Di tengah dunia yang berlari (runaway world –Giddens) sekarang ini hanya sedikit orang yang berminat pada filsafat, mahasiswa filsafat makin lama makin berkurang; jurusan, program studi pusat kajian filsafat pun hanya satu-dua yang dapat bertahan, perguruan tinggi yang dulu terdapat studi filsafat banyak yang dihapus. Dan baru-baru ini pemerintah menyatakan akan “meninjau ulang” jurusan-jurusan yang sudah “jenuh”, termasuk filsafat, karena dianggap filsafat sudah tida ada peminatnya lagi dan tak ada lapangan kerja yang mau memekerjakan lulusan filsafat. Konon jurusan-jurusan yang “jenuh” tersebut akan digabung atau dihapus, dan mahasiswa yang masih tersisa akan coba dicarikan pekerjaan.
Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, lalu filsuf atau minimal lulusan program studi filsafat akan dicarikan pekerjaan apa? Inilah yang tidak tepat bagi pemerintah dalam memahami keberadaan filsafat, filsuf, dan pusat-pusat belajar filsafat utamanya di perguruan tinggi. Pemerintah selalu memahami secara salah bahwa lulusan pendidikan formal mesti bekerja pada sektor riil, yang nantinya akan menghasilkan materi untuk perputaran ekonomi dan ujung-ujungnya adalah kesejahteraan masyarakat dan negara. Terlebih dalam pendidikan yang sudah menghamba pada kapitalisme sekarang ini, maka seseorang yang belajar pada bidang studi apa saja, anggapan masyarakat dan pemerintah bahwa tujuannya adalah untuk bekerja dan menghasilkan uang, tak lebih. Seakan tidak tersisa ruang untuk memandang bahwa pendidikan pada hakikatnya justru adalah untuk menjadikan seseorang lebih bijak dalam memahami hidup dan kehidupan; dewasa dalam berpikir, bersikap dan bertindak; lebih manusiawi, serta untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dan ketika filsafat memang lebih berat dan menitikberatkan kajian dan pembelajarannya pada hidup dan kehidupan serta ilmu pengetahuan, maka ia menjadi tidak dianggap dalam paradigma pendidikan kapitalis.
Filsafat dapat dipahami sebagai sebuah bidang kajian akademik dan jalan hidup. Sebagai sebuah disiplin keilmuan yang dinyatakan sebagai the mother of science (induk segala ilmu pengetahuan), filsafat menjadi hidup ketika dilestarikan dan dikembangkan secara akademik, yakni dengan dikaji dan dikritisi, serta ditransfromasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan sebagai jalan hidup, laku hidup, maka ia cukup telah menjadi mulia sebagai pandangan hidup saja. Dengan begitu menjadi filsuf sebenarnya bukan obsesi intelektual ketika dimaknai sebagai cara pandang tentang kehidupan yang akan menjadikan seseorang yang memelajarinya menjadi lebih bijak.
Oleh karena itu, pada akhirnya timbul pendapat bahwa jika dengan lelaku keseharian seseorang sudah dapat memahami kehidupan dan menjadi bijak, maka untuk apa belajar filsafat secara akademik? Justru ketika filsafat dinyatakan sebagai telah melingkupi segenap kehidupan ini, walaupun ini mungkin tidak disadari oleh orang-orang yang tidak mencoba memahami kehidupan secara hakikat, maka ia menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang privat dan publik sehari-hari, dan oleh karena itu secara tidak langsung pada hakikatnya dalam keseharian kita telah berfilsafat. Inilah alasan substansial mengapa seseorang enggan belajar filsafat dalam konteks sebagai sebuah kajian keilmuan yang “diklaim” memengaruhi segala hal.
Ada sebuah pameo yang menyatakan bahwa seseorang belajar filsafat untuk menjadi filsuf, yang nantinya akan mengajar filsafat kepada seseorang yang belajar filsafat, dan seseorang ini pun akan menjadi filsuf yang kelak akan mengajar filsafat pada generasi selanjutnya. Jadilah semacam lingkaran setan yang tak terputus. Pun selama ini filsuf dipandang produknya hanya buku, artikel ilmiah untuk jurnal-jurnal filsafat; selebihnya secara immateri adalah konsep dan teori filsafat, pemikiran, gagasan, ide-ide, dan semacamnya. Filsuf pada akhirnya dianggap sebagai individu idealis, nyentrik, tertutup, asyik dengan dunianya sendiri, beberapa di antaranya sering memantik kontroversi. Dan ini sama sekali tidak menarik bagi dunia kapitalis yang selalu berlari untuk memupuk modal materi.
Selama ini belum banyak institusi sosial yang memerlukan filsuf. Bahkan institusi intelektual seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian, departemen-departemen di pemerintahan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serasa tidak melihat filsuf sebagai sebuah modal atau investasi yang layak dilirik dan ditarik masuk dalam institusi mereka. Satu kasus paling ironis dan secara tepat menohok dunia pendidikan adalah perguruan tinggi eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang menjadi universitas. Hampir semua IKIP dulu memiliki program studi filsafat pendidikan, namun lambat laun peminat berkurang dan pada akhirnya semua program studi tersebut dihapus secara perlahan sampai hilang sama sekali. Ironisnya pula, ternyata dapat dikatakan minim sekali dosen yang berlatarbelakang filsafat pada universitas-universitas eks IKIP tersebut.
Pada masa penerimaan dosen yang dicari selalu latarbelakang sesuai dengan program studi saja, dan tak pernah mencari lulusan filsafat atau filsuf untuk menjadi dosen di program studi bersangkutan. Sebagai misal, program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), tak ada dosen yang khusus berlatarbelakang filsafat di situ, apalagi filsafat pendidikan. Yang terjadi kemudian adalah, program studi, jurusan, fakultas, universitas, dan disiplin keilmuan tersebut menjadi kering, tak ada gairah intelektual dan sekadar menjalankan rutinitas akademik yang sudah tersubordinasi sistem pendidikan kapitalis, yakni rutinitas memproduksi guru-guru SD yang kemudian disalurkan ke pasaran. Hasilnya dapat kita lihat, bagaimanakah pemahaman hakikat keilmuan guru-guru kita sekarang, pengetahuan tentang analisis ideologi, wacana, dan diskursus keilmuan kontemporer, termasuk gairah untuk terus belajar dan menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuannya; tiada.
Pada akhirnya ketika institusi intelektual dan sosial termasuk institusi pendidikan sudah tak merasa memerlukan filsafat dan filsuf, menghamba pada kapitalisme, maka kian lama para peminat filsafat, para filsuf akan menjadi makhluk langka yang kian puah, dan pada akhirnya akan mati seiring matinya ilmu pengetahuan tanpa adanya filsuf.
Edi Subkhan, penulis kehidupan
10 komentar:
mas, alau saya berfikir seperti ini bagaimana?
berawal dari origin of spesies-nya darwin, bahwasananya setiap makhluk hidup harus mampu bertahan hidup dan melestarikan spesiesnya agar tidak "terkena" seleksi alama lalu punah.
nah, dalam rangka bertahan itu, setiap makhluk hidup ber-evolusi dengan cara anagenesis (beradapatasi dengan alam dengan cara merubah struktur fisiknya agr lebih ergonomis dengan alam: evolusi gajah) dan cladeogenesis (melahirkan spesies2 baru yang berbeda dari induknya dengan tujuan dapat bertahan hidup tentunya, seperti jaguar yang menurunkan berbagai sesies baru macan gitu..) nah, jika ditarik ranah para filsuf untuk mempertahankan "kaumnya" kira2 gimana ya, apakah akan ada filsuf yang "baru dan beda" dari para filsuf sebelumnya? mungkin mas Edi sudah tahu jawabannya
tentu mas edi berbicara dalam konteks indonesia (mohon dikoreksi kalau salah)
saya justru ragu apakah filsuf (dari mana saja) telah "digunakan" di indonesia ini.
indonesia punya driakara,frans magnis, ranggawarsita, dkk. atau plato, aristoteles, socrates, hegel, dkk juga, dalam konteks yang lebih luas.saya benar-benar ga tau bagaimana peran mereka (setidaknya gagasan mereka) dalam membangun pendidikan kita misalnya, atau dalam bidang pemerintahan, politik, dan sebagainya.
saya justru mempertanyakan itu, apakah filsuf-filsuf itu pernah hidup(dihidupkan) di indonesia ini?
jika kembali pada semua orang punya filsafatnya sendiri, filsafat yang bisa dikatakan sangat subyektif, maka semua orang adalah filsuf. filsafat adalah mencintai kebijaksanaan, dan ukuran kebijaksanaan itu pun relatif. tetapi laku hanyalah representasi dari pikir, pikir yang dangkal akibatnya bisa jadi fatal.
lalu seberapa dangkalkah pikir "filsuf-filsuf" indonesia?
oiya, indonesia (pernah) punya filsuf y?
dan, itu hasil impor....
tapi mereka tidak kenak pajak...
he2....
saya jadi teringat pda catatannya si ahmad wahib, kalau tidak salah, wahib menuliskan filsuf dan agama..
ehm,kalau tidk salah tulisannya begini(mgkin tmn2 sudah pada hapal?), filsafat adalah agama bagi filsuf itu sendiri karena dia berpikir.. oleh itu banyak filsuf yang keagamaannya dipertanyakan -dan lebih baik tidak beragama agar dapat menjaga orisinalitas pikirannya...
kemudian untuk orang2 yang tidak berpikir, cenderung praksis, agama jadi filsafatnya
saya mendefinisikan filsuf saja tidak pernah bisa menampung semua pengertian dan “taste” filsuf serta kompleksitas dimensinya, apalagi kemudian menyatakan filsuf “baru dan beda” dengan filsuf lama, kecuali secara general filsuf itupun secara kontekstual, apakah filsuf lama itu pra-renaisance, renaisance, modernisme, posmodernisme, post-posmodernisme, atau di Timur, Barat, Jawa, Islam, dll mungkin masih bisa, tapi … wah ini pekerjaan berat, dimensi manakah yang mesti saya gunakan untuk untuk mengatakan “filsuf lama” dan “filsuf baru” yang berbeda atau sama, pemikirannya, orientasi pemikirannya, gaya intelektualnya, kontribusinya, ranah geraknya, atau apa.
Tapi yang jelas para filsuf yang saya maksud lebih spesifik filsuf yang tidak sekadar menjalani laku filosofi kehidupan manusia, tapi juga menguasai disiplin kefilsafatan “pada umumnya” entah ia positivis, hermeneutis, kritis, posmodernis, atau apalah namanya itu. Dalam hal ini, bertahannya kajian filsafat adalah karena dihidupkan oleh para filsuf, sedangkan filsafat setidaknya mendasari dan menjadi induk dari segala keilmuan manusia.
Jadi, perlunya filsuf untuk menjaga dan mengembangkan filsafat yang kemudian menjaga dan mengembangkan disiplin keilmuan “anak-anaknya” seperti psikologi, sosiologi, pendidikan dan lainnya.
Dalam kerangka Darwinian maka ranah intelektual adalah “habitat” (bedakan dengan “habitus” Bourdieu) para filsuf, namun filsuf tidak seperti manusia dalam pengertian Darwinian yang menyesuaikan dengan habitat tersebut, justru filsuf dalam habitat intelektualnya selalu membentuk habitat tersebut, tidak sekadar pre-determinisme atau ditentukan oleh taqdir sosial ala August Comte dengan sosiologi positivis itu.
Maka permasalahannya adalah ketika habitat intelektual tersebut juga berubah seiring berubahnya ranah sosial di luar ranah intelektual itu. Persoalannya kemudian bukan pada bagaimana agar para filsuf dapat bertahan, survive, dalam ranah intelektual yang telah berubah karena ranah sosial yang lebih luas tersebut, tapi ranah sosial yang lebih luas bukannya menganggap tidak perlu ranah intelektual, tapi lebih jauh adalah menganggap tidak perlu adanya para filsuf yang hidup dan menghidupi ranah intelektual tadi.
Dus, matinya filsuf karena dikehendaki oleh ranah sosial yang lebih luas dan sekarang kapitalistik, adalah matinya ranah intelektual, dan matinya ranah intelektual adalah matinya ranah sosial yang lebih luas, karena ranah intelektual menopang secara epistemologis-ideologis kehidupan sosial. Kecuali ketika ranah intelektual didefinisikan lain, ada redefinisi ranah intelektual yang “tidak terlalu” memerlukan berfilsafat ria.
Jadi , bagi saya, problem filsuf sekarang dengan konteks di Indonesia sebagaimana kata Mas Fahmi, bukanlah problem eksistensial (kecuali filsuf eksistensialis hehehe) dan harus survive. Filsuf tidak harus survive, tidak ada keharusan, tapi keniscayaan adanya filsuf bagi dunia intelektual dan sosial adalah bagaikan kemestian adanya api untuk panas, “lele” untuk pecel lele, “ayam” untuk mie ayam; tidak mungkin ada panas tanpa api, kalaupun ada tidak dapat membakar (intelektual, nalar, dll), menjadi aneh pecel lele tanpa ikan lele, pun aneh mie ayam tanpa ayam (ini nulisnya pas lagi laper hehe) sebagaimana anehnya intelektual tanpa para filsuf.
Yang penting bukan person filsufnya, tapi adanya filsuf yang niscaya bagi adanya intelektualisme. Pun jika dipandang dari konsepsi evolusi filsuf yang diandaikan Mas Hariez, maka bagi saya “evolusi” filsuf tidak dalam rangka menyesuaikan alam sekitar, tapi sebaliknya Mas, yakni membangun alam sekitar, membangun peradaban manusia, dan “alam sekitar” yang mesti “menyesuaikan” kehendak filsuf. Sampai di sini silakan pendapat saya diperdebatkan....
Tuk Mas Fahmi, beberapa filsuf “tersebut” sebagian pemikirannya telah digunakan untuk membangun konsepsi dalam bidang pendidikan, idealisme Plato misalnya, mengilhami paradigma pendidikan idealis yang diterapkan secara letterlijk di Indonesia pada awal kemerdekaan sampai tahun 90-an. Tentu pemikiran Plato tidak secara langsung, tapi sebagaimana dikonsep ulang oleh aliran pendidik idealis, dan lainnya. Driyarkara pun sama dengan “memanusiakan manusia” dan pendidikan sebagai “proses pembudayaan”. Tapi sayang semuanya itu sekadar jargon saja, dan masalahnya sebagaimana saya singgung dulu, basis filosofis Driyarkara, Ki hadjar Dewantara, tidak sama dengan para pelaksana filsafat itu sekarang ini. Terdapat mismatch, beda komitmen, dedikasi, dan kemampuan memegang kebenaran dan hakikat filosofi.
Filsuf Indonesia dangkalkah? Saya rasa tidak, bagi saya tidak ada filsuf yang dangkal, filsuf yang dangkal adalah bukan filsuf hehehe...
lalu, apakah itu merupakan hal yang wajar? mengingat pemikiran itu telah mengalami rantai transformasi begitu panjang, (dari pemikiran menjadi sebuah kata, lalu menjadi tulisan, adalah bentuk transformasi yang mendasar). dan segala bentuk transformasi selalu membawa serta reduksi dan distorsi..
Ya...!!! wajar saja, bahkan ketika kita mendefinisikan sesuatu itu menjadi sebuah definisi, kita sebenarnya telah meredukasi hakikat kmakna sebenarnya....
contoh kongkret dari tersingkirnya filsafat di Indonesia adalah sempitnya pemikiran pemerintah dalam mengambil kebijakan, hal itu yang menambah ruwet kehidupan di negara ini karena SBY-JK dan pembantu-pembantunya tidak mengambil keputusan yang bijaksana. wajar jika masyarakat tidak merasakan kebijaksanaan pemerintah dalam bersikap. jika filsafat itu adalah cinta kepada kebijaksanaan, jelas PANCASILA sebagai filsafat negara tidak pernah terpahami pemerintah..
kalo dirunut, muncul-nya ialah sosialisme...
Posting Komentar