online degree programs

Minggu, Juni 22, 2008

Menguak Tabir Kontur Pemikiran Klasik


Menguak Tabir Kontur Pemikiran Klasik1

Oleh : Awaludin Marwan, SH2



Menyelami akar kultur pemikiran barat, jelas sudah kita sama halnya berhadap-hadapan dengan sejarah filsafat barat ataupun dasar-dasar filsafat. Pembicaraan asal muasal, karateristik, pasang-surut dan gaya pemikiran klasik dalam terminologi yang dialektis, tentu bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Karena pemikiran klasik sarat akan karya metodologis akan alam dan mengalir tanpa sistematika yang jelas. Ada semacam perbedaan yang tipis antara buah karya pikir intelek dengan lamunan tanpa rumus pijakan rasionalitas yang bisa dipertanggung jawabkan.

Penulis mencoba memberanikan diri untuk menyederhanakan konteks pemikiran klasik dalam era perkembangan yang dibatasi oleh eksistensi ajaran Sokrates. Dari titik ini, dipahami bahwa hanya ada dua perkembangan dasar bangunan pemikiran, yakni praSokrates dan sesudahnya. Oleh karenanya, pemikiran sokrates pada awalnya hanya hasil antithesis atau reaksi dari pemikiran kaum sofis.3

Skema dasar pemikiran praSokrates diilhami oleh kegelisahan tentang alam dan sesuatu yang ada –baik itu terbatas maupun tak terbatas– yang tercerai berai (ekkrisis) tanpa sistematika dan rasionalitas yang jelas. Kekalutan tentang siang yang berubah menjadi malam, terbitnya matahari dan munculnya rembulan, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Pengenalan tulisan sempat disepakati menjadi pintu gerbang permulaan pemikiran, umpamanya, setelah zaman batu muda (neolithikum), pengetahuan mesir dengan piramidanya, sungai nil dan babylonia di daerah Mesopotamia 3000 SM sekitar lembah Trigis dan Euphrat yang telah mengenal tulisan4. Pemikiran dan gagasan tentang hubungan antarmanusia dan cara membangun komunitas/ kota sudah ada, cumin ketokohan tak banyak tampak, atau sengaja tak ditampakkan (dalam kerangka The Will to Power sindrom Nisczthe). Di belahan India, sekitar lembah sungai Indus, mengenal tulisan pengobatan dan ramuan jamu untuk penyembuhan penyakit. Dan, daerah China mengenal pengetahuan ditandai dengan halnya yang sama India, pengobatan menggunakan tusuk jarum (akupunkture), dalam buku yang muncul tahun 1200 SM, yang menyebut kekuatan Yin atau Yang, juga hal yang di tulis oleh ahli-ahli negarawannya, semisal Stun Tzu. Bisa ditarik sebuah benang merah bahwa letak kelahiran filsafat bisa saja relevan dengan “tulisan”. Begituhalnya dengan kemunculan filsafat barat yang banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan.

Pergolakan argumentasi muncul saat mula kemunculan filsafat klasik yang dimulai dari Sokrates. “Tulisan” jadi parameter absolute bagi klaim suatu kerangka pikir yang bisa di promosikan. Kendati Sokrates lebih dikenal melalui buku-buku Plato dan Aristoteles. Sokrates tidak pernah meninggalkan warisan berupa buku dengan materi pikirnya, akan tetapi ajarannya hidup dan seperti tak ada pengkhiatan terhadapnya, hanya kisaran pengembangan dan penelaahan etis untuknya, meski konon hidupnya diakhiri dijatuhi hukuman mati dengan minum racun. Meski pada akhirnya ajarannya dengan menggunakan “metode ironi”5, yang kemudian lebih terlihat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja untuk membingungkan orang dan membuatnya berpikir. Gaya pemikiran induksi, pola umum ke khusus, lebih tepatnya dinamai penyimpulan juga dikemukakan pertama kali oleh Socrates. Keutamaan, ungkap Socrates, meletakkan dasar sebuah generalisasi sesuatu hal yang ada pada tingkatan yang abstrak dan bisa diterima oleh banyak kalangan, bukan berarti semuanya mengatakan benar, tapi ada suatu “definisi umum”. Dari “definisi umum” inilah kemudian terejawantahkan ke dalam anasir-anasir yang pada perkembangannya sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Umpanya, alat untuk mencapai eudaimonia atau kebajikan atau keutamaan (arĂȘte) sebagai halnya yang diuraikan sebelumnya. Sederhananya juga bisa dikatakan, bahwa ajaran Socrates juga menekankan pada penggunaan pengetahuan untuk kebahagiaan manusia, meraih suasana batin yang sempurna.

Walupun tak begitu di kultus dan di agung-agungkan, karya Plato bisa di bilang sebagai tugu peringatan atau reinkarnasi dari pemikiran Sokrates. Lebih jauh dari itu, karya-karya raksasa Plato cukup bombastis, dan terkenal sebagaimana buku-bukunya yang dia tulis sendiri berjudul: Apologia, Politea, Sophistes, Timiaos, dan sebagainya. Plato mengutamakan titik pijak pemikiran yang bisa saja alternatif dari dialektika yang diperdebatkan oleh Herakleitos dengan perhentiannya dengan Parmenides sebuah yang dinamis dan selalu berubah, yakni yang kekal di sebut dengan “Idea”, jelas Plato6. Idea tak hanya sebuah gagasan yang subjektif dan instrumental, namun bersifat objektif, sehingga berdiri sendiri bisa memimpin pertemuan pikiran manusia berdasarkan kesamaan.

Selain itu, Plato juga mengajarkan tentang jiwa. Jiwa dan tubuh merupakan dua hal yang ada serta harus dipisahkan. Jiwa berdiri sendiri. Tubuh yang ditopangi oleh jiwa. Lepas dari itu, Plato juga membagi ulasan tentang Negara ideal ke dalam tiga golongan: tertinggi, pembantu, dan terendah. Pikiran-pikiran Plato juga dikenal di ranah perkembangan hukum dengan bukunya The Republik dan The Laws, yang lebih berisikan refleksi dari tesis bahwa Negara ideal haruslah dipimpin oleh orang yang berkualitas atau cendikia, sulit menemukan orang dengan kapasitas sedemikian rupa, hingga pendapat Plato tentang hukum tertulis pun dikumandangkan, dan menjadi rujukan hingga saat ini.7

Tokoh lain yang acapkali menjadi rujukan filosofis maupun teoritis adalah Aristoteles. Bagi seorang yang dilahirkan di Stageira, Yunani Utara, Makedonia, hasil karyanya sangatlah banyak. Sebagian ahli membaginya ke dalam 8 (delapan) bagian : logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik, dan ekonomi, dan akhirnya retorika dan poetika.8 Kesamaan Plato dan Aristoteles Tua terletak pada dua macam pengenalan, yaitu: pengenalan inderawi dan pengenalan rasional. Salah satu bedanya, bagi banyak filsof yang mencoba mengakurkan Plato yang cenderung pada takaran perenungan, sementara Aristoteles lebih menitik beratkan pada pengalaman-pengalamannya, sangatlah sulit. Pemikirannya yang cukup berkontribusi di dalam perkembangan dunia pemikiran hukum, adalah hukum harus diarahkan mewujudkan partisipasi seluruh rakyat dalam gagasan keadilan—karena keadilan merupakan kepentingan rakyat (justice is the interest of the people) yang mengilhami arah perkembangan aliran pemikiran filsafat hukum baik itu posivistik, modern, ataupun realisme.

1 Diskusi perdana kaum sekaranis di gubung Democracy Watch Organization (Dewa-Orga)

2 Filosof Amatir, permulaan pemikiran luluk muda tentang filsafat

3 Tidak ada tulisan ataupun karya yang secara jelas dan tegas mengklasifikasikan kaum sofis sebagaimana pemikirannya yang di kritik oleh Sokrates. Namun subtansi pemikirannya dalam warna yang sama bila diamati, seperti Thales (625-545 SM) dengan gerhana mataharinya dan air sebagai asal mulanya kehidupan; Anaximandros asas pertama semensta adalah api, lain halnya dengan Anaximenes yang tidak dapat enerima pandangan Anaximadros, menempatkan hal yang tak terbatas (to apeiron) menjadi asas pertama alam semesta, maka digantilah api itu dengan udara memadat maka timbullah secara berturut-turut itu angin, air, tanah, dan batu. Sementara bagi Pythagoras lahir di Samos, Kroton, Italias Selatan, usaha mempelajari ilmu pasti, lebih dikenal dengan teori segitiganya. Xenophanes membedakan jelas monoteistis dan politeistis, tentang Ilahi yang Esa, Kekal, dan tanpa awal mula sesuatupun. Herakleitos terkenal dengan “menjadi”nya, perpindahan energy, dinamisasi. Parmenides yang hampir senada dengan Plato tatkala ditarik di zamannya, bahwa “ada” terdapat yang kekal, yakni idea, kemudian pernyataan ini dikukuhkan oleh Empedoklas (492-432 SM). Selanjutnya Anaxagoras terkenal dengan anasir-anasir rizomata (akar) dan spermata (benih-benih). Leukippos dan Demokritos dipandang mengajarkan tentang atom (atomos). Lihat, Dr. Harun Hadiwijono, 2008, Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Hal. 15-32

4 Maman Rachman, 2003, FIlsafat Ilmu. UPT UNNES Press. Jakarta. Halm 4.

5 Ibid, halm. 36

6 Sudarsono, 2001. Ilmu Filsafat – Suatu Pengantar. Jakarta. PT, Rineka Cipta. Halm 46.

7 Teguh dan Barkatullah, 2007. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum Study Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Halm. 33

8 Lihat, Dr. Harun Hadiwijono, 2008, Sari Sejarah,….Op.Cit. Halm. 45

Tidak ada komentar: