online degree programs

Jumat, Maret 07, 2008

Pembenaran dan Egoisme Intelektual

Telinga saya lagi-lagi gatal membaca Kang Gik berargumen model seperti itu terus sejak awal, saya khawatir yang muncul dalam debat ini bukan “kebenaran” tapi sekadar “pembenaran”.

Itu niscaya terjadi kalau Kang Gik menggunakan modal argumentasi dan debat kusir kayak gitu terus. Egoisme intelektual akan muncul, dan dengan sendirinya Kang Gik mengingkari keinginan untuk meruntuhkan klaim-klaim kebenaran dari “para pemilik kebenaran” mapan saat ini.

Saya khawatir juga, dalam debat ini Kang Gik tak sekadar mempertontonkan kengeyelan dogmatis, lebih dari itu adalah paradigma lepas tangan, banyak pernyataan dan pertanyaan saya yang tidak Kang Gik jawab. Saya justru takut debat di blog ini akan berakhir sama seperti kemarin saya debat soal “Islam” di milis unnes, argumen yang digunakan lepas konteks pembicaraan, menghindar dari tanggungjawab untuk menjawab pertanyaan, dan kemudian mengemukakan argumentasi baru yang lepas konteks.

Lebih dari itu, keegoisan intelektual yang muncul di sini kian melenggangkan pada upaya-upaya “pembenaran”, bukan untuk memberikan kekayaan wacana, terlebih lagi sebuah kebenaran. Saya bisa pahami hal itu relatif wajar bagi yang sedang “puber” karena ketidaknyamanan dan kejumudan atas kegagalan teori-teori sosial selama ini, tapi hal itu tidak dapat digunakan sebagai ”pembenaran” perilaku egoisme intelektual di sini.

Saya kemarin dapat email dari Kang Malik (IMM) –temennya Kang Gik juga, beliau curhat dan bilang bahwa sekarang yang muncul kok egoisme, Kang Malik kangen dengan nuansa debat yang konstruktif dan memperkaya wacana dan perspektif seperti di KEP dulu sebelum saya ke Jakarta, bukan debat yang ingin menang sendiri, bukankah kita di sini mestinya melampaui yang namanya “menang-kalah” itu?

Kang Gik, saya tidak ingin menggurui sampeyan, karena saya pun masih dalam tahap belajar. Tapi agaknya, tulisan Kang Gik di sini belum mengindahkan kaidah debat konstruktif yang tidak meremehkan “lawan” debat. Misal, ujaran, “...kamu gak pernah kelaparan...”, “...emang kamu pernah baca bukunya langsung dari Adam Smith...”, “..coba jadi kuli bangunan kek!”, dan sekian banyak argumentasi yang merendahkan lawan debat. Maaf, sebenarnya dengan mengemukakan statement seperti itu justru memperlihatkan bahwa si penulis tidak mengindahkan kaidah intelektual, sekali lagi alasan kegairahan yang menggebu dan kemarahan atas kegagalan teori-teori sosial tak dapat menjadi justifikasi untuk sebuah pembenaran debat yang tidak intelek di sini.

Oleh karena itu, perlu dipilih diksi yang tepat agar lebih enak didengar dan memahamkan, seperti kata Bung Nad, banyak logika Kang Gik yang meloncat yang menyulitkan pembaca, termasuk saya. Di samping itu pilihan kata dan susunan kalimat yang lebih emosional dan menafikan etika debat ilmiah pada akhirnya menjadikan debat tidak sehat. Mari kita belajar menuliskan argumentasi secara bijak, dengan pilihan kata yang tepat, susunan kalimat yang memahamkan, tanpa mesti melibatkan kemarahan personal yang sering membuat telinga pembaca memerah.

Dus, di sini saya tak perlu komentar banyak soal kata Kang Gik, ya sedikit-sedikit saja. Misal Kang Gik berkata, “Sebenarnya kita jangan mengartikan itu sebagai tesis dan antitesis. “ tidak Kang Gik, komentar kemarin saya cuma ingin membuktikan secara kronologis bahwa ada yang lebih dahulu dari Mises. Karena Kang Gik sebelumnya berkata bahwa liberalisme itu muncul dari karangan Mises, saya membuktikan banyak pemikir sebelumya menulis dan merajut liberalisme, Adam Smith contoh nyatanya dalam ekonomi.

Selanjutnya ketika Kang Gik berkata, “...makanya jangan terlalu banyak baca filsafat jadi kamu cuma teks books, emang kamu pernah baca bukunya langsung dari Adam Smith, Marthin Luther...”. Apa susahnya menemukan teks utama dan asli Adam Smith Cs, di Perpustakaan Freedom Institute, British Council,dan Driyarkara semuanya memajang koleksi teks-teks utama tersebut Kang.

Kemudian pernyataan, “....cek dulu asumsinya... lalu cek ke realitas...emang semua pengusaha atau kapitalis itu seperti punya motif seperti yang dianggap Adam Smith...coba tanya sama Bob Sadino...”, lho saya khan tidak pernah menyatakan Adam Smith sebagai yang paling benar dan absah, Kang Gik di sini justru terjebak asumsinya sendiri.

Kang Gik, saya setuju bahwa kalau kita cuma menggunakan asumsinya Adam Smith maka kita dalam istilahnya Kang Gik adalah “sesat”, saya menyatakan kalau kita hanya menggunakan teorinya Adam Smith saja ya kita tidak kaya perspektif dan justru reduksionis-determinatif. Pun ketika kita hanya terpana apa kata Mises saja, banyak ekonom baru sekarang yang tak dapat dipandang sebelah mata. Saya khawatir kalau-kalau Kang Gik mendewa-dewakan Mises sebagai kebenaran absolut dalam ranah kajian ekonomi, maka itu sama saja menutup mata terhadap perspektif lain yang ada sekarang.

Hehehehh....soal jadi kuli bangunan, dulu sebelum saya masuk SMA saya jadi kuli Kang, cari duit dari keringat sendiri emang nikmat. Sampai di sini mohon Kang Gik jangan tersinggung ya, saya masih kangen dengan ketukan tawa Kang Gik yang sama sekali tidak ritmis dan merusak pakem tawa awam..eh... Kang Gik dan semuanya, bagi saya persahabatan adalah "segalanya"...

Salam hangat, Edi Subkhan

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Batas Benci dan Cinta memang tipis...
Barangkali malah tidak ada...
Kebenaran tercecer tak membeku..
Bahasa memang punya batasnya...
apalagi logika? semua tak pasti..
setiap tanya siap tak terjawab...
di saat hidup terasa terpasung, mengetahui berarti menerima rasa sakit...hanya satu alasan untuk menjalaninya: Cinta

Mohon maaf apabila ada kesalahan...
keunggulan puisi memang pada tafsir...

ttd. Giy

Anonim mengatakan...

Terkadang kita melupakan etika yang tersembunyi dalam filsafat dan sastra...
menjadi sekadar berada pada kulit-kulit politik, ekonomi, hukum,...

biarlah saya menjawab yang tak terjawab, membahas yang tak terbahas,

biarlah saya menjadi hitam, jikalau semuanya ingin menjadi putih..
biarlah saya merelakan seluruh waktu untuk mendengar keluh kesah, nyanyian serak tak berirama, dan makian-makian itu, asalkan ia senang dan kian menjadi manusiawi

biarlah saya mencintai yang tak pernah dicintai, menyentuh yang tak tersentuh, memusuhi yang tak pernah dimusuhi,..

Sahabat, filsafat itu ada dua, pertama adalah laku kehidupan ini, dan kedua adalah disiplin ilmu. seringkali kita membenci filsafat dengan bertebal-tebal bukunya, padahal kita sejatinya sudah berada dalam laku filsafat...

apakah tidak cukup mulia untuk menjadi apa saja, asalkan semuanya bahagia,dan menjadi manusiawi...

membelajarkan sesama tidak mesti dengan kata-kata, lebih dari itu sesekali perlu dengan kontroversi, metafora, dan yang terbaik adalah keteladanan...

Masalahnya tidak semua bisa mengambil hikmah dari kontroversi, mencerna metafora, dan mlihat sebuah keteladanan..di sinilah kata'kata diperlukan...

ya inilah hidup,....terima kasih sahabat

Anonim mengatakan...

Gwe bingung neh mo ngirim artikel biar dimuat di embun pagi...dimuat disini aja boleh gak

Secuil Koreksi atas AXIOLOGI Filsafat

Filsafat merupakan karya pemikiran manusia yang dianggap barat menempati posisi sebagai induk ilmu pengetahuan. Oleh karena itu filsafat dikenal dengan julukan regina sentrium (ratu segala ilmu). Cakupan filsafat yang tidak memiliki batas menimbulkan persoalan tersendiri, terutama dalam pendefisian filsafat itu sendiri. filsafat sebagai turunan dari aktifitas berfikir manusia yang berfungsi menjelaskan makna berbagai simbol, ternyata tak mampu menjelaskan definisinya sendiri. Kalaupun ada maka definisi yang dipergunakan tergantung kepada pendekatan masing – masing yang mendefinisikannya. Dengan kondisi filsafat seperti inilah tidak jarang para pemikir islam terjebak dalam cara berfikir filsafat. Dan bahkan lebih celakanya mereka berupaya mendisikusikan islam dengan filsafat dan bahkan ada yang mengatakan, islamlah filsafat sejati.

Untuk mencermati dan mengoreksi filsafat, kita tidak bisa hanya memahami filsafat sebagian/dari luarnya saja. Harus pada tahap subtansial berdirinya pemikiran filsafat. Sama seperti jika kita ingin menghukumi demokrasi, tidak bisa melihat demokrasi sebatas musyawarahnya saja. Akan tetapi secara subtansial juga harus dapat dikaji agar kita mampu mengoreksi kesalahannya.

Dalam pembahasan ini sedikit di jelaskan bahwa bagaimana pemikir barat mengelompokkan lapangan penyelidikan filsafat. Upaya mereka terhadap pengelompokan ini bertujuan agar kaum muslimin di dunia ini dapat dengan mudah mempelajari( terjebak) dalam filsafat. Karena pengelompokan ini menjadi acuan dalam menentukan objek dan subjek filsafat, dan norma filsafat.

Mereka berdalih bahwa bahwa ruang lingkup filsafat yang amat luas dan tidak terbatas objeknya, maka mereka menganggap perlu adanya pembidangan untuk intensifikasi penyelidikan dan memudahkan pemahaman. Maka di susunlah pandangan sistematika filsafat. Oswal Culpe menjelaskan bahwa : pembagian sistematika filsafat selalu bergantung kepada pengertian filsafat itu sendiri. Pembedaan dalam definisi biasanya akan membuat pula cabang filsafat.

Banyak ilmuwan menentukan ruang lingkup filsafat, penulis menilai secara umum mereka membagi dalam 4 bagian. Yaitu : kosmologi, antologi, epistimologi, dan axiologi. Dengan ruang lingkup yang cukup luas itu mereka “bersepakat” bahwa semuanya berawal dari pembahasan axiologi.


Axiologi

Axiologi berasal dari kata – kata yunani. axios = nilai dan logos berarti pandangan/teori. Secara terminologi axiologi adalah nilai akhir (ultimate value) kebenaran. Dalam bidang ini biasanya mereka bertanya apakah nilai itu ide di dalam pikiran (internal) manusia atau sebenrnya berada diluar (ekternal) manusia, yang bersifat independen terlepas dari individu yang menaggapinya? Dan apakah yang menjadi norma kebenaran dan norma kebaikan? Kapan setiap konsep itu dikatakan benar atau salah? Mengapa suatu prilaku itu dianggap benar? Nah pertanyaan – pertanyaan inilah yang menjadikan mereka mencoba mengkaji sebuah konsep kebenaran dan menjadikan konsep kebenaran yang mereka jadikan tersebut sebagai standar/landasan dalam berfilsafat.

Bidang axiologi inilah yang berperan penting untuk melanggengkan ide filsafat ini di abad 17-an. Dalam pembahasan axiologi kebenaran menjadi objek logika dan metodologi filsafat ilmu yang berusaha menjelaskan syarat – syarat yang harus di miliki agar sebuah konsepsi di katakan benar. Patut digarisbawahi bahwa dalam bidang aksiologi tidak dikaji sesuatu "bagaimana adanya" tetapi mengkaji sesuatu “bagaimana seharusnya”, dengan berpatokan kepada kebenaran yang di mereka (axiologi) definisikan. Dengan demikian disadari atau tidak, jika kita berupaya untuk berfilsafat maka kita telah terjebak dalam konsep kebenaran yang Axiologi definisikan. Segala sesuatu harus mengikuti norma kebenaran filsafat, kalau mau dikatakan para pemikir filsafat. Oleh karena salah satu dasar kekeliruan dalam berfilsafat adalah membuat norma kebenaran yang menjadi takaran pemikiran yang benar, bagi prilaku yang baik. sehingga atas dasar seperti ini kita kaum muslimin kebanyakan terjebak dalam filsafat dengan mengikuti norma kebenaran filsafat.

Norma kebenaran dalam filsafat

Para filosof secara umum berpendapat bahwa kebenaran itu bertingkat – tingkat dimana kualitas dan sifatnya berbeda. Mereka mengatakan perbedaan/tingkatan ini bergantung kepada potensi subjek yang menyadari atau menangkap kebenaran itu, penulis menemukan beberapa konsep kebenaran dalam kajian filsafat, yaitu :

1. kebenaran yang diperoleh melalui pancaindra. Tingkat yang sangat sederhana karena tahapannya baru kepada tahap mencapai gerbang kesadaran manusia.

2. kebenaran ilmiah berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui indra kemudian diolah dengan “rasio”. Kebenaran ilmiah dianggap objektif, tapi tidak seluruhnya benar terutama pada ilmu sosial dan sangat relatif dan subjektif. Dan bahkan dalam ilmu eksakta juga bisa terjadi demikian, Karena terpengaruh oleh faktor lingkungan serta kondisi alam dan sosial. (tergantung kepada metode ilmiah yang di pakai).

3. kebenaran filosofis, berdasarkan hasil pengalaman dan pengamatan pikiran dan kritis disertai renungan secara mendalam, murni, sistematis dan komprehensif.

4. kebenaran religius. Kebenaran mutlak dan diyakini tanpa ada pertimbangan lingkungan.

Dengan demikian kalangan filsafat menyatakan bahwa masalah kebenaran adalah masalah yang rumit dan abstrak. Dalam mempertahankan teori kebenaran ini para filosof mempergunakan argumentasi teori mereka atas kebenaran, yaitu:

a.Teori koherensi

teori ini sering juga disebut teori konsistensi. Artinya suatu itu benar berdasarkan adanya ketetapan antara ide atau kesan seseorang dengan orang lain untuk suatu objek yang sama. Maksudnya sesuatu dikatakan benar jika konsisten dengan pernyataan lain yang diterima sebagai benar. Makin konsisten ide yang ditangkap beberapa subjek dengan objek yang sama maka makin benarlah ide itu. Misalnya demokrasi.

b.Teori pragmatisme

menurut teori ini kebenaran adalah suatu yang praktis yang dapat membawa manfaat. Yaitu sesuatu proses tindakan dimana kebenaran diukur menurut efeknya secara praktis. Pragmatisme berusaha menguji kebenaran suatu pendapat, fakta, teori atau apasaja melalui konskuensi dari praktek pelaksanaannya. Ide itu belum dikatakan benar atau salah jika belum di uji di dalam prakteknya. Ia dikatakan benar jika mampu menyelesaikan problem yang ada. Jadi kebenaran di sini sangat relatif.

Seorang tokoh pragmatisme Charles S.Peire (1839 – 1914) tokoh pragmatisme mengatakan bahwa kebenaran itu adalah fakta efek yang dirasakan bukan ide itu sendiri. Jika efek dirasakan menghantarkan kepada kesenangan maka itu adalah benar. W.James (1824 – 1910) juga mengatakan bahwa kriteria kebenaran hendaknya dicari dalam taraf seberapa jauh kita secara pribadi dan secara pikiran merasa puas dalam persoalan tersebut.

Inilah beberapa pandangan tentang kebenaran yang dipahami oleh kalangan filosof. Semua itu memberi paradigma berfikir yang nyeleneh untuk memahami kebenaran. Dengan memahamkan kerumitan kebenaran inilah mereka membius kaum muslimin untuk mendefinisikan sesuatu dengan melewati batas kemampuan manusia. Karena mereka berpendapat bahwa kebenaran di dunia ini tidak ada, yang ada hanyalah mendekati kebenaran.

Hal ini diperburuk lagi oleh pemahaman mereka atas sumber awal pengetahuan ditambah lagi mereka tidak mampu menjelaskan cara berfikir dengan benar dan baik kaitannya dengan sumber dan batasan pengetahuan hasil pemikiran. Dalam menjawab pertanyaan tentang pengetahuan, mereka menggunakan beberapa argumentasi yang sesungguhnya semua berawal atas kekeliruan awal mereka atas pandangan kebenaran. Sumber awal Pengetahuan menurut mereka adalah panca indra (empirisme) dan dari kalangan rasionalisme menyatakan pengetahuan berawal dari akal. Hal inilah yang membuat mereka terjebak dalam lingkaran pemikiran menyesatkan karena sejatinya mereka tidak memiliki pemahaman bahwa sesuatu yang ada di bumi ini (fakta) adalah syarat terbentuknya pemikiran, dan yang ada sebelum fakta berarti bukan pemikiran dan bukan fakta.

Pandangan Islam Tentang Kebenaran

Berbagai kalangan mengatakan bahwa teori korespondensi adalah pemahaman yang tepat terhadap kebenaran. Korespondensi berarti hubungan ( antara subjek dengan objek ). Kesesuaian subjek dan objeklah yang dikatakan sebuah kebenaran. Hal ini seperti yang di katakan oleh syaikh taqqiudin An–Nabbani bahwa : Berfikir tentang kebenaran tidak berbeda dengan berfikir dengan yang lain. Karena kebenaran adalah kesusuaian antara pemikiran dan fakta.berfikir tentang kebenaran adalah menjadikan keputusan yang telah dikeluarkan akan sesuai dengan fakta yang telah ditranfer ke dalam otak melalui alat indera. Kesesuaian inilah yang akan menjadikan makna yang ditunjukan oleh pemikiran sebagai suatu kebenaran. Pemikiran terebut harus sesuai dengan fitrah manusia.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hubungan antara objek dan subjek adalah kebenaran itu sendiri. Akan tetapi jika ada hubungan yang tumpang tindih atau ganda bukan berarti menghilangkan kebenaran awal. Dan kebenaran dalam islam adalah ketika menggunakan menentukan sesuatu dengan berfikir secara rasional atau berpikir alqur’an. Karena berpikir yang benar adalah adalah berpikir yang sesuai dengan dalil (bukti). Banyak nash alqur’an yang menjelaskan tentang seharusnya kita melihat bukti - bukti sebagai objek berfikir dan diyakini oleh sebuah konsep ideal subjek yang harus di buktikan realitasnya. Biasanya di sebut Aqidah Rasional bagi manusia.

Allah berfirman yg artinya :

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? ( TQS. Ath – Thariq [86] : 5)”

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (AL Ghosyiyyah [88]: 17)

Dan banyak lagi dalil alqur’an yang senada dengan ini, untuk menunjukkan bahwa manusia harus berfikir dengan menjadikan realitas ( fakta) sebagai objek yang harus di sesuaikan dengan konsep ideal.

Untuk memandang tentang pengetahuan awal di dunia ini allah telah berfirman :

"Allah telah mengajarkan (memberi informasi) kepada adam nama – nama benda seluruhnya, kemudian allah mengemukakannya kepada malaikat lalu berfirman, sebutkan kepadaku nama – nama benda itu jika kamu orang yang benar ! mereka menjawab, “ mahasuci engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang engkau ajarkan kepada kamii. Sesungguhnya engkau maha mengetahui dan maha bijaksana.” Allah berfirman, hai anak adam, beritahukan kepada mereka nama benda – benda itu!’ maka setelah adam menjelaskan kepada meraka nama – nama benda itu, allah berfirman bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa susung – guhnya aku mengetahui rahasia langit serta mengetahui apasaja yang kamu tampakkan dan apasaja yang kamu sembunyikan." (TQS. Al – Baqarah [2] : 31 – 33).


Kesimpulan

Filsafat adalah ajaran yang sengaja didesain oleh barat untuk menghancurkan islam. Dan Islam kini ditarik dan dipaksakan untuk berfilsafat, sehinnga timbullah pemikiran HAM, DEMKRASI, PlURALISME,LIBERALISME,SEKULERISME dll. Semoga kita terlindungi dari segala pemikiran kufur tersebut.

Anonim mengatakan...

mas-karena ga ada namanya-anti kapitalis.. (begitu saya mengenal anda melalui nama)

"filsafat yang dangkal memang membawa kita kepada atheisme, tetapi filsafat yang dalam akan membawa kita kepada theisme"

kita berpikir untuk apa kita hidup, dan akhirnya memutuskan untuk meng-anti-kan diri terhadap kapitalis, membenci filsafat. proses sebelum mengambil keputusan itu, bisa dikatakan "berfilsafat" juga..

tetapi emang pada dasarnya (men teori psikologi), manusia hanya mendengar apa yang ingin dia dengar, melihat apa yang ingin dia lihat, membaca apa yang ingin dia baca.

filsafat, falsafah, phylosophya, dsb. itu kan hanya istilah metaforis saja. apalah gunanya membenci sebuah "kata"

Anonim mengatakan...

mas fahmi dan penulis tentang aksiologi di atas....saya jadi bingung nie...

Saya pengen bertanya referensi soal kebenaran dalam filsafat itu, termasuk definisi filsafat diambil dari mana sich? Itu copy paste ato...baca dari referensi filsafat? Setahuku klo bener dari referensi filsafat "yang asli" gak gitu dech...

ato jangan-jangan dari referensi yang sudah men-judge filsafat jadi hal kufur, artinya tidak mebaca lietratur utama filsafat, dan itu artinya taklod buta...duh gimana ya kok bisa taklid buta he....

soal sederhana "antologi" mana ada dalam filsafat, mungkin salah ketik sech...yang bener "ontologi" gitu...

lucu juga karena akhirnya argumen yang dikemukakan dari Ibn Taqiydin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir (hingga saya yakin si penulis adalah simpatisan HTI) tidak menolak filsafat itu sendiri...gimana neh kok kemudian simpulannya "
filsafat itu kufur" ??????

Cpe dech...

insidewinme mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.