online degree programs

Rabu, Juni 04, 2008

Antisipasi Pelanggaran Jelang Kampanye Pilgub


Mendekati masa kampanye pilgub Jateng, antisipasi pelanggaran sangat diperlukan bagi lembaga panwas, pemantau bahkan oleh masyarakat. Pelanggaran berdasarkan aturan main (rule of game) sarat terjadi dilakukan oleh kandidat dan tim sukses yang memanfaatkan peluang yang tersedia dari kesempatan dan interpretasi kententuan yang ada. Maka patut bagi lembaga panwas, pemantau, masyarakat menguasai peraturan dan menjunjung penegakan hukumnya (law enforcement).


Kampanye terbuka memiliki potensi besar terjadi pelanggaran. Pasalnya, bentuk kampanye ini layimnya di ikuti dengan arak-arakkan di jalan raya yang menganggu ketertiban umum. Disamping itu, arak-arakkan berpeluang menyajikan pelanggaran lalu lintas, sebab saat ini masih tren-nya “tidak pakai helm” untuk sebuah gaya modern dalam ber-arak-arakkan.

Bentuk kampanye ini tereduksi menjadi ajang sosialisasi politik yang sebenarnya sudah tidak lagi relevan. Sebab strategi persuasif yang menjadi ruh praktek kampanye pada akhirnya bias karena kesemrawutan yang disebabkan suasana yang tidak kondusif. Peserta kampanye hanya ingin mendapatkan sajian hiburan yang jauh lebih nikmat daripada materi kampanye. Mahlumlah musik dangdut dalam kampanye terbuka dibuat lebih mengasyikkan ketimbang orasi yang diteriakkan oleh juru kampanye.

Arak-arakkan salah satu dari pelanggaran kampanye yang di atur dalam pasal 60 huruf j yang menjelaskan bahwa dalam berkampanye pasangan calon atau tim kampanye dilarang “melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya”. Kententuan ini sudah sangat jelas, namun –disetiap berlangsungnya pilkada– oleh pasangan calon atau tim kampanye seperti tidak di gubris, mereka tetap saja melakukan pawai yang pada umumnya bersamaan dengan adanya kampanye terbuka. Ironisnya, pawai atau arak-arakan di perbagai pilkada kadang di legalkan oleh kesepakatan penyelenggara, panwas, dan pasangan calon atau tim kampanyenya yang diputuskan pada rapat koordinasi persiapan kampanye yang mengijinkan pawai arak-arakkan, namun dengan kuantitas yang telah di atur.

Ada baiknya kententuan hukum dipercaya untuk ditegakkan tanpa terjadi renegosiasi tertentu yang menciptakan pelanggaran terhadap keberadaan regulasi hukum itu sendiri. Kententuan yang longgar, memberikan kesempatan bagi pasangan calon atau tim kampanye melakukan tindakan kampanye yang tak etis yang pada hakekatnya melanggar kententuan hukum sesungguhnya.


Bentuk-bentuk larangan kampanye

Beragam pelanggaran kampanye dikonstatasikan PP No. 6 Tahun 2005, khususnya pasal 60 huruf i sampai j, pasal 61, dan pasal 62. Mengulas kembali kententuan yang mengatur pelanggaran tersebut guna mengantisipasi kemunculannya dalam praktek kampanye dalam pilgub Jateng sangatlah diperlukan. Pasal 60 lebih menjelaskan beberapa hal yang abstrak dan transendental, pelarangan mempersoalkan ideologi Negara; memunculkan potensi konflik agama, suku, ras, golongan; larangan untuk kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign); dari konseptual ke teknis terdiri dari: pertama, larangan merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain. Pelanggaran ini pada umumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti halnya baliho yang di corat-coret dengan bolpoin/ spidol di sepanjang jalan, ada yang gambar calon di tambahi kumis, giginya di warnai, merupakan perbuatan oknum yang tidak terang-terangan dan sulit dibuktikan.

Kedua, larangan menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Banyak kalangan menilai bahwa pelanggaran ini rentan terjadi oleh pasangan calon atau tim kampanye yang memiliki jabatan publik di pemerintahan. Baik pelanggaran tersebut dilakukan diri sendiri atau dengan memanfaatkan kedudukannya untuk menyediakan, memfasilitasi, dan menyelenggarakan kampanye dengan menggunakan fasilitas atau anggaran pemerintah.

Ketiga, larangan menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan. Larangan kampanye juga tidak memperkenankan bagi calon mensosialisasikan diri di sekolah-sekolah/ kampus-kampus atau yang sejenis tempat pendidikan lain, juga tidak diperbolehkan berkampanye di pondok pesantren, masjid, gereja, wihara, dan tempat ibadah lain. Di jawa tengah kayaknya lebih akan banyak calon yang berminat pada forum-forum pengajian umum yang mungkin cukup banyak dilaksanakan di tempat-tempat peribatadatan, mengingat calon pemilih yang mayoritas muslim.

Terahir, larangan melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya. Pelanggaran ini paling banyak terjadi ketimbang pelanggaran-pelanggaran yang lain. Butuh ketegasan aparat gabungan panwas dan kepolisian yang menindak bentuk-bentuk pelanggaran seperti ini.

Selanjutnya, pasal 61 dan pasal 62 menjadi rujukan sah bagi netralitas PNS. Kampanye di larang melibatkan hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN/BUMD, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, Kepala Desa, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai peserta kampanye. Kententuan ini juga mensyaratkan “cuti” yang diberikan oleh Menteri atas Nama Presiden kepada kandidat yang pada saat yang bersamaan masih menjabat sebagai kepala daerah.

Antisipasi Pelanggaran

Wilayah kerja panwas paling dominan dalam urusan ini. Kerja panwas yang profesional dan proporsional sangat menentukkan penuntasan pelanggaran kampanye pilgub. Disamping mengamati berdasarkan kententuan pelanggaran kampanye sebagaimana yang di sebutkan dalam PP No. 6 Tahun 2008, panwas juga mengawasi pelanggaran kampanye di luar jadwal. Dengan struktur –panwas kota/ kabupaten berjumlah 5 orang dan panwascam 3 orang– yang ramping sulit untuk bisa memaksimalkan penuntasan pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon atau tim kampanye. Sehingga diperlukan dukungan pemantau, masyarakat dan berbagai pihak.

Dengan kata lain dukungan pemantau, masyarakat dan berbagai pihak yang acapkali memberikan informasi seputar pelangggaran yang dilakukan oleh pasangan atau tim kampanye, diharapkan mampu mendukung penuntasan kemungkinan banyaknya pelanggaran yang akan terjadi semasa kampanye berlangsung. Kendala mampu dirasakan bagi mereka masyarakat awam yang hendak berpartisipasi melaporkan pelanggaran, bagaimana prosedur dan mekanismenya memang tidak hanya perlu di sosialisasikan, tapi juga di realisasikannya pengaduan center, yang terdiri dari aparat gabungan panwas, kepolisian, satpol PP, yang terpenuhi standar informasi seputar pelanggaran kampanye.

Dengan demikian, masyarakat tidak kesulitan berpartisipasi dalam pengaduan pelanggaran. Lebih melegakan lagi manakala aduan masyarakat tersebut di tuntaskan dengan baik oleh aparat gabungan yang mampu berkerja cepat dan efektif.


Awaludin Marwan, Orang termarjinalkan oleh komunitas, pedamba gerak bersama, tapi tersingkir oleh individualistik speciesnya

3 komentar:

Anonim mengatakan...

pertanyaan saya sangat sederhana mas,
lha besok itu mas luluk milih siapa??
hehe

tapi jujur mas, kemaren pas pulang (jepara) saya benar-benar kaget. dibandingkan pemilu bupati tempo lalu, pemilu kali ini (gubernur) terkesan tidak ada gregetnya, jauh lebih "panas" kampanye" bupati.. menurut cerita tetangga dan ortu saya "jangankan fulus, lha kaos aja ga ada!!"
nah, ini kan ada banyak kemungkinan, bisa jadi memang kampanye semacam itu memang sudah mulai berkurang. atau malah lebih canggih.. tetapi melihat jumlah biaya kampanye yang milyaran itu, lha kok saya jadi miris..
ini tentu lebih banyak lagi kemungkinan. bisa jadi MMT, spanduk, pamflet, iklan TV memang muahal. bisa juga yang seharusnya "dibagikan" kepada rakyat ternyata tidak sampai pada yang diamanatkan (rakyat)..
kalau kemungkinan ini yang bener, kan ironis banget tuh!

Anonim mengatakan...

Model kampanye bila di amati lebih jauh tak ubahnya political marketing yang hanya berorientasi pada knsepsi pembentukan citra di benak pemilih. Tidak lain hanya untuk mengejar efisiensi dan efektifitas, karena Jawa Tengah begitu luas, hanya langkah intrumental yang mempu menerpa banyak khalayak dengan menggunakan media dan even besar. Kepanasan hajatan ini di samping karena arus isu (BBM, Monas, UNAS, Sengketa Perairan Australia-Indonesia) juga mereka yang berkepentingan jaraknya lumayan jauh dengan pemilih. Sehingga ikatan emosinal di tengah-tengah tipologi pemilih jawa tengah yang emosional juga menjadi sederatan faktor kekurang menarikkan hajatan politik jateng ini.

Anonim mengatakan...

Luk sekali ini aku pengen komentar...lama aku gak ngomong sama dikau...

Bukankah karakter pemimpin itu tak cukup dibangun oleh imej yang tercipta dari citraan media? alih-alih ia mencerminkan karakter dan kualitas diri calon, justru ia menipu, membohongi, membodohi, dan menjadikan -meminjam istilahnya Baudrilard- tubuhnya sebagai fetisisme (berhala) komoditas?

Bukankah yang selayaknya sekarang dipikirkan adalah, bagaimana menjadikan para pemilih itu menjadi kritis dan tak bisa dibodohi oleh citraan itu? Bagaimana membaca teks citraan media atas calon itu secara kritis agar pemilih menjadi cerdas? Dan kemudian bagaimana mengontrolnya dalam skala kolektif?

Ini pertanyaan bagimu, yang paling penting dalam demokrasi apa? Budayanya, proseduralnya, substansinya atau apa? Yang perlu dikuatkan dalam demokrasi kita ini apanya?