Tuk Pak Nad dan yang lain yang bersedia berdiskusi untuk tema ini, saya kembali memposting tanggapan saya ini di “artikel” untuk mempermudah diskusi, karena bulan terlah berganti, dan agak susah membuka kembali di inbox bulan kemarin.
Tapi setidaknya bagi saya terdapat beberapa point yang sampai sekarang masih belum terjawab, hingga saya menyatakan ibarat saya memandang satu sisi dinding dengan lukisan surealisme dan mempertayakannya, lalu Pak Nad datang membawa lukisan realisme dan memajangnya di sisi dinding yang lain dan menjelaskanya pada saya. Point-point tersebut antara lain adalah: (1) argumentasi tentang kapitalisme pada komentar Pak Nad yang pertama yakni, “....kapitalisme, dalam pengertian liberalisme klasik laissez faire, adalah satu-satunya sistem pengorganisasian sosial yang paling tepat dan paling moral bagi manusia. Sayangnya, istilah kapitalisme dan liberalisme itu sendiri sudah katakanlah tercemar, antara lain dengan berbagai varian2 neoliberalisme, kapitalisme kroni, dll. Dalam pemahaman saya varian-varian ini lebih tepat diklasifikasikan ke dalam varian dari statisme atau sosialisme,...” juga “...maka kapitalisme di sini adalah sistem yang mencoba yang paling baik, paling moral, dengan sepenuhnya menghargai manusia sebagai individu...”, dan “Pasar bebas dalam pemahaman kedua penulis tersebut, sejauh yang saya pahami lewat dialog kami lewat email dan komentar2 masing-masing, adalah sistem pengorganisasian laissez faire...” saya belum melihat penjelasan yang memadai tentang kapitalisme dan pasar bebas di sini, jadi saya kemarin mempertanyakan hal itu, tapi Pak Nad mungkin merasa sudah menjelaskan hingga menyuruh saya kembali membaca komentar Pak Nad yang awal ini. (2) pada paragraf saya, “....peran negara mesti diminimalisasi atau bahkan dihilangkan dalam sistem perokonomian pasar bebas, .... utopia pertukaran tanpa koersi ini pada penyataannya tak terjadi dan isu keniscayaan koersi ini tak tertanggapi oleh teori pertukaran itu, termasuk konsep pasar bebas. Justru dengan pasar bebas yang niscaya membawa koersi telah menimbulkan bencana sosial-ekonomi-politik-budaya di mana-mana.” Pak Nad hanya mengomentari yang mungkin Pak Nad anggap lemah logikanya, mungkin dengan tidak melihat runtutan kalimat sebelumnya. (3) adalah pertanyaan saya “apa perlu ada negara jika tidak ada pengaturan (regulasi) yang memerlukan tilikan filosofis-historis awal berdirinya negara atau pemerintahan itu untuk apa?”
Soal Pak Nad tidak menanggapi pernyataan “keruh” saya dari Agger tentang positvisme, teori kritis dan lainnya itu, bagi saya ya tak mengapa, toh kalaupun ditanggapi tentu diskusi ini akan melebar pada bahasan-bahasan teoritis dan historis positivisme vs teori-teori sosial kritis di Amerika dan Eropa “kala itu”, yang mungkin Pak Nad tidak berminat membahas itu. Tapi yang perlu saya tanyakan, bilamanakah pernyataan itu keruh bagi Pak Nad? Argumen-argumen saya “keruhnya” di mana? Mohon penjelasannya.
selanutnya, menjawab Pak Nad: Positivisme, saya setuju dengan Pak Nad bahwa ia tak cocok jika dipaksakan untuk ranah keilmuan sosio-humaniora, walaupun toh sampai pada batas-batas di luar kapasitasnya, positivisme dalam ranah sosio-humaniora menjadi pegangan “pasti” yang diperlukan untuk beberapa “kemudahan”, misal dalam psikologi untuk mengukur kecerdasan manusia, emosi, religiusitas, dan lainnya, ya bagi saya hanya untuk “memudahkan”, bukan untuk ketapatan, lainnya saya kurang tahu; positivisme dengan demikian bagi saya hanya cocok untuk disiplin eksakta, dalam sosio-humaniora ia cenderung reduksionis-deterministik terhadap fenomena.
Positivisme bagi saya dengan tanpa memberikan referensi yang memadai, adalah paradigma ilmu pengetahuan dengan serangkaian prinsip seperti objektivitas, serba pasti, terukur, tertata, generalisasi, bebas nilai, ilmu untuk ilmu, netralitas, mengandalkan empirisitas, rasionalitas, dan lainnya.
“Bebas nilai dan bebas tanpa paksaan” dalam kalimat saya tersebut dapat dikatakan bahwa, prinsip bebas nilai yang merupakan pegangan bagi kaum positiv dalam melakukan riset dan pengembangan keilmuannya berubah dalam konteks yang berbeda dalam bentuk lain namun dengan substansi yang sama, yakni “bebas dari”, dalam konteks transaksi ekonomi tersebut.
pak Nad berkata, ”Tidakkah Bung sadari? Anda menyatakan bahwa keterbatasan yang menjadi fitrah manusia dalam bertransaksi adalah KOERSI. Kekeliruan terhadap konsep elementer ini saya coba koreksi secara tidak langsung dengan "scarcity."
Pak Nad mencoba mengoreksi kekeliruan saya hingga “mengganti” koersi dengan scarcity, saya mengatakan bahwa bukankah tidak sama antara koersi dan keterbatasan? Dalam pemahaman “intutitif” saya, koersi adalah berupa aksi-aksi sedangkan keterbatasan adalah pada posisi-posisi, dan saya tidak tahu di bagian kalimat saya itu yang mana saya menegaskan menyamakan koersi dengan keterbatasan? Saya menyatakan keterbatasan tersebut menjadikan koersi, atau koersi oleh keterbatasan tersebut, saya kira kalimat saya jelas. Bagi saya agaknya scarcity Pak Nad justru membuang koersi yang niscaya ada dan saya percayai adanya, keduanya tidak satu, tapi ibarat dua sisi dari satu koin mata uang yang sama.
Pak Nad berkata, “Nah, menurut Bung Ed, selain faktor scarcity, dan motif untuk memperbaiki suatu keadaan dengan keadaan lain yang diharapkan oleh seorang pelaku tindakan akan membawa ke keadaan yang lebih baik, faktor dan tujuan apa lagikah yang tertinggal? Anda bilang ini terlalu mereduksi; bisakah Anda tambahkan yang tertinggal tanpa menjadi redundant?”
Maaf Pak, tapi saya mungkin akan redundant, yang kemarin sudah saya nyatakan dan agaknya terlupa tidak ikut dibahas oleh Pak Nad, yakni tentang humanisme seperti keadilan, kebajikan, kebersamaan, pengorbanan, keikhlasan, ketidaksadaran, ketidaksengajaan, dan lainnya, serta faktor-faktor politik, budaya, dogma, agama, Tuhan, dan yang sering Pak Nad sebut, intuisi, selain itu juga koersi, hegemoni, eksploitasi, dan lainya. Ya, bagi saya konsep yang diajukan Pak Nad terlalu mereduksi, sedangkan yang dibidik tepat atau yang diopeni (diurus) dalam konsepsi Pak Nad hanyalah yang berkaitan dengan logika ekonomi yang rigid dan pasti saja. Yakni motif-motif yang dapat dihitung dengan pengandaian hitungan akan tepat terjadi, tanpa kesalahan, dan ramalan menjadi terbukti, ala positivis. Keasyikan dalam pengandaian inilah yang bagi saya agaknya terlupa tidak melihat faktor lain seperti yang saya sebutkan tersebut, dan sangat bisa menjadikan konsepsi Pak Nad tak terbukti dalam realitas empiris. Walaupun bagi saya bukan terbukti atau tidak terbukti secara empiris masalahnya, tapi dengan menafikan faktor-faktor tersebut berarti mengabaikan fakta lain, faktor lain, yang berpotensi membawa pada hasil “perhitungan” yang beda, yang tak sesuai pada rumus transaksi Pak Nad.
Pak Nad berkata, “Logika saya jelas, berangkat dari teori-teori ekonomi. Dan saya secara pribadi anti-membuat pernyataan-pernyataan keruh. Saya bilang semua tindakan manusia itu tindakan ekonomis dalam konteks yang cukup jelas atas dasar faktor dan tujuan di atas tersebut. Konsep-konsep yang Anda sebutkan: “pemberian, pengorbanan, keikhlasan, keadilan,” sangat relevan ditinjau lewat teori ekonomi. Kalau Bung Ed bicara pemberian, pengorbanan, keikhlasan, itu dari sudut pandang apa?”
Pak Nad bilang semua tindakan manusia itu tindakan ekonomis dalam konteks yang cukup jelas atas dasar faktor dan tujuan “di atas” (atas yang mana? Keadaan yang lebih baikkah?) dan Pak Nad kemukakan berangkat dari teori-teori ekonomi. Oke saya petikkan lagi pernyataan Pak Nad pada posting sebelumnya, yaitu “Manusia adalah makhluk yang bertindak. Dan konsep transaksi langsung terkait di dalamnya, sekalipun seorang individu ber-relasi dengan invididu lain. Sebab setiap tindakan adalah transaksi. Dalam transaksi yang autistik, individu membuat pilihan-pilihan oleh sebab semua sumber daya yang ada di dunia, baik sebagai cara ataupun tujuan, memiliki keterbatasan...”.
Menjawab Pak Nad, saya mengemukakan “pemberian, pengorbanan, keikhlasan, keadilan, dll” itu secara keilmuan adalah dalam konteks ranah sosio-humaniora, jadi tidak sekadar dari perspektif ekonomi Pak. Karena kemanusiaan bagi saya mestinya tak sekadar dilihat dari perspektif ekonomi saja, tapi ya mesti minimal perspektif sosio-humanaiora di mana ekonomi ada di dalamnya.
Pak Nad berkata, “Bung Ed, bagaimana kita dapat menegakkan menegakkan humanisme dengan tidak mengedepankan individualisme dan egoisme? (Biar tidak keruh: egoisme tanpa merugikan kepentingan orang lain; yg sadar bahwa orang lain juga berhak egois)”
Saya jadi berpikir kembali apakah pemahaman saya akan individualisme dan egoisme selama ini salah? Ketika dari kecil sampai saya banyak berdiskusi dengan dosen-dosen psikologi, bahwa egoisme itu tidak baik, kemudian juga berdiskusi dengan dosen-dosen filsafat saya bahwa individualisme itu tidak baik. Saya terbuka terhadap kemungkinan kesalahan pemahaman saya akan kedua istilah ini. Pertanyaan saya, adakah egoisme yang tak merugikan orang lain, adakah egoisme yang menoleransi egoisme orang lain –sebagaimana adakah agresi yang tidak mengagresi agresor lain, adakah individualisme yang memerhatikan orang lain di sekitarnya, adakah individualisme yang “keadilan, kebersamaan, kekeluargaan”? Mohon jawaban Pak Nad agar saya keluar dari kekeruhan pemahaman ini.
Pak Nad bertanya, “Apakah kapitalis yang nota bene berarti “pemilik modal” tidak boleh memperkaya dirinya sendiri?
Bagi saya persoalannya bukan boleh atau tidak boleh memperkaya diri sendiri, tapi tidakkah kiranya melihat orang lain sebagai sesama manusia di sekitarnya, buruh pekerjanya, fakir miskin, yatim piatu, korban gusuran, yang mestinya mendapatkan perhatian. Apakah patut seseorang terus memperkaya diri sendiri sementara buruhnya hidup jauh di bawah standar kelayakan hidup minimal? Di mana ia pagi dapat sarapan di Thamrin, siang shoping di Orchid Road Singapura, malam di Hong Kong, dan paginya kembali sudah ngopi di Starbuck Menteng, sementara pekerjanya bahkan untuk menyekolahkan anaknya saja tidak bisa, dan terpaksa menjadi asongan, adilkah ini? Kemanusiaannya diletakkan di mana? Individualisme dan egoisme inikah yang hendak dijadikan pegangan untuk menegakkan humanisme? Ooo...sungguh saya tidak paham, mohon pencerahannya Pak Nad.
Pak Nad bertanya, “Apakah Anda mengasumsikan bahwa orang yang punya modal hanya bisa dan mau memperkaya diri sendiri?”
Tentu tidak Pak Nad, saya tidak menganggap seperti itu, ada juga orang yang punya modal tidak individualis dan egois dan dapat memanusiakan orang-orang lain yang menjadi staf, karyawan, dan buruhnya dengan gaji yang layak. Yang saya khawatirkan tentu adalah kejadian sebaliknya dari semua pengandaian positif Pak Nad akan mekanisme tindakan dan transaksi ekonomi tersebut, yakni ketidakadilan, eksploitasi, dll.
Pak Nad berkata, “Saya mau ingatkan hal yang tidak terlalu intuitif ini: ketika orang bertransaksi secara bebas demi keuntungan dirinya sendiri, ia bahkan memberi lebih banyak kepada masyarakat, ketimbang jika orang tersebut berbisnis dengan niat menguntungkan orang lain?”
Mohon Pak Nad memberikan contoh riil bagaimana seseorang yang selalu individualis dan egois demi keuntungan dirinya sendiri dapat memberi lebih banyak kepada masyarakat? Tentu khusus untuk edisi diskusi “komunitas embun pagi” ini secara lebih simpel bagi kita-kita ini Pak.
Pak Nad berkata, ”Bagi saya, hanya ketika setiap individu dapat mengekspresikan individualitasnya dan egoismenyalah, potensi setiap manusia dapat tumbuh sesubur-suburnya.”
Oh iya, saya pun setuju sekali dengan pendapat Pak Nad ini, yakni ketika seorang menjadi individualis dan egois ia akan dapat tumbuh subur “semua” potensinya, namun pada saat yang sama ia kehilangan potensi untuk dapat mengasah sensitivitas sosialnya, bahkan mungkin juga spiritualnya, karena individualisme dan egoisme menghilangkan sesuatu di luar dirinya.
Saya menulis di posting kemarin bahwa, “Sepemahaman saya keadilan memang tak terberi secara otomatis dalam ranah sosiologis, kalau dalam ranah teologis keadilan itu terberi (tapi akan lebih baik kita tak membahas secara teologis dulu, nanti akan telantar dan semakin lama tak menyelesaikan “masalah”) ia mesti diraih, ketika tak ada keadilan ya mesti ada “koersi” untuk memberikan keadilan.” Kemudian Pak Nad bertanya, “Ini kurang jelas Bung Ed; kalau Anda bersedia menjelaskan, saya bersedia mendengarkan.”
Penjelasan saya dari ranah teologis tampaknya akan hampir sama secara substansi dengan penjelasan Gus Taufik pada komentar atas Pak Nad kemarin, namun intinya adalah semua yang diciptakan Tuhan adalah sesuai dengan fitrah keadilannya masing-masing, misal menjadi guru, petani, penjual gethuk, pandai, pintar, bodoh, yang melekat pada seseorang diyakini sebagai keadilan orang yang “terberi” pada orang tersebut tanpa mesti diperjuangkannya walaupun mungkin dalam logika manusia dikatakan tidak adil.
Pak Nad berkata, “Anda mencoba kembali lagi ke problem moralitas, mis. ketamakan, kerakusan, dsb. Sementara uraian-uraian saya dalam hal ini, obyektif.
Pak Nad mengklaim obyektif di sini dalam uraian-uraiannya. Saya memang sengaja mengulas itu, bagi saya tak sekadar problem moralitas tapi kemanusiaan, kebudayaan dan lainnya yang tak mendapat tempat dalam diskursus yang dibangun Pak Nad dalam argumentasi2 kemarin itu. Kalau begitu ketidakobyektifak saya di mana? Agaknya saya juga merasa obyektif ketika menyertakan hal lain yang mestinya dibahas namun tak terbahas oleh Pak Nad. Tapi okelah, saya akan menjawab pertanyaan pengecek Pak Nad;
“Apakah Anda bersedia ingin mengakumulasi modal pribadi Anda untuk, saya misalnya?” Bagi saya, yang tidak bertujuan untuk akumulasi modal untuk saya sendiri, tapi juga untuk anak, istri, orangtua, pembantu, anak-anak yatim, orang telantar, dhuafa, orang-orang miskin, dengan kata lain tidak individualis dan egois, melainkan melihat mereka juga, akan rela memberi sesuai dengan porsi (keadilan) yang Pak Nad butuhkan jika Pak Nad termasuk dari mereka.
“Atau, tidak dapatkah Anda bertindak adil ketika mengakumulasi modal pribadi untuk Anda sendiri?” Saya sebagai manusia bisa saja tidak adil, dan bisa saja adil, ...
Bagi saya fokusnya bukan pada kaya-nya seseorang, tapi perilaku adil-tak adil itu Pak yang menjadi nyata pada bentuk akumulasi modal kaum kapitalis.
Atas permintaan Pak Nad yang merasa perlu saya menjelaskan kembali pernyataan saya, bahw, “Bagi saya, sekali lagi menyayangkan konsep, semangat, dan bahkan istilah keadilan juga kebijakan hilang dalam ranah sosio-humaniora, dan ini memang menegaskan betapa kapitalisme bahkan secara terminologis tidak adil.”
Maksud saya begini Pak Nad, mungkin secara “istilah” dan susunan kalimat saya tidak tepat, namun intinya begini: kata, kalimat, mewakili dan menjadi media transformasi dan bahkan peneguh semangat atas substansi atau makna dari kata atau kalimat tersebut, maka ketika kata-kata “keadilan, pengorbanan, dll” itu hilang dari kosakata dalam ranah keilmuan tertentu, dalam hal ini ekonomi, maka disiplin ilmu tersebut dengan sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja telah menafikan hakikat makna dari kata tersebut, jadi kalau kata “keadilan” tak ada lagi dalam disiplin ekonomi, maka disiplin ekonomi telah menafikan keadilan dalam arti yang sebenarnya.
Dari pernyataan saya, “Bagi saya mungkin akan lebih tepat dengan mengatakan, tak akan pernah ada yang dapat “menilai” sesuatu –hal atau barang atau apapun- dengan tepat karena nilai atau -dengan terpaksa saya gunakan istilah- “harga” itu adalah persepsi kita yang tak pernah tahu secara tepat berapa nilai atau harganya.” Pak Nad kemudian menyatakan, “...ini dengan sendirinya menuntut kejelasan arti, sebab di bagian selanjutnya Anda JUSTRU mengatakan ... (pernyataan saya [ed-khan]) ‘Tapi bukankah “sesuatu” itu pasti memiliki nilainya sendiri secara substansial-essensial yang bagi saya takkan dapat pernah kita ketahui secara tepat karena kita bukan “sesuatu” itu sendiri, kita ada di luar dan kemudian menilainya -secara “paksa”, dan kita tidak pernah punya pengalaman eksistensial berada dalam obyek itu, bukan nilai yang kita berikan –dalam istilahnya Pak Nad- karena posisi-posisi kita?’”
Bagi saya pernyataan saya cukup jelas, tidak paradoks, pun tidak merupakan istilah yang kontradiksi. Akan lebih mudah dengan contoh, misalnya sebutir mangga muda. Saya tidak akan pernah dapat menilai mangga tersebut dengan tepat, karena penilaian saya pada mangga muda tersebut adalah berdasarkan persepsi saya atasnya, bukan dengan telah mengetahui nilai substansial yang sebenarnya dari mangga tersebut. jadi, kita memberika nilai pada mangga muda itu, bisa Rp. 500, Pak Nad memberi nilai Rp. 1000, Kang Gi memberi nilai Rp. 3000. Tapi nilai sebenarnya mangga tersebut berapa? Tidak juga tergantung dari pemilik atau penjual mangga yang menilainya Rp. 10.000 umpamanya.
Secara kualitatif mangga muda itu pun tak dapat dinilai secara tepat dalam bentuk angka atau nominal uang tersebut, bagaimana menilai kenikmatan mangga, proses dari bunga hingga menjadi mangga muda? Tapi bagaimanapun juga mangga muda tersebut tetap memiliki nilai substansialnya, bukan nilai yang kita berikan padanya, tapi nilai yang melakat inheren padanya, hanya mangga muda itu sendiri yang dapat menilai dirinya sendiri (dan Tuhan tentunya hehehe....bagi seorang yang percaya kemutlakan kuasa Tuhan). Jadi tidak paradoks, ada nilai yang diberikan ada nilai yang terberi yang esensial substansial.
Pak Nad menyatakan, seperti apa kiranya cara memproduksi celana boxer agar adil dan mendekati kebenaran dalam bentuk konvensi nilai universal? Dalam harga berapa harus dijual celana boxer yang diproduksi @ US$1 itu, Bung Ed? Keadilan untuk siapa yang diperjuangkan Bung di sini? Kalau Anda tidak dapat menguantifikasinya Bung Ed, saya tidak dapat menyalahkan Anda; sebab saya bukan termasuk positivis yang ingin menguantifikasikan segala hal. Having said that, seseorang akan tetap tertuntut untuk menerangkannya secara kualitatif jika ia berpretensi sanggup melakukannya.
Nah Pak Nad mengulang lagi perpsesi yang dulu dikemukakan, jadi bagi saya dan mungkin Mas Fahmi, bukan soal celana tersebut akan dijual berapa Pak. Tapi keadilan upah yang diberikan si boss pada buruh pembuat celana boxer itu! Mau dijual 12 dollar –sebagaimana kata Mas Fahmi- gak masalah, tapi apakah adil dengan harga jual segitu ternyata si pembuatnya mendapat gaji hanya 1 dollar sehari? Bagi saya tidak adil, karena jelas keuntungannya selangit, menafikan kemanusiaan orang-orang pembuatnya dengan memberikan harga 1 dolar atas keringat mereka.
Pak kembali bertanya, “Apa maksudnya pasar bebas itu utopis dalam pengertian filosofis?” Pak Nad, Pasar bebas itu utopis dalam pengertian filosofis, ya karena melalui permenungan filosofis sekalipun, setidaknya yang telah saya lakukan dengan tidak “intutitif”, saya mendapatkan simpulan –sementara- yang saya yakini kebenarannya, bahwa pasar bebas itu tidak ada, pasar sebagai tempat atau mode transaksi selalu ada keterbatasan dan koersi yang oleh karena itulah transaksi terjadi, kalau bebas semaunya apa perlu ada negosiasi, transaksi, dan lobying?
“Seperti apa pemahaman Bung Ed tentang monopoli dan tentang permainan ekonomi kaum borjuis?” Pak Nad, Pemahaman saya sederhana saja, karena saya belum paham ekonomi, permainan ekonomi kaum borjuis termasuk di dalamnya adalah monopoli dengan segala strateginya berupaya agar perputaran modal hanya akan berputar di tangan mereka saja dan dalam rangka untuk memperkaya mereka saja (kapitalis borjuis). Misal produksi buku pelajaran yang boleh masuk ke sekolah hanya buku terbitan XXX saja, yang lain tidak boleh, bagi saya ini monopoli, dengan alasan apapun. Kecuali ada tender hehehe ...(dalam contoh buku pelajaran ini tentunya). Ataukah ada pengertian monopoli lain menurut Pak Nad? Mohon bimbingannya...
Pak Nad bertanya, “Menurut Bung Ed, ketidakadilan dalam transaksi itu seperti apa ya? Dalam kasus celana boxer, seperti apa Anda melihat transaksi yang adil dan manusiawi atau bajik itu? Saya kira tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa, kalau kita tidak mampu menjawab hal ini, maka dapat dipastikan kita juga TIDAK akan mampu memperjuangkan nomina-nomina abstrak di atas—biar jelas saya sebut saja di sini: keadilan, kemanusiaan, kebajikan.”
Pak Nad, Saya kira saya sudah menjelaskan, bahwa ketidakadilannya dalam kasus celana boxer Mas Fahmi kemarin adalah pada upah yang begitu sedikit yang diberikan untuk buruh pabrik yang tidak sebanding dengan keuntungan yang dipungut si boss. Dan soal transaksi yang Pak Nad tanyakan, kok rasanya dalam kasus celana boxer Mas Fahmi saya belum melihat sebuah proses transaksi? Dan saya tidak mempersoalkan transaksi. Kalaupun toh saya jawab, walaupun itu tak ada dalam contoh Mas Fahmi, ya mesti adil antara harga yang diberikan pada celana dengan kualitasnya dan duit yang diberikan pembeli untuk selana itu, adil kan? Ini manusiawi, baru tidak manusiawi klo beli celana dengan harga sesuai yang tertera tapi ternyata mendapat kualitas jauh dari harga yang tertera itu, mesti dipaksa beli lagi hehe... Bagi saya sesimpel itu.
Keadilan bagi saya memang tidak dapat dikuantifikasi atau dirumuskan secara tepat sebagaimana saya katakan di depan soal nilai substansial itu, hanya saja sebagaimana nilai substansial, keadilan, kebajikan, dapat dirasakan secara eksistensial, walau bisa juga secara empiris dan logis, namun tidak selalu. Oleh karena itu, saya menyatakan karena keadilan, kemanusiaan, kebajikan, dll itu adalah fitrah kemanusiaan untuk mencapai kemuliaannya maka ia mesti diperjuangkan dengan terus merumuskannya mendekati kebenarannya. Konsep-konsep itu bagi saya adalah konsep yang tak pernah selesai, seperti ekonomi atau matematika misalnya, tapi terus menjadi, dan bukan berarti dengan ketidakfinalannya ia tak dapat diperjuangkan.
Terakhir Pak Nad berkata, “...lagi pula, bukankah Anda sendiri mengatakan argumen saya sudah “bagus, ilmiah dan sistematis” dalam komentar-komentar Anda terdahulu (20/08) dan juga di shoutbox? Atau apakah itu seorang Ed Khan yang lain?”
Pak Nad, “bagus, ilmiah, dan sistematis” bagi saya bukan berarti otomatis semua argumentasinya saya setujui, bukan berarti jawabannya tepat sesuai apa yang dipertanyakan, bukan berarti benar menurut saya, jadi “bagus, ilmiah dan sistematis” bagi saya pun masih membuka dialog-dialog baru untuk selalu menemukan kebenaran-kebenaran “baru” atau “yang lain”.
Salam,
Edi Subkhan, selamat ber-ramadhan ria...
10 komentar:
Ed: “apa perlu ada negara jika tidak ada pengaturan (regulasi) yang memerlukan tilikan filosofis-historis awal berdirinya negara atau pemerintahan itu untuk apa?”
IS:"Negara, atau apapun namanya hanyalah service provider untuk masalah keamanan dan hakim atas despute antar anggota masyarakat. Domain pemerintah hanya pada masalah keamanan dan pelaksanaan hukum pidana (dan perdata - malah yang satu ini bisa dilakukan oleh penyedia jasa yang berbeda). Dan ini bisa ditenderkan. Pemerintah tidak berfungsi untuk mengatur ekonomi."
Ed: bukan soal celana tersebut akan dijual berapa Pak. Tapi keadilan upah yang diberikan si boss pada buruh pembuat celana boxer itu! Mau dijual 12 dollar –sebagaimana kata Mas Fahmi- gak masalah, tapi apakah adil dengan harga jual segitu ternyata si pembuatnya mendapat gaji hanya 1 dollar sehari? Bagi saya tidak adil, karena jelas keuntungannya selangit, menafikan kemanusiaan orang-orang pembuatnya dengan memberikan harga 1 dolar atas keringat mereka.
IS: Contoh yang anda berikan sangat ekstrim. Anda tidak melihat resiko yang ditanggung pemodal, seperti harus menyogok pejabat,lobby DPR, bayar pajak, kemungkinan tidak laku, uang takut pada prokem, biaya operasi, dan ...... ilmu untuk bisa cari pembeli itu yang mahal. Dinegara yang kurang korup birokratnya, (bandingkan Malaysia dan Indonesia) penggajian yang rendah berkurang. Saya pernah bekerja di Malaysia dengan gaji 5 kali di Indonesia untuk pekerjaan yang sama. Pembantu juga demikian. Bahkan, harga pangan dan biaya hidup lebih rendah dari di Jakarta, padahal upah buruh lebih tinggi dan para kapitalis menikmati keuntungan yang lebih banyak dari di Indonesia. Bagaimana bisa? Karena birokrasi (parasit) tidak banyak disana.
Tambahan: ilmu supaya bisa menjual jam Cartier atau celana boxer Piere Cardin, seharga itu, mahal dan langka, tidak semua orang bisa. Saya ingin seperti Cartier, Pierre Cardin tetapi tidak bisa.
Saya jadi ingat cerita mengenai kematian Umar bin Khattab. Seorang budak Persia datang kepada Umar minta perlindungan hukum karena majikannya memberinya target revenue yang dianggap terlalu tinggi. Umar mengatakan: "Selesaikan urusanmu sendiri dengan majikanmu. Itu bukan urusan negara" kira-kira begitu. Kalau diungkapkan dengan istilah masa kini, tidak ada upah minimum, tidak ada perlindungan buruh, pemerintah tidak ikut campur masalah ekonomi, masalah buruh-majikan. Budak Persia itu marah. Dia menyiapkan rencana pembunuhan, kemudian dilaksanakan beberapa hari kemudian.
Ekspansi wilayah hukum tercepat dalam sejarah mungkin dilakukan oleh Umar dan Amru bin As. Penerapan azaz laissez faire nampak jelas pada penghapusan tata niaga gandum/produk pertanian di Mesir, piagam Jerusalem, dsb. Afrika Utara menyebrang dari Romawi ke Amru bin As. Pada masa itu sulit mencari orang miskin untuk dizakati, kecuali pada masa wabah dan hama. Kenapa bisa makmur dimana proteksi buruh tidak ada? Karena adanya keadilan - hasil yang diperoleh sebanding dengan usaha, dan penghapusan pemaksaan. Power tends to corrupt. More people with power leads to more corruption. Jangan mengatas namakan "kemanusiaan" untuk menzalimi yang lain.
Ed: “apa perlu ada negara jika tidak ada pengaturan (regulasi) yang memerlukan tilikan filosofis-historis awal berdirinya negara atau pemerintahan itu untuk apa?”
IS:"Negara, atau apapun namanya hanyalah service provider untuk masalah keamanan dan hakim atas despute antar anggota masyarakat. Domain pemerintah hanya pada masalah keamanan dan pelaksanaan hukum pidana (dan perdata - malah yang satu ini bisa dilakukan oleh penyedia jasa yang berbeda). Dan ini bisa ditenderkan. Pemerintah tidak berfungsi untuk mengatur ekonomi."
Ed: bukan soal celana tersebut akan dijual berapa Pak. Tapi keadilan upah yang diberikan si boss pada buruh pembuat celana boxer itu! Mau dijual 12 dollar –sebagaimana kata Mas Fahmi- gak masalah, tapi apakah adil dengan harga jual segitu ternyata si pembuatnya mendapat gaji hanya 1 dollar sehari? Bagi saya tidak adil, karena jelas keuntungannya selangit, menafikan kemanusiaan orang-orang pembuatnya dengan memberikan harga 1 dolar atas keringat mereka.
IS: Contoh yang anda berikan sangat ekstrim. Anda tidak melihat resiko yang ditanggung pemodal, seperti harus menyogok pejabat,lobby DPR, bayar pajak, kemungkinan tidak laku, uang takut pada prokem, biaya operasi, dan ...... ilmu untuk bisa cari pembeli itu yang mahal. Dinegara yang kurang korup birokratnya, (bandingkan Malaysia dan Indonesia) penggajian yang rendah berkurang. Saya pernah bekerja di Malaysia dengan gaji 5 kali di Indonesia untuk pekerjaan yang sama. Pembantu juga demikian. Bahkan, harga pangan dan biaya hidup lebih rendah dari di Jakarta, padahal upah buruh lebih tinggi dan para kapitalis menikmati keuntungan yang lebih banyak dari di Indonesia. Bagaimana bisa? Karena birokrasi (parasit) tidak banyak disana.
Tambahan: ilmu supaya bisa menjual jam Cartier atau celana boxer Piere Cardin, seharga itu, mahal dan langka, tidak semua orang bisa. Saya ingin seperti Cartier, Pierre Cardin tetapi tidak bisa.
Saya jadi ingat cerita mengenai kematian Umar bin Khattab. Seorang budak Persia datang kepada Umar minta perlindungan hukum karena majikannya memberinya target revenue yang dianggap terlalu tinggi. Umar mengatakan: "Selesaikan urusanmu sendiri dengan majikanmu. Itu bukan urusan negara" kira-kira begitu. Kalau diungkapkan dengan istilah masa kini, tidak ada upah minimum, tidak ada perlindungan buruh, pemerintah tidak ikut campur masalah ekonomi, masalah buruh-majikan. Budak Persia itu marah. Dia menyiapkan rencana pembunuhan, kemudian dilaksanakan beberapa hari kemudian.
Ekspansi wilayah hukum tercepat dalam sejarah mungkin dilakukan oleh Umar dan Amru bin As. Penerapan azaz laissez faire nampak jelas pada penghapusan tata niaga gandum/produk pertanian di Mesir, piagam Jerusalem, dsb. Afrika Utara menyebrang dari Romawi ke Amru bin As. Pada masa itu sulit mencari orang miskin untuk dizakati, kecuali pada masa wabah dan hama. Kenapa bisa makmur dimana proteksi buruh tidak ada? Karena adanya keadilan - hasil yang diperoleh sebanding dengan usaha, dan penghapusan pemaksaan. Power tends to corrupt. More people with power leads to more corruption. Jangan mengatas namakan "kemanusiaan" untuk menzalimi yang lain.
Mungkin minggu-minggu ini kami mau menulis suatu kasus nyata tentang kegagalan sosialisme. Penganggulangan ketimpangan ekonomi dengan sistem sosialisme yang akhirnya menelorkan kemelaratan yang lebih parah....., moga-moga ada waktu....., salam
Terima kasih, Mas Edi, Pak Nad dan Pak IS. Luapan-luapan ilmu yang tersirat melalui tulisan anda semua sungguh sebuah bahan berharga buat saya, paling tidak tentang istilah-istilah baru yang sangat tinggi melangit yang selama ini jauh dari jangkauan "pemahaman" kebumian. Padahal, bahasan anda sekalian adalah realitas kenyataan yang saya hadapi, kami hadapai, semua orang Indonesia menghadapainya, kecuali mungkin some (very a few) people with power seperti istilah Pak IS, yang tidak terjamah masalah ini. Saya jadi ingat kisah pertarungan (karena pakai panah, tentu saja sekarang melalui diskusi dan perdebatan) antara Resi Bisma dan Suparto, yang artinya seorang ksatria muda melawan maha guru bijaksana. Mereka saling menjepretkan panah ke arah masing-masing di hadapan para ksatria muda kurawa dan pandawa yang lain. Saya pikir, diskusi Mas Edi dan Pak Nad di forum ini adalah replika pertarungan tersebut dan disaksikan oleh kami, para Pandawa dan Kurawa. Pertarungan tersebut acap kali sangat jauh dari jurus-jurus yang sudah diajarkan dan kami ketahui, hingga kami hanya melongo sembari berdecak kagum menyaksikannya. Sungguh sebuah sarana latihan dan "hiburan" yang baik sekaligus gratis. Ditambah lagi, pertarungan inipun melibatkan Semar, mahadewa yang menjelma sebagai manusia, yang kebetulan dalam hal ini diisi oleh Pak IS (sejak kapan ada asap hijau di pantat Semar, Pak..? Nuwun sewu...) Nah, teman-teman, mari kita saksikan lagi bersama "jurus-jurus" baru lainnya...
Yog Ard.
Yog Ard: sejak kapan ada asap hijau di pantat Semar, Pak..? Nuwun sewu...
IS: Maafkan...., kentutnya agak bau...., gambar itu untuk melengkapi peran Semar yang parodikan. Tanpa kenal susila :D
Yang pasti saya Supartonya ajah deh, nah Pak Nad pasti Bismanyakarena jauh lebih senior dari saya yang baru belajar di dasarnya ini....hehehe.... sori numpang lewat ajah, blom sempat beri tanggapan
mungkin sebenarnya saya juga tidak-atau semoga belum-pantas ikut komen, tapi tetep ndesel..
dan mas yogas (YogArd), barangkali tertarik menjadi naratornya?
hehe
Kalau diitung-hitung, kata 'Pak Nad' lebih banyak muncul daripada 'celana boxer'. Judulnya perlu diganti, "surat cinta buat Pak Nad'.(he2,Maaf cuma guyon)
==========================================
Masalah positivisme, kelihatannya kalau anti positivis bukan berarti harus anti angka.
Saya pernah mengatakan, ketika manusia diangkakan itu adalah sumber masalah. Saya juga pernah menulis, bahwa angka tetap perlu selama untuk benda mati.
Sebenarnya saya ingin menulis ttg positivisme. Tapi kelihatannya dalam waktu dekat saya belum sempet. Jadi saya pingin sedikit mengulangi pemahaman positivisme dari teman2.
Positivisme: adalah penyelidikan empiris dengan mengukur "fakta obyektif". (dimana2 dalam buku2 ilmu sosial sepertinya mendefinisikan demikian)
Tapi setelah saya membaca 'positivisme' ala 'teori kritis', mereka melencengkan pengertian di atas. Dalam pandangan kritis, positivisme beranalog dengan: rasionalitas, bebas nilai, obyektif, tanpa kepentingan, kapitalistik, ahistoris dsb...
Saya kira definisi positivisme ala 'teori kritis' terlalu luas dan mengada=ada.
Salam
kang Gik dan Pak IS komentarnya sudah saya tanggapi di artikel, Pak Nad ditunggu komentarnya di tengah kesibukannya yang luar biasa, mohon keluangan waktu biar saya bisa belajar dari Sang Mahaguru, trims
Ed Khan
Saya lanjutkan diskusi ini dengan memastikan satu hal:
Tidak seorangpun telah kehilangan apapun dalam wacana ini. Tidak juga Mas Fah dengan celana boxer-nya.
Persoalan mikro yang dicoba diangkat dan dibahas secara berkelak-kelok melalui teori kritis multidisipliner adalah seputar keadilan, terutama dalam konteks transaksi. Dalam dimensi yang lebih makro, persoalannya kurang lebih menyangkut tata penyelenggaraan sistem perekonomian terbaik bagi masyarakat. Ini adalah isu kecil sekaligus besar, tergantung seberapa jauh kita menarik implikasinya.
Sebagian besar argumentasi Anda, Bung Ed, dilandasi oleh pandangan Anda yang mengakar bahwa tidak ada pasar yang bebas. Bagi Anda, pasar bebas adalah utopia. Filsafat pribadi dan teori kritis yang Anda pahami menyimpulkan: tidak ada individu yang mampu bertransaksi secara bebas.
Tidak bisa lain, kacamata yang menempel di kepala Anda adalah lensa merah yang melihat hubungan manusia sebagai konstruksi yang sejak awal meremehkan, bahkan menghilangkan, kemampuan individu dalam berharmoni; bahwa hubungan manusia mesti timpang akibat asimetri kekuasaan.
Dengan filter tersebut Bung Ed mewanti-wanti bahwa masyarakat dan kelas-kelas di dalamnya adalah sekelompok barbar yang saling berkonflik dan kudu ditenangkan. Maka, untuk memitigasi konflik, harus ada faktor eksternal di atas kemampuan individu yang mampu menciptakan semacam tatanan order; yang tanpanya, seluruh aktivitas kemanusiaan adalah, melulu, kegiatan baku-tindas antarsatu sama lain. Apapun faktor eksternal di situ, tampaknya Bung Ed membayangkan diri ikut berada di dalamnya.
Demikian pemahaman saya terhadap posisi dan sikap awal Anda. Kejelasan posisi intelektual ini perlu ditegaskan, sebab hampir semua argumentasi Bung Ed bermuara pada sikap awal tersebut. Jika saya keliru; saya bersedia mendengarkan di mana letak kekeliruannya.
Sesuai permintaan Bung Ed, tanggapan saya selanjutnya sbb.:
Pertama, tentang beda coercion dan scarcity. Singkat saja: coersion dan scarcity adalah dua konsep yang berbeda. Scarcity adalah kondisi keterbatasan alamiah; sedangkan coersion selalu melibatkan pihak lain.
Sesuai dengan perkataan Anda, menambahkan faktor-faktor dan motif-motif lain yang menyebabkan individu melakukan tindakan, ternyata memang redundant.
Orang yang mencoba menegakkan keadilan, kebajikan, kebersamaan, pengorbanan, keikhlasan, pada hakikatnya bertindak demi suatu tujuan yang dianggapnya lebih baik daripada sebelumnya. Dengan kata lain, motif-motif tambahan Anda sudah termasuk di dalam definisi tindakan saya yang succinct.
Faktor-faktor manusiawi semacam aneka latar belakang pribadi, juga ketidaksadaran, ketidaksengajaan, kesalahan dalam bertindak dan yang semacamnya adalah hal-hal yang dianggap given, inheren; tapi sama sekali tidak dinafikan apalagi dilupakan—sebab yang kita bicarakan adalah manusia dan tindakannya.
Selanjutnya Bung Ed katakan: “Berdasarkan pernyataan singkat itu, saya mengambil simpulan sementara –yang kemudian kian dikuatkan oleh banyak pernyataan Pak Nad selanjutnya- bahwa dalam konteks kemanusiaan universal ternyata Pak Nad mereduksinya hanya dalam logika ekonomi saja. Ataukah saya yang salah memahami, jika iya, maka Pak Nad saya harap dapat meluruskan kekeliruan saya ini.”
Ya, Anda benar. Saya memang mereduksinya ke dalam logika ekonomi saja. Namun, saya agak kuatir pemahaman Anda terhadap ekonomi sedikit berbeda dengan pemahaman saya.
Ekonomi bukan tentang angka-angka; sebagaimana dalam tulisan singkat saya di sini [http://akaldankehendak.com/?p=326].
Saya ingin tambahkan sbb.: dengan pengertian ketat bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan untuk memilih secara sadar dan disengaja, dalam kondisi scarcity yang niscaya ada, untuk mencapai suatu tujuan yang dianggap akan membawa keadaan yang lebih baik menurut si pelaku tindakan tersebut, maka membedakan tindakan yang ekonomis dari yang non-ekonomis adalah sesuatu yang sia-sia.
Sesuai definisi di atas, tindakan saya dalam menjawab tulisan Bung Ed ini, di antara berbagai alternatif tindakan lainnya dan di sela-sela keterbatasan saya, adalah termasuk tindakan ekonomi. (Anggap saja, saya ingin memperluas pemahaman kita terhadap tindakan ekonomi. Sudah saatnya kita melepas konsepsi yang mengatakan bahwa tindakan ekonomi semata-mata sesuatu yang berbau moneter saja. Bagi sebagian filsuf dan ekonom, pembedaan tsb bahkan termasuk fallacy yang serius.)
Tentang individualisme dan egoisme, saya dapat merasakan kegalauan Bung Ed. Konsep yang telah lama saya pupuk tentang individualisme dan egoisme pun demikian pula dulunya, tapi sekarang telah berubah bersama waktu.
Satu isme yang menjadi lawan diametral di sini adalah altruisme. Paham ini mengatakan bahwa kita harus menempatkan kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan kita sendiri--(the greater common good). Bagi saya isme ini berpotensi besar mengajarkan kemunafikan; isme ini mengajarkan filsafat kematian; dan saya menolak filsafat yang demikian. Setidaknya, isme semacam ini bertanggungjawab dalam mengerdilkan individu, yang dalam konteks massal akan mengahsilkan individu-individu pembentuk rakyat yang dungu ibarat kerbau dicocok hidung.
Saya menjunjung individualisme dan egoisme sejauh tidak merugikan orang lain. Keduanya termasuk mekanisme defensif manusiawi yang murni. Pertanyaannya, mungkinkah hal individualisme dan egoisme kita exercise tanpa merugikan individu lain?
Jawaban saya: kalau pada detik ini juga istri atau anak saya mau meminjam komputer saya, maaf saja, itu pasti akan saya tolak. Terlalu sempit jika egois diartikan semata sebagai ‘cuma berlaku kalau SAYA saja yang senang.’
Saya bisa menjadi amat egois dengan melakukan kebaikan bagi ORANG LAIN lain yang asing sekalipun, apalagi ketika saya tahu pasti bahwa saya akan menjadi senang jika orang tersebut bahagia.
Meski mungkin agak sulit dipercaya, Bung Ed, saya pun menganggap diri sebagai orang yang cinta keadilan, kebersamaan dan kekeluargaan. Mengapa? Karena nilai-nilai tersebut sustainable bagi keberlangsungan kehidupan setiap individu. Yang tidak saya endorse adalah merugikan orang lain! Bagaimana dengan agresi? Agresi buat saya wajib dilakukan dalam konteks mempertahankan diri. Tidak ada yang secara hakiki dapat membela kepentingan kita kalau bukan kita sendiri.
Tentang penyataan Anda, “Bagi saya persoalannya bukan boleh atau tidak boleh memperkaya diri sendiri, tapi tidakkah kiranya melihat orang lain sebagai sesama manusia di sekitarnya, buruh pekerjanya, fakir miskin, yatim piatu, korban gusuran, yang mestinya mendapatkan perhatian....dsb.”
Saya setuju dengan Anda; untuk itu akan saya soroti satu contoh konkret, yaitu seputar argumen Marxis dari Anda, tentang orang yang memperkaya diri sendiri sementara buruhnya hidup jauh di bawah standar kelayakan hidup minimal.
Tanggapan saya: pertama, inilah kesulitannya jika kita melihat transaksi sebagai suatu tindakan zero-sum. Inilah buah dari pemandangan dengan filter berwarna merah. Dalam berbagai kesempatan saya coba tekankan, transaksi yang sukarela selalu bersifat win-win.
Ini adalah kesimpulan teori ekonomi yang mendekati kebenaran teori ilmu alam. Anda sah saja mencibirkannya dengan mengatakan bahwa ini positivis atau empiristis; tetapi cibiran atau sikap semacam itu tidak mengugurkan kesahihannya.
Meski sulit atau bahkan musykil untuk Anda percayai, Bung Ed, saya katakan bahwa ada banyak transaksi yang terjadi secara sukarela dan tanpa koersi. Saat ini pun kita sedang terlibat dalam transaksi semacam itu. Tidak dapat disangkal, saya punya banyak pilihan lain ketimbang memberi tanggapan ini; tidak perlu disangkal, kita-semua sama-sama terkendala; tetapi Anda sendiri dapat menjawab, apa ada pihak kain yang telah/sedang meng-coerse kita dengan pertukaran ini?
Kedua: jadi perlu diterima bahwa sejauh sang majikan tidak memaksa atau memperbudak karyawannya (atau dalam leksikon Marxis Anda, buruh), tidak terjadi masalah di sini. Apakah pernyataan saya ini terkesan durjana? Sejauh sang karyawan punya kesempatan untuk pergi ke majikan lain, apa masalahnya? Mungkin sekali-sekali Anda perlu menjadi majikan; dan Anda akan merasakan bahwa di pihak majikanpun ada kepentingan untuk menjaga karyawan Anda betah bekerja bagi Anda. Saya yakin Anda akan merasa seperti itu, jika tidak, maka seluruh perteorian ini akan menjadi tidak sahih.
Selain itu, Bung Ed, argumentasi tentang pertentangan kelas sesungguhnya langsung runtuh manakala kita yang benar-benar kritis mampu menyaksikan bahwa ternyata tidak ada satu individu pun yang murni kapitalis di satu sisi; dan buruh di sisi lain. Teori yang multidisipliner pun tidak perlu menutup mata bahwa setiap individu pada hakikatnya senantiasa multi-peran, multi-status!
Anda meminta saya contoh riil:
“Bagaimana seseorang yang selalu individualis dan egois demi keuntungan dirinya sendiri dapat memberi lebih banyak kepada masyarakat? Tentu khusus untuk edisi diskusi “komunitas embun pagi” ini secara lebih simpel bagi kita-kita ini.”
Contohnya banyak; tapi saya cukupkan dua saja.
Dengan asumsi bahwa yang sedang saya lakukan saat ini sesuai dengan tujuan saya, maka saya dengan kepentingan saya yang egois ini, sedang memberi “lebih banyak” kepada masyarakat. Contoh lain yang berbau ekonomis (dan mungkin berisiko dicibirkan): jika kita melanggani loper koran, kita bisa tanyakan langsung untuk apa loper-loper koran tsb melakukannya. Apa mereka ingin menyenangkan kita? Dengan motivasi utama menafkahi keluarganya, ia ikut berpartisipasi di dalam konstruksi yang lebih besar: masyarakat. Dalam konstruksi yang lebih besar, ia bahkan ikut menjaga peradaban!
Lanjut Bung Ed:
“Penjelasan saya dari ranah teologis tampaknya akan hampir sama secara substansi dengan penjelasan Gus Taufik pada komentar atas Pak Nad kemarin, namun intinya adalah semua yang diciptakan Tuhan adalah sesuai dengan fitrah keadilannya masing-masing, misal menjadi guru, petani, penjual gethuk, pandai, pintar, bodoh, yang melekat pada seseorang diyakini sebagai keadilan orang yang “terberi” pada orang tersebut tanpa mesti diperjuangkannya walaupun mungkin dalam logika manusia dikatakan tidak adil.”
Bolehlah saya tambahkan: kita semua diciptakan berbeda. No man is equal. Dan perbedaan adalah berkah yang memungkinkan kita tiba pada kesimpulan bahwa kita perlu menjalin relasi yang sedapat mungkin tidak koersif, antarsatu sama lain. Kita semua sama-sama lebih senang jika keadilan ditegakkan; jika semakin banyak orang pintar. Tetapi di sisi lain kita juga belajar dari sejarah bahwa obsesi terhadap egalitarianisme, dengan tujuan mulia sekalipun, dalam banyak hal telah dan akan berujung sebagai hasil yang justru bertentangan dengan tujuan asalinya. Contohnya adalah tokoh-tokoh sejarah yang ingin menyamaratakan dan menyeragamkan individu-individu ke dalam sebangsa koloni serangga, bukan manusia. Dan saya tahu betapa banyak tokoh intelektual yang terus asyik dengan obsesi penyamarataan semacam itu, dengan alasan bahwa “cara-cara” yang ditempuh selama ini keliru. Yang perlu ditelisik: apakah menyamaratakan manusia itu tujuan yang manusiawi?
Sekarang ijinkan saya membahas singkat tentang “sesuatu”, yang menurut Anda “pasti memiliki nilainya sendiri secara substansial-essensial.”
Bagi saya, sesuatu, apapun itu, tidak memiliki nilainya sendiri secara substansial-esensial. Sesuatu yang ada, hanyalah mengada; nilai terhadap sesuatu itu hanya tercipta jika diberikan oleh individu-individu manusia, yang mungkin akan diturunkan kepada dan atau dimodifikasi oleh generasi selanjutnya.
Di sini sebenarnya Anda membawa pembicaraan memasuki barang ekonomi; dengan contoh mangga muda. Hemat saya, jangankan mangga muda, endapan fosil selama berjuta-juta tahun pun tidak memiliki nilainya. Faktor manusialah yang telah memungkinkan terciptanya nilai-dahsyat dari sesuatu itu!
Kita harus segera kembali kepada celana boxer Mas Fahmi.
Persoalannya bagi Anda masih tetap sama: keadilan. Dan pertanyaan-pertanyaan saya tetap tidak terjawab. Berapakah harga yang adil? Keadilan siapa yang mau ditegakkan?
Bagi Anda, keadilan tercipta ketika ada mekanisme eksternal yang menjamin keadilan tersebut tercapai. Siapa atau apakah itu? Negara atau pemerintahkah?
Bagi saya, keadilan akan tercipta dengan sendirinya dan spontan ketika sang penjual bebas menentukan harganya, dan sang pembeli bebas menolak atau membelinya. Sederhana, Bung Ed; dan saya sepenuhnya yakin cara ini dapat bekerja.
Saya dapat menghargai kesimpulan sementara Bung Ed bahwa pasar bebas itu tidak ada, bahwa pasar sebagai tempat atau mode transaksi selalu ada keterbatasan dan koersi yang oleh karena itulah transaksi terjadi, kalau bebas semaunya apa perlu ada negosiasi, transaksi, dan lobying.
Ijinkan saya berbagi pandangan tentang kebebasan. Kebebasan memang BUKAN benda abstrak yang ADA di dunia. Bahkan sejak lahir pun setiap individu manusia tidak pernah bebas. Mengatakan sebaliknya adalah retorika kosong. Namun, perlu dihayati, justru konsep kebebasan menjadi penting dalam konteks bersosial. Cara kebebasan, yang bebas dari koersi, adalah cara yang perlu ditegakkan, bukan dinafikan lantaran kebebasan itu tidak ada. Kita dapat memilih cara berekonomi ala garong atau preman yang saling gontok-gontokkan, atau cara damai tanpa paksaan. Jika orang memilih cara-cara koersif, ia harus melepaskan cita-citanya untuk hidup secara damai dan tenteram.
Transaksi tanpa koersi, bagi saya, sangat ada. Keterbatasan, memang benar, tidak pernah bisa dihilangkan. Koersi dalam hal bertransaksi, itu adalah ciptaan, dan yang oleh sebagian orang ingin dilanggengkan. Mengapa saya dapat katakan begitu? Sebab transaksi adalah hal yang amat manusiawi.
Transaksi, sekali lagi saya katakan, bahkan sudah muncul di diri setiap orang bahkan sebelum ia berelasi dengan individu lain. Adalah mungkin, bertransaksi tanpa koersi dan tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai juri.
Tentang konsep monopoli, Bung Ed tidak perlu kuatir kalau hanya memahaminya secara terbatas; pemahaman saya juga tidak jauh lebih baik.
Dapat saya katakan, sesama ekonom pun banyak perdebatan mengenai makhluk apa monopoli itu. Kebanyakan orang memahami monopoli dari permainan Monopoli yang kalau buah pin kita jatuh di suatu titik, maka kita harus dikenakan sanksi tertentu. Konsep di atas sudah menjadi konsep kerja bagi para otoritas dan lawyer di belakang mereka.
Yang luput dari analogi semacam itu adalah ketiadaan pilihan bagi individu; dan ini memperlihatkan kesalahan serius dalam menyamakan kehidupan dengan permainan.
Dalam dunia riil, orang dalam banyak hal punya pilihan untuk menempuh opsi. Konsep monopoli dalam pemahaman ekonomi mainstream berangkat dari suatu konstruk imajiner di mana terdapat harga optimum yang monolitik, dalam pola transaksi yang statis.
Di dunia riil, tidak ada harga monolitik; tidak ada yang tahu persis berapa harga optimum di pasar. Contohnya adalah harga pasar seluler.
Di dunia riil, transaksi adalah sesuatu yang amat dinamis; ini akan diterima oleh siapa saja yang sempat meneliti perjalanan konsep monopoli sejak digagas oleh Chamberlain dan Robinson hingga ke aplikasinya saat ini.
Dalam pasar yang diijinkan bebas, dinamika persaingan menekan turunnya harga; dan kecenderungannya adalah turun! Dalam pasar yang diijinkan bebas, penentuan harga justru cenderung berada di tangan konsumen, bukan di tangan para “borjuis.” Dalam pemahaman akhir saya saat ini, yang namanya monopoli itu hanya dapat terjadi ketika seorang pemain mendapat limpahan privilese dari pemerintah untuk mengendalikan proses transaksi. Contohnya di negeri kita kiranya tidak perlu lagi disebutkan.
Saya cukupkan tanggapan ini hingga di sini.
Wassalam,
Nad
Terima kasih Pak Nad atas tanggapan baliknya. Ya, saya berpendapat, setidaknya sampai sekarang bahwa tidak ada individu yang mampu bertransaksi secara bebas, dan bagi saya transaksi itu tiada lain adalah akibat dari ketidakbebasan itu sendiri, nanti kita urai secara agak filosofis-metafisis.
Pak Nad, saya tidak menganggap masyarakat dan kelas-kelas sosial di dalamnya adalah sekelompok barbar, tapi potensi konflik itu selalu ada yang kemudian betul-betul menampakkan dirinya dalam bentuk riil di masyarakat, saya bukan mengikut Marx dalam hal ini, yang secara salah agaknya sering diajarkan di kelas-kelas jurusan sosiologi mainstream yang berparadigma positivisme logis sebagai seorang “teoritisi konflik”. Saya beranggapan bahwa potensi konflik selalu ada, termasuk mekanisme kekuasaan, hegemoni, eksploitasi, dan hal ini tidak seharusnya ditutup-tutupi dengan istilah dan utopia pasar bebas, harmoni, transaksi, dan lainnya itu. Tapi untuk harmoni saya menganggap bahwa manusia sebagai individu dapat berharmoni bukan dalam kerangka logika transaksi ekonomis, tetapi dalam kerangka keselarasan dengan alam, dalam hal ini adanya keterbatasan dan koersi tetap ada, namun dapat “didamaikan”. Yang saya khawatirkan adalah, istilah “harmoni” –dan juga “pasar bebas”- hanya menjadi kedok dari praktik koersi yang entah bentuknya ketidakadilan atau yang lain.
”Sesuai dengan perkataan Anda, menambahkan faktor-faktor dan motif-motif lain yang menyebabkan individu melakukan tindakan, ternyata memang redundant.”
Maksud redundant dari saya adalah saya mesti mengulang hal yang sama yang pernah saya kemukakan sebelumnya, yakni tentang keadilan, kebajikan, kebersamaan, dan tata nilai kemanusiaan itu semua. Apa salahnya redundant untuk memperjelas sikap saya?
“Orang yang mencoba menegakkan keadilan, kebajikan, kebersamaan, pengorbanan, keikhlasan, pada hakikatnya bertindak demi suatu tujuan yang dianggapnya lebih baik daripada sebelumnya. Dengan kata lain, motif-motif tambahan Anda sudah termasuk di dalam definisi tindakan saya yang succinct.”
Bagi saya motif-motif dan faktor-faktor tersebut hilang dalam logika ekonomi yang Pak Nad gunakan, hingga mesti saya munculkan dalam diskusi kali ini, yang bagi saya hal itu adalah inheren dalam tiap diskursus kemanusiaan dan kedirian. Dengan menghilangkan memperbincangkannya artinya telah mereduksi hakikat kemanusiaan itu sendiri.
”Faktor-faktor manusiawi semacam aneka latar belakang pribadi, juga ketidaksadaran, ketidaksengajaan, kesalahan dalam bertindak dan yang semacamnya adalah hal-hal yang dianggap given, inheren; tapi sama sekali tidak dinafikan apalagi dilupakan—sebab yang kita bicarakan adalah manusia dan tindakannya.”
Namun pada kenyataannya konsepsi Pak Nad menghilangkan itu bukan? Dan menekankan pada motif ekonomis semata.
”.....dengan pengertian ketat bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan untuk memilih secara sadar dan disengaja, dalam kondisi scarcity yang niscaya ada, untuk mencapai suatu tujuan yang dianggap akan membawa keadaan yang lebih baik menurut si pelaku tindakan tersebut, maka membedakan tindakan yang ekonomis dari yang non-ekonomis adalah sesuatu yang sia-sia.”
Bagi saya bukan soal membedakan dan tidak membedakan antara yang ekonomis dan non-ekonomis atau oposisi biner-nya Pak Nad, “pembedaan” itu justru muncul dengan sendirinya sebagai konsekuensi dari konsepsi Pak Nad yang menafikan motif-motif lain dan faktor-faktor lain itu itu, hingga ketika yang dimunculkan hanya motif ekonomi, maka secara metonimi-nya terdapat konsekuensi adanya yang non-ekonomi. Bagi saya tidak sia-sia, justru dengan diketahuinya yang non-ekonomi, yang selama ini disembunyikan dalam logika ekonomi semata, maka akan semakin memunculkan keseluruhan gambar hakikat kemanusiaan itu sendiri, jadi tidak menggambarkan kemanusiaan hanya dalam logika ekonomi saja.
”Satu isme yang menjadi lawan diametral di sini adalah altruisme. Paham ini mengatakan bahwa kita harus menempatkan kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan kita sendiri--(the greater common good). Bagi saya isme ini berpotensi besar mengajarkan kemunafikan; isme ini mengajarkan filsafat kematian; dan saya menolak filsafat yang demikian. Setidaknya, isme semacam ini bertanggungjawab dalam mengerdilkan individu...”
Saya pun tidak terlalu sepakat dengan altruisme ini Pak Nad sebagaimana saya tidak sepakat pada individualisme dan egoisme, keduanya berada pada sisi yang ekstrim dalam menempatkan kepentingan manusia. Saya tidak terlalu tahu altruisme karena saya bukan pengkaji filsafat, apalagi filsuf, tapi agaknya sebagaimana individualisme dan egoisme telah mereduksi hakikat makna kemanusiaan yang begitu kompleks. Bagi saya semua yang reduksionis-deterministik sudah pasti tidak dapat menggambarkan –dalam kasus ini adalah- kemanusiaan secara “sempurna”, dan buahnya tiada lain bagi Pak Nad adalah mengerdilkan individu, sedangkan bagi saya adalah mengerdilkan “kemanusiaan” dengan konsepsi awal bahwa kemanusiaan lebih dari sekadar individu. Dengan demikian bagi saya tiada beda antara altruisme dan individualisme serta egoisme karena mengajarkan filosofi kematian, dalam hal ini individualisme dan egoisme mematikan sensitivitas sosial, padahal tiap individu mesti sudah telanjur dilahirkan dan berada dalam sebuah relasi sosial tertentu.
”Jawaban saya: kalau pada detik ini juga istri atau anak saya mau meminjam komputer saya, maaf saja, itu pasti akan saya tolak. Terlalu sempit jika egois diartikan semata sebagai ‘cuma berlaku kalau SAYA saja yang senang.”, kemudian “Saya bisa menjadi amat egois dengan melakukan kebaikan bagi ORANG LAIN lain yang asing sekalipun, apalagi ketika saya tahu pasti bahwa saya akan menjadi senang jika orang tersebut bahagia.”
Dengan demikian jika Pak Nad mengartikan egoisme seperti itu, maka bagi saya itu adalah memperluas cakupan definitif dari egoisme itu sendiri, dan agaknya kehilangan atau mungkin miskin kosakata kemanusiaan lainnya, seperti empati, advokasi, menolong, dan lain-lainnya itu. Bagi saya egoisme selalu berpusat dan kembali pada diri sendiri, bukan orang lain. Orang lain hanya menjadi alasan bagi kesenangan, kepuasan diri sendiri. Dari pernyataan Pak Nad itu sendiri terlihat motifnya kembali pada “saya akan menjadi senang”, jadi “saya” atau tepatnya kata yang lebih mewakili adalah “Aku”, dalam pengertian “Aku”-nya Chairil Anwar, bukan “Aku”-nya Cinta Laura yang ditambah konsonan “y” menjadi “Akyu” yang tak lagi menampilkan kedirian-keegoisan.
Sebuah contoh ekstrim dari saya misalnya, dalam sebuah film yang saya lupa judulnya, ketika Tom Hanks rela untuk menjadi pemantik nuklir di sebuah meteor yang sedang meluncur dan akan menghantam bumi, dengan kata lain adalah ia berniat bunuh diri untuk menyelamatkan Bumi agar tak tertabrak meteor itu dengan meledakkannya (waktu itu pemicu otomatis jarak jauhnya mati), maka Pak Nad dapat mengatakan bahwa Tom Hanks sedang melakukan egoisme dirinya untuk kebaikan orang banyak di Bumi, sedangkan bagi saya Tom Hanks tidak sedang egois, ia sedang mementingkan kepentingan seluruh makhluk hidup di Bumi lebih dibandingkan kepentingan dan egoisme dirinya sendiri. Dalam hal ini agaknya saya tidak terlalu setuju dengan Derrida –yang dalam beberapa kasus saya menggunakan teori dekonstruksinya- bahwa kata-kata, termasuk definisi, tidaklah mewakili objek definisinya, terdapat ketidaksesuaian antara penanda dan petanda.
“....Bagaimana dengan agresi? Agresi buat saya wajib dilakukan dalam konteks mempertahankan diri. Tidak ada yang secara hakiki dapat membela kepentingan kita kalau bukan kita sendiri.”
Kemarin saya memberikan contoh agresi untuk melengkapi konsepsi individualisme dan egoisme yang Pak Nadk kemukakan, karena agresi terdapat sifat-sifat yang relatif sama dan “analog” dengan individualisme dan egosime. Kemarin dan sampai sekarang saya berbicara dalam konteks individu atau person tidaklah hidup di Bumi sendirian (dalam perbincangan tentang individualisme dan egoisme itu). Oleh karena itu, ketika Pak Nad menyatakan individualisme dan egoisme, maka pasti hal itu berimbas pada orang lain dalam konteks sosial tertentu. Pun demikian juga dengan agresi, jadi jika tiap orang melakukan agresi maka semuanya akan saling mengagresi satu sama lain. Jika setiap orang individualis dan egois, maka imbas individualisme dan egoisme adalah saling mementingkan diri sendiri, terjadilah alienasi, dan sensitivitas sosial hilang.
“Ini adalah kesimpulan teori ekonomi yang mendekati kebenaran teori ilmu alam. Anda sah saja mencibirkannya dengan mengatakan bahwa ini positivis atau empiristis; tetapi cibiran atau sikap semacam itu tidak mengugurkan kesahihannya.”
Nah inilah yang agaknya saya ingin berkata pada Kang Gik, bahwa kejujuran mengungkapkan bahwa kebenaran yang diyakini setidaknya mendekati kebenaran ‘absolut’ itu adalah kebenaran eksak, ilmu alam, ala positivis perlu ditegaskan, dan hal ini tidak mengapa bagi saya. Sampai sekarang prinsip ini terus berjalan sebagaimana Marxisme, neomarxisme, post-marxisme atau apalah namanya itu juga terus berjalan dalam bingkai paradigma ilmu-ilmu humaniora yang menyatakan bahwa kebenaran yang setidaknya mendekati kebenaran ‘absolut’ itu bukan kebenaran ilmu alam, tapi kebenaran dalam ranah humaniora itu sendiri yang bagi saya lebih “cair”, humanis. Dan memang bagi saya klaim ilmu-ilmu humaniora tidak akan menggugurkan klaim kebenaran ilmu alam, demikian juga sebaliknya.
”Meski sulit atau bahkan musykil untuk Anda percayai, Bung Ed, saya katakan bahwa ada banyak transaksi yang terjadi secara sukarela dan tanpa koersi. Saat ini pun kita sedang terlibat dalam transaksi semacam itu. Tidak dapat disangkal, saya punya banyak pilihan lain ketimbang memberi tanggapan ini; tidak perlu disangkal, kita-semua sama-sama terkendala; tetapi Anda sendiri dapat menjawab, apa ada pihak kain yang telah/sedang meng-coerse kita dengan pertukaran ini?”
Di sinilah saya katakan keterbatasan yang membawa koersi-koersi itu tetap ada, yakni jika Pak Nad dengan banyak pilihannya kemudian memilih untuk tidak menanggapi saya, maka “konsekuensinya” adalah mungkin beberapa pilihan lagi, bisa sama sekali tidak memikirkan diskusi ini, bisa menuliskannya di blog sendiri, bisa mengumpat, bisa kembali belajar tentang filsafat metafisika, atau lainnya, pun setelah memutuskan untuk sama sekali tidak memikirkan diskusi ini, maka “konsekuensinya” Pak Nad ada beberapa lagi, sampai pada “batas konsekuensi” yang paling “akhir” dan “mungkin”. Nah, konsekuensi ini adalah keterbatasan yang kemudian memaksa untuk mengambil pilihan-pilihan tersebut, dan keterbatasan serta paksaan ini bersifat alamiah, ia sunnatullah, hukum alam. Dengan demikian, tiap pengambilan keputusan dan pilihan-pilihan sejatinya ia dibatasi atau terkena hukum alamiah keterbatasan konsekuensi-konsekuensi, dengan kata lain tiap pilihan adalah paksaan yang niscaya dari keterbatasan-keterbatasan.
Jelasnya, dengan alasan apapun juga, ia mesti memilih, tidak bisa tidak. Dengan kata “mesti” inipun, keterbatasan yang menjadikan pemaksaan untuk “memilih”. Bisakah seseorang tidak memilih, apapun pilihannya, walau ia mengatakan banyak pilihan, apalagi tidak ada pilihan? Saya kira tidak, bahkan seseorang harus memilih secara sadar atau tidak untuk bekedip atau tidak, makan atau tidak, ia mesti dan harus memilih, ia tidak dapat tidak untuk memilih. Jadi klo ditanya apa ada pihak lain yang telah/sedang meng-coerse kita dengan pertukaran ini? Jawab saya, ada, yakni –dalam istilah eksistensialisme- keterbatasan eksistensialisme kita (atau mungkin saya saja sebagai yang mengakuinya), karena pilihan pun mesti dipilih, apapun itu, dengan segala konsekuensinya. Dalam hal ini, saya dengan keterbatasan saya mesti memilih di antara banyak pilihan apakah mesti menanggapi lagi, tidak menanggapi, atau pilihan yang lain, jelasnya saya dibatasi dan kemudian dipaksa untuk memilih salah satu di antara pilihan tersebut. Saya tidak bisa untuk tidak memilih.
“...jadi perlu diterima bahwa sejauh sang majikan tidak memaksa atau memperbudak karyawannya (atau dalam leksikon Marxis Anda, buruh), tidak terjadi masalah di sini. Apakah pernyataan saya ini terkesan durjana? Sejauh sang karyawan punya kesempatan untuk pergi ke majikan lain, apa masalahnya? Mungkin sekali-sekali Anda perlu menjadi majikan; dan Anda akan merasakan bahwa di pihak majikanpun ada kepentingan untuk menjaga karyawan Anda betah bekerja bagi Anda. Saya yakin Anda akan merasa seperti itu, jika tidak, maka seluruh perteorian ini akan menjadi tidak sahih.”
Oh iya, ini yang saya maksudkan sebagai tidak eksploitatif, sebagai –katakanlah- keadilan yang mesti diberikan pada buruh. Dengan saya tidak usah menjadi juragan-majikan pun saya tahu perlunya menjaga karyawan, terima kasih konsepsi pemahaman saya telah Pak Nad kuatkan di sini.
”Selain itu, Bung Ed, argumentasi tentang pertentangan kelas sesungguhnya langsung runtuh manakala kita yang benar-benar kritis mampu menyaksikan bahwa ternyata tidak ada satu individu pun yang murni kapitalis di satu sisi; dan buruh di sisi lain. Teori yang multidisipliner pun tidak perlu menutup mata bahwa setiap individu pada hakikatnya senantiasa multi-peran, multi-status!”
Oh, iya saya setuju dengan pernyataan Pak Nad, sebelumnya perlu saya jelaskan bahwa saya stidaknya bukan penganut Marx (Marxis), saya hanya sedang belajar teori-teori kritis yang memang multidisipliner itu. Dan memang sejauh pemahaman saya atas teori kritis post-marxisme menyatakan bahwa pembagian kelas Marx tidak lagi relevan, Marx sendiri reduksionis-deterministik dan mencita-citakan masyarakat utopianya, yakni masyarakat komunis dalam manifestonya bersama Engels. Faktor seperti ras, jender luput dari bahasan Marx yang terlalu muluk-muluk itu. Tapi bagaimanapun juga terdapat sisi yang lebih dominan dalam diri seseorang apakah ia kapitalis-borjuis atau tidak, dalam post-marxisme buruh bahkan tidak mendapatkan perhatian berlebih karena ia gagal diramalkan oleh Marx sebagai pendobrak kaum kapitalis-borjuis, di samping itu juga terdapat elemen masyarakat lain berdasarkan ras, jender, dan lainnya yang juga mendapatkan efek-efek negatif dari borjuisme tersebut. Seseorang bagi saya dapat dikatakan kapitalis-borjuis atau tidak terlihat dari perilaku dan doksa kesehariannya, jadi bagi saya bukan soal ia multistatus atau tidak, tapi efek-efek negatif itu penandanya.
“.....kita semua diciptakan berbeda. No man is equal. Dan perbedaan adalah berkah yang memungkinkan kita tiba pada kesimpulan bahwa kita perlu menjalin relasi yang sedapat mungkin tidak koersif, antarsatu sama lain. Kita semua sama-sama lebih senang jika keadilan ditegakkan; jika semakin banyak orang pintar. Tetapi di sisi lain kita juga belajar dari sejarah bahwa obsesi terhadap egalitarianisme, dengan tujuan mulia sekalipun, dalam banyak hal telah dan akan berujung sebagai hasil yang justru bertentangan dengan tujuan asalinya. Contohnya adalah tokoh-tokoh sejarah yang ingin menyamaratakan dan menyeragamkan individu-individu ke dalam sebangsa koloni serangga, bukan manusia. Dan saya tahu betapa banyak tokoh intelektual yang terus asyik dengan obsesi penyamarataan semacam itu, dengan alasan bahwa “cara-cara” yang ditempuh selama ini keliru. Yang perlu ditelisik: apakah menyamaratakan manusia itu tujuan yang manusiawi?”
Ya, saya setuju tidak ada yang sama pada manusia satu sama lain, klo tidak salah Ibn Rusyd atau Ibn Sina pun membagi manusia menjadi orang awam dan khawaz (khusus), menyamaratakan atau menganggap sama semua manusia tentu mengingkari fitrah kemanusiaan itu sendiri. Dalam hal ini keadilan, kebajikan, mesti diberikan untuk semua manusia tanpa terkecuali, tanpa memandang ia kaya atau miskin, di sinilah diskursus tentang keadilan sebagai sebuah laku keseharian, laku filosofis, dan teori-teori sosial menjadi menarik sekaligus rumit.
“Bagi saya, sesuatu, apapun itu, tidak memiliki nilainya sendiri secara substansial-esensial. Sesuatu yang ada, hanyalah mengada; nilai terhadap sesuatu itu hanya tercipta jika diberikan oleh individu-individu manusia, yang mungkin akan diturunkan kepada dan atau dimodifikasi oleh generasi selanjutnya.”
Oh, kalau begitu saya berpendapat sebaliknya dari Pak Nad dalam bahasan metafisika ini. Bagi saya, mengada bukan berarti tiadak, ia ada, dan dengan adanya ia, maka ia pasti memiliki essensi dan/atau substansi, ketidakmampuan saya dalam mengetahui nilai substansial-essensial sesuatu yang mengada dan ada tersebut bukan berarti ia tidak memiliki nilai substansial-essensial. Dan memang sulit untuk menyatakannya, misalnya dengan tidak merujuk pada mangga muda itu sendiri, tapi ketika istri saya yang sedang hamil muda nyidam mangga muda tentu ia sangat menikmati mangga muda tersebut, lalu berapa nilai kenikmatan itu sendiri? Apakah nilainya 7, 8, 9, atau 10? Menilainya dengan angka justru mereduksi. Tak ada yang tahu, tapi yang jelas kenikmatan itu bernilai, dus mangga muda itu bernilai atau secara metafisis, memiliki nilai substansial-essensialnya.
”Di sini sebenarnya Anda membawa pembicaraan memasuki barang ekonomi; dengan contoh mangga muda. Hemat saya, jangankan mangga muda, endapan fosil selama berjuta-juta tahun pun tidak memiliki nilainya. Faktor manusialah yang telah memungkinkan terciptanya nilai-dahsyat dari sesuatu itu!”
Nah, baru kalau kita kembali pada logika ekonomi, maka yang memberi nilai memang manusia. Di sini pula terdapat keterbatasan inderawi kita. Di sini pula agaknya yang menjadikan Entienne Condilac menggagas “ilmu tentang ide-ide” atau yang sekarang dikenal dengan sebutan “ideologi”, yang pada awalnya sebelum mendapat makna negatif pada masa Marx adalah, sesuatu diberi nilai, dimaknai, dinamakan pada hakikatnya berdasarkan pada abstraksi ide-ide kita atas sesuatu itu, atau ide-ide hasil refleksi kita terhadap benda-benda materiil itu. Dalam ekonomi tentu mengetahui nilai substansial-essensial bukanlah hal penting dan justru hanya buang-buang waktu saja, karena sesuatu itu hanyalah komoditas dagang saja.
”Persoalannya bagi Anda masih tetap sama: keadilan. Dan pertanyaan-pertanyaan saya tetap tidak terjawab. Berapakah harga yang adil? Keadilan siapa yang mau ditegakkan?”
Oh, mungkin kemarin saya kurang jelas menuliskannya, saya kemukakan kembali bahwa keadilan yang mesti ditegakkan adalah BURUH Pak Nad, karena dalam contoh kasus celana boxer kemarin gajinya jauh dari keuntungan yang diperoleh si boss. Kemarin sudah saya perinci kira-kira gaji –atau Pak Nad menyebutnya “harga”- yang relatif mendekati keadilan yang mesti didapatkan oleh para BURUH itu. jadi saya tidak mempersoalkan harga jual celana boxer itu ke masyarakat luas Pak Nad.
”Bagi Anda, keadilan tercipta ketika ada mekanisme eksternal yang menjamin keadilan tersebut tercapai. Siapa atau apakah itu? Negara atau pemerintahkah?”
Bagi saya memang negara atau pemerintah mesti berperan dalam menjamin keadilan, bukankah itu peran negara?
”Bagi saya, keadilan akan tercipta dengan sendirinya dan spontan ketika sang penjual bebas menentukan harganya, dan sang pembeli bebas menolak atau membelinya. Sederhana, Bung Ed; dan saya sepenuhnya yakin cara ini dapat bekerja.”
Tapi bukankah dalam logika ekonomi yang selalu berupaya untuk mengambil untuk banyak dengan modal kecil berpotensi tinggi menciptakan ketidakadilan itu, dan sebagaimana yang saya kemukakan di depan keterbatasan dan koersi dalam hal yang metafisis pun selalu ada, apalagi ketika dihadapkan pada ranah sosial, terutama dalam proses produksi, distribusi, konsumsi, dan logika ekonomi lainnya selalu terdapat kecenderungan tersebut. Selalu terjadi gaji tak dibayar sebagaimana haknya, barang berkualitas rendah dengan harga tinggi, monopoli, penimbunan, dan lainnya. Jika sepenuhnya menyerahkan pada mekanisme pasar atau transaksi ekonomi yang diandaikan bebas itu, dan kenyataannya terjadi beberapa ketidakdilan, maka siapa yang akan memberikan keadilan? Sementara itu konsepsi keadilan dalam ekonomi agaknya menjadi absurd dalam logika untung-rugi ekonomis. Apakah kembali mengandalkan pada niat baik, berharap agar orang yang berlaku tidak adil tersebut segera dibukakan mata hatinya untuk berbuat adil? Di sinilah mesti ada koersi berupa kebijakan “dari luar”, yang dalam ekonomi makro diperankan oleh negara atau pemerintah dengan regulasi-regulasinya.
“Ijinkan saya berbagi pandangan tentang kebebasan. Kebebasan memang BUKAN benda abstrak yang ADA di dunia. Bahkan sejak lahir pun setiap individu manusia tidak pernah bebas. Mengatakan sebaliknya adalah retorika kosong. Namun, perlu dihayati, justru konsep kebebasan menjadi penting dalam konteks bersosial. Cara kebebasan, yang bebas dari koersi, adalah cara yang perlu ditegakkan, bukan dinafikan lantaran kebebasan itu tidak ada. Kita dapat memilih cara berekonomi ala garong atau preman yang saling gontok-gontokkan, atau cara damai tanpa paksaan. Jika orang memilih cara-cara koersif, ia harus melepaskan cita-citanya untuk hidup secara damai dan tenteram.”
Oh, iya...beberapa pernyataan Pak Nad mungkin terdengar paradoks bagi saya, termasuk tentang kebebasan dan ketidakbebasan yang saya sebut sebagai keterbatasan di depan, tapi tak apalah. Pernyataan Pak Nad bahwa sejak lahir pun setiap individu manusia tidak bebas semakin meneguhkan pernyataan saya di depan, terima kasih Pak. Iya, itu yang saya kemukakan dari kemarin sebagaimana konsep keadilan yang tidak riil dapat dicandra oleh mata, tapi tetap mesti diperjuangkan, demikian pula dengan kebebasan, ia mesti diperjuangkan tentu sampai pada batas-batas tertentu. Kalau Pak Nad memahami saya menganjurkan cara bertransaksi secara koersif an sich, maka perlu saya luruskan bahwa cara koersif itu bagi saya diperlukan ketika terjadi ketidakadilan, makanya saya kemukakan negara atau pemerintah mesti bertindak koersif melalui regulasi dan lainnya dalam mengantisipasi ketidakadilan, termasuk dalam transaksi ekonomi.
”Transaksi tanpa koersi, bagi saya, sangat ada. Keterbatasan, memang benar, tidak pernah bisa dihilangkan. Koersi dalam hal bertransaksi, itu adalah ciptaan, dan yang oleh sebagian orang ingin dilanggengkan. Mengapa saya dapat katakan begitu? Sebab transaksi adalah hal yang amat manusiawi.”
Agar tidak rancu mungkin perlu saya perjelas, bahwa terdapat bahasan yang lebih metafisis sebagaimana bahkan Pak Nad sendiri katakan keterbatasan pasti ada dan saya katakan ia niscaya membawa koersi (paksaan, berupa pilihan-pilihan itu). Sedangkan bahasan kedua sudah keluar dari diskursus metafisis ke dalam dimensi yang lebih materiil, yakni bahasan tentang transaksi ekonomi secara riil berupa jual-beli, ada uang, ada barang materiil, ada nilai nominal, ada kesepakatan (bahasan yang ingin saya tuju sebenarnya adalah mekanisme pasar bebas yang dikomandani WTO, Bank Dunia, IMF dan adanya konsensus Washington itu, tapi tampaknya bahasan belum sampai situ, karena agaknya dari pengamatan sekilas, kian meluas cakupan bahasan pasar bebas koersinya terlihat kian nyata), yakni koersi yang dilakukan oleh negara dan MNC-MNC itu misalnya.
”Transaksi, sekali lagi saya katakan, bahkan sudah muncul di diri setiap orang bahkan sebelum ia berelasi dengan individu lain. Adalah mungkin, bertransaksi tanpa koersi dan tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai juri.”
Agaknya klo Pak Nad tetap menyatakan seperti itu, maka akan bertentangan secara metafisis dengan pernyataan Pak Nad sendiri di depan bahwa tidak ada kebebasan –yang sepenuhnya- sejak lahir. Dengan bahasa yang berbeda saya kemukakan di depan, selalu ada pilihan sebagai keterbatasan yang “meng-coersi” (memaksa) kita untuk memilih, apapun pilihan kita, karena kita tidak dapat tidak memilih. Lagi, secara metafisis, kalau saya ingin membeli nasi di Warteg ya saya mesti dipaksa untuk membayar dengan uang, saya dibatasi oleh pilihan apakah membayar dengan uang atau tidak jadi membeli nasi di warteg, dengan “coersi”-nya saya diharuskan atau dipaksa membayar dengan uang klo memang jadi membeli nasi di warteg, atau saya dipaksa lapar karena tak jadi membeli. Nah, ketika bahasan keterbatasan dan koersi ini diturunkan dari bahasan metafisis ke bahasan yang lebih membumi, maka keterbatasan dan koersi ini memang tidak terlalu terlihat dan seringkali ia dianggap tiada. Nah, dalam ranah ini baru saya sepakat dengan Pak Nad bisa terjadi transaksi tanpa koersi dalam pengertian preman-premanan Pak Nad itu.
”Dalam pasar yang diijinkan bebas, dinamika persaingan menekan turunnya harga; dan kecenderungannya adalah turun! Dalam pasar yang diijinkan bebas, penentuan harga justru cenderung berada di tangan konsumen, bukan di tangan para “borjuis.” Dalam pemahaman akhir saya saat ini, yang namanya monopoli itu hanya dapat terjadi ketika seorang pemain mendapat limpahan privilese dari pemerintah untuk mengendalikan proses transaksi. Contohnya di negeri kita kiranya tidak perlu lagi disebutkan.”
Dalam kenyataanya ketika pasar bebas itu memang utopia, karena yang terjadi adalah monopoli dan kecenderungan ketidakadilan lainnya itu, maka harga berada di tangan borjuis-kapitalis yang memang main mata dengan pemerintah sebagaimana konsepsi teoritik tata negara Poulantzas, Milliband, dan Offe yang mendasarkan pada konsepsi kelas Marxisme. Sekarang peran negara dan kaum kapitalis lebih besar mana dalam mempermainkan ekonomi makro-mikro?
Salam,
Edi Subkhan
Posting Komentar