Basho barangkali sama dengan apa yang sedang kita resahkan saat ini. Menghadapi dunia yang sedang berubah. Perjalanan kecilnya dari Edo---sekarang Tokyo---sampai Ogaki memberi inspirasi bagi perkembangan kehidupan sastra masyarakat Jepang. Ketika sejarah berubah, tidak halnya puisi Basho. Dia menembus zaman serta merasuki hati dan pikiran bagi anak-anak zaman setelahnya.

Suatu puisi jelas berbeda dengan sejarah. Puisi lebih bersifat estetik dan bisa jadi mengajarkan sebuah prinsip dengan bahasanya yang khas. Sedangkan Sejarah adalah studi tentang semua data pengalaman mengenai tindakan manusia**. Ia tidak mengajarkan aturan, prinsip, atau kaidah apa-apa kepada kita. Karena sejarah hanya sekumpulan fakta yang secara diskriminatif telah ditentukan oleh sejarawan. Sejarah, barangkali bisa mengkaji puisi, tapi puisi tidak akan tertarik mengkaji sejarah.

Tidak bermaksud untuk mengesampingkan sejarah---bahkan membandingkannya dengan puisi. Tapi, tulisan ini mencoba memotret peran sejarah dalam mempengaruhi kehidupan kita saat ini. Sejarah yang seringkali diubah, menjadi alat yang ampuh bagi peneguhan sebuah otoritas. Seperti sejarah kaum Wahabi di Minangkabau terhadap Keluarga Parlindungan, atau sejarah paranoia masyarakat liberal terhadap komunisme, atau penemuan peradaban Kuno Nubia yang ternyata pernah menduduki dan menguasai Peradaban Mesir Kuno. Penemuan tersebut, mengindikasikan “dunia kuno” tidak diskriminatif secara rasial***---karena ternyata orang kulit hitam juga pernah menguasai Mesir. Kemudian hingga abad 19 bangsa Eropa menduduki Afrika, Hannah Arendt, menuduhnya sebagai asal-muasal totalitarianisme****---selain juga perasaan bertanggungjawab secara berlebihan terhadap penentuan nasib orang atau bangsa lain dari golongan tertentu.

Tidak ada sejarah yang tidak bebas nilai. Setiap sejarawan dengan sengaja membuat penjatuhan nilai. Setiap kisah ditulis dengan maksud tertentu. Kebingungan serta kegamangan tersebut, sekarang dapat dilihat dari berbagai karya biografi beberapa orang terkenal atau orang yang kepingin dikenal. Semua berharap untuk menjadi tokoh ataupun ditokohkan.

Rangkaian benang waktu telah menjadi medan tersendiri bagi pengaruh tindakan manusia, ataupun pertarungan gagasan. Tapi setiap medan menjadi saksi bagi kemenangan serta kekalahan. Dan saat itulah perubahan-perubahan dapat terjadi. Kemudian waktu menjadi penentu pemberhentian. Setiap adegan ibarat sebuah titik di sepanjang benang waktu yang menjulur berjuta-juta tahun sampai sekarang. Sedangkan bagi Darwin, sejarah manusia ialah kisah binatang yang berevolusi menjadi manusia, atau sejarah kegagalan moralitas manusia bagi pandangan agama-agama monoteis.

Maka, sifat sejarah yang diskriminatif tidak dapat dihindari. Mbah Kiting, penjual mainan anak-anak waktu saya kecil, barangkali bukan merupakan tokoh sejarah yang layak untuk dimasukan dalam buku teks sejarah sekolah. Tapi bagi anak-anak di rumah saya dan teman-teman saya, barangkali Mbah Kiting adalah tokoh sejarah paling riil. Dia adalah orang pertama yang mengenalkan pada kami miniatur mobil, atau keris plastik, atau Pedang Satria Baja Hitam. Teman saya, yang sekarang tidak kuliah yang hanya lulus Sekolah Dasar, barangkali tidak mengenal Hitler, Musolini, ataupun Stalin.

Begitu juga sejarah dunia. Perjanjian Breton Woods bagi bangsa Amerika dan Inggris, akan dianggap sebagai titik awal bagi pembentukan tatanan dunia yang “sejahtera” seperti “sekarang ini”. Momen itulah ketika sebuah lembaga Internasional dibentuk dengan visi yang ideal. Pendirian bagi sebuah lembaga yang dapat memberikan kredit serta bantuan bagi negara-negara yang membutuhkan. Tapi, bagi sebagian orang, saat itu adalah peneguhan dari “skenario bencana” yang datang kemudian.

Sekarang, kita juga bagian dari produk sejarah. Meskipun orang memiliki ceritanya masing-masing mengenai sejarah. Seperti Basho yang selalu membaca alam, puisinya kekal, tatapi alam yang diamati berubah. Edo bukan lagi sebuah wilayah dengan bentangan sawah, tapi menjadi Tokyo dengan sawah beton.

Kita, ibarat rumput di musim panas, Apakah masih berharap menjadi pahlawan?


*Horward Norman. Pada Jejak Sang Hantu
**Mises. Human Action
***Robert Draper. Para Firaun Hitam
****Hannah Arendt. Asal-Usul Totalitarisme Jilid II Imperialisme


"Giyanto: Yang jelas bukan sejarawan

Tidak ada komentar: