online degree programs

Senin, Juni 09, 2008

Waspadai NKK/BKK Baru!!!

Oleh Edi Subkhan*

Pemerintah ternyata gerah dengan aksi-aksi mahasiswa yang kadang-kadang brutal. Di pihak lain kualitas lulusan perguruan tinggi Indonesia berada di bawah standar lulusan perguruan tinggi di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu untuk mengembalikan mahasiswa pada kehidupan intelektual kampus. Sebagian mahasiswa dinilai lupa pada tugas utamanya, belajar. Yusuf Kalla pada acara Orientasi Fungsionaris Pengusaha dan Wirausaha Pemuda Indonesia di Hotel Nikko Jakarta, Jakarta (9/6) menyatakan, pemerintah sedang mengkaji sistem agar mahasiswa lebih konsentrasi belajar daripada demo di jalan.

Menurut Wapres, mahasiswa sebagai intelektual kampus tidak bertugas untuk berunjuk rasa mengkritisi kebijakan pemerintah. Itu karena pemeintah sudah memiliki lembaga pengawas kebijakan, yakni legislatif, yudikatif, dan elemen masyarakat madani. Kalla membandingkan kehidupan intelektual mahasiswa dengan siswa SD hingga SMA. Saat ini tidak ada lagi tawuran antarsiswa karena seluruh siswa kelas tiga berkonsentrasi agar lulus ujian nasional. “Dulu siswa kelas tiga pelopor tawuran antarssekolah karena yakin bakal lulus dengan mudah. Belajar atau tidak belajar sama saja, lulus 100 persen. Jadi buat apa belajar,” katanya. Setelah ada UN dengan standar yang terus ditingkatkan, siswa kini sibuk belajar hingga larut malam agar bisa lulus ujian (Indo Pos, 10/6/08).

sahabat2 cermati berita ini, dan pikirkan, renungkan, apa yang mesti diperbuat, jika itu menjadi nyata...

Sumber: Indo Pos. 2008. Pemerintah Siapkan NKK/BKK Baru. Indo Pos. Jakarta: 10 Juni.

9 komentar:

Abdul Haris Fitrianto. mengatakan...

kemarin dulu, beberapa kali bertengger di kelapa saya, sebuah pikiran yang menyatakan bahwa perguruan tinggi bukan lagi tempat para pemikir.... atau, para pemimpin yang sejati sepertinya malah akan banyak dilahirkan di luar menara gading yang semakin komersiil dan alat kacungan bagi pemerintah dan korporasi2 transnasional....

Anonim mengatakan...

Lha terus kepriwe Mas Hariez?? Jauh juga sebelumnya ketika tahun 1960-an perbincangan mengenai intelektual mengemuka setelah sekian lama disubordinasi oleh Soekarno, Y. B Mangunwijayam Soedjatmoko, Arief Budiman bahkan Julien Benda menyatakan bahwa intelektual tidak identik dengan lulusan kampus (sarjana).

Masalahnya klo pemerintah menerapkan NKK/BKK lagi gimana, wong sekarang mahasiswa udah mandul, mo dibuat mandul kayak apa lagi?

Anonim mengatakan...

mahasiswa belum selesai dengan "kemandulannya", sudah ada rumor dibungkam dengan BLT, lalu jika dihantam dengan NKK/BKK..???

di sisi lain, kreatifitas terkadang muncul dari pembatasan-pembatasan, dan hal ini juga bisa berlaku sebagai filter bagi kesungguhan, motivasi berprestasi, will to superiority, dan lain-lain. artinya, jika pada akhirnya ada yang moncer dalam pembatasan itu, maka kemoncerannya boleh dikata tidak hanya dalam ruang hampa..

tetapi disisi lain, lha wong saiki wae wis ky ngene, trus sesuk njur piye?

Anonim mengatakan...

teringat dulu waktu aku bikin obrolan tentang "mal praktek pendidikan" (mungkin mas edi ingat karena waktu itu arah diskusinya ga jelas)..
sekarang pemerintah akan melakukan itu!! NKK/BKK adalah pembodohan massal oleh lembaga pendidikan.. fakta kebodohan seorang menteri/ Profesor pendidikan Bambang Sudibyo yang memaksakan angka sebagai penentu kepintaran seseorang dalam pendidikan. pemaksaan karena tidak ada pemerataan informasi dan teknologi di seluruh indonesia. lalu apa jaminan dari angka? apakah angka akan mendorong penemuan baru? faktanya, angka mendorong orang stress.. apakah semua yang dapat angka akan mendapat pekerjaan atau sekedar mendapat pengakuan Internasional? kalo tidak punya kebebasan berfikir gimana mo kreatif? kalo ga kreatif gimana mo maju?
pemikiran kita akan diarahkan sesuai kepentingan mereka, inilah kenyataan jika sebuah negara diatur oleh orang2 yang "bodoh"..
setelah selama ini nasib kita ditentukan oleh negara, sekarang otak kita dikekang dan diarahkan oleh negara!!
to mas edi, jika harus bagaimana?? jika saya sudah tersingkirkan karena menentang kebijakan seperti itu!! bagamana dengan yang laen?? jangan buta atau takut untuk melihat kenyataan, ketidak-pedulian dan ketakutan adalah yang menjadikan bangsa ini berantakan!! tapi ingat, keberanian hanya untuk kelangsungan hidup orang banyak, keberanian bukan untuk kelompok tertentu yang merasa paling benar atau partai yang selalu pengen jaya..

Anonim mengatakan...

dalam konteks ini kita harus memahami pemikiran pak wapres itu:

Yang dibayangkan Yusuf Kala itu bisa jadi, pendidikan dia bayangkan sebagai pabrik pembuatan robot....

Makanya harus dites dulu, he2....

Anonim mengatakan...

Mas Fahmi benar, munculnya intelektual “baru” yang benar-benar intelektual, bukan intelektual karbitan yang muncul karena menang kontes-kontesan intelektual tuh (sori klo ada yang kesindir...emang ada?) akan lebih “berasa” dalam sebuah kondisi pembelengguan kreativitas dan kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan untuk menjadi kritis dan bernalar kritis. Dan emang sejarah membuktikan banyak intelektual yang muncul dari keterbatasan, pengekangan kehendak, dan segala bentuk ketidaknyamanan intelektual dan sosial serta spiritual.

Soekarno takkan muncul tanpa adanya penjajahan Belanda, Jepang yang menjadikannya bersama Bung Hatta proklamator bangsa ini. Gramsci takkan muncul tanpa ia ditindas oleh Leninisme-Facisme kala itu di negeri Pizza, Italy. Gandhi takkan muncul tanpa adanya penjajahan Inggris yang membelenggu dan kemudian menumbuhkan kesadaran kritis hingga menjadikannya seorang “santo” dan “hero” dari India. Kartini takkan pernah ada tanpa kisah pingitan dan penjajahan itu, yang membuatnya terdasar betapa kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan kaum pria.

Namun kita juga mesti melihat bahwa pada masa renaisance di Eropa, ketika zaman sudah tak terbelenggu rezim gereja yang menumpulkan akal dan mengorbankan Galielo Galilei, bermunculanlah para intelektual penyumpang kemajuan peradaban. Intelektual abad pencerahan ada dan muncul karena ada kebebasan yang dijamin oleh sebuah ruang publik, yakni “negara” dalam pengertian yang lebih luas dari Locke, Hobes, Montesqueiu, kant, dll. Apakah akan muncul Sartre, Freud, Nietszche, Foucault, tanpa kebebasan di sekitarnya, rasanya tidak? Di sejarah Islam pun sama, pada masa Abbasiyah, zaman “keemasan” Islam di Baghdad kala itu, pada kekhalifahan Harun al-Rasyid klo gak salah, dengan perpustakaan “Bait al-Hikmah” bermunculanlah ilmuwan-ilmuwan muslim kala itu. Sory saya lupa para ilmuwan2 itu...lama gak baca sejarah Islam lagi hehehe...tapi Abu Nawas salah satunya.

Tapi, klo negara yang mestinya memunculkan para intelektual untuk membangun bangsa dan negara serta peradaban dunia yang lebih maju malah membungkam... itu artinya negara tidak menghendaki munculnya ilmuwan renaisance Indonesia. Mungkin negara sengaja begitu untuk tetap mempertahankan status quo yang mudah saja jatuh ketika para intelektual muncul dan mengkritisi mereka. Dan memang akan sangat panjang kalau mengutip pada Gramsci, Freire, Bourdieu, Apple, Giroux, dan para pendidik kritis lainnya lainya, bahwa pendidikan selalu menjadi tarik-ulur kepentingan ideologis dan politis.

Atau jangan-jangan Kalla berbicara seperti itu dengan tujuan untuk memunculkan Soekarno-Soekarno baru yang hanya muncul dari keterbelengguan rezim?? Heheheh...klo gitu “berterima kasihlah” pada Kalla temen-temen... Tuk Kang Gik, lucu juga klo Kalla membayangkan bahwa pendidikan adalah pabrik robot hehehe... lebih lucu lagi klo saya (yang sok imajinatif ini) membayangkan bagaimana bayangan seorang Kalla “kala” itu. Tiap mahasiswa ntar kapasitas intelektualnya sama, kira2 otaknya 2 ons, ya setara 1,2 gigabyte-lah. Diinstal dengan program yang sama, yang penting (1) manut, (2) gak neko-neko, dan (3) asal menguntungkan boss. Garansinya juga sama, kira-kira seminggulah. Ntar klo rusak...ya sama-sama rusaknya, sebagaimana keinginan pembuatnya hehehe... Tapi jangan lupa ada pihak lain yang pengen buat pabrik robot, sama-sama pengen jadi Boss robot, di sekitar kita, dan jauh di luar sana, bersama Mickey Mouse, Donald Bebek, Spider-man, dll.

Anonim mengatakan...

Wah, saya memang bukan ahlinya "filsasfat pendidikan..."

Tapi saya kok simpel aja...
Masalah didik mendidik itu kan berawal dari tanggung jawab keluarganya (ortu2 dan kakaknya)

Negara itu kan cuma pembantu ortu2 kita untuk mendidik...

Tapi dunia sekarang kebalik, anak didoktrin mengenai konsep negara, sampai lupa keluarganya...

Dan negara didewa2 kan bak pahlawan kesiangan...

Jujur, saya sudah tidak percaya negara....apalagi yang menjalankannya....
susah ngebayangin nasib seseorang ditentukan oleh konstruk manusia yang kebetulan; Negara!!!

Anonim mengatakan...

Wah Kang Gik ini...always merendahkan hati. Klo gak terpaksa, saya gak akan mengutip pendidik kritis itu Kang, tapi ya sudahlah gak apa-apa...tapi bukankah dalam keseharian kita ini sudah "berfilsafat" tanpa sadar dan "mendidik" tanpa sadar, jadi tiap orang adalah "filsuf pendidikan" tanpa sadar hehehe...

Ya, emang pada awalnya tugas mendidik secara filsafati dan ini adalah fitrah manusia adalah tugas keluarga, ortu mendidik anak, namun masalahnya ketika zaman telanjur menjadi maju dan modern, orang pada sibuk kerja dan tak ada waktu mendidik anaknya, ya diadakanlah sistem pendidikan klasikal model sekolah dan kelas-kelas itu Kang.

Dan ini adaknya adalah kutukan modernitas, mana ada ortu yang siap meluangkan waktu mendidik anaknya sepenuhnya, gak ada...saya klo disuruh didik Kimia, Fisika, juga gak bisa hehehe....

Seiring dengan itu berkembang juga tata kelola sistem sosial kita, jadilah sebuah negara yang secara otomatis kita-kita, Bapa/Ibu kita menjadi warganegara, itu sebuah konsensus yang tak terhindarkan sekarang ini, walau mau tidak mau, percaya tidak percaya.

Di situlah peran negara bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak kita, termasuk kita..wong kita masih anak-anak khan hehe.. klo ditanya, siapa yang mesti bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak manusia, ya kita semua...termasuk negara.

Saya minta komentasnya soal NKK/BKK baru yang digagas Kalla itu...trims.

Anonim mengatakan...

maap baru masuk lagi, betul pa yang di tulis mas edi, fahmi maupun mas gie.dan -kurang lebihnya, memang itu maksud saya mas edi.

saya punya kecederungan untuk berpikir bahwasannya dewasa ini PTN/S tidak identik dengan pemikir/intelektual. gampangnya, saya pikir ini bertolak dari disorientasi "rel" PT menuju cita2 pendidikan. dengan malu - malu kucing, pendidikan sekarang menjadi pencetak SDM yang berfungsi untuk menyokong imperium sistem yang telah ada. belum lagi ajakan masuk SMK sebesar 30-40% dari jumlah lulusan. bukankah sistem pendidikan memang menghendaki hal itu?

Bukankah penindasan pendidikan semacam ini lambat laun kan menimbulkan kesadaran masyarakat akan kesalahan sistem? hanya saja, keyakinan ini mungkin belum terbahasakan. bagaikan api dalam sekam -dalam alam bawah sadar setiap individu yang tertindas. ditambah lagi "cara" pemerintah "menina bobokan" masyarakat. jadi...tinggal menunggu sosok pemimpin yang bisa mematikkan api kesadaran untuk kebebasan menuju menjadi manusia yang utuh.

saya kira pertanyaan berikutnya jelas

hariz