“Kita harus berhadapan dengan penyesalan. Menjadi dewasa berarti belajar menerima segala hal yang tidak dapat kita ubah, menghadapi penderitaan yang tidak putus, dan belajar mencintai hidup seperti adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki”.
Barbara Sher
Saya sudah jenuh beragumen. Tapi tak apalah, ini demi sesuatu yang terlanjur saya komitmenkan. Tulisan ini agak filosofis terkait yang ada dalam perangkat pikiran saya, yang diantara sistem neuron-neuron saling terhubung sedemikian rupa sehingga membentuk pandangan-pandangan yang telah saya tulis ini. Pikiran-pikiran ini juga yang membuat saya dalam satu bulan ini tidak enak tidur dan juga tidak enak makan. Sampai-sampai proposal skripsi yang sudah saya ajukan belum saya urus.
Konon ada tiga hal yang tidak bisa dihindari manusia. Pertama pilihan, kedua prinsip dan yang terakhir perubahan. Masalah pilihan tidak akan saya bahas di tulisan ini karena Kang Edi sudah sering mendiskusikannya, terkait dengan eksistensi manusia itu sendiri. Karena manusia sebagai makhluk yang hidup, maka manusia tidak bisa mengihindar untuk tidak memilih.
Begitu juga masalah perubahan. Semenjak kita aktif dalam berbagai organisasi, saya kira temen-temen sering menggunakan kata perubahan sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan gerakan. Tanpa memperhatikan apakah perubahan itu lebih baik ataupun lebih buruk dan kadang-kadang malah membunuh diri sendiri, sekali lagi, perubahan tidak dapat dihindari. Dan tiap pribadi pasti pernah dalam masa transisi, seperti yang sekarang dialami Kang Taufik, maka sangat jelas peran perubahan dalam hidup setiap manusia.
Yang terakhir, yaitu prinsip. Sudah hampir dua tahun ini saya mencari-cari apa itu sebenarnya prinsip. Prinsip, dari yang saya ketahui belakangan ialah sebuah hukum alam yang sudah ada sebelum kita ada. Artinya, dia diciptakan oleh Sang Khalik agar kita tunduk pada prinsip-prinsip atau hukum-hukum yang telah diciptakan-Nya. Dan yang membuat saya gelisah saat ini ialah terkait masalah ini. Dari kecenderungan-kecenderungan perilaku manusia yang saya lihat, sebagian besar politisi, prinsip-prinsip itu mereka tentang.
Saya ingat apa yang pernah ditulis Cak Nun: Iblis dan Malaikat itu makhluk kepastian, sedangkan manusia adalah makhluk kemungkinan. Ini juga mirip dengan kata Mises, bahwa setelah para filsuf meninggalkan pencarian mereka akan hal yang absolut, para utopian meneruskannya. Jika seandainya sekarang masih ada manusia yang masih terkurung otaknya untuk mengejar-ngejar kepastian, ini berarti dia menentang kodratnya sendiri.
Begitulah cerita singkat seperti yang sering diungkapkan dalam berbagai filsafat, baik agama maupun ilmu pengetahuan. Dan sekarang, kita sering terkecoh oleh ilusi-ilusi yang selalu mengejar kepastian serta kesempurnaan. Salah satu email dari Bung Nad terkait pandangan epistemologis yang saya geluti sekarang ini. Dia mengatakan: “jika teori digagas tanpa kekeliruan logis, maka realitas hanya akan terjadi sesuai dengannya! Ini terdengar sulit diterima; tetapi begitu memang adanya”, tegasnya. Mendengar hal itu terasa agak aneh. Tapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa itulah bentuk-bentuk prinsip sebenarnya. Jadi, prinsip ada sebelum kita ada.
Dari gambaran diatas, yang membuat saya marah adalah perilaku politisi-politisi yang sekarang lagi main parodi di panggun politik. Menurut saya, tindakan-tindakan mereka berlawanan dengan hukum-hukum alam. Dalam hal kegiatan ekonomi, blunder ini sering terjadi. Yang dikatakan Kang Edi saya sepakat---kalau dilihat dari kacamata niat baik. Akan tetapi niat baik saja tidak cukup, dari prinsip-prinsip atau hukum-hukum ekonomi yang sementara saya pelajari. Tindakan mereka ternyata merusak kegiatan ekologis ekonomi manusia. Hukum penawaran dan permintaan tidak dapat dibantah. Dia bekerja sesuai tindakan-tindakan manusia. Jadi kalau ada yang mengitervensi, berarti ada pihak yang dirugikan. Di sini, posisi saya pas berada melihat dari pihak tersebut: bapak saya. Dan saya yakin Bapak tidak mengetahui hal tersebut. Dia hanya kecewa dengan kondisi, dan saya tidak tahan melihat hal tersebut. Jadi kalau saya sekarang banyak menulis, ini terkait apa yang sudah bapak berikan secara pribadi kepada mental saya, yang ternyata sekarang sangat bermanfaat untuk saya pribadi.
Dari kecil, saya didik untuk bekerja. Kalau tidak bekerja, maka saya tidak mendapat uang saku untuk sekolah. Katanya, itu ialah keadilan untuk diri sendiri dan orang lain. Sudah sejak kecil prinsip-prinsip sederhana itu ditanamkan pada semua anaknya, termasuk saya. Tapi setelah saya besar, dan sekarang bisa menulis, prinsip-prinsip yang sederhana itu ternyata tidak dilakukan oleh orang-orang yang malah sering kita idolakan. Anehnya, kita malah menjadikan mereka ikon-ikon demokrasi yang sering kita dukung setiap ucapannya. Pengalaman saya ketika di Sumatera Barat, menurut penglihatan saya pribadi, di sana malah lebih demokratis. Ninik mamak (kepala suku), cerdik pandai (intelektual) dan alim ulama ialah elemen-elemen representasi konsep demokrasi yang sebenarnya sudah ada di budaya lokal. Parahnya, konsep itu telah “dirusak” oleh pemaksaan konsep-konsep yang mempunyai niat baik tetapi menentang “hukum” yang sudah ada di sana sejak lama.
Terkait yang sering saya kritik dan hujat saat ini adalah sistem yang telah terstruktur. Jadi kalau dulu orang memperjuangkan kebebasan dalam bentuk kemerdekaan. Saat ini saya melihat, sistem struktur itu menjadi sangat kropos dan rawan runtuh, sehingga keadilan tidak hanya menjauh tapi malah terancam.
Kalau Mas Yogas pernah menawarkan untuk menentang sistem, maka yang sekarang saya wacanakan adalah menentang sistem-sistem yang terstruktur. Dalam kata yang sederhana, sistem terstruktur itu adalah: “Negara dan elemen-elemennya yang sangat gemuk”. Kalau yang menjalankan tidak segera membenahi diri ataupun berefleksi, maka dalam waktu dekat “bencana itu akan terjadi”. Saya tidak dapat membayangkan, korban itu akan seberapa besar? Tapi tak apalah, bukankah perubahan itu suatu yang tidak dapat dihindari? Agar manusia selalu mengingat.
Barangkali kata-kata Bharbara Sher benar adanya...
2 komentar:
Untuk memulai mengurai sistem yang terstruktur, barangkali rencana saya akan menulis sejarah perjanjian internasional: terkhusus Bretton Woods dari dua sudut pandang, sudah lama saya rencana menulis khusus tentang itu, tapi karena termasuk sejarah, jadi saya tidak berani langsung menulis seperti ketika menulis artikel wacana...
setelah itu, rencana akan saya tulis mengenai hasil-hasil observasi mengenai isu-isu terbaru....tapi tidak jauh tentang kesejahteraan rakyat...Doakan saya tetap sehat wal afiat...
salut dech sama "gairah" dan "pubertas" intelektual Kang Gik...semoga tidak lekas ejakulasi dini he.he.h.e.he....
Posting Komentar