online degree programs

Rabu, Juni 18, 2008

Indonesia ; Sebuah Dongeng Tentang Negeri Di Awan

Negara adalah organisasi, yang dipersyarati adanya wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Kemunculan nama Indonesia untuk pertama kalinya dalam daftar nama negara tentu merupakan kesanggupan pemenuhan syarat tersebut. Tetapi hal yang dilupakan, bahwa pada dasarnya negara adalah sebuah konsep abstrak yang ”dipaksakan” untuk membahasakan dirinya dalam realita. Bisa jadi pada mulanya persyaratan adanya negara seperti yang diungkapkan di atas, tidaklah muncul sebelum negara itu ada, melainkan melalui analisa dari negara yang telah ada dan juga kesepakatan bersama tentang syarat yang pada akhirnya diajukan.

Hal ini tak harus didekonstruksi, karena pengaruhnya yang telah meluas dan terinternalisasikan dalam mindset masyarakat, lagipula salah kaprah bukan hal istimewa terjadi dalam sejarah.

Indonesia ; Hanya Setengah Negara

Merujuk dari persyaratan sebuah negara, mungkin saja Indonesia pernah memilikinya pada masa lalu. Setelah mengalami perjalanan waktu demikian panjang, Indonesia tentu telah mengalami berbagai perubahan. Sekarang ini, semua syarat negara yang (tadinya) dimiliki oleh Indonesia mengalami ”konslet” yang sangat berpotensi menghilangkan Indonesia dalam peta dunia.

Pertama, dengan batas wilayah yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke, Indonesia seperti tak mampu lagi menghargai batas yang telah diklaimnya sendiri. Kemerdekaan Timor Timur mengisyaratkan adanya kekecewaan mendalam yang dirasakan. Pengkhianatan batas teritori oleh negara lain seperti klaim terhadap pulau Ambalat tak ayal mengukuhkan ketidakmampuan Indonesia mengurus tubuhnya sendiri. Dalam hal ini ada dua hal yang telah terlampaui, pengingkaran batas secara fisik, dan juga pengingkaran atas ikatan emosional antar wilayah. Hal ini bisa jadi merupakan suatu bentuk pelampiasan atas kejenuhan praktik sentralisasi, sehingga mengembangkan perasaan centraphobia (ketakutan terhadap pusat) yang tersusun rapi sepanjang rentang orde baru. Euforia otonomi daerah sebagai perubahan habitus, meminjam bahasa Bordieu, dilakukan karena sentralisasi yang dianggap telah keterlaluan dalam mengintervensi kebebasan banyak pihak.

Kedua, ratusan juta manusia pemegang KTP Indonesia adalah bukti pemenuhan syarat yang menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara. Namun hal ini tidak berarti ratusan juta manusia itu adalah milik Indonesia, (kebanyakan) mereka hanya secara kebetulan terlahir di dalam garis batas wilayah Indonesia dan ”dipaksa” menyatakan diri sebagai orang Indonesia. Tentu menjadi berbeda jika semua manusia mempunyai kebebasan untuk memilih negaranya, negara-negara di seluruh dunia ditempatkan dalam sebuah daftar yang bisa dipilih, salah satunya Indonesia. Permasalahan dalam syarat kedua yang dimiliki oleh Indonesia telah berbuah konflik dengan berbagai macam latar belakang dan pemicunya. Indonesia telah terdepak dari pentas konflik masyarakat. Pola pikir oposisi biner, ”aku adalah A, dan karena kamu tidak sama denganku, maka kamu adalah B”, sebagai pelaku pendepakan atas Indonesia dalam setiap konflik yang terjadi. Kehadiran Indonesia hanya sebatas tedheng aling-aling dan pembenaran tindakan, agar tak dipeyorasikan sebagai tindak separatis.

Ketiga, kedaulatan pemerintah tak lagi dianggap sakral. Secara logika sederhana, pemerintah ada karena ada yang diperintah. Pemerintah dibuat untuk ”menetapkan perintah-perintah” demi kepentingan orang yang diperintah. Jika ”perintah-perimtah” yang ditetapkan oleh pemerintah kini menjadi bulan-bulanan aksi demonstrasi, memperlihatkan adanya penolakan atas ”perintah” tersebut. Pemerintah tak lagi mempunyai daulat jika melihat berbagai penolakan yang meluncur tajam dari pihak yang merasa termarjinalkan.

Keempat, pengakuan luar negeri. Pindah-tangan pulau Ambalat, pembakaran kapal nelayan, pengusiran Sutiyoso, tak kurang bukti pengingkaran luar negeri terhadap Indonesia. Indonesia seolah tak ada, hanya cerita negeri dongeng tentang negara yang penuh bahaya tetapi terlalu indah untuk tidak dikunjungi.

Indonesia ; Antah-berantah

Dengan kecacatan syarat tersebut, ternyata Indonesia masih saja menghabiskan energi untuk perpecahan, provokasi, adu domba, narsisisme kekuasaan, eksklusivisme kelompok, egoisme daerah, diertai buaian romantisme masa lalu. Indonesia seakan telah kehilangan dreamland tempat berlabuh, menurut Yasraf Amir Piliang.

Pola chaos yang terbentuk mengisyaratkan kesunyian visi, sehingga harus memaklumkan munculnya opsi penghapusan Indonesia, ke-tak harus adaan-Indonesia. Mengembalikannya pada prinsip-prinsip dasar manusia, yang tak membutuhkan negara. Tetapi bukankah itu juga sebuah romantisme masa lalu, pengingkaran terhadap kenyataan bahwa ini adalah permasalahan yang ditimbulkan oleh Indonesia? Sampai di sini Indonesia harus berani menyelesaikan masalah sebagai Indonesia, sebuah penyelesaian yang Indonesiawi dengan meneguhkan eksistensi ”wilayahnya” terhadap rakyat dan pihak asing melalui kedaulatan pemerintah.

Terus bertahan dalam kungkungan pola semacam itu tak berpengaruh apa-apa selain melebarkan tawa ”si monyet”, sekaligus merintis penulisan novel berjudul ”Indonesia ; Sebuah Dongeng Tentang Negeri Di Awan”

Ahmad Fahmi Mubarok

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Eh...Indonesia negara ya???

Anonim mengatakan...

indonesia bubarrrrrrrrrrrrr

sekarang tidak ada lagi NKRI (Negara Republik Indonesia) karena NKRI sudah bubar sejak disahkannya UU otonomi daerah...

sekarang indonesia jadi serikat/liga dari kabupaten-kabupaten dengan raja-raja daerah yang namanya BUPATI.....