online degree programs

Senin, September 08, 2008

Positivisme "Vs" Teori Kritis



Saya akan menjawab argumen Pak Imam Semar di komentar atas tulisan saya dan setelah itu menjawab pernyataan dan pertanyaan Kang Gik.

“....anda berikan sangat ekstrim. Anda tidak melihat resiko yang ditanggung pemodal, seperti harus menyogok pejabat,lobby DPR, bayar pajak, kemungkinan tidak laku, uang takut pada prokem, biaya operasi, dan ...... ilmu untuk bisa cari pembeli itu yang mahal. Dinegara yang kurang korup birokratnya, (bandingkan Malaysia dan Indonesia) penggajian yang rendah berkurang. Saya pernah bekerja di Malaysia dengan gaji 5 kali di Indonesia untuk pekerjaan yang sama. Pembantu juga demikian. Bahkan, harga pangan dan biaya hidup lebih rendah dari di Jakarta, padahal upah buruh lebih tinggi dan para kapitalis menikmati keuntungan yang lebih banyak dari di Indonesia. Bagaimana bisa? Karena birokrasi (parasit) tidak banyak disana.”

Contoh saya sangat ekstrim? Saya kira Pak Imam Semar justru lebih sangat ekstrim lagi, apakah risiko seorang boss dan perilaku amoral seperti menyogok, loby, uang takut pada prokem, itu mesti ditanggung oleh buruh??? Apakah semua semua “risiko” yang pada dasarnya adalah keputusan yang diambil oleh seorang pengusaha mesti dilemparkan pada buruh? Apakah uang studi selama perkuliahan seorang manager, marketing, boss besar, mesti ditanggung oleh buruh? Ah...ada-ada saja, itu semua bagi saya adalah risiko yang mesti ditanggung per person itu sendiri, jangan dilemparkan ke buruh. Buruh bagi saya sesuai kapasitasnya cukup bertanggungjawab sesuai dengan job desc masing-masing dan mendapatkan keadilannya, bukannya dieksploitasi.

”Saya jadi ingat cerita mengenai kematian Umar bin Khattab. Seorang budak Persia datang kepada Umar minta perlindungan hukum karena majikannya memberinya target revenue yang dianggap terlalu tinggi. Umar mengatakan: "Selesaikan urusanmu sendiri dengan majikanmu. Itu bukan urusan negara" kira-kira begitu.” Dan “....Kenapa bisa makmur dimana proteksi buruh tidak ada? Karena adanya keadilan - hasil yang diperoleh sebanding dengan usaha, dan penghapusan pemaksaan. Power tends to corrupt. More people with power leads to more corruption. Jangan mengatas namakan "kemanusiaan" untuk menzalimi yang lain.”

Bagi saya, Umar ibn Khathab dan formulasi pemerintahan masa kekhalifahan masa itu pun belum sempurna, masih menjadi dan akhirnya justru berakhir pada masa Ali ibn Abi Thalib Karamallahu Wajhah. Konsepsi negara atau kekhalifahan selau berkembang, baca saja karya-karya politik Islam Ibn Abi Rabi’, al-Farabi, al-Mawardi dengan ahkam al-sulthaniyah, Ibn Taimiyah, dll. Nah, kuncinya adalah keadilan kan? Proteksi tidak diperlukan ketika keadilan diwujudkan, namun ketika terdapat potensi ketidakadilan, maka proteksi mesti dilakukan, mesti ada pembelaan. Nah, dalam kasus Umar tersebut, agaknya unsur keadilan tidak diberikan karena memang belum terpikirkan dalam kerangka kenegaraan.

Selanjutnya saya akan menanggapi komentar Kang Gik. Nah, ini lagi kesalahan Kang Gik dalam memahami analogi tentang positivisme dan teori kritis.

"Epistemologi mempersoalkan: Dengan cara bagaimana kita dapat memperoleh kebenaran ilmu (dalam persoalan kita adalah ilmu tentang manusia)? Itu adalah persoalan intinya."

Kang Gik, saya setuju memang epistemologi adalah soal bagaimana kita memperoleh kebenaran, memperoleh pengetahuan. Tapi, epistemologi tidak stagnan di situ saja, ia kemudian membawa konsekuensi pada; kebenaran seperti apa, pengetahuan seperti apa, kebenaran dan pengetahuan untuk apa, mode beroperasinya epistemologi dalam menggali kebenaran dan ilmu pengetahuan bagaimana, tujuan ilmu dan kebenaran bagaimana. Inilah setidaknya yang dikatakan sebagai “epistemologi kiri, epistemologi kritis, dll” itu. Ataukah beberapa poin yang include dalam epistemologi ini belum terbaca oleh tafsiran epistemologi positivisme? Ooo...saya tak tahu...

"Jadi, seandainya ada kebenaran-kebenaran yg memiliki epistemologinya sendiri-sendiri, dalam ranah apa dia dapat dikatakan sebagai kebenaran ilmu?"

Ya, bagi saya ada dan memang seperti itu Kang, makanya saya setuju kata pak Nad, bahwa positivisme tidak bagus untuk sosio-humaniora, ia tepat untuk eksakta, sedangkan paradigma interpretatif, kritis, posmodernis lebih cocok untuk sosio-humaniora, ia lahir, tumbuh, dan hidup untuk sosio-humaniora, sedangkan positivisme lahir, tumbuh, dan hidup untuk disiplin eksakta, ada lokus atau ranah kebenarannya masing-masing.

"Ya saya baru bisa menangkap arti dari 'teori kritis': dia adalah teori yg memasukkan arsenik dalam anggur dan menumpahkan anggur ke wajah seseorang!

Kang Gik, ini kesalahan lagi dalam memahami analogi saya soal positivisme dan kritis. maksud saya adalah, teori kritis itu tidak linier sebagaimana positivisme memandang segelas anggur ya “hanya” untuk minum, teori kritis memandang selalu ada “kemungkinan” lain, bisa saja memasukkan arsenik itu. Jadi teori kritis lebih luas pandangan dan cakupan asumsinya daripada positivisme yang hanya melihat sesuatu “apa adanya” (ini sedikit mirip dengan paradigma interpretatif awal).

“Apakah itu dapat disebut sebagai epistemologi? Apakah kebenaran ilmu hanya dapat ditafsirkan dari dua sisi: baik dan buruk?”

Jawaban ini saya kira sudah ditulis di depan, “bisa!”. Selanjutnya, saya sepertinya belum pernah menyatakan kebenaran hanya dapat dinilai dari baik dan buruk Kang, dari mana Kang Gik mendapat simpulan ini? Bagi saya ya gak bisa...
“Dalam konteks Getuk, Teori kritis ingin mengatakan bahwa Bu Rury mencoba memasukkan 'obat tikus' di Getuk gorengnya, dan Bu Rury juga yg mencoba memanfaatkan si Chun untuk kepentingan/keuntungan dirinya sendiri.”

Waduh...inilah bagi saya bukti dari kesalahan pemahaman atas analogi saya yang kemudian langsung memasukkan –dari analogi saya soal arsenik itu- dalam amsalnya Kang Gik soal getuk goreng itu, ini persis sebuah pola yang kemarin juga dilakukan oleh Pak Nad dengan memasukkan “umur” dalam contoh dalam argumentasi Gus Taufik dan Kang Gik, jadi penjual ikan umur sekian penjual gethuk umur sekian. Saya kira ini terlalu naif Kang. Ini bukan matematika persamaan.

Begini maksud saya klo mengambil contoh gethuk doreng itu. Gethuk goreng yang ditukar dengan ikan dan keduanya pulang dengan senyum, kira-kira begitu kan? Ini positivisme secara sederhana, namanya juga analogi. Klo teori kritis maka akan mempertanyakan berbagai kemungkinan lain, bahwa bisa jadi transaksi tersebut dengan senyum setelahnya hanya ada pada waktu itu, tidak mungkin diulang untuk selamanya dan dalam konteks yang lain, klo keduanya sedang marahan ya tentu tak ada senyum, bahkan mungkin transaksi tak terjadi. Bisa jadi hal itu terjadi karena ada niat dari salah satunya untuk semakin mempererat tali silaturahim, jadi walaupun mungkin barter itu tak senilai antara gethuk dan ikan, tapi ada hal lain yaitu niat baik silaturahim yang menjadikannya sah terjadi. Bisa jadi karena kasihan, atau -dalam psikologi behaviorisme- sudah menjadi habituation and then become a tradition.

Dengan demikian, positivisme hanya melihat yang telah ada, data dan fakta yang ada, sedangkan teori kritis mencoba mempertanyakan tidak hanya itu, tapi juga faktor lain, potensi lain, kemungkinan-kemungkinan lain, tujuan-tujuan lain. Makanya saya paham mengapa Kang Gik ngotot positivisme ya hanya itu-itu saja, karena frame-nya ya hanya itu-itu saja.

Oh iya, klo masih kurang contoh atau analogi, bilang aja... klo saya masih sanggup dan punya energi untuk memberikan penjelasan, ntar tak jelasin lagi, apa sih yang gak buat Kang Gik....hehehe... Beradu argumen dengan Kang Gik membuat saya mesti mengingat-ingat bacaan soal positivisme dan epistemologi yang dulu sepertinya sudah saya baca di awal-awal masa kuliah dan sekarang sudah terlupa hehehe...

Salam, dari Edi Subkhan di Jakarta

33 komentar:

Anonim mengatakan...

Makanya hati-hati dalam penggunaan 'analogi'. Barangkali bagi penggiat 'Madilog' di sana ada beberapa kesalahan analogi. Atau juga karangan Jalaludin R (kang Jalal):

Dan barangkali bisa dicari buku2 asli dalam upaya penggunaan analogi. Dalam hal teori saya sepakat dengan Pak IS.
Teori:
Quote:
"Teori tidak dibuktikan kebenarannya, melainkan digugurkan validitasnya".

Bayangkan, seorang analisis pasar saham pandangannya mirip Karl Popper. Dan saya mengira, Pak IS tidak pernah/mengenal Popper. Tapi cara berfikirnya sama. Apakah beliau memiliki kesalahan berfikir? saya kira tidak!

Bukannya saya membela Pak IS. Tapi anehnya, teori2 yg baik menurut saya adalah ketika dia bisa diterapkan pada hal-hal sepele sekalipun. Itulah kehebatan rasio!

Walaupun saya dalam pandangan epistemologi sangat anti Properian. Selain dalam hal "pemfalsikisian" pandangan Proper sangat lemah.

Salam

Anonim mengatakan...

Apalagi teori kritis. Super lemah!

Anonim mengatakan...

@EDy:
"Klo teori kritis maka akan mempertanyakan berbagai kemungkinan lain, bahwa bisa jadi transaksi tersebut dengan senyum setelahnya hanya ada pada waktu itu, tidak mungkin diulang untuk selamanya dan dalam konteks yang lain, klo keduanya sedang marahan ya tentu tak ada senyum, bahkan mungkin transaksi tak terjadi. Bisa jadi hal itu terjadi karena ada niat dari salah satunya untuk semakin mempererat tali silaturahim, jadi walaupun mungkin barter itu tak senilai antara gethuk dan ikan, tapi ada hal lain yaitu niat baik silaturahim yang menjadikannya sah terjadi. Bisa jadi karena kasihan, atau -dalam psikologi behaviorisme- sudah menjadi habituation and then become a tradition."

Giy:
Dalam hal Bu Rury membuat Getuk jelas dia niatnya mau menjual ke pasar. Ketika Bu Rury membuat Getuk bukan untuk dijual dan mau dikasih ke tetangganya, maka itu persoalan etika---termasuk karena kasihan. Atau dalam hal kebiasaan, karena Bu Rury membuat Getuk karena anak si Rifky makanan utama GEtuk, maka dalam membuat Getuk Bu Rury akan menjadi kebiasaan---ini dalam ranah budaya.

Sekali lagi, teori kritis untuk diterapkan dalam analisa sehari-hari sangat lemah. Sesuai koment saya sebelum ini.

Terima kasih atas penjelasannya. Saya tunggu postingan-postingan tentang epistemologi yg lainnya. Saya akan setia mengomentari. Coz saya sudah bosan baca buku2 epistemologi yg lain. Kan enak ada teman untuk mendiskusikan hal2 yg kemarin sempet saya minati.

Saya yakin tulisan Edy akan banyak bermanfaat buat saya dan teman2.

Sekali Thanks. Dan amal ibadah kita dapat menjadi kebaikan. Salam

Anonim mengatakan...

Kok saya lupa kalau mau koment yg lain. Kalau 'teori kritis' ingin menjelaskan kemungkinan-kemungkinan lain. Ya! kemungkinannya adalah, seperti kata kamu, "bahwa segelas anggur akan membawa petaka jika diberi arsenik, atau anggurnya ditumpahkan ke wajah seseorang dengan sengaja,". Atau dalam konteks GEtuk, Bu Rury mau memasukkan 'obat tikus' ke dalam Getuknya.

Saya kira itu pemahaman saya terhadap teori kritis. Seperti di koment artikel "Getuk Goreng Bury" di koment no. 54 he2...

Wah....hebat2 koment sampai 54.
Salam

Anonim mengatakan...

Bukannya hati-hati membuat analogi, tapi kegagalan dalam membaca analogi, itu yang Kang Gik lakukan dan ngototkan sampai sekarang. Mungkin Kang Gik perlu belajar khusus soal analogi biar gak gagal membaca analogi saya soal positivisme dan teori kritis, analogi itu dibaca substansinya Kang, dibaca kesamaannya, karena analogi adalah 'model' lain dari aslinya untuk mempermudah, bukan mempersulit, hal ini terpaksa dilakukan ketika pembaca tak dapat memahami abstraksi yang lebih tinggi Kang.

Lho Kang Gik kok pindah membahas Pak IS, apa relevannya? Pun klo Pak IS pemikirannya sama dengan Popper walaupun gak pernah baca, lalu kenapa? Makanya baca soal misterium penciptaan Kang.

teori-teori "yang baik" klo begitu ada teori yang tak baik, dan ketika pemahaman Kang Gik menyatakan teori yang baik bisa diterapkan pada hal-hal sepele "sekalipun", ini khas pandangan positivis yang memang teori-teori yang dilahirkannya bertujuan untuk generalisasi pada semua hal, termasuk "yang sepele", sampai-sampai positivisme yang mestinya untuk eksak merambah atau tepatnya men-generalisasi semuanya.

"teori kritis super lemah", ah ada-ada saja Kang Gik ini, ini pernyataan yang asal bicara tanpa bisa membuktikannya, sangat emosional dan tidak ilmiah, katanya mau yang rasional??? Gimana ini? Buktikan dunk..

"Dalam hal Bu Rury membuat Getuk jelas dia niatnya mau menjual ke pasar. Ketika Bu Rury membuat Getuk bukan untuk dijual dan mau dikasih ke tetangganya, maka itu persoalan etika---termasuk karena kasihan. Atau dalam hal kebiasaan, karena Bu Rury membuat Getuk karena anak si Rifky makanan utama GEtuk, maka dalam membuat Getuk Bu Rury akan menjadi kebiasaan---ini dalam ranah budaya."

Nah, kalau Kang Gik cuma bisa memahami seperti itu ya gpp dech, tapi saya akan katakan juga bahwa dengan begitu maka sebenarnya sebagaimana yang saya pahami, teori kritis memang bicara dalam ranah etika, budaya -bahkan ada "disiplin" tersendiri yakni cultural studies, ada empati, ada pembelaan, ada advokasi, yang semuanya itu tak ada di positivisme yang itu-itu saja, positivisme miskin konsep kemanusiaan bagi saya.

"Kok saya lupa kalau mau koment yg lain. Kalau 'teori kritis' ingin menjelaskan kemungkinan-kemungkinan lain. Ya! kemungkinannya adalah, seperti kata kamu, "bahwa segelas anggur akan membawa petaka jika diberi arsenik, atau anggurnya ditumpahkan ke wajah seseorang dengan sengaja,". Atau dalam konteks GEtuk, Bu Rury mau memasukkan 'obat tikus' ke dalam Getuknya."

Komentar saya sudah ada di artikel ini, kok gak dibaca, bahwa saya katakan pembacaan Kang Gik atas analogi itu salah besar. saya sudah koreksi pembacaan yang benar, mohon dibaca lagi tulisan positivisme "vs" teori kritis lagi, yang cermat ya.... tekanannya pada "kemungkinan lain", "faktor lain", bukan racun dan penumpahan gelas anggur, mari belajar membaca analogi Kang.

Trims atas komentarnya yang semoga nanti lebih ilmiah...

Anonim mengatakan...

Edy:
"Bukannya hati-hati membuat analogi, tapi kegagalan dalam membaca analogi"

??????????????????????????????????

Anonim mengatakan...

"Oh iya, klo masih kurang contoh atau analogi, bilang aja... klo saya masih sanggup dan punya energi untuk memberikan penjelasan, ntar tak jelasin lagi"

Satu analogi saja udah buat gw ndk jelas. Apalagi ditambah....Ooooiya saya baru ingat, seperti di kelas-kelas kuliah, semakin ndk jelas kan semakin kritis. Jadi saya dapat pengertian baru terhadap 'teori kritis':
1. Melihat hal-hal yg tidak dilihat orang. (seperti Bu Rury yg sedang 'berniat' memasukkan racun tikus ke Getuknya)
2. Menjelaskan dengan tidak jelas akan semakin membuat 'teori kritis' semakin mantap kelihatan ilmiah. (dan ini barangkali menjawab pertanyaan mengapa saya tidak terlalu minat kuliah)

Anonim mengatakan...

Edy:
"Contoh saya sangat ekstrim? Saya kira Pak Imam Semar justru lebih sangat ekstrim lagi, apakah risiko seorang boss dan perilaku amoral seperti menyogok, loby, uang takut pada prokem, itu mesti ditanggung oleh buruh??? Apakah semua semua “risiko” yang pada dasarnya adalah keputusan yang diambil oleh seorang pengusaha mesti dilemparkan pada buruh? Apakah uang studi selama perkuliahan seorang manager, marketing, boss besar, mesti ditanggung oleh buruh? Ah...ada-ada saja, itu semua bagi saya adalah risiko yang mesti ditanggung per person itu sendiri, jangan dilemparkan ke buruh. Buruh bagi saya sesuai kapasitasnya cukup bertanggungjawab sesuai dengan job desc masing-masing dan mendapatkan keadilannya, bukannya dieksploitasi."

Giy:
Pertanyaan di atas barangkali asumsinya perlu dipertanyakan. Makanya sebelum mempelajari kapitalisme, jadilah dulu kapitalis! Setelah itu menulis kapitalisme.

Menurut saya, pertanyaan2 di atas terlalu memaksa. Saya kira Pak IS tidak akan menjawab, dan tidak perlu menjawab.

Salam

Anonim mengatakan...

Salahkah saya kalau mengatakan bahwa otak sosialisme itu kotor?

Please dech!

Anonim mengatakan...

Perlu diingat kembali bahwa positivistik akan selalu ada dan terlahir kembali meski dimusuhi sekian banyak idiom, begitu pun sebaliknya, kritis ada sebagai tesis atau antitesis dari positivistik. Apalagi sebongkah gagasan kapitalisme yang dapat dipastikan selalu hidup bersama sosialisme. Karena kapitalisme tak bisa hidup tanpa sosialisme. Mereka menikah meski tak saling mencintai....
Adalah penting kiranya jajaran konsepsi ini bertemu hanya untuk kesejahteraan dan membahagiakan manusia. That all.........

Anonim mengatakan...

pada saat yang sama, saya berpendapat bahwa bahkan dari saat masih dikandungan sebelum dilahirkan di bumi, otak kapitalis adalah durjana.

Durjana adalah memang manusia, tetapi manusia yang tidak mengerti manusia apalagi manusia yang bisa memanusiakan menusia.

bagi saya, kepada yang benar terpinggirkanlah keberpihakan harus diberikan. kepada rakyat miskin yang dirampok haknya oleh para konglomerat kapitalis borjuis itulah, ilmu pengetahuan dan seluruh gerakan mesti diarahkan. bukan kepada para orang-orang tamak dan serakah itu yang tak kenal peri kemanusiaan.

saya tidak yakin mereka yang membela kelas kapitalis adalah orang-orang yang benar membaca "teks" kehidupan ini, tidak hanya dengan mata pikiran tapi juga dengan mata nurani!

walloohu a'alam bissowaab....

Anonim mengatakan...

ya dan yg dibaca bukanlah teks, tapi laku (bahasa yg sulit untuk berbohong). Hanya nurani si pelaku dan diri-Nya yg tahu.

Anonim mengatakan...

nas Giy, sampeyan sepertinya lupa bahwa laku (gerak, tindakan, atau dalam kajian budaya bernama "practice") adalah salah satu dari sekian "teks" atau "language" atau "bahasa" dalam perspektif budaya. semuanya adalah "teks" yang mesti kita baca tidak hanya dengan nalar positivis melainkan juga dengan nalar kritis reflektif transformatif emansipatoris?

dengan demikian, bagaimana teks laku para kapitalis di Inodonesia?

tentu, mas Giy tidak akan sepenuhnya bisa menjawab (juga bukan saya). sebab, mas Giy tidak hanya bukan seorang kapitalis (dalam pengertian saya lebih merujuk pada para konglomerat-konglomerat borjuis) melainkan mas Giy memang benar-benar bukan seorang kapitalis yang pernah me"laku"kan kapitalis. dalam perspektif saya, mas Giy masih sangat jauh dari apa yang disebut sebagai kapitalis.

atau dengan bahasa lain, mas Giy sama sekali tidak bisa disejajarkan dengan Abu Rizal Bakrie.

thanks

Anonim mengatakan...

Ya itulah ruwetnya bangsa kita. Menurutku, Bakrie memang bukan kapitalis, tapi kapita selecta menteri-menteri SBY.

Kapitalis murni itu ya Honda,Adam Smith,Matsusitha, dan sejenisnya...

Mereka adalah sebagian kecil kapitalis yg berdiri tegak menginspirasi ku sejak tiga tahun lalu...

Tapi setalah aku sadar kalau aku berdiri di bumi Indonesia. Harapan untuk mengejar cita-cita mereka menjadi sirna...coz saingannya Bakrie, Salim, A. Latif, dan sejenisnya...

Uang yg mereka putar bukanlah inovasi-inovasi janggih mereka sendiri. Tapi sebagian adalah dana-dana yg berbau politis...

Ya itulah negeri kita. Misteri yg tiada henti.....

Anonim mengatakan...

Untuk Kang Gik yang masih kebingungan memahami analogi hehehe....

Kang Gik menyatakan, “Semakin gak jelas jadi semakin kritis”. Bagi saya, ini anggapan yang salah atas teori kritis, makanya belajarlah teori kritis, baru menulis dan berpendapat tentang teori kritis, saya jadi mempertanyakan kesungguhan Kang Gik untuk belajar dan berdiskusi ketika membaca analogi saya yang cukup sederhana saja udah gagal, dan untuk kesekian kalinya menafsirkan analogi saya secara salah, padahal kemarin sudah saya jelaskan maksud analogi saya, yakni penekanan pada ”kemungkinan lain”, ”faktor lain”, mohon ini dibaca, direnungi, dipahami.

Atau mungkin kita perlu ”lari” ke diskusi yang lebih metafisis? Tidak mengapa klo memang diperlukan, akan saya layani dengan keterbatasan eksistensial saya.

Jadi ” Melihat hal-hal yg tidak dilihat orang” artinya bukan ”Bu Rury yg sedang 'berniat' memasukkan racun tikus ke Getuknya” melainkan ”...bahwa bisa jadi transaksi tersebut dengan senyum setelahnya hanya ada pada waktu itu, tidak mungkin diulang untuk selamanya dan dalam konteks yang lain, klo keduanya sedang marahan ya tentu tak ada senyum, bahkan mungkin transaksi tak terjadi. Bisa jadi hal itu terjadi karena ada niat dari salah satunya untuk semakin mempererat tali silaturahim, jadi walaupun mungkin barter itu tak senilai antara gethuk dan ikan, tapi ada hal lain yaitu niat baik silaturahim yang menjadikannya sah terjadi. Bisa jadi karena kasihan, atau -dalam psikologi behaviorisme- sudah menjadi habituation and then become a tradition.”

Dan “gak ada hubungannya” dengan niat dan racun, kira-kira bisa dipahami atau gak??? Sudah kesekian kalinya saya membenarkan interpretasi Kang Gik, karena saya yang paling tahu yang saya tulis dan analogikan, kok ngeyel memberi pemahaman lain? Bukankah ini sebuah upaya untuk tidak mendengarkan saya? Bagaimana bisa dialog kalau gini...

Kang Gik menyatakan, “Menjelaskan dengan tidak jelas akan semakin membuat 'teori kritis' semakin mantap kelihatan ilmiah. (dan ini barangkali menjawab pertanyaan mengapa saya tidak terlalu minat kuliah)”

Wah, kalau memang tidak bisa memahami sebuah analogi atau teori ya jangan menyalahkan analogi atau teorinya dong, akan lebih bijak kalau menyatakan memang belum bisa memahami, gitu aja kok repot.

Sepemahaman saya teori kritis tidak berusaha untuk mantap, bahkan juga tidak berusaha untuk menjadi teori, apalagi yang diandaikan bisa digeneralisasikan untuk semua. Agaknya Kang Gik perlu memahami kembali kebenaran ilmiah ala positivisme, interpretatif, kritis, feminis, bahkan posmodernis. Kalau Kang Gik dapat memahami dengan benar teori subyektifitas nilai yang Kang Gik unggul-unggulkan itu, maka mestinya dapat dibeda-samakan dengan konsepsi kebenaran ilmiah pada masing-masing paradigma keilmuan tersebut. Ini serupa dengan analogi, sebisa mungkin saya akan buat analogi untuk Kang Gik biar lebih mudah dipahami.

Kang Gik menyatakan, ”Pertanyaan di atas barangkali asumsinya perlu dipertanyakan. Makanya sebelum mempelajari kapitalisme, jadilah dulu kapitalis! Setelah itu menulis kapitalisme.” dan ”Menurut saya, pertanyaan2 di atas terlalu memaksa. Saya kira Pak IS tidak akan menjawab, dan tidak perlu menjawab.”

Asumsinya perlu dipertanyakan bagaimana Kang Gik? Mempelajari kapitalis tidak harus menjadi kapitalis, siapa yang mempelajari sesuatu kemudian ia mesti menjadi sesuatu itu, padahal sesuatu itu adalah sebuah –meminjam istilahnya Gus Taufik- kedurjanaan, maka artinya ia terlalu bodoh hingga dapat hanyut dalam arus dan menjadi durjana, dan sama sekali tidak tahu tentang konsepsi “appropriasi” dan filosofi Jawa ”ngeli neng ora keli”. Btw, setidaknya ketika Kang Gik sekarang merasa menjadi “kapitalis” –dan maaf saya mengatakan Kang Gik tidak atau belum menjadi kapitalis sebagaimana pemahaman saya sampai sekarang (dan juga Gus Taufik) tentang kapitalis- kok belum ada tulisan Kang Gik yang memiliki otoritas ilmiah tentang kapitalisme yang memahamkan? Saya jadi beranggapan bahwa Kang Gik mungkin salah memahami kapitalis dan kemudian merasa bangga menjadi kapitalis kemudian membelanya mati-matian.

Kalau Pak IS gak bisa jawab ya ga apa-apa Kang Gik, gak usah dibela lah. Tak ada pertanyaan yang memaksa bagi saya, pertanyaan saya wajar sebagai orang yang tidak mengerti logikanya mengapa sebuah perilaku amoral biayanya dilemparkan pada orang lain? Bahkan dalam Islam, bukankah seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain? Hehehe....

Kang Gik menyatakan, ”Salahkah saya kalau mengatakan bahwa otak sosialisme itu kotor?”, bagi saya tidak salah Kang Gik menyatakan demikian, asal bisa dibuktikan, oke.

Salam,

Anonim mengatakan...

@Edy:
"karena saya yang paling tahu yang saya tulis dan analogikan, kok ngeyel memberi pemahaman lain? Bukankah ini sebuah upaya untuk tidak mendengarkan saya? Bagaimana bisa dialog kalau gini..."

?????????????????????????????????
yg jelas tanda tanya dari saya. Saya memang tidak mengklaim mewakili pembaca.he2.

Giy:
Saya sudah secara formal memperlihatkan cara pandang saya pada sebuah kasus, apa perlu saya ulang lagi:
1. Dalam hal Bu Rury membuat Getuk jelas dia niatnya mau menjual ke pasar. ini dalam perpspektif ekonomi (dan teorinya jelas, dari teori subyektif, Nilai marginal, dan entar yg lain menyusul u/ saya tulis---termasuk dalam perpeptif kapitalis)
2. Ketika Bu Rury membuat Getuk bukan untuk dijual dan mau dikasih ke tetangganya, maka itu persoalan etika---termasuk karena kasihan.
3. Atau dalam hal kebiasaan, karena Bu Rury membuat Getuk karena anaknya si Rifky makanan kebiasannya/utamanya adalah GEtuk, maka dalam membuat Getuk, keluarga Bu Rury akan menjadi kebiasaan baik makan mau trampil menciptakan---ini dalam ranah budaya. Yaiut Terkait kebiasaan, perilaku, gagasan dsb.
4. Terkait kepemimpinan Bu Rury, adalah kajian ilmu manejemen.
5. Terkait dsb...dsb

maka dari contoh2 di atas, dalam ranah ilmiah dikenal dengan obyek formal. (teori yg jelas harus memiliki landasan berfikir tersebut)

Dan dalam kasus bu Rury saya tidak dapat memakai 'teori kritis' (dan saya sekarang meragukan keabsahan teori tersebut) ada banyak alasan. Coz salah satunya sulit untuk analisa realitas. Kata 'Kritis' adalah kata ad hoc. Kalau semua hal2 ad hoc bisa dibuat teori. Besok siang saya bisa bikin teori satu bendel dengan 1001 teori: teori cinta, teori tidur, teori ngorok, teori makan, teori bertanya, teori menggugat (ya mirip teori kritis kan?)

Setelah saya mengutip pernyataan saya di atas, saya semakin tambah satu pemahaman saya thd teori kritis:
1. Melihat hal-hal yg tidak dilihat oleh teori lain/ilmu lain. (oke, contoh racun saya buang)
2. Menjelaskan dengan tidak jelas akan semakin membuat 'teori kritis' semakin mantap kelihatan ilmiah.
3. Sebuah 'teori' yg cuma diketahui oleh penulisnya (Barangkali malah Pak Hardiman sendiri yg tahu).

Bolehlah kesalahan pemahaman saya di atas dapat dijawab dalam satu artikel yg runtut. Dan lebih pajang akan lebih baik.

Barangkali itu. tambahan Point ke-3 adalah pemahaman dari saya dalam menangkap penjelasan koment terakhir.

Salam

Anonim mengatakan...

Kang Gik, maafkan saya sampai beberapa waktu yang akan datang blom bisa membuat sebuah satu tulisan yang penuh, karena banyak kesibukan yang tak dapat ditinggalkan di kantor. Dan mungkin saya akan lebih memfokuskan pada penyelesaian naskah kita dulu untuk segera dapat diterbitkan. Jadi di sini kembali saya akan menjawab per item pertanyaan dan pernyataan Kang Gik saja, agaknya akan lebih efisien dan tidak terlalu membutuhkan pemikiran serius dibandingkan membuat artikel.

“...yg jelas tanda tanya dari saya. Saya memang tidak mengklaim mewakili pembaca.he2”

Lho tapi saya tidak sedang berbicara untuk pembaca yang lain, dan ini tak ada kaitannya dengan pembaca yang lain, saya khusus menjawab ini untuk Kang Gik. Tapi maksud saya adalah pemahaman Kang Gik selalu lari dari penjelasan yang sudah saya lakukan dan tulis berkali-kali, itu saja.

“Saya sudah secara formal memperlihatkan cara pandang saya pada sebuah kasus, apa perlu saya ulang lagi”

Tidak perlu diulang lagi Kang Gik, agaknya saya sudah paham mengapa Kang Gik tetap ngotot dengan penjelasan seperti itu, tidak mengapalah, saya paham. Artinya pemahaman saya lain dengan Kang Gik, karena dalam kerangka teori kritis ketiga point tersebut masuk dalam dalam paradigma kritis, seperti penjelasan saya kemarin, bahwa etika, budaya, bahkan manajemen adalah dalam ranah kajian teori kritis, karena teori kritis lahir, hidup, dan ada untuk ranah sosio-humaniora, di mana di dalamnya ada soal etika, budaya, politik, ekonomi, bahkan manajemen.

“maka dari contoh2 di atas, dalam ranah ilmiah dikenal dengan obyek formal. (teori yg jelas harus memiliki landasan berfikir tersebut)”

Ya Kang Gik saya paham, dalam kerangka positivisme contoh itu dinamakan objek forma dan sebaliknya terdapat objek materi (hehehe...jadi ingat matakuliah filsafat ilmu semester satu dulu....). Sepemahaman saya, teori kritis pun juga sama, objeknya sama, materinya sama, yakni sama jelasnya hehehe....

“Dan dalam kasus bu Rury saya tidak dapat memakai 'teori kritis' (dan saya sekarang meragukan keabsahan teori tersebut) ada banyak alasan. Coz salah satunya sulit untuk analisa realitas.”

Ya saya paham keterbatasan Kang Gik ketika tidak dapat membuat analisis dengan teori kritis atas kasus Bu Rury itu, tapi kan sudah saya jelaskan analisis sederhana, dan saya tegaskan kasus Bu Rury kemarin adalah analogi saya, bukan contoh, mohon bedakan antara analogi dan contoh ya, ingat itu. Dengan cara pandang positivis maka menjadi wajar klo Kang Gik menganggap teori kritis tidak absah, karena paradigmanya lain Kang, maka saran saya untuk belajar memahami kerangka paradigmatis positivis, interpretatif, kritis, feminis, posmodernis, dan lainnya agaknya perlu dilakukan secara lebih serius. Teori kritis sulit untuk analisa realitas? Ah bagaimana ini, lihat aja cultural studies itu salah satu objek kajiannya adalah budaya pop, apakah Kang Gik mau mengatakan budaya pop bukan merupakan realitas? Apakah penjajahan sebagai objek dari studi poskolonial yang juga merupakan bagian dari teori kritis bukan realitas? Ah....klo memang begitu akan jadi lebih absurd dalam diskusi metafisis soal “yang riil” dan “yang tidak rii”.

“Kata 'Kritis' adalah kata ad hoc. Kalau semua hal2 ad hoc bisa dibuat teori. Besok siang saya bisa bikin teori satu bendel dengan 1001 teori: teori cinta, teori tidur, teori ngorok, teori makan, teori bertanya, teori menggugat (ya mirip teori kritis kan?)”

Dengan berkata seperti itu maka Kang Gik telah memiliki asumsi bahwa teori itu terbatas pada “hal-hal tertentu” saja, padahal dengan pencarian kebenaran maka semuanya adalah mungkin untuk menjadi teori, walaupun begitu layak dipahami terdapat perbedaan makna “teori” dari positivis, kritis, interpretatif, feminis, posmodernis. Sedikit misal adalah, dalam kuantitatif-positivism, ada ketentuan “reliabilitas”, dalam kualitatif hal itu “tidak ada”, ataupun dengan kata lain “ada”, tetapi dalam pengertian yang berbeda dari “reliabilitas” kuantitatif-positivisme. Paradigma interpretatif, apalagi kritis tidak mengenal riset eksperimen, kalaupun ia ada dalam ranah sosio-humaniora, itu karena intervensi logika positivisme dalam sosio-humaniora. Bagi saya tidak masalah membuat teori ngorok dalam perspektif kritis, wong saya pada pertengahan kuliah dulu membaca “teori kodok rebus”, sudah pernah denger blom? Kemarin saya baru menjelaskan “teori kodok rebus” itu pada Hanafi ketika mampir ke Kalibata untuk menjelaskan proses hancur dan matinya sebuah kota. Derrida membuat “teori perbedaan”, ada juga “teori regresi tanpa akhir”, ada juga teori “minimalibic”, teori “misterium penciptaan”, ada juga teori “cinta platonic”, tapi sekali lagi seperti komentar saya itu, teori kritis sebenarnya tidak pernah untuk menjadi mantap, ia terus menjadi, ia tidak pernah berpretensi menjadi teori dalam pengertian positivis yang generalis, teori kritis tidak berajah tunggal sebagaimana positivism selalu terobsesi untuk itu.

“2. Menjelaskan dengan tidak jelas akan semakin membuat 'teori kritis' semakin mantap kelihatan ilmiah.”

Saya sudah menjelaskan pernyataan ini, mungkin Kang Gik belum membaca lengkap, jadi baca lagi komentar saya ya... males ngetik ulang terus..

”3. Sebuah 'teori' yg cuma diketahui oleh penulisnya (Barangkali malah Pak Hardiman sendiri yg tahu).”

Wah ada-ada saja, buktinya saya tahu teori kritis hehehe....jadi dugaan ini sudah gugur dengan sendirinya. Mungkin kita tidak bisa memahami sepenuhnya konsepsi teori kritis Pak Budi Hardiman, tapi bukan berarti teori itu tidak bisa dipahami oleh yang lain, selain kita bukan? Jangan lupa soal distorsi makna juga menjadi kajian dari teori kritis posmodernis Derridean dan Baudrialdian. Kenyataannya teori kritis tumbuh subur dalam menganalisa pop culture, feminisme, kolonialisme, hegemoni, dll itu. Bagi saya, agaknya pernyataan Kang Gik berangkat dari asumsi-asumsi “yang dipaksakan” untuk menggulingkan teguhnya teori kritis hehehe...

Salam,

Anonim mengatakan...

@Edy:
"Wah ada-ada saja, buktinya saya tahu teori kritis".

Giy:
kalau seandainya kamu 'tahu' tentang 'teori kritis' seharusnya jawabnya begini:

"Gini kang Giyanto, teori kritis itu obyek forma nya 'praksis komunikatif yg niatnya emansipatoris'. Sedangkan obyek materinya adalah rasio. Coz, sebelum Habermas, teori kritis digunakan hanya untuk menggerakan para intelektual. Jadi, teori kritisnya Habermas itu sekarang bergerak pada ranah praksis komunikatif.

Kesimpulan skeptis para perintis teori kritis telah membawa Habermas pada kesimpulan bahwa hanya dengan dialoglah masyarakat yang emansipatoris dapat tercapai.

Gitu, Jadi kalau dalam ranah Getuk Goreng Bu Rury, teori kritis itu untuk mengkomunikasikan seandainya Si Chun sebel, ato si Rifky lagi pingin liburan, dsb...dsb...

Jadi ranah teori kritis adalah sebagai landasan komunikatif bagi agen-agen pelaku tindakan....

Masak saya yang harus ngasih tahu peran 'teori kritis' dalam keluarga Bu Rury. Kan kamu ahlinya?

Salam

Anonim mengatakan...

Nah ini juga kesalahan Kang Gik lagi untuk kesekian kalinya, bukankah sudah saya bilang teori kritis itu bukan cuma punya Habermas, klo saya menjelaskan seperti itu artinya saya cuma menjelaskan satu varian saja, gimana ini.... Sedangkan cultural studies, feminis, posmo itu juga teori kritis Kang hehehe.....

so belajarlah teori kritis ya....

Anonim mengatakan...

Makanya saya minta 'teori kritis' untuk ditulis secara membumi....

dari contoh di atas, yg saya tahu cuma Habermas...seandainya kamu tahu ttg yg lain, ya ditulis donk....(ya sebentar hidup di 'bumi' kan ndk masalah?)

Anonim mengatakan...

Teori kritis itu di "bumi", positivisme itu "di langit" (diandaikan), jangan di balik ya heheeh..... tapi terkadang, karena teori kritis tidak berwajah tunggal, maka ada juga yang "mengandaikan", hehehe....

Kang GIk, saya termasuk yang tak setuju sama Jurgen Habermas karena bagi saya takkan pernah ada komunikasi yang bebas sebagaimana ia andaikan melalui paradigma masyarakat komunikatifnya dalam ranah kajian public sphere itu. Tapi "pengandaian" itu diperlukan karena tanpa pengandaian utopis itu, masyarakat takkan bercita-cita untuk menjadi lebih baik...

Selanjutnya, saya minta maaf pada Kang Gik gak bisa buat artikel dulu coz mau merampungkan naskah buku yang tak kelar-kelar ini, oke...mohon dimaafkan, trims

Ed Khan

Anonim mengatakan...

@ Edy:
"Teori kritis itu di "bumi", positivisme itu "di langit" (diandaikan), jangan di balik ya heheeh..... tapi terkadang, karena teori kritis tidak berwajah tunggal, maka ada juga yang "mengandaikan", hehehe...."

Giy:
'?????????????????????????????????????'

Siapa yg mengatakan ini:
"Teori kritis itu di "bumi", positivisme itu "di langit"

Km sendiri menulis itu, saya tidak merasa menulis seperti itu. Maksudnya, cara menulis teori kritis itu dibumikan dikitlah....(dan saya tidak menganggap 'teori kritis' tidak membumi)

@ Edy:
"karena teori kritis tidak berwajah tunggal, maka ada juga yang "mengandaikan""

Giy:
Dasamuka 'teori' po????????????????
Saya kok baru tahu kalau ada teori berwajah seribu satu malam. Saya kira diskusi ini kok mengada-ada.

Oh ya....sebelum Edy mendefinisikan yg lain itu 'positivis'. Saya punya buku menarik ttg 'filsafat positivis'-nya Comte. Jadi sebelum salah mendefinisikan 'positivisme', kelihatannya km perlu membaca itu dulu deh. Tapi ya, saya punya-nya yg bahasa Inggris. Entarh kalau tertarik bisa 'pesen' sama saya.

Salam

Anonim mengatakan...

"Teori kritis itu di "bumi", positivisme itu "di langit"
"Km sendiri menulis itu, saya tidak merasa menulis seperti itu. Maksudnya, cara menulis teori kritis itu dibumikan dikitlah....(dan saya tidak menganggap 'teori kritis' tidak membumi"

Kang Gik, dengan Kang GIk menyatakan tulislah yang membumi, itu artinya selama ini Kang Gik menganggap masih di langit, gitu logikanya...

"karena teori kritis tidak berwajah tunggal, maka ada juga yang "mengandaikan""Giy: Dasamuka 'teori' po????????????????
Saya kok baru tahu kalau ada teori berwajah seribu satu malam. Saya kira diskusi ini kok mengada-ada."

Kang Gik, masak gak paham-paham ya...??? Maksud saya teori kritis emang tak berwajah tunggal seperti pengandaian positivisme, makanya kemarin dan sekarang saya tulis lagi nehhh....bahwa teori feminis kultural, sosialis, liberal, itu termasuk teori kritis juga, cultural studies itu termasuk teori kritis, posmodernisme itu termsuk teori kritis, Foucault, Baudrilard itu termasuk teori kritis, paham rak????

Tahu gak Derrida yang posmo abis itu, bagi pembaca yang baik teori kritis Derridean akan mengatakan bahwa, ada banyak Derrida sebanyak pembacanya, okeh...?

Makanya saya kemarin menyarankan Kang Gik tuk memahani perbedaan arti "teori" dalam kerangka paradigmatik positivis, interpretatif, kritis, posmodernis, dll itu. Biar gak kacau logikanya....

Soal positivisme Comte, wah saya tertarik sekali, pesen satu ya, tapi seingatku positivisme pun berkembang setelah, sebelum Comte ada positivisme walau tak dinamakan positivisme, setelah Comte ada banyak varian definisi hehehe.....

Salam,

Anonim mengatakan...

Dalan ranah keilmuwan, setiap kajian memang harus bersifat 'kritis'. Kalau Kant mengkritik "ilmu pengetahuan". Bukan berarti itu langsung dapat disebut sebagai 'teori kritis'.

Jadi menurutku ada keganjilan istilah 'teori' dalam perpektif kamu.

Ya....daripada debat kusir masalah definisi.

Anonim mengatakan...

Lho??? Siapa yang bilang Kant termasuk teoritis kritis? ada-ada aja ah..... teoritisi kritis itu dinisbatkan kali pertama pada mazhab frankfurt, dan setelah itu banyak varian dari post-marxisme Kang Gik.... weleh-weleh kok gakpaham-paham si rek-rek....

Salam,

Anonim mengatakan...

Soal keganjilan definisi "teori" yang tak maksud, Kang Gik makanya tak suruh belajar arti teori dulu ya heheeh....

Biar logikanya gak berantakan kayak gitu.... apa kurang jelas klo saya katakan sejak kemarin bahwa terdapat perbedaan definisi teori antara paradigma positivis, interpretatif, dan kritis. Pelajari itu semuanya deh!!!

Anonim mengatakan...

Oh gitu ya. Kalo ada perbedaan 'pengertian' 'teori' pada paradigma 'kritis', berarti besok saya bisa mendaftarkan 'teori cinta' ke mazhab frankrut untuk dijadikan 'teori'.

Kalo gitu, ak pindah mazhab aja ah. Besok saya akan bikin teori satu bendel. Jadi entar saya bisa menjadi: Prof. Prof. Prof. Prof. Prof. Giyanto, P.hd, P.hd., PhD dst...dst...

Ayo para ilmuwan sosial, kita daftar ke mazhab frankrut aja. Kan mereka punya definisi sendiri ttg 'teori'.

Weleh-weleh. Ada-ada aja.
Wong definisikan 'positivisme' aja ndk becus. Kok ngaku punya 'teori'.

Anonim mengatakan...

"Wong definisikan 'positivisme' aja ndk becus. Kok ngaku punya 'teori'."

Masya Allah semoga Kang Gik segera dibukakan mata hatinya tuk insyaf dan tidak lagi mengedepankan arogansi intelektualnya, amien 3x ya rabbal 'alamien...

Sungguh sebuah pemikiran dan anggapan yang kerdil, ya bagaimana mau belajar kalau sudah memvonis seperti itu, hehehe.... eling Kang jangan sombong gitu dech, wong cuma tahu positivis dan sedikit kritis kok sudah besar kepala hehehe....apa gak malu sama Mas Fahmi??? bagi saya, Mas Fahmi lebih tinggi pemahaman dan abstraksi filosofis termasuk tentang epistemologi daripada Kang Gik, maaf ya..tapi sepertinya emang begitu....

Belajarlah dulu tentang konsepsi teori, dan saya baru sekarang bilang "belajarlah tentang metateori, teori, aposteriori, dan post-teori", kalau belum2 sudah bilang ada-ada saja...berarti emang betul gak mau belajar, maaf jika penilain saya salah, maaf....

semoga kita bisa menjadi padi yang merunduk dan bukan pisang yang pongah....

Oh, iya lupa...mazhab frankfurt itu sudah selesai sampai generasi kedua saja, yaitu Habermas, skarang tinggal trace-nya ajah, jadi klo di STF udah dikatakan jadul, dibandingkan yang posmodernisme, dan pos-pos lainnya itu, tapi walaupun begitu perlu dibaca dan aplikasikan, jadi klo mau daftar ke teori mazhab frankfurt, ya maaf...sudah tutup!!! hehehe....

Salam,

Anonim mengatakan...

he2...dilihat lagi tu koment2mu. Saya aja hampir3 ndk pernah nyalahkan org lain. Tapi kalau mengatakan org dengan kata 'ndk becus' dalam dunia bisnis yg keras itu sudah sering. Dan super sering....

kata "salah" dan "ndk becus" itu bedanya kayak kutub utara dengan kutub selatan. Sama2 dinginnya...he2...

Anonim mengatakan...

Ya Allah...sungguh dunia bisnis memang tak mengenal etika ya..... jadi emang itu bukan dunia saya, maaf saja, saya tak tahu tradisi yang tak mengenal etika seperti itu... dan maaf saya tak tertarik dengan tradisi yang tak etis semacam itu.

saya sudah melihat komentar2 saya, setidaknya saya tidak mengedepankan arogansi semacam itu, saya mencoba membenarkan pemahaman yang salah dari lawan argumentasi, dan coba dilihat juga komentarnya Kang Gik, yang selalu ngeyel dan kasar tanpa etika ilmiah, apakah itu intelektualisme? Bukan!

....renungkan sajalah

Anonim mengatakan...

Saya kira, arogansi yang dibungkus kesantunan adalah lebih berbahaya!

Anonim mengatakan...

Yang mencurigai sebuah kesantunan patut dicurigai bahwa ia memang seperti pencurigaan itu, klo orang selalu menduga dan mencurigai bahwa di balik batu selalu ada udang, maka patut dicurigai dan kemungkinan besar orang itu memang selalu ada udang di balik batu, hingga semua batu ia anggap ada udangnya....

dus, jika tiap upaya kesantunan dan etis dicurigai ada yang tersembunyi, maka patut diduga bahwa yang mencurigai itu sering membungkus kepentingan tertentu (atau arogansi?) dalam bentuk kesantunan????

Wallahu a'lam bis shawab....

Giyanto mengatakan...

Tugas saya untuk mengulas "positivisme" ( edisi KEP Maret 2009 dengan judul "Melawan Positivisme") sesuai cirinya telah selesai. Biar Edy ke depan lebih banyak belajar lagi.

Kalau diulas, judul artikel saudara Edy di atas tidak sesuai dengan maksud "Isi" yang dikemukakan. Jawaban diatas ialah jawaban emosional. Mohon sidang pembaca maklum!