online degree programs

Jumat, Juni 20, 2008

SINDROM KETERATURAN: MENYOROTI KEBIJAKAN OKKA

Tak hanya negara, yang sukanya ngatur-ngatur. Sekarang para akedemisi juga lagi kena penyakit yang demikian. Kecenderungan ini telah lama terlihat. Dari kegiatan ilmiah mahasiswa yang hampir sepenuhnya diambil alih para pejabat kampus, sampai dengan pelaksanaan kuliah lapangan. Dan yang terbaru adalah pergantian OKKA menjadi Pengenalan Akademik yang dipanitiai para dosen.

Asumsi yang mendasari kebijakan tersebut tentu saja ialah: bahwa mahasiswa itu tidak becus apa-apa. Tentu saja ada yang boleh sepakat ataupun tidak sepakat mengenai asumsi ini. Berasumsi demikian bukan saja merupakan kekeliruan cara berpikir tapi juga berbahaya bagi proses pembelajaran itu sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa filosofi pengajaran kita ialah filosofi behavioristik, bahwa semua harus ditata sedemikian rupa biar si pembelajar ”dapat belajar” dengan optimal. Berdasarkan asumsi para pejabat kampus diatas, mari kita telah cara berfikir mereka satu per satu, baik alasan serta dampaknya.

Pertama, tidak dapat disangkal, bahwa penggambilalihan kegiatan OKKA oleh pihak rektor dikarenakan alasan ”kekacauan” yang pernah terjadi di berbagai event kegiatan orientasi kampus pada masa lalu merupakan ulah dari panitia sendiri (baca: mahasiswa). Sifat militeristik, penugasan yang terkesan aneh, corak kegiatan yang kurang ilmiah dan lain sebagainya. Dengan demikian, menganggap panitia sebagai tidak dapat ”mendidik” calon mahasiswa baru bukan saja merupakan fakta nyata tapi juga merupakan realitas yang perlu dipahami. Tapi pertanyaannya, apakah jika mahasiswa bersikap dan berbudaya tidak ilmiah ialah kesalahan mahasiswa itu sendiri? Atau itu sebenarnya dipengaruhi oleh kultur akademik secara umum, yang sebenarnya memang telah lama tidak ilmiah?

Kalau saya lebih memilih pertanyaan yang terakhir. Bukti dari kekurangilmiahan kultur akademik sudah menyolok sejak lama. Dari event-event rutin seperti peringatan hari nasional, sampai dengan peringatan Dies Natalis dan beberapa kebijakan kampus yang cenderung melenceng dari kultur ilmiah. Seperti yang pernah disinggung dalam diskusi KEP, mengapa dalam melaksanakan peringatan Hardiknas, kok kita malah melakukan upacara bendera, mengapa tidak melakukan diskusi publik, seminar atau jagong ilmiah. Kan yang begituan lebih intelek? Tapi apa yang dilakukan malah sebaliknya. Akademisi kita lebih suka disengat terik matahari untuk menghormat bendera, kemudian dibacakan doktrin dari Gubernur atau Menteri Penddiikan. Barangkali hal ini memang sudah hobi, atau barangkali karena akadimisi kita memang tidak pernah berfikir. Kalo demikian, salahkah apabila mahasiswa sendiri tidak berfikir ilmiah? Wong kulturnya saja memang tidak ilmiah.

Kedua, selain kultur, bisa jadi penyebab kegiatan orientasi mahasiswa yang telah lama tidak ilmiah karena menurut cara berfikir panitia, bahwa tugas yang aneh-aneh, dan terkesan militeristik, merupakan rasionalisasi dari panitian bahwa itu demi pendewasaan bagi mahasiswa baru. Argumen tersebut tentu saja logis dan rasional. Walaupun kesannya kurang tepat apabila dilaksanakan dalam kultur kampus. Tapi dengan menggunakan alasan tersebut untuk mengambil alih seluruh kegiatan mahasiswa atas dasar keteraturan dan keamanan kampus merupakan kebijakan spekulasi yang dapat mengorbankan proses pembelajaran yang seharusnya didapat oleh mahasiswa baru maupun panitian sebagai kakak kelas.

Ketiga, dampak dari pengambilalihan kegiatan OKKA jelas sangat membuat berang para aktivis kampus. Setelah sekian lama dikotak-kotakan menjadi agen event organizer (EO) dan sebagai pelaksana lapangan kepentingan birokrat kampus. Pengambilalihan kegiatan OKKA jelas-jelas menodai kemandirian para aktivis sebagai agen pembelajar. Mana mungkin terjadi pembelajaran apabila kemerdekaan serta kemandiriannya telah diambil alih dengan paksa melalui surat sakti dengan label Peraturan Rektor. Keputusan ini, walaupun dengan maksud bijak, dari sisi relenvansi pembelajaran jelas bukan merupakan langkah yang bijaksana.

Dan yang terkhir, dan semoga saja dugaan saya keliru, hal ini terkait hasrat fulus dari proyek besar yang namanya OKKA, bayangkan apabila semua pengeluaran yang dibelanjakan oleh mahasiswa baru dapat masuk ke Rekening Rektor, wah bisa kaya gua? Ndak usah susah-sasah kayak gua (baca: Giy) untuk berdagang. Wah repot-repot...

Dengan demikian, demonstrasi yang dilakukan oleh fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan kemarin untuk menuntut agar OKKA kembali diurus mahasiswa, bukan saja reaksi yang wajar. Tapi ini juga merupakan bukti kebenaran yang telah lama ada bahwa: Paksaan dalam bentuk apapun tidak memberi manfaat, sebaliknya, dia akan menciptakan kekacauan!

Giyanto: Status masih Mahasiswa

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Kelaliman lahir di saat pemimpin jadi penguasa
Mereka tidak membuat rasa nyaman
Mereka menebar ketakutan
Mereka memberangus suara yang beda
Mereka membunuh anak buah yang lalai
Kekuasaan telah membutakan mata hati seorang pemimpin
Pemimpin yang hanya punya niat baik bagi dirinya sendiri
Pemimpin yang bersetubuh menjadi penguasa
Penguasa yang haus pujian dan tuli aspirasi
Penguasa yang tak pernah berdialog
Kalupun berdialog hanya untuk meredam amarah dan bertekad mengalahkan pertentangan
Mereka hanya mengeluarkan kebijakan yang tak bijak

Anonim mengatakan...

Luk, kalo menohok jangan setengah2....siapa to yang you maksud? he2....

Anonim mengatakan...

Siapa saja...
Pihak-pihak yang merasa disindir saja.ha ha

Anonim mengatakan...

Berarti Nyindir aku.....