“......no exist alone. Hunger allows no choice. To the citizen or the police, we must love each another or die”
Seorang sastrawan Inggris, W.H Auden, yang hasil karyanya menjadi salah satu bacaan Chairil Anwar mengatakan demikian. Dalam kalimat tersebut, Auden ingin mengatakan pentingnya saling mencintai antar sesama sebagai suatu hal yang indah, sebuah harapan tentang kedamaian. Tetapi sejak zaman asu ora enak, ketidaksesuaian antara kenyataan dengan harapan adalah sumber dari kekecewaan manusia. Yang perlu digaris bawahi, kekecewaan adalah asal mula dari sebuah konflik. Kembali pada Auden, agaknya kalimat tersebut menjadi sesuatu yang jauh di atas sana, tak tergapai oleh semua manusia, bahkan mungkin utopis untuk masa sekarang ini.
Pada kenyataannya, permasalahan yang terjadi bukanlah saling mencintai atau membenci. Kebanyakan permasalahan di Indonesia lebih kepada hal-hal praksis, hal-hal nyata, bukan pada tingkat gagasan. ”Kesempurnaan” Pancasila dan tujuan pendidikan nasional tak kurang menjadi cerminan tingkat kecerdasan putra bangsa ketika menggambarkan sebuah harapan. Tap MPR No. II/MPR/1993 menyatakan ”Kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani rohani.” Nyatalah bahwa kesulitan kita bukanlah bagaimana menyusun sebuah gagasan yang baik, benar, dan sempurna, melainkan hal yang jauh lebih sederhana dari itu, bagaimana mengatur dan melampiaskan sebuah kekecewaan.
Kekecewaan Massal
Jika melihat secara personal, agaknya memang demikianlah yang terjadi. Tetapi Indonesia bukanlah personal, Indonesia terdiri dari ratusan juta personal yang tak pernah tidak merasa kecewa. Dan kerumitan akan bertambah ketika satu kekecewaan yang dirasakan oleh banyak personal yang dipicu oleh sebab yang sama, sebuah kekecewaan massal.
Dalam pembahasan banyak personal, maka yang berlaku bukanlah aku-kamu-dia, melainkan kita-mereka-kalian. Dalam pembedaan tersebut terdapat konsep tertentu yang pada akhirnya digunakan sebagai pembatas antara kita-mereka-kalian. Batas yang dibuat sendiri menjadi hal penting yang tak hanya bisa mengikat ruang dan waktu, dan pada akhirnya mengikat dirinya sendiri dalam situasi kebingungan. Batas juga menjadi pembeda dan dasar pengelompokan masing-masing personal. Sebuah metafora pun bisa tersentuh oleh batas. Sedangkan dalam konteks ini, Indonesia hanyalah satu batas diantara ratusan bahkan ribuan batas yang ada. Lantang suara Soekarno 63 tahun lalu barangkali telah menyamarkan batas-batas lain yang mengikat dirinya dan kita semua, dia memberlakukan Indonesia seakan-akan sebagai satu-satunya batas. Tetapi pada akhirnya Soekarno pun tak mampu mengalahkan batasnya, batas kesabaran, batas kekuasaan, batas kesehatan, juga batas usia. Demikian halnya Indonesia yang tak bisa mempertahankan (dipertahankan) dirinya, setelah beriring berjalannya masa.
Dalam pembedaan kita-mereka-kalian, terdapat proses sosial yang terjadi di dalam masing-masing batas tersebut. Suatu proses yang melibatkan lebih dari satu personal sehingga mengharuskan adanya kerjasama antara masing-masing personal. Berkaitan dengan hal ini, Goenawan Mohammad mengatakan ”tiap kehendak bekerja sama mengandung kesadaran akan batas—kata lain dari kerendah-hatian”. Selain meneguhkan ”kecerdasan” manusia Indonesia dalam menyusun gagasan yang indah, Ia juga berusaha menganjurkan untuk menyadari masing-masing batas dan keterbatasan diri dalam bentuk kerendah-hatian. Mungkin Ia lupa bahwa ”kerjasama” juga mengikat dirinya dalam sebuah batas, batas yang kembali membedakan antara kita, bukan mereka, atau kalian.
Dunia Tanpa Batas
Dalam konteks kekinian, FPI, Ahmadiyah, Aliansi Kebangsaan, hanyalah beberapa dari banyak batas yang mengikat. Masing-masing pihak semakin menebalkan batasan yang diyakininya, sekaligus menyamarkan batas lain. Hal inilah yang menjadi titik persamaan, sebuah tuntutan untuk menghilangkan salah satu batas, sehingga menumbuhkan dunia dengan hanya satu batas. Selain itu, simpulan bahwa kesulitan Indonesia ketika mencoba mewujudkan sebuah gagasan, juga diambil dari apa yang terjadi di sini. Batas personal yang ditempatkan pada batas komunal, batas dalam konteks kemanusiaan yang diterapkan dalam sebuah gagasan, batas kekerasan yang telah terkhianati, menunjukkan kemampuan untuk menempatkan suatu batas sesuai dengan batasnya bukanlah menjadi kepandaian kita. Sampai disini permasalahan terasa begitu pelik. Namun satu hal lagi, bahwa bukan berarti batas bukanlah sesuatu yang kekal dan benar-benar luar biasa. Pada akhirnya batas akan terkalahkan oleh batas lainnya. Polemik yang sekarang ini terjadi mungkin akan tergantikan oleh polemik lain, dengan batas-batas lama yang dibarukan. Maka dari itu dunia tak harus menghilangkan batas, batas adalah atribut kehidupan manusia.
Selanjutnya, pernyataan diatas bukan tak terbantahkan. Keberagaman tafsir memungkinkan adanya kesan pesimis dan bahkan nihilis yang akan terbaca dari sana. Maka dalam batas inilah, apa yang dilakukan oleh semua pihak sebagai upaya memperjuangkan sesuatu tak harus di cela dan di cekal. Memberikan ruang dalam batas kita untuk disinggahi oleh batas lain, selain itu, seperti dalam lagu 80-an berjudul ”kadarwati”, terucap syair ”bersama kita siapkan kecewa”, juga merupakan usaha kecil lain yang bisa menjadi opsi untuk ”chaos yang teratur”.
Ahmad Fahmi Mubarok
Selasa, Juni 10, 2008
Batas Kecewa ; Kecewa Tanpa Batas
Label:
pemikiran sosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
batas kecewa adalah kepuasan rohani..
kecewa tanpa batas adalah ketidak-puasan jasmani..
tapi sayang,.. belum ada pemerintah yang bikin tentrem hati rakyatnya, eh malah selalu bikin resah rohani dan bikin susah jasmani rakyatnya!!
Mas Fahmi, memang kita terampil merangkai kata, tapi agaknya pula kita seringkali melupakan konsekuensi dari kata-kata itu. Kita bangsa yang tidak pelit untuk memberi kepada sesama, bahkan diri kita rela untuk dijajah berabad-abad, eh sekarang malah mengatakan “monggo mas jajah lagi...dah kangen nie”. Pun kita tidak pelit mengumbar kata-kata luhur, tinggi, minus realisasi. Konsepsi manusia Indonesia itu memang “sempurna”, dan itu hanya ada di Indonesia, di Amerika tidak ada konsepsi semacam itu dalam perundang-undangannya, dan kita mesti “bangga” karenanya. Tapi agaknya pemahaman, pemaknaan, atau penafsiran atas konsepsi itu pun bermacam-macam, yang akhirnya kembali pada diskursus tafsir personal yang menyesuaikan kedalaman intelektualnya. Padahal terang bahwa intelektual terbentuk dari trajektori dan habitus kehidupan seseorang itu dalam persinggungannya dengan pelbagai ranah kehidupan masyarakat.
Saya justru mempermasalahkan basis filosofi masing-masing person itu, yang seringkali dangkal, yakni mereka yang mestinya melaksanakan konsepsi manusia Indonesia dalam jabaran sistem pendidikan nasional, termasuk kurikulum pendidikan misalnya. Filosofi yang tak sebatas konsepsi ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tapi juga sebuah laku kehidupan, dan ruang-ruang permenungan batin person, yang mengendapkan diri, kedirian, hidup, kehidupan, dalam satu mangkuk kecil di tangannya, yang jadikannya sadar akan batas itu, dan pada akhirnya sampai pada puncak pencapaian intelektual, yakni kebijakan (wisdom), yang di dalamnya penuh dengan kerendahan hati, kesabaran, pengertian. Pada akhirnya kita masih bermasalah dengan basis filosofi kita sendiri yang belum kokoh, dan pada akhirnya melahirkan gagasan kita sendiri.
Memang problemnya adalah konsekuensi, pelaksanaan, itu ranah riil, tapi sebabnya adalah pada level Noetik Platonian (level tertinggi idea), yakni level yang oleh awam lebih disebut sebagai filsafat pada umumnya. Gagasan lahir dari pemahaman filsafati, rumusan konsepsi manusia Indonesia ada dalam level gagasan, bukan atau belum level filsafati. Ketika basis filsafati person pelaksana berbeda dengan basis filsafati person penggagas rumusan manusia Indonesia, maka tafsir atas gagasan menjadi beda, terlebih impelementasinya. Bukankah masing-masing person dalam satu gagasan utuh adalah satu subjek yang utuh. Terpaksa saya kutip Habermas, bahwa penekanannya pada individu dalam perkembangan evolusi peradaban menuju masyarakat komunikatif -bukan masyarakat- adalah karena individu niscaya terarah ke luar, ke ruang publik. Dalam satu “moment” dengan “taste” tertentu “yang satu”, maka masing-masing individu-individu itu menjadi subjek yang satu.
Posmodernisme yang plural, dan pluralisme yang posmo, tidak berarti menghilangkan batas. Batas sekadar jadi pembeda dan identitas. Pada orang dengan level seperti saya, identitas masih penting, bahkan Islam pun adalah identitas bagi seseorang pemeluk agama. Identitas sebagai pembeda tidak masalah, asal itu tidak dipermasalahkan. Rasanya justru dengan batas itulah kenikmatan benar-benar terasa nikmat, ketakterbatasan justru akan menghambarkan rasa kenikmatan, kepuasan.
Dan itu adalah buatan manusia...
iya mas edi..
dini hari tadi, sepulang kos setelah beberapa jam ngobrol sama mas luluk, mas yogas, mas gie, juga mas taufuk, saya kemudian menyalakan komputer dan membaca ulang tulisan itu (di atas). dengan memaksakan diri untuk berpikir saya mengoreksi dan iseng-iseng meng-editnya. dan apa ubahan-ubahan/tambahan yang saya berikan itu rencananya akan saya tambahkan sekarang ini. namun saya kaget, ternyata telah ada masukan dari mas edi, dan mas gie, yang justru lebih dari tambahan yang akan saya berikan. dan terima kasih banyak untuk itu..
pada akhirnya manusia tak harus menghilangkan batas itu, karena batas adalah bagian dari hidup yang musti ada. baik batas yang sudah ada ataupun yang diadakan oleh manusia sendiri..
Ya....
Posting Komentar