Akhir tahun ajar adalah saat yang membuat banyak manusia menjadi lebih sibuk dari hari biasa. Semua institusi pendidikan bersiap-siap melepas dan menerima anggota barunya. Bermula dari Ujian Nasional, selebrasi kelulusan, pendaftaran sekolah, dan tak lupa keributan kecil tentang sepatu dan buku baru. Terjadi semacam babak baru kehidupan yang melibatkan tawa dan air mata. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Arinie Hidayati, karena adanya proses meninggalkan sesuatu untuk menempuh sesuatu yang baru. Tetapi di lain sisi, hal yang menarik dari dinamika itu adalah selalu adanya kontroversi yang seperti sudah menjadi keniscayaan.
Ujian Nasional tentu bukan hal asing bagi siswa SD, SMP, maupun SMA. Ujian penuh ketegangan, sebuah ujian penentuan kelulusan seorang siswa dari institusi pendidikan. Ketidakseimbangan ketika durasi belajar sedemikian tahun hanya ditentukan dengan beberapa jam saja menjadi ”bahan obrolan” banyak media dan menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Ujian Nasional mejadi hal yang hangat untuk beberapa saat, sebuah kontroversi bersifat ritualistik disertai regulasi yang berputar-putar.
Tak berbeda dengan tragedi Monas 1 Juni lalu, yang oleh Amien Rais dikatakan sebagai pengalihan isu kenaikan BBM, demikian halnya dengan selebrasi kelulusan Ujian Nasional. Konvoi dan aksi coret-mencoret seragam sekolah yang dianggap mengganggu ketertiban umum pun menimbulkan kontroversi. Benturan antara ekspresi kebahagiaan di satu pihak, dan ketertiban umum di pihak lain. Bersamaan dengan ramainya corat-coret seragam sekolah, luntur pulalah perbincangan tentang Ujian Nasional. Sedangkan keributan kecil tentang buku dan sepatu baru seolah-olah mengucapkan selamat tinggal bagi penyelesaian polemik Ujian Nasional.
OKKA ; Obyek Kontroversi Kelas Atas
Dalam lingkup yang lebih kecil, Unnes terkesan tak mau ketinggalan untuk ikut andil dalam berbagai ”keributan” akhir tahun ajaran. Demi menyambut kedatangan anggota keluarga baru, sebuah acara akbar pun di gelar, Orientasi Kehidupan Kampus (OKKA). Dari nama kegiatan tersebut, dapat dilihat bahwa OKKA diharapkan dapat mempersiapkan anggota-angota baru kampus agar terbiasa dengan kehidupan kampus. Kegiatan ini mempersiapkan mahasiswa baru agar terbiasa dengan perbedaan-perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan kehidupan SMA.
Selanjutnya, ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan sejatinya merupakan pemicu ketidakpuasan, yang pada akhirnya berpotensi menjadi sebuah konflik dan kontroversi. Pada kenyataannya, banyak kontroversi lahir dari 4 kata tersebut (OKKA). Mulai dari kekerasan terhadap peserta, pelecehan terhadap panitia, penyelewengan dana, keributan-keributan selama kegiatan, sampai dengan klaim materi yang tidak sesuai dengan hakikat OKKA. Berbagai ketidaksesuaian ini mendorong pihak rektorat untuk berupaya memberlakukan Surat Keputusan DIKTI (Th. 2001) tentang pelarangan kegiatan semacam itu, yang sekarang ini masih dalam tahap Rancangan Surat Keputusan Rektor. Upaya pelaksanaan OKKA yang ”mendidik” terlihat dari poin-poin rancangan Rancangan Surat Keputusan tersebut dengan memberlakukan penghapusan atribut, pembatasan kurikulum yang dirasa bisa mewujudkan OKKA bercorak akademis, dan juga penghematan (baca : pemotongan) biaya operasional kegiatan. Dan sampai sekarang pun kontroversi dan negosiasi sebagai buntut Rancangan Surat Keputusan tersebut masih belum terselesaikan.
Sebenarnya, permasalahan tidak terletak pada ”kita harus memperjuangkan ini!” atau ”hal ini dilakukan agar tidak terjadi keributan!”. Tetapi lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal seperti yang dikatakan oleh Yasraf Amir Piliang sebagai hiper reality. Feomena gunung es yang terlihat kecil di permukaan, tetapi dibalik itu ada ”kejadian-kejadian” lain yang disamarkan oleh kejadian permukaan tersebut. Atau meminjam bahasa Jean Bauldilldard sebagai simulacrum, sebatas rekayasa dan kepura-puraan. Atau menurut hermeneutika Saussure sebagai signifier (penanda), yang dalam hal ini terdapat banyak kemungkinan apa yang ditandainya.
Hidup Mahasiswa!
Ahmad Fahmi Mubarok,
Mahasiswa FIP Unnes
3 komentar:
Mas Fahmi, saya kok tidak melihat terlalu jauh dan kemudian mengaitkannya dengan konsepsi hipersemiotik Yasraf itu, pun dengan Simulakra Baudrilardian, tapi oke klo sekadar sebagai penanda (btw Saussure itu strukturalis kayaknya, kajiannya tidak terlalu hermeneutik bagi saya, pun dalam kategorisasi hermeneutika filosofis, teoritis, dan kritis oleh Joseph Bleicher, Saussure tak disinggung kecuali dalam hal linguistik, bukan hermeneutik secara langsung, walaupun kedua saling terkait).
Yang jelas ada dua hal yang Mas Fahmi bicarakan, pertama soal FPI, BBM,UN, coret-coret kelulusan c situ, bagi saya hal-hal itu relatif setara secara substansial. Tapi sama sekali berbeda dengan soal OKKA. UN dan ingar-bingar kelulusan lebih pada momen-momen tertentu yang saling berkejaran dan “agaknya” menutupi momen lainnya, sedangkan OKKA lebih pada aksi-reaksi. Hiperealitas Yasraf dan Simulakra Baudrilard bagi saya adalah ketika teks, baik media maupun fenomena sosial, dikesankan lebih daripada realitasnya dan “bukan hal yang sebenarnya”, sementara ingar-bingar lulus UN tidak di”besar-besarkan”, demikian juga dengan BBM dan FPI (kasus Monas kemarin). Memang kasus BBM, Monas, UN, dan ingar-bingar kelulusan bisa saja dikaitkan dengan hipersemiotika dan bacaan Baudrilard, tapi agaknya kurang tepat, kalau tujuannya adalah mengetahui ada apa di balik teks atau fenomena itu.
Yasraf memang selalu hiper, ia posmodernis bagi saya sebagaimana Baudrilard, walaupun ada karya Baudrilard yang mengajak untuk meninggalkan posmo, tapi basis epistemologi keduanya relatif posmo. Konsepnya selalu akan “hampir” membongkar, tapi tidak benar-benar membongkar sebagaimana dekonstruksionisme (walaupun dekonstruksionisme dianggap bagian dari posmo), ia akan selalu “hampir” mengetahui secara pasti di balik teks dan fenomena, tapi tidak benar-benar mengetahui sebagaimana hermeneutika kritis dan teori kritis lain. Dan posmo selalu cair, tidak satu, ia jamak sebanyak orang yang mendefinisikannya, karena ia tak percaya pada narasi besar, lebih percaya pada narasi kecil, walaupun pada akhirnya dirinya sendiri menjadi sebuah narasi besar. Soal OKKA…mmmm…yah, selalu ada saja kepentingan di balik sebuah keputusan birokrat, dengan dalih kebaikan apapun itu.
Saya memang tidak ahli semiotika, apalagi hipersemiotika Yasraf yang sering membawa definisi hiperealitas, saya juga tidak ahli posmo, apalagi Baudrilard, kalaupun hipersemiotika dan Simulakra digunakan untuk menganalisis kasus BBM, Monas, UN, ingar-bingar kelulusan, dan OKKA, hasilnya seperti apa ya Mas Fahmi? Mohon dianalisiskan buat saya, biar mudheng getooo…. Salam bwt shbat semuanya yang sering copy darat…
waduh, agaknya saya terlalu lancang nih.. maksudnya belum paham tapi udah brani ngomong, hehe...
ya mas edi, rentetan itu memang seperti terputus, ketika dari awal berbicara tentang UN, corat-coret, lalu tiba-tiba meloncat ke OKKA. tapi bukankah itu semua merupakan tiupan terompet tahun baru pendidikan? memang brbeda secara substansial. tetapi akan ada titik kesamaan lain jika mengingat bahwa UNNES (LK) menganalogikan "dunianya" dengan sebuah negara:negara kecil, miniatur negara.
mengenai hiper realitas, barangkali saya keliru memahaminya. tapi baiklah, begini pemahaman saya mas edi (dan mohon masukannya)..
OKKA adalah sebuah momen dengan semua "keributannya", dan ini saya lihat sebagai teks. tapi apakah yang "diributkan" oleh kami (mahasiswa) itu merupakan yang sebenarnya? tentu ini bukan permasalahan substansi, tetapi lebih kepada ada apa dibalik itu? dan terkaan saya, [tentang pengambil alihan OKKA dan perkembangannya sampai saat ini (tadi pagi LK se-Unnes melakukan aksi di depan rektorat)] hal ini tidak lepas dari apa yang mas edi tulis di "waspadai NKK baru" itu. artinya ini merupakan rancang bangun, yang bertujuan membekukan LK. karena bukan rahasia bahwa Indonesia adalah negara yang "tersakiti" oleh mahasiswa.
dan hal yang aneh bagi saya, ketika rapat persiapan aksi tersebut (malam lalu), tidak satu pun yang berbicara tentang itu (dan saya juga tak berbicara apa-apa). hanya berkutat dan berpusat pada OKKA, walaupun ada yang mengkaitkan dengan sebuah harga diri.
nah, jika maksud saya demikian, bagaimana lebih tepat membahasakannya kangmas edi?
Ah ya nggak gitu….saya malah yang tanya soal Baudrilard dan hipersemiotika, karena saya betul-betul bukan ahli tentang itu, saya paham posmo dari bacaan kedua dan ketiga, bacaan pertama hanya karya Lyotard, itu pun dipinjem Mas hariez yang mpe sekarang blom dibalikin…padahal fotokopian loh, isinya tentang posmo dan hermeneutik, klo ketemu Mas Hariez tolong dibilangin, mau tak ambil gitu…kemarin pas ke Semarang lupa.. atau titipin ke Mas Dias ajah…
Btw….jika begitu maksudnya (tentang OKKA) mungkin akan lebih “nendang” klo menggunakan analisis hegemoni dari Gramsci, Dominasi dari Mazhab Frakfurt, dan reifikasi dari Lukacs, naturalisasi budaya dari cultural studies (nama ahlinya lupa hehehe) termasuk juga konsepsi pendidikan kritis Freire, Illich, Giroux, dan Michel W. Apple (untuk Apple silakan Tanya Pak Ali Formen untuk konsepsi teoritisnya, karena tesisnya Pak Ali di Australia mengenai “Lansdcap Politik Pendidikan Anak di Indonesia” salah satunya memetik Apple klo gak salah, di samping Foucault, saya udah baca sedikit tesisnya, sayang versi Inggris hehehe). Saya akhir-akhir ini tertarik dengan Apple karena tulisannya yang kritis tentang dehumanisasi teknologi pendidikan.
Klo menggunakan hipersemiotika dan bacaan teks hermeneutika general, termasuk bacaan posmo Baudrilard, agaknya harus juga mengambil konsepsi teri kritis, terutama konsepsi Gramsci, Mazhab Frankfurt, Lukasc, dan terlebih lagi para pendidik kritis seperti Freire dan Apple. Mungkin pemahaman saya salah, tapi agaknya bacaan Baudrilard dan hipersemiotika lebih berupa “membaca” teks saja, ruh posmo relatif “membiarkan” saja bacaan dengan multitafsir yang bisa disematkan padanya, (semiotik/hipersemiotik yang secara general adalah bagian dari paradigma hermeneutic pun sebenarnya sama, namun terdapat varian hermeneutika –yang –kritis) sebagaimana ia membiarkan realitas jamak dan tidak berusaha untuk menyatukan realitas itu seperti epistemology modernisme yang positivis.
Semiotika dan hiper-semiotika adalah studi linguistic, yang di dalamnya juga terdapat keragaman paradigma, termasuk strukturalisme Saussure, Wittgenstin, yang “lebih banyak” berkerangka positivis, karena “masih” mengandaikan pembaca mesti mencapai akikat makna objektif (makna sebenarnya) tanpa campurtangan dari si pembaca/penafsir, Saussure sebagai strukturalis lebih jelas lagi menyatakan bahwa bahasa memiliki struktur sendiri “terlepas” dari konteks budaya. Agaknya hipersemiotik, melampaui konsepsi semiotika tradisional dengan sedikit banyak mengambil konsepsi kritis dalam analisisnya, tapi dalam tulisan Mas Fahmi kemarin, bagi saya tidak termasuk bahasan hiperealitas, lalu masuk bahasan apa…tanya Yasraf hehehe.
Dengan Gramsci, Freire, dan Apple yang sudah focus pada ranah pendidikan rasanya sudah cukup untuk dapat membedah ideologi dan kepentingan di balik “teks”, “moment”, OKKA sekarang ini di Unnes. Hehehe…saya sebenarnya manas-manasi Mas Fahmi, eee gak panas-panas biar bergerak (catatan: “bergerak”nya satu kali, klo dua kali [bergerak-gerak] jadi mencurigakan hehe)…jangan2 tipe diesel ya, lama panasnya… ya ngomong to Mas di forum rapat itu, walaupun saya menduga gak akan digubris, yak arena mereka tidak minat sama intelektual seperti Mas Fahmi hehehe…
Edi Subkhan, penulis ajah...
Posting Komentar