Tidak banyak yang tahu bahwa tubuh kita terdiri dari komponen yang terkecil berupa sel. Kumpulan sel membentuk suatu jaringan, kumpulan jaringan mambentuk organ. Organ dengan fungsi yang sama membentuk sistem organ, dan pada akhirnya membentuk organisme. Lebih sedikit yang tahu jika tubuh terbentuk dari senyawa karbon, didukung oleh lebih dari 200 potongan tulang yang dirangkai dengan berbagai bentuk persendian. Mulai dari sendi peluru, sendi geser, sendi putar, sendi engsel, dan macam sendi lain.
Banyak hal yang dapat kita ketahui dengan menggunakan penelitian empirik-saintifik. Fakta semacam ini (eksterior-objektif) diakui oleh banyak kalangan sebagai pengetahuan yang bermanfaat. Namun hal semacam itu bisa dikatakan hanyalah kulit luar manusia, sama sekali tidak menyentuh sisi “lain” keberadaan manusia itu sendiri. Katakan sebuah buku, melalui studi empirik-saintifik, bisa diketahui jumlah halaman, jumlah karakter, bahan kertas, tinta yang digunakan, sampai dengan persentase huruf dalam buku tersebut. Tetapi tanpa membacanya, memahami konteks dan maknanya, isi dari buku tersebut tidak akan dapat diketahui. (bahkan, buku bisa dijadikan bantal bagi yang menginginkannya)
Demikian halnya dalam memahami manusia, konsep-konsep biologi tidak akan memuaskan pertanyaan-pertanyan yang sangat menuntut kedalaman pemahaman dan hakikat dari sesuatu, termasuk kita.
Pengenalan Diri Kita
“Sebelum memahami orang lain, terlebih dahulu kita pahami diri sendiri” setidaknya itulah salah satu ajaran Plato, sebuah pencarian esensi tentang manusia. Plato menyebut usaha pengenalan tersebut dengan archetype-berasal dari akar kata arche dan thypos (bahasa Yunani) yang berarti cetakan pertama. Dengan penjelasan bahwa terdapat sesuatu yang bersifat asli yang digunakan sebagai model terbentuknya sesuatu yang baru. Misalnya, bentuk ideal Plato (indah, baik, benar) dipandang sebagai archetype yang darinya semua bentuk lain menerima wujudnya. Meskipun akhirnya Carl Gustav Jung menyempitkan makna archetype sebagai pola-pola pemikiran dan pemikiran yang muncul dari ketidak sadaran kolektif yang disebutnya citra primordial.
Senada dengan Plato, Muhammad (Rasul dalam agama islam) juga memberikan petunjuk kepada umatnya “Kenalilah dirimu sebelum mengenal orang lain” dalam ajarannya tentang memanusiakan manusia sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan. Ataupun Sidharta Gautama dalam ajarannya “Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Oleh karena itu, kenalilah dirimu” dalam upaya mencapai kesempurnaan (nirwana) dalam konsep agama Buddha.
Sebegitu penting usaha pengenalan diri di samping sebagai salah satu jalan untuk memahami orang lain dalam hubungan social, juga sebagai tujuan akhir dari dari penelaahan dan pencarian hakikat manusia. meskipun dekonstruksi konsep diri Lacan membuat pengetahuan tentang diri sendiri sampai pada titik seperti melihat diri dengan cermin, bukankah memang tidak ada yang mampu melihat dirinya sendiri tanpa cermin dan cahaya?
Konsep "kita" populis
Paradigma modern tentang tidak adanya obyek kebenaran yang bersifat universal (bahkan Tuhan sekalipun), yang ada hanya persepsi dan interpretasi yang berbeda mengenai obyek yang sama, pelan tapi pasti menjauhkan kita dari pengetahuan tentang hakikat yang pada zamannya menjadi tujuan dari semua ilmu pengetahuan. Kita dikenalkan dengan dunia sekuler yang memisahkan batas-batas norma, hukum, nilai-nilai, dan estetika. Semua menjadi tidak terbatas, karena ketidakjelasan yang diciptakan oleh paham sekulerisme (sebuah gebyah uyah dan salah kaprah pemahaman,mungkin saja).
Menurut teori motivasi Mc Clelland, kita cenderung bertindak untuk mencapai pemenuhan kebutuhan, dan kepuasan. Hanya saja ego yang idealnya menjadi penyeimbang antara id (keinginan) dan super ego (aturan dari lingkungan) tidak lagi berperan sebagaimana mestinya, karena menurunnya konsep diri (ego) itu sendiri. Kita menjadi sangat mementingkan super ego, yang telah demikian berubah. Super ego/aturan masyarakat yang berdasar pada keinginan-keinginan yang harus dipenuhi tanpa mentolerir adanya pengalihan jika keinginan itu tidak terpenuhi.
Celakanya hal semacam itu kadang terbungkus dengan permainan bahasa yang logis, etis dan estetis tanpa kita telaah menurut prinsip konsumen bahwa kemasan bukanlah segalanya, meskipun kemasan itu penting, tanpa mencermati identiknya bahasa dan metaforisnya petanda dan penanda. Bergesernya nilai guna menjadi nilai tukar, kreativitas menjadi produktivitas, penghayatan menjadi kesuksesan, apresiasi menjadi konsumsi. Siapa yang patut dipersalahkan, para filsuf itu, penafsiran yang terdistorsi, system yang terstruktur, atau Tuhan yang mengatur dunia menjadi sekarang ini?
Mari ikut mendengarkan pesan Abah (bapak) saya,
sebelum memenarkan diri sendiri, mari melihat diri walau hanya lewat citra cermin.
Ahmad Fahmi Mubarok
Sabtu, Maret 08, 2008
Belum Punya Judul yang Pas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
8 komentar:
Lebih sulit memahami diri sendiri daripada memahami orang lain, atau sebaliknya? Secara psikologis gmn tuh?
Klo secara etis-teologis-teosofi sch memahami diri dulu baru memahami yang laen?
Eh sekali waktu aku pengen baca tulisan psikologi-eksistensialisme loh, selama ini di Driyarkara sudah berjejal bacaan filsafat eksistensialisme, pengen tahu dari psikologinya gicu...
kaerna eksistensialisme menyangkut "diri" dan "kedirian"....OK
Wah, ingin boleh nimbrung nih,hi2....
Ternyata virus kebebasan telah menjalar,he2...sedimikian rupa... dan saya yakin...bahasa masih banyak tugasnya untuk dapat menguraikan kebenaran...sangat,sangat,sangat jauh....tapi kita harut tetap berusaha,OK!!!
Ya...dan jauh sebelum kita, Immanuel Kant Cs telah melenggangkan untuk itu....bahkan jauh sebelumnya Plato mengupayakan hal yang sama..
"Tuhan yang mengatur dunia menjadi sekarang ini?"
Kata teakhir dalam tulisan ini membuat saya berhenti sejenak. Melihat tulisan yang kaya akan kaidah aksiologi yang menekankan pada krtik terhadap nilai dan norma sosial kemudian harus di ending dengan statemen teologis?
memahami diri sendiri, daripada memahami orang lain. atau memahami diri sendiri melalui orang lain?
menurut teori stereotip versinya jalaludin rahmat, orang itu bertindak sesuai (menyesuaikan) dengan stereotip yang dilekatkan padanya. jadi kalo mas edi itu dianggap pinter (hehe, maap mas dibuat contoh), secara sadar/tidak sadar, tindakan mas edi-pun akan mengarah ke situ (setidaknya mempertimbangkan itu). ya, pada awalnya kita membentuk kebiasaan, membiasakan diri. tapi selanjutnya, kitalah yang dibentuk oleh kebiasaan itu.
"ataukah Tuhan yang mengatur semua ini?" itu sederhana saja mas, bukan "membawa2" Tuhan, tetapi bukankah kehadiran Tuhan juga sering kita nafikan? bagian dari kritik juga lho mas..
Dalam konsepsi Kang Jalal: Apakah artinya orang itu bertindak diarahkan oleh hal di luar dirinya, karena kata "dilekatkan" artinya "sengaja melekatkan", dan pasti ada "yang melekatkan", dan itu di luar dirinya, jika pemahaman saya benar, artinya yang "menyetir" diri seseorang justru "di luar" dirinya, begitukah Mas Fahmi?
Tuhan itu melampaui segala kategori kemanusiaan yang kita ketahui, sehingga tak dapat dikatakan Tuhan di mana, seperti apa, bagaimana, karena Ia tidak terdapat dalam ruang dan waktu, karena ruang dan waktu pun ciptaan-Nya....
Tak tahulah, saya juga mengutip..dari siapa? lupa he...
wallahu a'lam ...
Heheh...tapi perbincangan tentang Tuhan dalam studi Kalam (teologi) ini jangan diumbar di kampus, mahasiswa yang baru belajar agama pasti ngecap kafir kita he...
kayaknya lebih ke "belum membudaya" aja kok..
artinya, salah satu cara mengenal diri sendiri adalah dengan berdialog dengan diri, menuliskan perasaan-perasaan, dan sebagai-bagainya..
memahami orang lain seperti menunjukkan simpati, empati, belajar menjadi "pendengar" yang baik, berbicara tanpa terlalu banyak kata "saya", itu kan belum banyak dilakukan orang. malah kalo sesekali berempati justru mendapatkan cemoohan, karena sebagian konstruk budaya menganggap bersimpati itu bukan perilaku jantan..
trus gimana juga tuh?
mengenai kang jalal itu, ya kurang lebih begitulah. tadinya kita melakukan sesuatu sehingga lingkungan melekatkan stereotip, selanjutnya kita tahu dan berusaha "menepati" stereotip itu..
saya juga ada sedikit rasa gekisah ketika berpikir dan berbicara tentang Tuhan kok mas.
oh, yang katanya belajar agama "instan" itu?hehe.. (istilahnya kok ada-ada saja..)
mengenali diri dengan cara meditasi atau perenungan tentang perjalanan hidup, atau dengan melekukan ziarah abadi seperti Muhammad Iqbal, atau seperti perjalanan sufi yang melepaskan ruh-nya melayang lalu melihat jasadnya sekedar seongok daging, atau seperti mereka yang beritikaf masjid-masjid pada malam hari, atau seperti orang suci yang selalu membaca alam untuk mengenali diri. jadi untuk mengenali diri, jangan bercermin pada kaca. bercerminlah pada alam semesta, disitulah kita tau siapa diri kita. apakah diciptakan?
kapan di ciptakan?
kenapa diciptakan?
bagaimana diciptakan?
untuk apa diciptakan?
lalu bagaimana dengan kalimat "jin dan manusia diciptakan untuk beribadah..."
Posting Komentar