“…betapa bahagia anak-anak dari bangsa Eropa. Mereka boleh mengecam, boleh menyatakan tidak percaya pada sesuatu kebijasanaan, dan tanpa sesuatu hukuman, apalagi dibuang”.
Pramoedya Ananta Toer
Buku ini bisa dibilang hebat! Shiraishi dengan tajam mengamati proses ideologisasi dalam perubahan kehidupan budaya di Indonesia. Barangkali dengan membaca buku ini, kita akan dengan mudah dapat memaklumi mengapa kasus-kasus korupsi di negeri kita tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.
Saat pertama kali membaca buku ini di perpustakaan daerah, saya telah lama mencarinya dan akhirnya menemukannya di sebuah pasar buku di Yogyakarta. Pesan yang ingin disampaikan dalam buku ini sangat jelas, bahwa relasi kebudayaan di masyarakat kita adalah relasi bapak-anak. Ideologi keluarga merupakan nilai tertinggi bagi relasi manusia orde baru, baik itu di pemerintahan maupun di perusahaan-perusahaan. Jadi jangan heran jika anak-anak KEP lebih memilih diskusi sendiri daripada mendengar dosen-dosen mereka mengoceh di kelas. Atau ketika Bapak-nya kemarin memberikan pidato yang menyedihkan karena merasa kurang dihargai (diwongke), anak-anak KEP malah tertawa terpingkal-pingkal di antara kerumunan peserta pengajian.
Dalam perspektif kebebasan, kebudayaan masyarakat kita kurang menghargai arti ‘kesalahan’ dalam proses belajar. Dengan membatasi pilihan-pilihan sang anak dengan batasan ‘salah’ dan ‘benar’. Implikasi jauh dari kebiasaan ini adalah tumbuhnya karakter mem-beo dari generasi kita. Prestasi bagi seorang siswa adalah ketika dia sedikit sekali melakukan kesalahan, bukan sebaliknya. Nilai pembelajaran siswa tidak ditunjukkan melalui proses perubahan karakter kedewasaan dalam memutuskan suatu hal, tapi lebih pada keharusan mengetahui segala sesuatu dan kemampuan mengisi jawaban yang ‘benar’ menurut ketentuan oleh sang bapak (guru).
Padahal proses pembelajaran sejati hanya dapat dilakukan dari kesadaran diri sang anak. Belajar bukanlah pemaksaan bagi penilaian ideal orang tua atau orang yang “merasa tua”. Dalam istilah saya, belajar adalah proses menjadi yang tidak akan pernah berhenti. Belajar adalah ketika seseorang memahami makna kebebasannya serta mengerti implikasi dari setiap pilihannya sendiri.
Barangkali nilai-nilai itulah yang sering dilupakan dalam pelaksanaan pendidikan kita. Siswa seolah mempunyai dualisme sistem komunal. Antara ruang resmi dan non resmi, antara yang tertib dan gaduh, antara kuliah dan diskusi privat, antara ijazah dan kompetensi. Semua hal tersebut saling terpisah tanpa pernah saling terkait. Dampak buruk dari pemisahan tesebut adalah ketidakmampuan kita dalam membedakan antara yang “simbol” dengan yang “isi”.
Penelitian Siraishi yang luas terhadap kebudayaan Indonesia seolah memberi cermin bagi kita agar dapat melihat diri kita melalui kebiasaan sehari-hari, baik di kantor, di kelas maupun di Bandara. Buku ini tidak hanya layak dibaca bagi diskusi kebudayaan kita, tapi lebih dari itu, dia menawarkan perspektif yang luas dalam usaha kita memandang problem kebangsaan.(Giy)
8 komentar:
saya belum bisa menyatakan tidak setuju atau setuju pada isi buku itu, karena memang belum membaca buku itu.
juga, saya belum bisa memberikan tanggapan atas "tanggapan mas giy atas buku itu"
maka, saya mencoba "memutuskan" hubungan tulisan di atas dari buku yang di resensi.
dari penempatan saya terhadap artikel tersebut, saya cenderung sepakat dengan pendapat mas giy tentang belajar. tetapi, barangkali,(setidaknya untuk sekarang ini) saya ingin menambahkan satu hal di sini...
relasi antar individu, terkadang tidak bisa dibilang "paten". bapak-anak saja, teman, adik-kakak, guru-murid, dsb..
dalam sebuah relasi, semua bentuk itu membaur, dan tidak tetap. adakalanya relasi antara dua orang yang sama terlihat seperti bapak-anak, tetapi di kesempatan lain, terlihat seperti adik-kakak, dan dalam kesempatan lain seperti layaknya teman, dan sebagainya.
bagi saya (termasuk diri saya), hal ini juga akan bermasalah dikemudian hari, jika relasi "feodal" di sekita kita teratasi. dalam arti, menempatkan peran yang tepat dalam sebuah relasi, tepat konteks, tepat kadar, tepat cara, demi relasi itu sendiri.
sebenarnya ini adalah karya penelitian ttg "budaya" pada massa orde baru. Dimana Siraishi membuat tesis bahwa kepemimpinan 'suprime father' telah menjadi budaya sendiri di Indonesia.
Brgkali buku ini sangat cocok untuk diskusi dalam menjawab mengapa kok dikampus kita sering dirundung masalah 'politik'.
Dengan cara demikian, maka sebagai belia2 kita wajib mengetahui keberadaan budaya tsb. Biar tidak ikut arus,he2..
begitulah kebebasan bekerja mas Giy.
saya berpendapat sebagaimana sah hukumnya anda menawarkan proposal tentang kebebasan siswa (anak) dalam belajar, sebesar itu pula lah ke'sah'an mereka yang menawarkan konsep bapak-ayah dalam kebudayaan.
jadi, menurut saya soalnya adalah seberapa 'kuat' anda?
he he...
Klarifikasi! dalam buku trsbt sebenarnya tidak ada istilah kebebasan. Tapi, dalam pandangan Siraishi, begitu nampak janggal bahwa budaya indonesia selalu memiliki dua sistem komunal. Istilah kebebasan dlm konteks Siraishi saya ambil dari kesimpulan dia dalam mengamati proses belajar di kelas.
Dan stelah saya baca, kok saya teringat dengan ketika dulu masih sekolah TK-SMU. Ya memang begitu (maksudnya, saya sering ketiduran di kelas, dan teman2 sekelas sering bicara sendiri, tapi di sisi lain sang guru masih tetep ngoceh,he2). Artinya, bahwa pergaulan di kelas dan kenikmatan tidur saya adalah adanya "dunia lain" di dalam sistem komunal formal.
Jadi, ada upaya 'pemberontakan' di sana. Walaupun dengan cara tidur nyenyak di kelas,he2.Ini adalah problem pembelajaran. Entah kalau sekarang saya tidak tahu ada perubahan atau tidak. Tapi dalam pengamatan saya di tempat penelitian untuk skripsi, kondisinya lebih parah!ha2...
Saya kira ini adalah problem pendidikan kita yang cukup serius dan layak mendapat perhatian.
Pertanyaannya lanjutannya. Kalau Bapak 'kuasa' membikin anak, mengapa dia tidak kuasa mengaturnya?
he2...
ya, demikianlah maksud saya mas Giy, kebebasan bekerja. ia tidak pernah sepenuhnya bebas. kebebasan selalu membutuhkan subjek. dan sayangnya manusia tak bisa menolak kodratnya sebagai subjek itu.
dan yang terjadi kemudian adalah perebutan 'kuasa' dengan senjata kebebasan itu. ada yang lemah (anak), ada yang kuat (bapak). pertanyaannya, di pihak manakah anda berada?
bagi mereka pengagum kebebasan mestinya kan mengatakan "ya tidak ada soal dengan semua ketimpangan lemah-kuat itu to...semua bebas 'bekerja'...semua bebas sebebas-bebasnya...".
begitukah?
kebebasan bukan untuk dikagumi, tapi dilindungi...
kebebasan, mungkin seperti keadilan, yang akan terasa sangat dekat ketika kita dilingkupi oleh ketidakbebasan, ketidakadilan. kita, mengagumi kebebasan.
tapi, saat kebebasan benar-benar telah dekat, dan hampir meliputi kita, maka ia harus dilindungi. entah, melindungi kita dari kebebasan. atau, melindungi kebebasan itu sendiri.
bagi saya, kebebasan, lebih dekat pada paradoks
Kebebasan menjadi paradoks ketika dia tidak tahu bahwa dirinya dicopet...
senang rasanya, wong saya tidak tahu menahu. Atau malah tidak mau tahu...
Posting Komentar