online degree programs

Minggu, September 07, 2008

Beberapa Tanggapan

oleh: Muhammad Taufiqurrohman

Pertama, soal “titik” (untuk selanjutnya saya tidak akan menggunakan tanda “ “ lagi karena saya anggap sudah mafhum). Titik yang saya maksud memanglah sebuah titik yang terbatas. Titik yang sebenarnya bukan titik. Dia hanyalah bayangan dari titik yang sejati. Titik yang sejati itu menurut saya tidak ”ada”. Saya percaya bahwa tidak ada ”sesuatu”pun yang paling akhir, juga titik itu. Oleh karenanya, yang sanggup kita bisa bicarakan adalah titik-titik yang sementara itu.

Jadi, akhirnya titik itu ada itu bukanlah dikarenakan ia ingin ada. Tidak, sesungguhnya dia terpaksa menjadi ada karena keterbatasan eksistensial. Tanpa ia ada, tanpa di tulis menjadi tanda (.) pun sesungguhnya ia ada. Titik selalu ada, tetapi titik yang selalu sementara. Tapi, bukan ”koma”. Kira-kira, titik yang saya anggap selalu ada ---bahkan tanpa kita minta dan kita sadari--- tersebut adalah titik yang benar-benar ada. Ia tidak koma, ia benar-benar titik dalam sebuah eksistensi yang ”terakhir”tapi terakhir yang tak benar-benar akhir.

Oleh karenanya, ia tidak pernah ”melampaui kapasitas definitifnya” karena memang ruang yang bisa dijangkaunya sudah penuh, tapi juga penuh yang sementara. Dia tidak melampaui tetapi dia membentuk ruang lagi yang baru yang selalu sama sekali lain. Dengan demikian, sejauh yang bisa saya pahami, sesungguhnya suatu titik pada saat yang sama adalah akhir sekaligus mula. Ia akhir bagi suatu eksistensi yang lama. Pada saat yang sama ia menjadi mula bagi eksistensi yang baru.

Dengan cara pandang inilah,menurut saya, esensialisme dan eksistensialisme lebih mudah untuk dilihat sebagai sesuatu yang tidak kontradiktif melainkan saling meng”ada”kan. Esensialisme adalah mula sekaligus akhir eksistensi, dan begitu pula sebaliknya. Ketegangan antara keduanya yang entah sampai kapan inilah yang menurut saya membedakan kita yang ”terbatas” dengan yang ”tak terbatas” itu.

Kedua, beradu argumentasi dengan mas Giy selalu membuat saya tambah semangat untuk memepelajari logika.

Ketiga, soal epistemologi dan positivisme. Sejauh yang saya tahu, para pendukung ”post-post” itu tidaklah pernah mempermasalahkan epistemologi. Apa yang ingin mereka gugat dari positivisme adalah ketika hanya epistemologi ilmu alam yang digunakan untuk ”menemukan” semua ilmu pengetahuan, juga terhadap ilmu pengetahuan sosial/humaniora. Anarkisme epistemologi (epistemic violence) inilah yang ingin digugat oleh para ”post-post” tersebut terhadap positivisme. Para pendukung ”post-post” ini sesungguhnya memang tidak pernah mempersoalkan epistemologi. Sebab, sebagai sebuah jalan menemukan apa yang sejati epistemologi tidaklah berwajah tunggal (dalam hal inilah saya menyebut batas yang samar antara ontologi dan epistemologi). Setiap hal memiliki epistemologinya sendiri-sendiri. Pencarian ilmu pengetahuan alam memerlukan epistemologi yang tidak selalu sama dengan epistemologi ilmu pengetahuan sosial. Demikianlah, jika dalam wajah epistemologi saja tidak tunggal apalagi wajah ilmu yang dihasilkannya. Oleh karena itu, kehadiran para pendukung ”post-post” itu sama sekali tidak berpretensi untuk mempersoalkan epistemologi melainkan justru dalam rangka merayakan pluralisme epistemologi. Mereka menggugat positivisme bukan epistemologi.

Dengan demikian, menurut saya, positivisme tidak hanya ”tidak dapat disebut sebagai” epistemologi melainkan ia memang benar-benar bukan epistemologi.

Keempat, tentang sosialis. Sebenarnya saya lebih suka memandang ”sosialis” ini dalam perspektif moral. Menurut saya, dalam perspektif inilah kata atau pengertian ”sosialis” ini lebih mendapatkan maknanya ketimbang jika dilihat dari perspektif sosial (sosiologi, antropologi apalagi sejarah). Dengan demikian, ia menjadi sesuatu yang jauh melampaui batas-batas apapun.

Mungkin filsafat ”sosialisme” Bambu dan Pisang ala Cak Nur dapat membantu menjelaskan konsep ”sosialis” yang saya maksudkan. Kira-kira begini (tentu saja dalam keterbatasan analoginya) , bambu adalah pohon yang merelakan daun-daunnya lepas agar ”yang lain” (others/liyan) dapat juga menikmati cahaya yang jatuh dari langit dan apa saja yang menimpanya. Others itu bisa jadi tetangga-tetangganya (bambu di sampingnya), bisa jadi anak-anaknya (rebung yang ingusan), atau bahkan bisa jadi others yang bener-bener others (misalnya, pohon singkong di sampingnya.

Pisang, sebaliknya, adalah pohon yang tidak rela membagi cahaya yang datang menimpa dengan ”yang lain” tadi. Lihatlah daun pisang, ia menjulur panjang ke segala arah mata angin. Sampai sejauh mana panjang daun itulah wilayah kekayaannya. Ia merasa segala tanah---bahkan yang di luar tempat berdirinya sejauh tanah itu ada di bawah kekuasaan daun-daunnya yang menjulur itu---adalah miliknya. Tidak demikian dengan bambu. Kekayaan bambu hanyalah tanah dimana dia berdiri. Dia sadar bahwa semua tanah di luar tempat ia berdiri bukanlah tanahnya. Dia bahkan tak pernah ”merelakan”nya, ia memang ”membiarkan”nya demikian. Ia sudah merasa cukup dengan tanah tempat ia ada. Karena memang semua tanah yang di luar dirinya bukanlah miliknya. Bahkan tanah tempat ia berdiri yang ia rasa sebagai ”milik”nya, juga mungkin bukanlah tanah yang benar-benar miliknya.

Demikianlah, bambu yang tidak meniatkan untuk memberi kebebasan justru memberikan kebebasan bagi ”yang lain” itu untuk turut hidup dan berkembang. Sebaliknya, pisang yang tampaknya mengayomi dan membebaskan itu justru akhirnya tidak memberikan kebebasan pada ”yang lain”. Sebatang bambu bahkan tidak pernah menunggu ”tua” dan ”roboh” untuk melihat anaknya tumbuh. Tidak demikian halnya dengan pisang yang menunggu dirinya dirobohkan (saking serakahnya) untuk memberikan kebebasan berkembang bagi yang lain yang sama sekali baru. Demikianlah kisah bambu dan pisang.

Demikianlah saya memahami “sosialis”. Kenyataan bahwa pernah ada dalam sejarah manusia seperti Muhammad, Gandhi, Hatta, Nelson Mandela, Sukarno, (Edi Subkhan Muda juga mungkin bisa dimasukkan dalam golongan ini) dll, bagi saya, adalah harapan optimisme akan tetap adanya orang-orang ”sosialis” di dunia ini. Orang-orang yang sesungguhnya mempunyai peluang sangat besar untuk menumpuk kekayaan pribadi (karena mempunyai kompetensi-kompetensi pribadi yang luar biasa untuk itu) tetapi memilih untuk merasa cukup sekadarnya saja untuk hidupnya agar ”yang lain” dapat juga berkembang bebas seperti dirinya. Dan disinilah mungkin saya menyebutnya sebagai pilihan intuitif-kategoris (untuk tidak menyebutnya imperatif).

Dari sinilah, saya tetap berpendapat bahwa filantropis bukanlah sosialis. Filantropis (khususnya filantropis-filantropis super-konglomerat) adalah memberikan harta ”curian” kepada orang yang yang hartanya mereka ”curi”. Pun tidak mengembalikan sepenuhnya hasil curian itu. Bahkan hasil curian yang dikembalikan itu mungkin hanyalah nol koma sekian persen. Sedang sosialis bukanlah pencuri. Sosialis adalah ia yang memberikan harta kepada ”yang lain” dengan cara ”tidak mempunyai harta” atau ia mempunyai harta tetapi bukanlah harta hasil curian. Jika ia hidup cukup hanya dengan nol koma satu persen dari jumlah hartanya maka akan ia berikan 99,9 persennya kepada ”yang lain”.

Demikianlah pengertian saya tentang ”sosialis”. Saya tidak tahu apakah Muhammad, Gandhi dan teman-temannya tadi adalah benar-benar sosialis dalam pengertian saya. Saya juga tidak tahu adakah orang yang benar-benar ”sosialis” seperti itu di negeri ini (juga Edi Subkhan Muda) sekarang ini. Tetapi paling tidak mereka adalah orang yang paling mendekati definisi saya tentang siapakah ”sosialis”, si bambu itu. Celakanya, menurut saya the very example of sang pisang di negeri ini sekarang ini tak lain adalah orang macam Abu Rizal Bakrie.

Thanks.

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya kira 'sosialisme' dalam tulisan Pak IS adalah sebagai sistem. Seandainya dalam perspektif penilaian moral, jelas ini soal lain. Saya kira yang saya permasalahkan adalah jika sosialisme dijadikan sebagai sistem legitemate (dan parahnya oleh Negara).

Saya kira tulisan tentang "Program Anti Kemiskinan" di Juranal A&K sudah dapat menjelaskan bagaimana 'sosialisme' bisa diterapkan. "sosialisme" hanya dapat diterapkan dalam konteks individu2 secara sukarela. Dan hanya melalui seruan-seruan agama lah hal tersebut dapat dilaksanakan. Bukan melalui pengaturan regulasi yg dibuat manusia.

Mengutip kata Pramudia ketika diwawancara, beliau sendiri pernah mengatakan bahwa: Sosialisme sebagai sistem sebenarnya sudah gagal (seperti judul tulisan Pak IS), sehingga Pramudia merubah 'penerapan' sosialisme hanya pada konteks individu.

Saya kira itu. Ya ini keterbatasan bahasa. 'sosialisme' tidak dapat didengung-dengungkan, dia hanya dapat dilaksanakan dalam konteks moralitas individu, saya kira setiap individu memiliki rasa welas-asih dalam batas-batas tertentu dalam diri mereka sendiri.

Dan menurut saya, negara bukan alat yg cocok bagi penerapan "sosialisme"....

Anonim mengatakan...

Epistemologi mempersoalkan: Dengan cara bagaimana kita dapat memperoleh kebenaran ilmu (dalam persoalan kita adalah ilmu tentang manusia)? Itu adalah persoalan intinya.

Jadi, seandainya ada kebenaran-kebenaran yg memiliki epistemologinya sendiri-sendiri, dalam ranah apa dia dapat dikatakan sebagai kebenaran ilmu?

Anonim mengatakan...

mas taufik, mas giy, saya mencoba mengulang statemen mas giy beberapa waktu lalu "kita ini terjebak oleh simbol"

saya rasa, manusia bukan terjebak oleh simbol, tetapi memang hidup bersamanya, dan bergumul mesra dengannya. sebuah simbol yang akan melibatkan interpretasi, dan lagi-lagi saya akan mengulang pendapat mas taufik tentang "keberagaman tafsir".

ya, barangkali itu.
sejauh yang saya tangkap, apa yang kita tolak-juga kita terima-adalah simbol. sesuatu yang "sama",yang kita terima, menjadi tertolak (mentah-mentah) karena hadir dengan simbol yang berbeda.

barangkali, ada perbedaan. salah satu menolak "si x", yang lain menolak apa yang dilakukan "si x", yang lainnya lagi menolak "si x" karena dia berkoalisi dengan "si x yang lain", dan sebagainya..

lalu, apkah keterbelengguan atas simbol itu, atau simbol itu sendiri, atau penangkapan atas simbol, atau keterkaitan antar simbol, atau penerapan simbolnya, yang sebenarnya bermasalah?

saya rasa seperti ini,
memahami sesuatu, bukan dengan menyematkan makna kepadanya, melainkan menghargai apa-apa yang membangunnya.
mungkin dulu orang menyebut "gymnastic" (konon, pembahasaan indonesia dari kata itu adalah "telanjang"), karena beberapa orang berkumpul, untuk olah tubuh dengan telanjang.
tetapi kemudian, itu bergeser menjadi orang yang berolah tubuh (yang tidak dengan telanjang).
lalu, menjadi sebuah tempat-gedung- yang berisi orang-orang yang berolah tubuh.

apakah masing-masing itu bisa dipersalahkan, dengan membenarkan yang lain?

hal-hal semacam itu, selalu terkait dengan sejarah, dengan cerita, yang tentu hadir secara tidak lengkap, pun dengan penangkapan yang juga tidak lengkap. terdapat distorsi yang panjang, yang menyentuh hal itu.

lagipula, orang yang mengatakan itu, juga tidak hidup pada masa yang sama, juga ditempat yang sama. bahkan jika mereka hidup pada saat yang sama dan tempat yang sama, kemungkinan akan penangkapan yang berbeda juga tidak tertutup semuanya. apa yang mereka katakan, selalu terkait dengan trajektori hidupnya. apa yang dia "lihat", akan dikaitkan dengan apa yang sebelumnya pernah ia "lihat". lalu, apakah ada salah satu yang tidak "jujur"?

belum lagi, jika ditambah perihal lain, yang mempengaruhi hal tersebut. hal-hal yang terkadang akan di eliminasi, jika menggunakan metode statistik.

ah...

Anonim mengatakan...

menurut saya, sebenarnya Indonesia kita ini suadh sosialisme sejak pada mula didirikan. kita bisa melihatnya pada sila kelima Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. tanpa menyebut-nyebut sosialisme sebagai jargon, secara substantif Indonesia adalah sebuah negara sosialis. dalam arti,tujuan di"ada"kannya negara ini adalah hanya untuk mengelola keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.ini juga berarti bahwa negara ini tidak perlu ada jika sekiranya manusia-manusianya yang ada di dalamnya dapat mengatur keadilan di antara mereka sendiri.

memandangnya secara demikian (mengembalikannya pada konsensus bersama yang bernama Pancasila) membuat kita bertanya kembali apakah benar sebagai bangsa kita masih mengakui Pancasila sebagai landasan hidup bersama? dalam artian bahwa kita juga sungguh-sungguh berusaha untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat?

bahwa mungkin makhluk yang bernama "keadilan" itu tidak pernah mungkin akan mewujud dalam negara ini adalah sesuatu yang niscaya, tetapi apakah kerja peradaban ke arah sana menjadi sesuatu yang sia-sia?

Pancasila sebagai kesepakatan yan g mengikat kita dalam sebuah imagined community bernama negara Indonesia ini harus kembali menjadi pijakan kita bersama dalam menata segala segi kehidupan, juga termasuk soal ekonomi.

menurut saya, intervensi negara dalam mengelola keadilan ekonomi tersebut haruslah diperkuat. pemberian kebebasan tanpa batas yang mewujud dalam kapitalisme bebas hanya kan mengukuhkan yang kuat semakin kuat yang lemah semakin lemah.bagi sya, sudah menjadi hukum alam bahwa di sebuah rimba bebas yang hanya mengenal hukum rimba dan tak mengenal hukum peradaban manusia, sang singa dengan segala akan tetap mengancam bagi siapapun saja yang ada di sekitarnya. bagaimanakah situasi non-koersi dalam pertarungan bebas tanpa hukum/mekanisme/aturan dapat dijelaskan?

momentum kemenangan neo-liberalisme di negara kita ini seharusnya adalah momentum kembalinya politik kerakyatan yang lebih berpihak kepada mereka yang terpinggirkan, yakni mereka yang seharusnya berhak menikmati hasil bumi, batubara, tambang, minyak, gas, dsb tetapi semuanya itu telah dikeruk oleh sekelompok orang yang mungkin hanya bisa dihitung dengan jari dua orang.

saya tidak percaya kepada sistem yang bisa berlaku baik untuk selama-lamanya, juga terhadap sosialisme. saya lebih percaya melihat kebutuhan kontekstual masyarakat kita sekarang. dalam konteks sekarang, berdasarkan demikian besarnya kepemilikan privat atas harta-harta publik (semisal minyak, tambang, gas, dsb.) di negara kita ini maka saya kira nasionalisasi dalam rangka mewujudkan keadilan sosial adalah hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi saat ini.

tentu sekali lagi, nasionalisasi bukanlah jalan yang selama-lamanya benar.saya percaya pada kebutuhan yang berbeda-beda atas masa (keadaan) yang berbeda.mungkin, pada saatnya nanti negara tidak lagi membutuhkan nasionalisasi karena pembatasan negara terhadap kebebasan ekonomi sudah tidak dapat ditolerir lagi.

demikianlah, siklus perputaran yang saya yakini harus terjadi.tapi, sekali lagi nasionalisasi adalah harga yang tak bisa ditawar-tawar lagi kali ini.entah besok...

taufiq

Anonim mengatakan...

Sudah kelihatannya ideologinya Taufik. Dan memperteguh hipotesis saya bahwa bahasa tulis punya keterbatasan daripada bahasa laku. tapi ndk apa. Ini membuat saya lebih enjoy. Coz saya entar harus banyak menulis tentang sifat-sifat organisasi. Tidak hanya getuk goreng

Saya di KEP terlalu banyak Janji. Apa dampak kalau organisasi dinasioanlisasi?

Bencana men!!!
buktikan saja....wong saya aja ndk butuh2 amat....

Anonim mengatakan...

Dengan demikian Gus Taufik mulai merambah ke ranah ontologi dan metafisika, padahal awal perdebatan kita soal titik adalah pada ranah epistemologi di mana Kang Gik menyatakan “titik” yang agaknya dimaksudkan untuk mengkahiri dialog, dan ini sah-sah saja. Makanya kemarin saya katakan, titik adalah akhir dari narasi, dan awal dari narasi baru sebagaimana dialektika hegelian itu. Pertanyaan saya ketika Gus Taufik menyatakan titik dalam definisi Gus Taufik “yang kemarin” tidak melampaui kapasitas definitifnya, lalu “koma” itu apa? Apa posisinya berkaitan dengan titik yang selalu mengikutinya? Bukankah “membentuk ruang” lagi, artinya keluar dari kapasitas definitifnya? Apalagi “baru” itu sama sekali lain dari yang pengertian definitif titik awal. Agaknya Gus Taufik ingin menyatakan sebuah ketiadaan akhir sebagai sebuah proses yang terus menjadi, namun sayang terpaku pada titik dan menafikan adanya koma. Bagi saya titik diperlukan untuk sebuah penegasan dan keputusan atau kesimpulan walaupun itu mungkin sementara. “titik” dalam pernyataan Kang Gik adalah dalam kapasitas definitif ini, namun dengan lebih pada “ah sudahlah...pandapat saya ya ini” sebuah “pokoke”. Dengan demikian kiranya dapat dikatakan terdapat “koma” yang tak dibahas Gus Taufik, titik semu, dan titik itu sendiri. Hehehe..... \

Tuk Kang Gik, Tapi bukankah sosialisme selalu berkaitan dengan moral dan keadilan, dalam hal ini bukanlah sosialisme tangan besi ala Rusia dan China dulu, tapi sosialisme yang masih dalam tataran idea.

Anonim mengatakan...

Edy:
"Tuk Kang Gik, Tapi bukankah sosialisme selalu berkaitan dengan moral dan keadilan, dalam hal ini bukanlah sosialisme tangan besi ala Rusia dan China dulu, tapi sosialisme yang masih dalam tataran idea."

Giy:
Pernyataan di atas menambah kesadaran saya. Mengapa bangsa kita selalu di rundung masalah. Perwakilannya ada pada pernyataan-pernyataan di atas. Koment saya ini tidak usah ditanggapi, coz cuma peneguhan hipotesis saya pribadi tentang "kesadaran berbangsa".

Salam

Anonim mengatakan...

Bagi saya mengapa bangsa kita selalu dirundung masalah, tidak semudah itu Kang, mungkin bisa jadi bangsa kita selalu dirundung masalah karena banyak orang yang gak paham paradigma keilmuan, paradigma berpikir, positivisme, kritisisme, dan lainnya....hehehehe...

Anonim mengatakan...

@Edy:
"mungkin bisa jadi bangsa kita selalu dirundung masalah karena banyak orang yang gak paham paradigma keilmuan, paradigma berpikir, positivisme, kritisisme, dan lainnya....hehehehe..."

Giy:
Saya kira pernyataan di atas terlalu memaksa. Yang jelas karena bangsa kita banyak yg maling. Dan otak penggerak maling-maling itu adalah yang merasa dirinya punya ilmu ala akademis. Jadi menurut saya sangat kebalikan sama anggapan Edy.