online degree programs

Selasa, September 02, 2008

Dari Getuk Goreng Bu Rury ke Ikan Lele Pak Mamat, Dari Ikan Lele Pak Mamat ke Teori Faedah Marjinal

Diskusi getuk pun berlanjut.

Kebetulan kemarin saya mampir lagi ke rumah Bu Rury. Saya bawakan mereka sedikit oleh-oleh, sebuah labu merah pemberian Bapak saya. Di rumah Bu Rury, saya kembali berdiskusi dengan anak-anaknya.

Saya melontarkan pertanyaan, “Jika permintaan akan getuk Ibumu meningkat, apakah harganya juga akan naik?” Jawab si Chun, “Belum tentu”. Saya bertanya, “Mengapa?” “Karena harga Rp.500 per buah mungkin nilai maksimal dari getuk Ibu saya,” kata si Chun. Lalu si Rifky menyahut, “Ya, masak satu kilo ketela pohong sebagai bahan baku getuk seharga Rp. 1500,- bisa menjadi 20-an butir”….

“Berarti perubahan nilai dari ketela pohong menjadi getuk sangat tinggi, dari Rp. 1500/kilo ketela pohong bisa menghasilkan 20 getuk seharga Rp. 500,-/butir. Yang berarti 20 x Rp. 500 = Rp. 10.000″. Dalam hati saya menghitung margin kotor yang dibuat Bu Rury. Wah, lumayan! Bayangkan, dengan bahan baku senilai Rp 1.500 dan dengan ‘hanya’ bermodalkan ketrampilan membuat getuk dan kemampuan kerjasama anak-anaknya, mereka bisa mengubah nilai ketela pohong dari seharga Rp. 1.500,- menjadi Rp. 10.000,-. Itulah kehebatan produksi kapitalisme getuk!

Teori Faedah Marjinal

Kita tinggalkan sejenak penjelasan singkat teori proses perubahan nilai barang di atas. Sekarang kita akan membuat konstruksi imajiner untuk memudahkan pemahaman terhadap teori faedah marjinal. Kita mulai dengan pertanyaan: Mengapa rasio perbandingan harga getuk terhadap ikan bisa berubah-ubah? Atau pertanyaan umumnya: Mengapa nilai barang selalu berubah-ubah pada kuantitas, tempat dan waktu tertentu?

Untuk menelusuri perubahan-perubahan nilai sebuah barang, kita tidak dihadapkan oleh perhitungan-perhitungan obyektif ilmu matematika ataupun faktor-faktor psikologis manusia, tapi kita di sini dibatasi oleh hukum-hukum praksiologis. Yaitu ilmu mengenai logika tindakan manusia.

Katakanlah Pak Mamat si penjual ikan lele sedang panen. Pasokan lele di pasar menjadi berlimpah. Akibatnya, rasio getuk Bu Rury dengan ikan lele Pak Mamat juga berubah, yaitu tidak sebagaimana biasanya di hari-hari “normal”. Katakanlah biasanya 5 getuk dihargai 1 ikan lele; karena “keberlimpahan” ikan lele maka rasionya menjadi 1 getuk dihargai senilai 2 lele. Lho kok ekstrem benar perubahannya? Sekali lagi, ini sekedar contoh.

Sampai di sini kita akan mengarah pada apa yang disebut hukum faedah marjinal yang tidak terbantahkan itu: yaitu bahwa “ketika persediaan barang bertambah sebanyak satu unit, sejauh manfaat setiap unit tersebut dinilai setara oleh seseorang, maka nilai yang diberikan orang itu kepada unit tersebut pasti akan menurun“.

Boleh dibaca sekali atau dua kali lagi sambil diresapi kebenaran maknanya.

Alasannya, karena setiap satu unit ikan lele Pak Mamat tersebut hanya dapat dipakai sebagai cara pemenuhan tujuan (hasrat) manusia. Jadi setiap pertambahan unitnya akan dapat mengurangi nilai ikan lele tersebut.

Tidak hanya tambahan unit ikan lele yang dapat mengurangi “utilitas” ikan lele tersebut. Tapi juga terkait waktu dan tempat. Katakanlah hari sudah siang, tapi ikan lele Pak Mamat ternyata masih tersisa banyak, maka bisa jadi nilai rasio Ikan Pak Mamat akan semakin menurun dibandingkan dengan getuk Bu Rury. Karena daripada ikan lele Pak Mamat terbuang sia-sia karena membusuk, maka Pak Mamat memutuskan untuk mengobralnya.

Atau bisa jadi, harga ikan lele Pak Mamat akan lebih tinggi setelah dibawa ke pasar, dibanding harga ikan lele Pak Mamat kalau kita membeli di Rumah Pak Mamat secara langsung. Karena ternyata seluruh penduduk di kampung Pak Mamat semuanya berternak ikan lele. Jadi harga lele di kampung Pak Mamat bisa lebih rendah daripada harga di pasar.

Apabila contoh ikan lele di atas dirasa mengada-ada, kita dapat melihat kebenaran sehari-hari yang ada di hadapan kita. Katakanlah udara! Tanpa adanya udara kita akan mati karena kita tidak dapat bernafas. Tapi mengapa kita tidak menilainya lebih tinggi daripada dengan beras Pak Juri? Jawabnya, karena udara begitu berlimpah hingga kita menilainya dengan sangat rendah, bahkan nol.

Bayangkan pula jika kita sedang berada di padang pasir selama berhari-hari dan kehabisan persediaan air. Jika kita diminta memilih antara emas murni satu kilogram dengan segalon air mineral, maka kemungkinan besar kita akan memilih yang kedua.

Begitulah konkretnya dan pada hakikatnya kita menilai sesuatu: selalu pada marjin-marjin tertentu (oleh karena itu ini disebut teori faedah “marjinal”). Jadi, sebenarnya tidak ada itu yang namanya “faedah air” ataupun “faedah emas”. Orang juga tidak pernah benar-benar membandingkan dengan cara ini: mana yang kamu suka, air atau emas?

Sebaliknya, yang ada hanyalah nilai faedah unit x pada tempat y dan waktu z, yang diperbandingkan dengan nilai faedah unit lain pada konteks tersebut. Secara riil, orang memperbandingkan sekian unit air dengan sekian unit emas pada konteks konkret tertentu.

Dengan kata lain, tidak ada “nilai guna jumlah seluruh air di dunia” ataupun tidak ada yang namanya “nilai guna emas di dunia”; yang ada adalah faedah unit suatu barang pada tempat dan waktu tertentu.

Maka dalam konteks ekstrem di padang pasir setelah menempuh perjalanan berhari-hari di terik matahari, bagi kita segalon air akan dapat lebih memenuhi tujuan kita (hasrat) ketimbang sepotong emas murni. Maka kita dapat dipastikan akan menetapkan nilai yang lebih besar atau lebih tinggi kepada air. Yang demikian ini adalah kebenaran yang tidak terbantahkan. Salam.(Giy)


3 komentar:

Anonim mengatakan...

Sekedar info, saya menulis ini kemarin dari jam 5 sore sampai jam 7 malam. Buka puasa cuma "air putih". Terus saya minta ijin untuk dieditkan Pak Nad.

Semoga bermanfaat! mohon dibaca cermat-cermat.

Anonim mengatakan...

kok belum ada yg komentar ya? okelah saya diskusi sendiri aja.

Ngomong2, Allah Swt itu 'Maha'. Dia menciptakan dunia penuh keteraturan, menciptakan hukum alam semesta agar manusia dapat belajar.

Dalam kehidupan 'materi', Dia menciptakan hukum2 fisika yg pasti. Dalam diri manusia, Dia menciptakan hukum2 manusia yg 'pasti'.

Tapi hukum kepastian hanya milik-Nya. Sedangkan manusia adalah makhluk ketidakpastian.

Dalam bertindak, manusia dibatasi hukum2 kepastian dari-Nya. Manusia tugasnya hanya 'membaca'. Konon surat Al Fatihah mengatakan hal yg demikian...

tapi tafsir manusia dalam menanggapi tugas dari-Nya pun bermacam2.

Tanpa kesabaran, ketelitian, keberanian, cinta, keadilan, ketulusan dsb. Semua bisa menjadi 'maut' bagi manusia sendiri.

musuh manusia bukanlah binatang, manusia(bangsa)lain, UFO dsb. Tapi, musuh terbesar manusia adalah berada di dalam dirinya sendiri.

Secerdas2 org, kalau niatannya buruk. Akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan umat yg lain. Sebodoh-bodoh org, selama dia mempunyai niatan yg tulus akan mendapat keberlimpahan dari-Nya.

Sedangkan ketulusan tidak dapat diuji secara empiris ala positivisme. Ketulusan tidak dapat diuji melalui perhitungan statistik. Ketulusan tidak dibawa ke 'rental2' komputer untuk 'dianalisis data'kan. Ketulusan hanya dapat dicermati melalui "pola" manusia dalam bertindak. Dan hanya dirinya sendiri dan diri-Nya yg mengetahui batas-batas ketulusan manusia.

Saya pun tidak dapat 'memutlakan' pandangan pribadi. Bisa jadi hari ini saya benar, besok hari bisa jadi saya salah. Itu semua terletak pada hati nurani pribadi. "Ya, manusia itu ibarat angin..."

Kata seorang sastrawan, yg membedakan apakah manusia itu jahat atau baik bukan oleh darimana bangsanya, apa ideologinya, siapa bapaknya, apa jabatannya. Tapi kebaikan seseorang hanya terletak di dalam hatinuraninya!

Ya, manusia hanya bisa berkata-kata. Sedangkan kata-kata memiliki keterbatasannya. Dan seperti yg sering saya katakan, Bahasa laku lebih bijaksana!

Sedangkan akal/logika hanya alat manusia dalam menemukan kebenarannya.

Salam

Anonim mengatakan...

diskusi sendiri lagi aja ah...

Ketika seorang bijaksana mempelajari 'hukum alam', dia akan mencoba menerapkannya dengan segala ketebatasan dirinya...

Ketika seorang cendekia mempelajari 'hukum alam', dia dengan sukarela membacanya tapi kesulitan menerapkannya...

Ketika anak muda mempelejarai 'hukum alam' dia akan tertawa terpingkal-pingkal karena 'ketidaklogisannya'....

ketika anak kecil mempelajari 'hukum alam', dia akan sulit mengejanya dan menangis kesulitan mempelajarinya sehingga harus minta bantuan kakak-kakaknya(ya seingatku saya dulu seperti itu)...