Abdul Aziz El-Quussy melihat kesehatan mental sebagai kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Baginya, setiap tindakan manusia dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar tidak akan keluar dari bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan. Seperti yang dilakukan oleh makhluk hidup lainnya, untuk menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan, serta mempertahankan jenis. Demikian juga dengan manusia yang melakukan interaksi sebagai salah satu bentuk penyesuaian diri yang disebut adjusment. Lebih jauh lagi, Abdul Aziz El-Quussy berpendapat apabila manusia tidak dapat menyesuaikan diri dengan ligkungan bisa dikatakan kesehatan mentalnya terganggu. Untuk memperjelas konsepnya tentang kesehatan mental, contoh sederhana yang diberikannya adalah, jika seseorang ketika berada dalam situasi yang menghadapkannya dengan seekor singa, maka ketakutan itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi jika seseorang takut ketika berhadapan dengan binatang yang tak dianggap buas oleh pandangan umum, kelinci misalnya, maka ketakutan seperti itu dipandang sebagai penyesuaian yang tidak wajar.
Abdul Aziz El-Quussy menganalogikan kesehatan mental dengan kesehatan jasmani. Kesehatan jasmani adalah keserasian sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani, disertai dengan kemampuan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran biasa yang terdapat dalam lingkungan. Keserasian di sini adalah bekerjasamanya fungsi-fungsi jasmani untuk kepentingan seluruh tubuh. Maka dalam keadaan sehat, jangan sampai ada satu bagian anggota tubuh yang bekerja lebih besar atau lebih kecil dari yang diperlukan oleh tubuh. Misalnya kelebihan thyroid gland daripada kadar yang diperlukan oleh tubuh, maka terjadilah exophthalmic goiltre, dan kekurangannya akan menimbulkan myxodema. Analogi ini dikembalikan pada konsep kesehatan mental dengan mengganti kata ”jasmani” dengan kata ”jiwa”, demikianlah Abdul Aziz El-Quussy menjabarkan konsep-konsepnya.
Dari uraian sebelumnya, bahwa kesehatan mental bukanlah sekedar sunyi dari penyakit, karena hal itu tidak cukup mejamin kemampuan manusia menghadapi goncangan-goncangan dalam hidup, dan tidak pula selalu disertai dengan perasaan bahagia secara positif. Tetapi diterangkan juga bahwa kesehatan mental adalah tercapainya kebahagiaan individu. Hasil-hasil perseorangan-jika itu menjadi tujuan-pasti akan berhadapan dengan keinginan orang lain, yang mungkin akan mengurangi atau menghancurkannya. Bukan pula kesehatan mental sekedar usaha kebahagiaan masyarakat, karena tercapainya kebahagiaan mesyarakat tidak selalu menimbuklan kebahagiaan perseorangan. Ini berarti menjaga hubungan sosial merupakan hal penting, sehingga membawa kepada tercapainya tujuan perseorangan tanpa mengabaikan nilai-nilai sosial. Secara tidak langsung Abdul Aziz El-Quussy menyatakan manusia tidak harus selalu mengikuti masyarakat sebagaimana adanya, akan tetapi juga berusaha mengadakan perubahan di dalamnya untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Yang diharapkan terjadi di sini adalah masing-masing individu dan masyarakat sama-sama berusaha meningkatakan dan pihak lain.
Ahmad Fahmi Mubarok
Sabtu, Juni 14, 2008
Tentang Kesehatan Mental Menurut Abdul Aziz El-Quussy
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
Menurut saya, org yang dikatakan tidak sehat mental sebenarnya, karena dia terlalu banyak hidup dalam kehidupannya sendiri.
Dalam kondisi ekstrim, ia disebut gila. Ini menurut saya bukan masalah dia "sakit" apa tidak. Tapi masalahnya dunia yang mereka pikirkan belum benar2 mampu kita pahami. Dan upaya penyembuhan itu sebenarnya hanya usaha pengharmonisan jalan pemikiran "si yg sakit" dengan standar2 sosial yang menurut kita "benar dan baik"...
Jadi menurut saya istilah "sakit" jiwa itu tidak ada...yg ada hanya kelainan cara berfikir...
Barangkali itu..
bolehlah kalau mas gie berpendapat seperti itu. dimensi kesehatan mental lebih kepada hubungan manusia dengan lingkungannya, yang melibatkan (istilah psikologisnya malah lupa, hehe), pokoknya habitus dan ranah dalam konsepsi bordieu. penyesuaian diri menjadi fokus dari kesehatan mental. memang hal ini menjadi tidak dapat dipungkiri jika pada akhirnya kesehatan mental adalah "daereah sekitar kurva normal", dan sangat kontekstual. orang yang di jawa ini biasa menyesuaikan diri adalah orang yang sehat mental menurut konteks jawa. tetapi perilaku yang sama belum tentu tepat konteks jika berpindah tempat, dan inilah hal-hal yang seringkali digugat.
tetapi, sesungguhnya manusia memang terlalu kompleks untuk disederhanakan dalam "pada dasarnya", unisitas manusia merupakan hal yang sama sekali tak bisa dikesampingkan, sehingga kriteria kesehatan mental pun tak dapat ditentukan sebagai sesuatu yang baku dan berlaku untuk semua manusia. dalam hal ini, saya sepakat dengan GM, "yang ada hanyalah momen kebajinganan, atau momen kepahlawanan".
orang - orang genius, juga mental deffective (debil embisil dan idiot) adalah orang2 yang ada di pucuk2 kutub kurva normal. mereka sering disebut tidak sehat mentalnya karena lain dari yang lain dalam populasi kurva normal.
Orang2 menggunakan logika samin ketika masa penjajahan sebagai bentuk perlawanan. tetapi, jika logika samin sampai sekarang tetap dipakai, maka mejadi tidak harmonis dengan perkembangan masyarakat. ada yang menyebut mereka mengalami gangguan mental. tetapi itupun juga karena perhitungan deviasi dalam kurva normal yang ekstrim.
Ada orang yang diam saja, cemas, berkeringat, bahkan detak jantung semakin cepat bila ada di dekat lawan jenisnya..
Kemudian, jika ada orang yang phobia terhadap hewan tertentu,
phobia akan ketinggian,
phobia akan ruangan sempit,
phobia terhadap pola2 tertentu..
juga ada orang yang mengalami kepuasan ketika bersenggama dan dilihat orang banyak,
ada orang yang menikmati ketika bersenggama dengan hewan,
ada juga orang yang bersenggama dengan mayat,
ada seorang wanita yang terpenjara dalam tubuh lelaki, hingga kemudian dia operasi kelamin...
ada juga fenomena kepribadian yang terpecah2 (multiple personality), untuk mempertahankan hidup...
tentu mereka juga mempunyai otak untuk berpikir, dan mungkin juga ada kelainan berpikir dari person2 itu. memang hal itu tidak umum, dan berada dipinggiran akurva normal.
tetai cukupkah itu dianggap berpikir lain?
??
Untuk mas malik, Psikologi mungkin ilmu yang belum lengkap, iya, sampai saat ini kenyataannya memang demikian.
pernyataan anda mirip tesis mazhab psikoanalisis bahwa semua orang hidup tidak ada yang waras alias setiap orang pasti mempunyai gangguan ('neurotik' dalam bahasa freud) . cukup pesimis memang. tetapi, menurut saya ini adalah pernyataan yang belum selesai;
Bahwasannya, dibalik kekurangan (ra waras) tersebut, tersebul juga suatu kelebihan?
mungkin sperti itu. dan bukankah lebih baik prioritas kita konsenkan pada kelebihan/potensi SDM tersebut? baru kemudian mengotak-atik pada ketidakwarasan yang setiap orang punya?
Bukankah peradaban manusia memang dibangun dengan kondisi manusia2nya yang demikian?
hariz
Mas Hariez dan Mas Fahmi...klo saya ini sehat tak ya (dilihat dari kesehatan mental)?
Siapa yang menentukan standar orang itu sehat atau tidak? Sehat menurut siapa, tidak sehat menurut siapa? Bukankan ini menjadi subjektif pada akhirnya? Apakah orang mesti menjadi sehat jika "sakit" justru adalah kenikmatan baginya? Bukankah ini akibat dari turunan konsepsi thanatos Freudian dalam arti luas?
Kalau ditarik dalam ranah psikologi sosial, sebagaimana pernah diungkapkan Michel Foucault...tentang masyarakat yang sakit dalam bukunya, Madness and Civilization, kira-kira masyarakat yang sakit apakah yang tidak sehat mentalnya? BUkankah di dalamnya juga terdapat "bagian" yang tidak sakit...?
Biasanya Guru saya akan berkata sebuah amtsal, "orang waras di tengah-tengah massa yang gila, dikatakan gila, so... orang gila di tengah-tengah massa yang waras...????"
kalau dari saya mas edi, seperti yang diatas. kalau kita pakai paradigma psikoanalis, maka tidak ada orang yang terlahir bebas dan sehat secara psikologis. bahkan menurut freud setiap orang adalah neurotik sehingga dalam keadaan tidak jelas, maka seseorang mengalami kecemasan.
tetapi psikologi khan tidak hanya freud dan psikoanalisisnya mas, murid2ya pun banyak yang "murtad" (diantaranya ; Adler, Jung dan Fromm)dan memperbaharui teori2 freud termasuk thanatos yang dirasa janggal dihaluskan menjadi "dorongan agresif". dan ini yang digunakan oleh APA (american psychological assocciation) -yang diakui secara universal oleh dunia psikologi, dalam membatasi orang yang sehat >< sakit secara kejiwaan melalui kitab2nya (wlaupun saya tidak sepenuhnya setuju dengan semua klasifikasinya).
tentang M.foucault, saya belum pernah baca karyanya itu mas. tetapi, dalam masyarakat yang sakit (mungkin demikian), belum tentu juga yang sakit adalah mental para individu2 dalam masyarakat tersebut. atau lebih tepatnya sebagian. tidak semuanya.
hal ini bisa dijelaskan dengan social learning teorinya bandura, dimana lingkungan-kepribadian-perilaku dalam masyarakat adalah variabel yang saling mempengaruhi hingga terbentuk komfromitas dalam masyarakat itu.
komfromitas menjadi "karakter" masyarakat tersebut akhirnya berbalik kembali, mempengaruhi individu2 pembentuknya. hal ini akan terus berproses dan berulang2.
tetapi, komfromitas yg menjadi karakter dari masyarakat tersebut belum tentu mengambarkan karakter individu2 didalamnya...
karena, mnurut binswanger (seorang psikolog eksistensialis), stiap orang adalah uniq ("rumit"klo blh saya bilang), jadi kecenderungan karakter (konstruk kepribadian) dalam diri individu2 itulah yang membentuk komfromitas. tetapi, satu individu saja mempunyai banyak kecenderungan khan? dan hal itu belum tentu sama dengan orang lain meskipun dalam satu kelas sosial.
jadi individu2 dalam masyarakat yang sakit boleh jadi mempunyai kecnderungan untuk menjadi bagian dari "identitas" masyarakat tersebut (bisa dengan adaptasi), tetapi hal itu tidak menggambarkan karakter/kepribadianya yang sesungguhnya. mungkin secara pribadi, dia sehat dan masyarakatnya yang sakit... atau sebaliknya
mungkin penjelasan di atas bisa menjelaskan adanya "bagian yang tidak sakit" atau "orang waras di tengah-tengah massa yang gila, dikatakan gila, so... orang gila di tengah-tengah massa yang waras...????" begtu khan kangmas Ayatullah Edi Al Khomeini?
Saya merindukan jawaban yang mak nyesss...tepat sasaran dan renyah gitu. Pada akhirnya pun ketika yang disetujui Freud, Fromm, Adler, atau siapapun bukankah itu subjektif menurut dia juga? Sebagai orang awam dalam psikologi saya ingin mempertanyakan, bukankah psikologi adalah ilmu tentang jiwa, batin atau sisi dalam seorang manusia, bagaimana hal yang begitu unik untuk masing-masing individu kemudian dibuat general dan untuk menilai semua orang? Bukankah pula masing-masing masyarakat, Indonesia misalnya memiliki budaya yang membentuk karakter dan kekhasan psikologis pada individu di sini, mengapa pula mesti ikut pada american psychological assocciation misalnya? Tidakkah ketika seseorang merumuskan rumusan psikologi mental yang sehat atau tidak ia dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya juga, yang pasti dipengaruhi oleh trajektori dan habitus hidupnya yang panjang? Lalu bagaimana hal itu bisa digunakan untuk hal yang general menilai orang lain, dari lain budaya pula? Siapa yang menentukan konsep itu sah atau tidak sah, valid atau tidak?
Saya setuju dengan teori konformitas itu, tapi M. Foucault (bukan Muhammad Foucault ya...ati2) lebih sebagai Nitszchean yang bagi saya juga posmodernis, lebih kurang dalam bukunya itu, ia menggambarkan bahwa masyarakat modernis-posmodernis sekarang ini mengalami “kegilaan” alias sakit mental tanpa sadar. Jadi bukan berkaitan pada person sebagai bagian dari civilization, maksud saya adalah masyarakat, elemen, yang tentunya bisa berupa ras, etnik, agama, dll (baru di sini bisa dihubungkan dengan teori konformitas itu secara tidak langsung). Foucault lebih kurang mengatakan, masyarakat sekarang merasa sehat padahal sakit (tentu dengan definisinya sendiri hehehe), misalnya mereka selalu “disetir” oleh keinginan pemenuhan hasrat tanpa batas, tubuh sebagai fetisisme komoditas, dan lainnya, dan ini sudah kaprah hingga menjadi apa yang ditakutkan oleh para Neomarxisme sebagai kesadaran palsu. Sebagian besar tidak ada yang mengakui hal itu sebagai “kegilaan” atau sakit mental peradaban, sakit mental masyarakat, semuanya menganggap itu sah-sah saja.
Adakah psikologi posmodern yang bisa menjelaskan ini secara lebih “memahamkan”, karena saya terus terang sedikit lebih “menguasai” teori diskursus Foucault daripada pandangannya soal ini, maklum penuturan Foucault memang njlimet, berputar-putar, dan sering menggunakan istilah yang tidak bermakna sebenarnya? Atau jangan-jangan foucault sendiri yang “gila” hehehehe.....
Posting Komentar