Kadang aku bosan menjadi orang yang mempelajari hukum, menyandang sapaan orang hukum membuat denyut nadir ini semakin berdegub dengan kencang dan emosional. Orang mempelajari hukum bukan untuk mentaati hukum. Inilah inti dari persoalan yang hakiki. Pengacara mempelajari hukum untuk mencari celah hukum guna kepentingan klien-nya menang dalam perkara. Jaksa mempelajari hukum untuk memeras yang punya perkara, dan hakim mempelajari hukum dengan pertimbangan untung-rugi praktisnya.
Pelajaran teori hukum murni ala Hans Kelsen Bapak Ilmu Hukum hingga Rous Coe Pound realisme hukum dari Amerika sampai ke "Prof-Prof" lokal yang mengajarkan tentang hukum pada akhirnya dikecewakan karena ajaran intelektualis-nya dipakai sebatas keterampilan mempermainkan hukum untuk kepetingan prakmatis.
Aku menulis ini karena kebetulan ada di kampus fakultas hukum memanfaatkan fasilitas internet gratis, namun status dan predikatnya, yakni "orang hukum" kumulai bosankan. Maafkan aku hukum......
luluk.,
Rabu, September 10, 2008
Curhat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
11 komentar:
bror, seingatku almarhum Munir adalah seorangs Sarjana Hukum. saya kira semua adalah pilihan dimana kita akan berpihak.
beberapa hari yang lalu, ada The 2nd Munir Memorial Lecture di kampusku. Prof. Toeti Herati dan Dr. Karlina Supeli yang menjadi lecturer-nya. Acara ditutup dengan renungan refleksi kritis dari Kang Mohammad Sobari.
bror, sejujurnya aku malu melihat almarhum Munir. kita (atau mungkin hanya aku) ternyata belum memberikan apa-apa terhadap manusia-manusia tertindas terpinggirkan di negeriku ini.
bror, aku malu menjadi mahasiswa, apalagi dengan predikat seorang aktivis. aku malu, bror. aku masih individualis, memikirkan diriku sendiri, masa depan, karir, dan semua yang hanya mengarah pada kepentingan pribadi.
bror, alamarhum meneguhkan niatku bahwa hidup manusia (hidupku) memang senyata-nyatanya bukanlah untukku semata, melainkan untuk manusia-manusia kongkret yang membutuhkan segala pembelaan dan pertolongan.
aku pernah menulis, sebab tuhan adalah maha segala-galanya, juga maha tidak butuh, atas cintaku maka biarlah ku kirimkan cintaku ini kepada hamba-hambanya, yaitu manusia-manusia kongkret saudara-saudara kita sendiri.
bror, nanti kulanjutkan lagi... in i dah maututup...
Sedih jadinya punya temen yg mulai mempertanyakan keilmuwannya sendiri. Terharu...terharu...terharu....(barangkali itu yg bisa kuucapkan).
Luk, cuma saran, saya kira Lu2k yg sekarang sudah berubah tidak seperti dulu. Lu2k sekarang lebih ju2r. Walaupun perilaku-nya masih sedikit---memuakkan,hu2.he2 sorry men... just kidding.
Akhir2 ini saya melihat lu2k terlalu banyak merenung dan kesepian. kalo saya sih nebaknya karena lagi bokek.he2..
Tapi ilmu hukum tetep jaya. Walaupun Lu2k sendiri meragukannya. Hati-hati Luk, saya juga pernah mengalami hal serupa. Bukan tentang keilmuwan, tapi tentang tujuan kita semua ini. Seolah saya berada di jalur yg menyendiri....
Jalur sepi. boro2 mikirin pacar, mikirin kuliah ama kerjaan aja udah muntah-muntah...
Tapi itulah manusia...semua ada jalannya masing2....Barangkali Ilmu Hukumnya Lu2k nanti menjadi sebuah 'ilmu' yg tidak bisa diobok-obok oleh para ahli hukum...
Tapi yg gituan ada ndk ya? kelihatannya biar hukum dapat ditegakkan mendingan kita kembali ke jaman suku2 terasing aja luk! gimana?
Barangkali 'ilmu hukum' dari mereka bisa diselidiki,he2 (bagus tu untuk proposal tesis kamu,he2)
Salam
kemarin saya juga sempat ngobrol dengan fahmi tentang psikologi mas.. saya rasa kesimpulannya nggak jauh - jauh amat dari mas luluk, mas taufiq...
amat aja nggak dekat2 ma mas luluk...
Oh, kalo saya kok beda ya. Ak kira Ilmu Geografi sudah mantap. Dia jelas obyek forma dan materi-nya. Dan saya baru sadar mengapa kok om Imanuel Kant ngajarnya geografi. Coz ilmu geografi mantap banget....
Tp ada kendala, dalam perjalanannya intelektual kok saat ini ak 'jatuh' pada ilmu ekonomi.he2....
BTW, saya kira sah2 saja org itu skeptis ataupun optimis...semua kan minat dan pilihan masing2. Bukankah begitu?
Gitu gak ya?????
seharusnya untuk mengTkan hukum itu indah atau sampah sebaiknya orang hukum harus dihukum dulu.
Untuk memilih mana emas dan mana tempayan, saya pikir otak dan hati kecil kita sudah mampu memutuskannya. Namun, karena kita diciptakan sebagai manusia yang lebih kompleks daripada malaikat dan setan, pertimbangan-pertimbangan lain juga mempengaruhi kita. Untuk memilih mana yang menggunakan hukum sebagai dasar mengambil keputusan atau mengkhianati hukum, saya yakin orang hukum telah tahu. Pertimbangan-pertimbangan lain lah yang ikut berperan atas putusan mereka. Bergantung, seberapa kuat insan hukum mengendalikan pertimbangan lain, atau seberapa lemah praktisi hukum dikendalikan pertimbangan lain. Bukan agama yang salah jika penganutnya berbuat dosa. Seperti halnya bukan sosialisme yang salah, bukan kapitalisme yang salah, bukan Pancasila yang salah. Kita lah yang selalu mengkhianatinya. Kita lah yang selalu memutarbalikkannya.
Benar geografi sudah mapan, Gik ? Semapan apa ?
Yog Ard
semapan perut buncit yang terlajur dihamili pacarnya...
Salam sejahtera pren....
Bosan.... kenapa bisa bosan.... bukankah hukum itu indah... mungkin gini pren, kita sementara ini selalu terjebak pada kebiasaan lama yang buruk mengenai implementasi hukum dari aparat penegaknya. Tapi kalau ilmu hukum untuk mencari celah bagaimana bisa menyiasati hukum apa salahnya? toh gini pren nanti ada tandingan yang melawannya. Sehingga akan terjadi keseimbangan dan keadilan. Semangat pren... Kalau orang seperti sahabat saya luluk begitu... apa kata dunia? Atau coba sahabat mengimplementasikan ilmu hukum di dunia keprofesionalan, pasti ndak bosan.
Jangan berfikir kalau orang hukum itu nantinya hanya kan jadi pengacara, jaksa, hakim, broker LSM dan sejenisnya tapi implementasikanlah ke dunia perusahaan non legal officer misalnya (seperti saya Red... Heee2x) walaupun orang mengatakan kapitalis tapi yang penting saya yakin ada manfaatnya untuk bangsa ini. jadi ndak bosen dah....
Saya tambah satu temen,he2, penyebar virus membela kapitalisme...hups!
Bila semua kapitalis mengaku berbuat untuk bangsa dan kemanusiaan, maka......
saya, semakin sulit memahami sebuah kata "kapitalisme". mana yang permukaan, mana yang substansial.
tapi tak apalah, lagipula, apa yang kita tolak adalah hal yang sama. apa yang (sementara) ini kita dukung, juga hal yang sama..
sungguh, bagi saya hal yang lucu, jika ada yang mengatakan, "jangan terjebak pada simbol!"
Posting Komentar