Muhtar Said
Sekertaris Jendral BEM FH Unnes
online degree programs |
Komunitas ini ada karena kegelisahan intelektual beberapa intelektual muda di Semarang. Lahir pada akhir 2007, mewadahi diskusi dan kajian tentang semuanya: filsafat, agama, sastra, politik, pendidikan serta permasalahan sosial. Berupaya menjadi salah satu yang mewarnai dan menjadikan Semarang kota intelektual. kontak e-mail: pagiembun@gmail.com
Wajar saja, bila lebaran datang, semua serba baru.
Entah itu baju baru, sepatu baru, mukena baru, berat badan baru, atau bahkan hati yang baru.
Tak terkecuali Gadis. Ia sudah berencana untuk mengganti mukena yang telah ia miliki dari dua tahun yang lalu. Namun, sampai ramadan datang, ia belum menemukan mukena yang sesuai seleranya.
Suatu hari, sang ibu datang membawa sepasang mukena sutera padanya.
" Dis, apa kamu suka mukena ini?"
Gadis memandang mukena itu dengan takjub. Mukena sutera yang tidak begitu ramai dengan detail. Terlihat kalem namun elegan. 'wow, mukena yang indah'.Ucapnya dalam hati. Gadis membelai mukena itu dengan hati-hati. Maklum saja serat-serat sutera yang lembut akan mudah rusak meskipun hanya karena goresan kuku.
" Gimana?Cocok?" Tanya Ibunya.
" Ok. Ini persis yang aku pengenin."
Gadis meraih mukena sutera barunya dengan suka cita. Ia bahagia karena mendapat apa yang sesuai dengan seleranya. Ia mulai membayangkan saat solat idul fitri tiba, rasa bangga mengalir deras dalam dirinya.
" Kalau mau yang itu, berarti ibu jadi jual berasnya." Kata Sang Ibu enteng.
Gadis mengernyitkan dahi.
" Apa Bu?Jual beras?"
" Iya, untuk bayar mukena itu, ibu akan menukarnya dengan sekarung beras." Ucap Ibunya santai.
" Hah?!mang harga mukena ini berapa?"
" 130ribu. Pas kalau ditukar dengan sekarung beras."
Gadis diam. Ia memandangi mukena sutera idamannya. Miris.
Ini sangat mengganjal Gadis. Sepasang mukenanya dibayar dengan sekarung beras. Sepasang mukena itu hanya untuk dirinya. Sedangkan, sekarung beras bisa berguna untuk enam anggota keluarga yang lain.
" Bu, ini ga jadi aja. Gadis beli mukena yang bahan parasut atau embos aja." Gadis menyerahkan mukenanya dengan berat hati.
" Kenapa?Ibu tahu kamu menginginkannya."
" Tapi, kenapa harus ditukar dengan sekarung beras?Apa Ibu tak punya uang untuk membayarnya?"
" Ibu punya uang untuk membayar mukena itu tapi dalam bentuk sekarung beras, tidak dalam cash." kata ibunya tersenyum. " Sudahlah. Tak usah dipikirkan." Lanjut sang Ibu.
Gadis diam. Ia semakin bingung. Sekarang yang terbayang adalah ia solat "memakai" sekarung beras. Atau ketika ia melihat mukena itu ia merasa bersalah pada keluarganya, tetangganya dan orang-orang kelaparan.
aleev
hai, arjuna yang datang dari matahari
masih ingatkah kau pada koma
dan sedikit malu-malu
jejak seperti mula adalah cinta yang dipaksakan
bukan itu, kawan, begitu kau bilang
tapak tetaplah bukan janji
melainkan cahaya yang tak tergenggam
bahkan saat kita tak berkata-kata
hai, arjuna yang kesepian
seperti halnya nafas yang sedikit sesak ini
biarkan aku yang menanggungkan lelahmu
mungkin, hanya dengan sedikit geli
kita bisa berdamai
bahkan ketika hati tak hati lagi
he he,
taufiq
telah berlari kencang, dan jauh
si pelari tak pernah tau timur, selatan, barat, utara
dia, hanya tau depan, belakang, dan samping
berlari,
kemana saja, yang penting lurus
tak usah tengak-tengok
peduli setan
samar terdengar dari mulutnya
celeng!
wajibkah,
kita berlomba lari ke barat
jika memakai sepatu masih terbalik?
ahmad fahmi mubarok
“…betapa bahagia anak-anak dari bangsa Eropa. Mereka boleh mengecam, boleh menyatakan tidak percaya pada sesuatu kebijasanaan, dan tanpa sesuatu hukuman, apalagi dibuang”.
Pramoedya Ananta Toer
Buku ini bisa dibilang hebat! Shiraishi dengan tajam mengamati proses ideologisasi dalam perubahan kehidupan budaya di Indonesia. Barangkali dengan membaca buku ini, kita akan dengan mudah dapat memaklumi mengapa kasus-kasus korupsi di negeri kita tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.
Saat pertama kali membaca buku ini di perpustakaan daerah, saya telah lama mencarinya dan akhirnya menemukannya di sebuah pasar buku di Yogyakarta. Pesan yang ingin disampaikan dalam buku ini sangat jelas, bahwa relasi kebudayaan di masyarakat kita adalah relasi bapak-anak. Ideologi keluarga merupakan nilai tertinggi bagi relasi manusia orde baru, baik itu di pemerintahan maupun di perusahaan-perusahaan. Jadi jangan heran jika anak-anak KEP lebih memilih diskusi sendiri daripada mendengar dosen-dosen mereka mengoceh di kelas. Atau ketika Bapak-nya kemarin memberikan pidato yang menyedihkan karena merasa kurang dihargai (diwongke), anak-anak KEP malah tertawa terpingkal-pingkal di antara kerumunan peserta pengajian.
Dalam perspektif kebebasan, kebudayaan masyarakat kita kurang menghargai arti ‘kesalahan’ dalam proses belajar. Dengan membatasi pilihan-pilihan sang anak dengan batasan ‘salah’ dan ‘benar’. Implikasi jauh dari kebiasaan ini adalah tumbuhnya karakter mem-beo dari generasi kita. Prestasi bagi seorang siswa adalah ketika dia sedikit sekali melakukan kesalahan, bukan sebaliknya. Nilai pembelajaran siswa tidak ditunjukkan melalui proses perubahan karakter kedewasaan dalam memutuskan suatu hal, tapi lebih pada keharusan mengetahui segala sesuatu dan kemampuan mengisi jawaban yang ‘benar’ menurut ketentuan oleh sang bapak (guru).
Padahal proses pembelajaran sejati hanya dapat dilakukan dari kesadaran diri sang anak. Belajar bukanlah pemaksaan bagi penilaian ideal orang tua atau orang yang “merasa tua”. Dalam istilah saya, belajar adalah proses menjadi yang tidak akan pernah berhenti. Belajar adalah ketika seseorang memahami makna kebebasannya serta mengerti implikasi dari setiap pilihannya sendiri.
Barangkali nilai-nilai itulah yang sering dilupakan dalam pelaksanaan pendidikan kita. Siswa seolah mempunyai dualisme sistem komunal. Antara ruang resmi dan non resmi, antara yang tertib dan gaduh, antara kuliah dan diskusi privat, antara ijazah dan kompetensi. Semua hal tersebut saling terpisah tanpa pernah saling terkait. Dampak buruk dari pemisahan tesebut adalah ketidakmampuan kita dalam membedakan antara yang “simbol” dengan yang “isi”.
Penelitian Siraishi yang luas terhadap kebudayaan Indonesia seolah memberi cermin bagi kita agar dapat melihat diri kita melalui kebiasaan sehari-hari, baik di kantor, di kelas maupun di Bandara. Buku ini tidak hanya layak dibaca bagi diskusi kebudayaan kita, tapi lebih dari itu, dia menawarkan perspektif yang luas dalam usaha kita memandang problem kebangsaan.(Giy)
Di Kompas hari ini 17/09/08 (hal 19) , seorang ekonom ternama dari Universitas Ternama yang konon sering mendukung pasar bebas dengan enteng merekomendasikan sesuatu yang konyol.
Disini pembaca di media massa harus jeli-jeli membedakan antara pernyataan ilmuwan dengan ahli propaganda.(Giy)
Selamat tinggal sayangku. Setelah sekian lama kita berpisah, ingin sekali ku ucapkan rasa terima kasihku padamu. Dulu saat pertama mengenalmu, aku memang sangat tergila-gila kepadamu. Kau kubawa ke mana-mana, karena aku takut semua orang akan mengenalmu. Kau begitu menginspirasi. Kau ajarkan aku bahwa kita harus memperjuangkan keadilan. Kau ajarkan aku bahwa ’eksploitasi’ harus kita hentikan. Bahwa perbedaan kelas harus ditiadakan. Bahwa pabrik-pabrik bangsat itu harus kita kuasai untuk kepentingan bersama.
Tapi sayangku. Sebelum aku menemui dirimu yang ’asli’. Di saat banyak orang membicarakanmu, dan ketika Lenin, Stalin, Mao dan Castro telah menggunakanmu untuk memuluskan jalan mereka dalam meraih kepentingannya sendiri. Dirimu sudah tidak menarik lagi. Kau kukenal lewat ”Madilog”, walaupun sekarang aku belum menemukan versi aslimu, tapi aku telah banyak melihat dirimu telah mempengaruhi banyak orang. Dirimu sekarang telah berganti wajah dengan berbagai versi. Dari Neo-Neo hingga Isme-isme yang baru. Entah berapa versi wajahmu telah membuatku begitu muak.
Salam
Giy
Homoseks merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini, karena memang masih dipandang tabu oleh masyarakat. Cerita mengenai homoseks diawalai dengan kisah nabi Luth yang hidup didaerah Sodom, kisah ini adalah kisah termasyhur bahkan sering dijadikan legitimasi teologis agama untuk melarang kawin sejenis.
Homosek merupakan kelainan jiwa dimana homoseks mencintai sesama kelamin, jiwanya bisa dikatakan “tidak stabil”, disertai adanya tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan si homo. Misal, ia bergaya seperti perempuan dalam berhias dan berpakaian. Kita juga akan terpengarah saat menyaksikan sajian televise swasta bertajuk “Fenomena Gay”( Senin, 3 Mei 2004 ) yang menunjukan suatu komunitas kehidupan gay, tepatnya di pulau Dewata Bali, sebuah komunitas yang menamakan diri gay dapat’menghirup udara’sebagaimana orang normal.
Dan anehnya Sampai sekarang orang yang menyukai sesama jenis itu masih dianggap hina oleh masyarakat. Maenstriem masyarakat tentang kawin sesame jenis masih menganggap sesuatu yang hina. Hal ini menyebabkan kaum homoseks merasa dirinya rendah dimata masyarakat. Dengan adanya stigma seperti itu, kaum homosek jika ingin melakukan kegiatannya mereka melkukan dengan sembunyi-sembunyi. Karena mereka takut dengan ancaman-ancaman yang akan dilakukan oleh masyarakat terhadap mereka..
Namun dengan adanya kejadian Ryan (Si pembunuh berantai) menandakan bahwa betapa beratnya kehidupan yang ditanggung oleh kaum homoseks. Ryan yang telah membunuh sebelas orang dimana dua orang yang di bunuh adalah anak dan ibu. Pembunuhan itu terjadi dikarenakan Ryan cemburu terhadap ibu si anak tersebut, sebab suami korban adalah pasangan Ryan yang telah dia bunuh pula.
Kaum homoseks aslinya juga mempunyai wadah berupa organisasi yang dimana oraganisasi itu berisikan orang-orang yang mempunyai kelainan seks. Seperti yang telah ada di Kota Sidoarjo dimana organisasi tersebut bernawa Porwakos. Organisasi itu dibuat untuk bisa mempermudah kounikasi kaum homoseks.
Organisasi tersebut ternyata belum bias untuk menampung kegiatan-kegiatan bagi kaum homo seks hal ini dibuktikan dengan adanya kasus Ryan, karena kurang terdengar dan jarang terekpos oleh media cetak dan elektronik. Ini juga dikarenakan organisasi mereka tidak diakui oleh pemerintah. Padahal mereka juga punya hak sebagai warga Negara, sesuai dengan apa yang telah didalilkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34.
Jika ada alasan bahwa kawin sejenis menyalahi aturan yang telah dibuat oleh Negara atau bahkan menyalahi takdir tuhan dasarnya sangat lemah. Sebab hasrat homo pada dasarnya fitrah si homo yang datangnya dari tuhan. Terlalu sempit dan terlau egois kalau memandang kaum homoseks menyalahi takdir Tuhan. Kaum homosek adalah manusia yang normal yang melakukan sesuatu atas dasar nuraninya. Mereka melakukan hal tersebut juga bukan kehendaknya. Tuhan adalah kuasa atas segala sesuatu, termasuk juga kuasa kaum terjadinya homosek ini. Jika kaum homoseks yang memang sudah dikehendaki Tuhan untuk jadi seperti itu disalahkan. Menurut kami telah terjadi permainan yang tidak fair digelar umat Bergama. Singkatnya tidak cukup alsan agama maupun pemerintah mengharamkan perkawinan sejenis.( Justisia, 2004:1).
Seharusnya kita patut menyontoh Negara-negara maju seperti Belanda yang telah melegalkan pernikahan sejenis. Parlemen belanda pada tahun 2001 secara resmi menetapkan regulasi untuk menghalalkan praktek nikah sejenis. Mungkin dengan cara itu bisa mengurangi perbutan tindak pidana yang dilakukan oleh kaum homoseks. Karena dengan pernikahan mereka akan terjaga oleh pasangannya karena terikat sumpah setia dan ini akan mengakibatkan pada diri mereka untuk tidak berganti-ganti pasangan serta berkeliaran secara liar.
Sudah saatnya pemerintah berani membuat terobosan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis demi kemaslahatan umat khususnya kaum homosek dan umumnya masyarakat. Hanya orang-orang bodoh yang memandang hina perkawinan sejenis, karena dulunya perkawinan sejenis bisa dilarang pada zaman nabi Luth itu dikarenakan kaum nabi luth menghalangi proyek tuhan untuk membuat generasi baru. Tapi sekarang proyek tuhan sudah sukses bahkan keblabasan. Tidak ada salahnya kita sedikit mengurangi proyek tuhan tersebut.
Muhtar Said
Sekretaris Jendral BEM FH UNNES
Perkenalkan, aku seorang anak kecil, perempuan, yang masih terlihat manis lewat pantulan cermin, karena belum banyak tersentuh debu. Debu jalanan, kaca mobil, maupun debu dari ujung lidah yang bercampur ludah.
Dari cerita Ibu, aku tahu, bahwa aku lahir pada sore hari. Em.. Belum sore benar. Siang menjelang sore, saat Ayah pergi membeli sekilo gula di warung depan, dengan menggenggam uang 100 milyar. Paling-paling penjual akan memberi kembalian beberapa permen.
Seperti itu cerita Ibu, sembari mengelus kepalaku yang tak berambut, tapi penuh uban!
Sore ini, seperti sore kemarin, dan kemarinnya lagi, aku bermain-main dengan sesuatu. Sesuatu yang hanya diam saat aku membantingnya, dan tak membalas teriakanku di cuping telinganya. Sesuatu itu tak seperti-sesuatu yang lain-yang biasa Ibu suapkan kepadaku. Dia keras, hingga aku tak bisa mengunyahnya. Tetapi Ibu dan Ayah seperti bahagia melihatku bermain dengannya.
Begitu, dan begitu hari-hariku. Tanpa mencari aku telah mempunyai. Tanpa meminta, telah ada keajaiban dan keriangan berdiri di depanku. Matanya nanar menatap ke arahku, dingin, dan telanjang. Mungkin tak sekalipun aku menemukan-sesuatu yang lain lagi-yang bisa kudapat dari awal sampai akhir, sekalipun akhir yang tak sepenuhnya akhir. Aku bahkan terlahir dengan sematan struktur Piaget, dalam klaim pengkotakan Kohllberg yang bias gender, Seperangkat ego hadiah dari Freud, dan dikondisikan oleh Pavlov bersama Skinner.
Aku heran pada Kiekegaard, yang (katanya) bisa menemukan dirinya. Karena aku tak menemukan diriku. Aku ditemukan oleh Piaget, Kohllberg, Freud, dkk. Juga murid-murid mereka, yang merasa menemukan dirinya sebagai seorang Sarjana Psikologi, Psikolog, Doktor, Dokter, Professor, atau sekedar sisipan (m) di depan kata-kata itu..
Ahmad Fahmi Mubarok
Kadang aku bosan menjadi orang yang mempelajari hukum, menyandang sapaan orang hukum membuat denyut nadir ini semakin berdegub dengan kencang dan emosional. Orang mempelajari hukum bukan untuk mentaati hukum. Inilah inti dari persoalan yang hakiki. Pengacara mempelajari hukum untuk mencari celah hukum guna kepentingan klien-nya menang dalam perkara. Jaksa mempelajari hukum untuk memeras yang punya perkara, dan hakim mempelajari hukum dengan pertimbangan untung-rugi praktisnya.
Pelajaran teori hukum murni ala Hans Kelsen Bapak Ilmu Hukum hingga Rous Coe Pound realisme hukum dari Amerika sampai ke "Prof-Prof" lokal yang mengajarkan tentang hukum pada akhirnya dikecewakan karena ajaran intelektualis-nya dipakai sebatas keterampilan mempermainkan hukum untuk kepetingan prakmatis.
Aku menulis ini karena kebetulan ada di kampus fakultas hukum memanfaatkan fasilitas internet gratis, namun status dan predikatnya, yakni "orang hukum" kumulai bosankan. Maafkan aku hukum......
luluk.,
Saya akan menjawab argumen Pak Imam Semar di komentar atas tulisan saya dan setelah itu menjawab pernyataan dan pertanyaan Kang Gik.
“....anda berikan sangat ekstrim. Anda tidak melihat resiko yang ditanggung pemodal, seperti harus menyogok pejabat,lobby DPR, bayar pajak, kemungkinan tidak laku, uang takut pada prokem, biaya operasi, dan ...... ilmu untuk bisa cari pembeli itu yang mahal. Dinegara yang kurang korup birokratnya, (bandingkan Malaysia dan Indonesia) penggajian yang rendah berkurang. Saya pernah bekerja di Malaysia dengan gaji 5 kali di Indonesia untuk pekerjaan yang sama. Pembantu juga demikian. Bahkan, harga pangan dan biaya hidup lebih rendah dari di Jakarta, padahal upah buruh lebih tinggi dan para kapitalis menikmati keuntungan yang lebih banyak dari di Indonesia. Bagaimana bisa? Karena birokrasi (parasit) tidak banyak disana.”
Contoh saya sangat ekstrim? Saya kira Pak Imam Semar justru lebih sangat ekstrim lagi, apakah risiko seorang boss dan perilaku amoral seperti menyogok, loby, uang takut pada prokem, itu mesti ditanggung oleh buruh??? Apakah semua semua “risiko” yang pada dasarnya adalah keputusan yang diambil oleh seorang pengusaha mesti dilemparkan pada buruh? Apakah uang studi selama perkuliahan seorang manager, marketing, boss besar, mesti ditanggung oleh buruh? Ah...ada-ada saja, itu semua bagi saya adalah risiko yang mesti ditanggung per person itu sendiri, jangan dilemparkan ke buruh. Buruh bagi saya sesuai kapasitasnya cukup bertanggungjawab sesuai dengan job desc masing-masing dan mendapatkan keadilannya, bukannya dieksploitasi.
”Saya jadi ingat cerita mengenai kematian Umar bin Khattab. Seorang budak Persia datang kepada Umar minta perlindungan hukum karena majikannya memberinya target revenue yang dianggap terlalu tinggi. Umar mengatakan: "Selesaikan urusanmu sendiri dengan majikanmu. Itu bukan urusan negara" kira-kira begitu.” Dan “....Kenapa bisa makmur dimana proteksi buruh tidak ada? Karena adanya keadilan - hasil yang diperoleh sebanding dengan usaha, dan penghapusan pemaksaan. Power tends to corrupt. More people with power leads to more corruption. Jangan mengatas namakan "kemanusiaan" untuk menzalimi yang lain.”
Bagi saya, Umar ibn Khathab dan formulasi pemerintahan masa kekhalifahan masa itu pun belum sempurna, masih menjadi dan akhirnya justru berakhir pada masa Ali ibn Abi Thalib Karamallahu Wajhah. Konsepsi negara atau kekhalifahan selau berkembang, baca saja karya-karya politik Islam Ibn Abi Rabi’, al-Farabi, al-Mawardi dengan ahkam al-sulthaniyah, Ibn Taimiyah, dll. Nah, kuncinya adalah keadilan kan? Proteksi tidak diperlukan ketika keadilan diwujudkan, namun ketika terdapat potensi ketidakadilan, maka proteksi mesti dilakukan, mesti ada pembelaan. Nah, dalam kasus Umar tersebut, agaknya unsur keadilan tidak diberikan karena memang belum terpikirkan dalam kerangka kenegaraan.
Selanjutnya saya akan menanggapi komentar Kang Gik. Nah, ini lagi kesalahan Kang Gik dalam memahami analogi tentang positivisme dan teori kritis.
"Epistemologi mempersoalkan: Dengan cara bagaimana kita dapat memperoleh kebenaran ilmu (dalam persoalan kita adalah ilmu tentang manusia)? Itu adalah persoalan intinya."
Kang Gik, saya setuju memang epistemologi adalah soal bagaimana kita memperoleh kebenaran, memperoleh pengetahuan. Tapi, epistemologi tidak stagnan di situ saja, ia kemudian membawa konsekuensi pada; kebenaran seperti apa, pengetahuan seperti apa, kebenaran dan pengetahuan untuk apa, mode beroperasinya epistemologi dalam menggali kebenaran dan ilmu pengetahuan bagaimana, tujuan ilmu dan kebenaran bagaimana. Inilah setidaknya yang dikatakan sebagai “epistemologi kiri, epistemologi kritis, dll” itu. Ataukah beberapa poin yang include dalam epistemologi ini belum terbaca oleh tafsiran epistemologi positivisme? Ooo...saya tak tahu...
"Jadi, seandainya ada kebenaran-kebenaran yg memiliki epistemologinya sendiri-sendiri, dalam ranah apa dia dapat dikatakan sebagai kebenaran ilmu?"
Ya, bagi saya ada dan memang seperti itu Kang, makanya saya setuju kata pak Nad, bahwa positivisme tidak bagus untuk sosio-humaniora, ia tepat untuk eksakta, sedangkan paradigma interpretatif, kritis, posmodernis lebih cocok untuk sosio-humaniora, ia lahir, tumbuh, dan hidup untuk sosio-humaniora, sedangkan positivisme lahir, tumbuh, dan hidup untuk disiplin eksakta, ada lokus atau ranah kebenarannya masing-masing.
"Ya saya baru bisa menangkap arti dari 'teori kritis': dia adalah teori yg memasukkan arsenik dalam anggur dan menumpahkan anggur ke wajah seseorang!
Kang Gik, ini kesalahan lagi dalam memahami analogi saya soal positivisme dan kritis. maksud saya adalah, teori kritis itu tidak linier sebagaimana positivisme memandang segelas anggur ya “hanya” untuk minum, teori kritis memandang selalu ada “kemungkinan” lain, bisa saja memasukkan arsenik itu. Jadi teori kritis lebih luas pandangan dan cakupan asumsinya daripada positivisme yang hanya melihat sesuatu “apa adanya” (ini sedikit mirip dengan paradigma interpretatif awal).
“Apakah itu dapat disebut sebagai epistemologi? Apakah kebenaran ilmu hanya dapat ditafsirkan dari dua sisi: baik dan buruk?”
Jawaban ini saya kira sudah ditulis di depan, “bisa!”. Selanjutnya, saya sepertinya belum pernah menyatakan kebenaran hanya dapat dinilai dari baik dan buruk Kang, dari mana Kang Gik mendapat simpulan ini? Bagi saya ya gak bisa...
“Dalam konteks Getuk, Teori kritis ingin mengatakan bahwa Bu Rury mencoba memasukkan 'obat tikus' di Getuk gorengnya, dan Bu Rury juga yg mencoba memanfaatkan si Chun untuk kepentingan/keuntungan dirinya sendiri.”
Waduh...inilah bagi saya bukti dari kesalahan pemahaman atas analogi saya yang kemudian langsung memasukkan –dari analogi saya soal arsenik itu- dalam amsalnya Kang Gik soal getuk goreng itu, ini persis sebuah pola yang kemarin juga dilakukan oleh Pak Nad dengan memasukkan “umur” dalam contoh dalam argumentasi Gus Taufik dan Kang Gik, jadi penjual ikan umur sekian penjual gethuk umur sekian. Saya kira ini terlalu naif Kang. Ini bukan matematika persamaan.
Begini maksud saya klo mengambil contoh gethuk doreng itu. Gethuk goreng yang ditukar dengan ikan dan keduanya pulang dengan senyum, kira-kira begitu kan? Ini positivisme secara sederhana, namanya juga analogi. Klo teori kritis maka akan mempertanyakan berbagai kemungkinan lain, bahwa bisa jadi transaksi tersebut dengan senyum setelahnya hanya ada pada waktu itu, tidak mungkin diulang untuk selamanya dan dalam konteks yang lain, klo keduanya sedang marahan ya tentu tak ada senyum, bahkan mungkin transaksi tak terjadi. Bisa jadi hal itu terjadi karena ada niat dari salah satunya untuk semakin mempererat tali silaturahim, jadi walaupun mungkin barter itu tak senilai antara gethuk dan ikan, tapi ada hal lain yaitu niat baik silaturahim yang menjadikannya sah terjadi. Bisa jadi karena kasihan, atau -dalam psikologi behaviorisme- sudah menjadi habituation and then become a tradition.
Dengan demikian, positivisme hanya melihat yang telah ada, data dan fakta yang ada, sedangkan teori kritis mencoba mempertanyakan tidak hanya itu, tapi juga faktor lain, potensi lain, kemungkinan-kemungkinan lain, tujuan-tujuan lain. Makanya saya paham mengapa Kang Gik ngotot positivisme ya hanya itu-itu saja, karena frame-nya ya hanya itu-itu saja.
Oh iya, klo masih kurang contoh atau analogi, bilang aja... klo saya masih sanggup dan punya energi untuk memberikan penjelasan, ntar tak jelasin lagi, apa sih yang gak buat Kang Gik....hehehe... Beradu argumen dengan Kang Gik membuat saya mesti mengingat-ingat bacaan soal positivisme dan epistemologi yang dulu sepertinya sudah saya baca di awal-awal masa kuliah dan sekarang sudah terlupa hehehe...
Salam, dari Edi Subkhan di Jakarta
Masih dalam ingatan lampau dimana Indonesia tengah dilanda krisis ekonomi yang memaksa orang prihatin dan dirundung duka. Krisis ekonomi ini tak hanya aliran yang natural sebagaimana air yang mengalir dalam derasnya sungai. Namun dalam problem ini, krisis ekonomi menjadi bahan diskursus yang paling panas, dialektika berkembang mendefinisikan dan membongkar kontruksi krisis yang melanda Indonesia beberapa waktu silam yang eksesnya masih terasa hingga dewasa ini.
Sedikitnya, dua pendapat sentral berbeda tentang masalah ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia. Pertama, sebuah opini yang menyatakan ekonomi Indonesia sedang sakit keras yang membutuhka obat dari dokter yang hebat. “Penyakit ekonomi Indonesia sulit diobati dan obat apapun di khawatirkan tidak manjur. Sayang dokternya hanya satu, yaitu IMF, dan tidak ada dokter lain yang bisa menolong”, apalagi obat mujarab itu tiada lain hanya hutang yang menggunakan garansi melalui kesepakatan-kesepakatan tertentu, lepas itu menguntungkan atau merugikan bagi Indonesia. Kedua, pemikiran yang lebih menekankan bahwa Indonesia tidak sedang sakit parah, tetapi “klenger (pingsan)”, sehabis terpukul “knock out” dari “perkelahian tak seimbang”. Indonesia kalah telak karena disamping perkelahian bersifat “free fight” (non-level playing field), juga karena “aturan main” dibuat oleh “mereka”, yaitu aturan “sistem ekonomi kapitalisme”. Pendapat versi kedua rasanya lebih cocok karena Indonesia dewasa ini sudah merupakan bagian dari ekonomi dunia dan tidak lagi dalam kondisi terisolasi dari perekonomian dunia.1
Sebagian kalangan ahli memikirkan bahwa deregulasi dan liberalisasi adalah “obat” ramuan dokter ekonomi barat berdasarkan teori ekonomi pasar bebas, yang tidak mengandung upaya khusus untuk melindungi atau memihak mereka yang lemah (yang kita kenal dengan nama ekonomi rakyat). Hasilnya, seperti dapat di duga, yang kuat akan menang dan yang lemah akan terpental dan mati.2 Memang begitu populernya konsepsi pasar bebas sebagaimana yang di gariskan oleh Adam Smith, membuat segala dekonstruksi atas rezim konsepsi ini tak banyak berbuat banyak. Teori pasar murni dikemukakan pertama kali oleh Adam Smith (1723-1790) yang saat ini lebih di kenal dengan sebutan sistem kapitalisme yang terdesentralisasi karena Negara (pemerintah) sama sekali “tidak tertarik” atau lebih tepatnya “tidak boleh” mengaturnya. Apa yang di sebut dengan invisible hand dianggap memadai untuk mengatur perekonomian denga hasil yang memuaskan semua orang. Jika setiap orang di biarkan mengejar kepentingan masing-masing maka tanpa disadari keinginan setiap orang akan terpenuhinya dengan sendirinya dan akan tercapailah kesejahteraan umum (general welfare).3 Namun dalam kenyataannya ada jurang pemisah antara teori dengan praktek, antara das Sein dan das Sollen. Kesejahteraan umum menjadi kesejahteraan beberapa individu saja, sisanya hidup dalam penindasan dan ketidak-berdayaan.
Sepertinya pertarungan konsepsi pemikiran ekonomi membawa dampak besar yang seakan tak bisa di damaikan, menyeret banyak institusi terlibat bahkan Negara penganut paham pluralitas konsepsi pemikiran ini. Ketidak akuran pemikiran ekonomi ini merupakan salah satu inti dari persoalan ekonomi, yang efeknya terasa oleh banyak khalayak umum dan mempengaruhi polemic ekonomi di berbagai banyak Negara, meskipun pada akhirnya konsepsi pemikiran ekonomi yakni pasar bebas atau kapitalisme nampak lebih dominan.
Meskipun banyak sekali berhamburan konsepsi pemikiran ekonomi, namun bangunan pemikiran paling kuat dominan boleh di bilang hanya di miliki oleh tiga pemikir besar yang berdiri di atas kerangka teoritis dan memiliki kutub tersendiri-sendiri.
Perjalanan ini dimulai dari bangunan yang di hasilkan oleh Adam Smith sebagaimana diungkapkan diatas, kemudian konsepsi besar milik John Maynard Keynes sampai ke pemikiran ekstrem kepunyaan Karl Marx. Jika di buat sebidang kutub pemikiran, Adam Smith nampak konservatif menduduki posisi ekstrem kanan, sedangkan ujung yang satu berlawanan dengan Smith adalah Karx Mark yang radikal cenderung ekstrem kiri, dan ditengah-tengah ide ahli ekonomi itu, adalah Keynes yang lebih moderat dan liberal.
Bagi Adam Smith, ekonomi diharuskan memiliki sebidang filsafat kebebasan alamiah, di dalam bukunya yang terkenal The Wealth of Nations mengajarkan sistem pasar bebas dan persaingan, yang kemudian diikuti dengan konsep denasionalisasi, perdagangan bebas dan privatisasi. Adam Smit mendukung kebebasan ekonomi maksimum dalam perilaku makroekonomi individual dan perusahaan, Negara-negara yang paling mendekati visi kapitalisme laissez faire Smith telah mencapai standar hidup tertinggi.4
Sementara Keynes, lebih suka mengajukan model baru yang noleh di bilang canggih yang di dasarkan pada “hipotesis ketidak-stabilan finansial” yang melekat di dalam sistem kapitalis. “Ekonomi baru” ini menuntut adanya intervensi pemerintah di arena moneter dan fiscal untuk menstabilkan ekonomi pasar. Dia masih mempertahankan model klasik penghematan, anggaran berimbang, pajak rendah dan standar emas di kaitkan dengan periode full employment, sedangkan rumusan Keynesian tentang permintaan konsumen, pembiayaan deficit, pajak progresif, dan fiat money berperan penting di masa resesi ekonomi dan pengangguran.5
Di ujung radikal tinggal Marx yang akan kita bahas dengan buku populernya, Das Kapital. Marx berambisi agar ekonomi terpusat baik di tingkat makro maupun mikro. Dia sering berbicara tentang eksploitasi dan alienasi (keterasingan) di kalangan buruh industri, meniadakan kebebasan yang di kelola mandiri oleh individual maupun perusahaan. Bagi sebagian kalangan ahli yang memusuhinya, mereka acapkali mengatakan bahwa konsep Marx hanya akan membawa ekonomi dalam jalan kegelapan, namun sebagian ahli yang mendukungnya meyakini bahwa konsepsi ini merupakan idealisme yang tidak di dapatkan pada kapitalisme.6
Di tengah-tengah pertengkaran yang cukup dahsyat konsepsi pemikiran ekonomi di atas, baik perdebatan subtansinya maupun oleh pengikut dan pengkritiknya, perlu di rumuskan formulasi yang dapat mendamaikan berbagai konsepsi ini menjadi sebuah kemanfaatan bagi strategi ekonomi yang tangguh, khususnya yang lebih aplikatif dan implementatif yang dapat dipakai oleh Negara.
Perdamaian konsepsi ini tidak lain hanya untuk pertumbuhan ekonomi bagi suatu komunitas atau Negara yang menghendakinya. Misalnya saja “investasi” sebagai konsep yang lebih terkenal dengan modus operandi yang banyak beroperasi di arena perdagangan bebas. Namun, bagaimana dengan perpaduan pemikiran ahli ekonomi lain, bangunan sistem pasar bebas ala Smith ini bisa lebih familiar dan humanis untuk digunakan. Semacam ada kode yang mempersilahkan Negara untuk ikut campur dalam urusan pasar tentunya dengan konstelasi yang terbatas.
Investasi berasal dari bahasa inggris, kata investment diterjemahkan sebagai investasi ini, ke dalam bahasa Indonesia, yaitu penanaman modal. Pada dasarnya, bersama dengan konsumsi, investasi telah membentuk sebuah atau sebentuk perekonomian dua sector di mana campur tangan pemerintah maupun hubungan luar negeri tidak ada.7 Namun dengan mengawinkan konsepsi pemikiran sebagaimana tadi diuraikan di atas, tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan pembaharuan.
Dengan memperluas ruang investasi, dengan public investment di mana investasi atau penanaman modal yang dilakukan oleh pemerintah. Maksud perkataan pemerintah di sini adalah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Singkatnya, public investment tidak dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersifat personal. Investasi ini bersifat impersonal, dalam arti resmi. Atau mungkin paling tidak adalah model private investment yang masih di fasilitasi oleh pemerintah. Private investment adalah investasi yang dilaksanakan oleh swasta, unsur-unsur seperti keuntungan yang diperoleh, masa depan penjualan dan sebagainya memainkan peranan yang sangat penting dalam penentuan volume investasi, sementara dalam menentukan volume private investment pertimbangan itu lebih di arahkan kepada melayani atau menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa investasi yang di fasilitasi oleh pemerintah dengan baik, professional, proporsional, bisa berdampak signifikan terhadap kesejahteraan umum sebagai mana tujuan ekonomi sesungguhnya. Tapi tentunya orientasi terhadap kelayakan dan kondisi pasar tetaplah diperhatikan. Mengingat pelaku dunia investasi sama halnya sebagai masyarakat konsumtif, jadi untuk meningkatkan jumlah investasi, juga perlu dibaca secara mendalam keadaan konsumen pengguna dan pelaku investasi sebagai satu kesatuan unit analisis ekonomi.
Seperti halnya penggunaan logika sosial di ranah analisa ekonomi memiliki posisi strategis untuk menguji sebuah rencana, pelaksanaan kegiatan ekonomi, khususnya investasi. Logika sosial penting dalam arena diferensiasi dan masyarakat pertumbuhan, membawa kita melewati metafisika kebutuhan dan pertumbuhan, memiliki analisis yang sebenarnya merupakan logika sosial tentang konsumsi.
Masyarakat konsumsi bisa dimaknai homo economicus. Manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang membawanya menuju pada objek yang memberinya kepuasan. Manusia tetap menjadi mahluk individu yang memiliki kebutuhan yang dibawa untuk dipuaskan juga bukan karena konsumen ialah mahluk yang bebas, sadar, dan seharusnya tahu apa yang dia inginkan tetapi diatas dalih para idealisme kita menerima bahwa terdapat dinamika sosial kebutuhan-kebutuhan.8 Masyarakat konsumtif sebagai sebuah potret strukturalis, bahwa segmentasi masyarakat konsumen memiliki asumsi tersendiri yang wajib di baca oleh produsen guna menjawab kebutuhan dan keinginan konsumen.
Sebagaimana yang terjadi dalam bisnis investasi, peran serta pemerintah atau pemerintah daerah dalam menawarkan lahan investasi perlu mempertimbangkan aspek kebutuhan masyarakat komsumtif di lingkup investasi. Dengan berbagai cara alternatif digunakan untuk dapat mendatangkan investor, tentunya dengan bacaan yang cukup dalam menganalisa karakteristik dan kebutuhan masyarakat komsumtif akan mampu meningkatkan ketertarikan mereka terhadap ojek investasi. Minimal kebutuhan masyarakat komsumtif ini adalah keamanan usaha, jaminan dan kepastian hukum serta banyak hal yang lain. Masyarakat komsumtif pelaku ekonomi di wilayah investasi paling tidak mempertimbangkan persoalan resiko dalam berinvestasi.
Setiap pakar mempunyai klasifikasi tersendiri mengenai resiko, Charles A. D’Ambrosio, CFA dalam tulisannya, “Phortolio Management Basics”, membedakan resiko investasi menjadi dua –resiko sistematik (systematic ricks) dan resiko tidak sistematik (unsystematic risks) atau biasa di sebut unique risk. Resiko sistematik (systematic ricks) berkenaan dengan kondisi Negara, jikalau Negara dalam keadaan ekonomi lesu, kinerja perusahaan di Negara tersebut pun akan mengecewakan, seperti halnya yang terjadi di dalam krisis Indonesia yang sempat di singgung di awal tulisan ini. Resiko tidak sistematik (unsystematic risks) atau biasa di sebut unique risk, lebih tergantung pada kondisi mikro perusahaan, semisal resiko perusahaan (company risk) dan resiko industry (industry risk) yang pada umumnya menyangkut besar kecilnya utang (financial risk) dan sifat bisnisnya (business risk), seperti perusahaan listrik yang marjin laba.9
Dengan kata lain, dalam setiap investasi untuk mendapatkan keuntungan selalu muncul potensi adanya resiko kerugian yang akan timbul apabila target keuntungan investasi tersebut tidak sesuai dengan yang direncanakan dan yang diinginkan. Resiko investasi bentuknya bisa bermacam-macam, baik di sebabkan oleh faktor internal maupun eksternal dari produk investasi tersebut. Setiap tindakan investasi mempunyai tingkat resiko dan keuntungan yang berbeda-beda. Ada karakter investor menginginkan tingkat keuntungan cukup tinggi di atas rata-rata keuntungan normal, sehingga harus siap mendapatkan potensi tingkat resiko yang tinggi juga. Begitu pula ada investor yang mengharapkan tingkat keuntungan relatif sedikit cenderung akan mendapatkan tingkat resiko yang relatif kecil juga. Istilah yang paling umum dikenal adalah “high profit high risk, low profit low risk”. Karena banyaknya perhatian yang musti diberikan pada resiko ini, sejumlah kalangan ahli mengklasifikasikan secara rijit, 5 (lima) resiko investasi. Resiko tingkat suku bunga (interest rate risk), resiko flukruasi mata uang (currency risk), resiko utang (credit risk), resiko volatilitas (volatility risk), dan resiko likuiditas (liquidity risk).10
Investasi memang berada dalam satu unit analisis yang kompleks. Pada saat memutuskan dalam berivestasi analisis resiko juga diikuti berbagai pertimbangan lain. Pertimbangan dimulai dari pertimbangan komunitas (analisa pasar, batas-batas lingkungan sekitar dan pemakaian lahan, ekonomi lingkungan sekitar, tingkat hunian, tranportasi dan ulitilitas, fasilitas lingkungan sekitar), mengevaluasi data, dan mengkaji peraturan pemerintah setempat –setiap instrument investasi diatur dengan Undang-Undang yang berbeda, dan setiap investor diberlakukan tidak sama di depan hukum, Bank, misalnya, di larang berinvestasi di saham yang diperdagangkan di pasar modal, atau membeli unit Reksa Dana yang berinvestasi di saham di pasar modal.11
Bisnis investasi telah menjadi sangat canggih. Kerap kali, keluar alat-alat baru yang mempermudah dalam membuat analisis resiko, laba, dan bagaimana faktor-faktor penting ini berinteraksi. Kinerja investasi yang luar biasa dari waktu ke waktu memerlukan kepiawaian, tidak hanya keberuntungan. Adalah simpangan baku sebagai alat yang dapat kita gunakan untuk mengukur volatilitas suatu portofolio. Ataupun, rasio share guna mengukur laba yang disesuaikan dengan resiko. Banyaknya unit alat analisis investasi, maka pendekatan multidisiplin juga sangat diperlukan dalam menentukan kelayakkan dan peruntungan investasi.
Investasi sebagai sebuah sistem terbuka bagi kemungkinan banyak pihak dan unsur terlibat, yang tetap berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya berdasarkan perhitungan uang tanaman yang akan berlipat ganda dikemudian hari. Namun perkembangan investasi harus diikuti dengan upaya untuk memperluas kesejahteraan umum yang konkret, tidak hanya menguntungkan bagi hak milik pribadi yang juga dihargai dan diprioritaskan. Besarnya investasi berjalan seiringingan dengan hukum investasi, hukum pajak, dan pembangunan yang menjamin kepentingan perseorangan dan kehendak publik.
Awaludin Marwan, SH
Embun Pagi Intitute
1. Lihat, Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. BPFE-Yogjakarta. Halm. 150. Banyak asumsi yang merasa bahwa krisis ekonomi 1997-1999 pada dasarnya sama dengan krisis ekonomi 1966-1968, atau krisis ekonomi 1982-1983, barangkali dapat di posisikan bahwa yang harus kita lawan adalah sistem ekonomi yang di dominasi kelompok kapitalis swasta yang monolistik.
2. Ibid., 151
3. Ibid., 3
4. Mark Skousen, 2001. The Making of Modern Economics The Lives and Ideas of The Great Thinkers, diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budi Santoso. 2005. Teori-Teori Ekonomi Modern Sejarah Pemikiran Ekonomi. PRENADA MEDIA. Jakarta. Halm. 1
5. Ibid., 3
6. Franz Magnis Suseno. 2005. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta.
7. Suherman Rosyidi. 1996. Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Makro dan Mikro. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 191
8. Jean Baudrillard. 1970. La societe de consummation. Diterjemahkan oleh Waluyo. 2006. Masyarakat Konsumsi. Kreasi Wacana. Yogjakarta. Hal. 74.
9. Jaka E. Cahyono. 2000. Menjadi Manajer Investasi bagi Diri Sendiri. PT. Gramedia Pustaka. Halm. 127-128
10. Sapto Rahardjo. 2003. Panduan Investasi Obligasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal. 47-49
11. David Sirota. 2006. Pokok-Pokok Sukses Investasi Realstat. Katalog Dalam Terbitan. Jakarta. Hal 119-131
oleh: Muhammad Taufiqurrohman
Pertama, soal “titik” (untuk selanjutnya saya tidak akan menggunakan tanda “ “ lagi karena saya anggap sudah mafhum). Titik yang saya maksud memanglah sebuah titik yang terbatas. Titik yang sebenarnya bukan titik. Dia hanyalah bayangan dari titik yang sejati. Titik yang sejati itu menurut saya tidak ”ada”. Saya percaya bahwa tidak ada ”sesuatu”pun yang paling akhir, juga titik itu. Oleh karenanya, yang sanggup kita bisa bicarakan adalah titik-titik yang sementara itu.
Jadi, akhirnya titik itu ada itu bukanlah dikarenakan ia ingin ada. Tidak, sesungguhnya dia terpaksa menjadi ada karena keterbatasan eksistensial. Tanpa ia ada, tanpa di tulis menjadi tanda (.) pun sesungguhnya ia ada. Titik selalu ada, tetapi titik yang selalu sementara. Tapi, bukan ”koma”. Kira-kira, titik yang saya anggap selalu ada ---bahkan tanpa kita minta dan kita sadari--- tersebut adalah titik yang benar-benar ada. Ia tidak koma, ia benar-benar titik dalam sebuah eksistensi yang ”terakhir”tapi terakhir yang tak benar-benar akhir.
Oleh karenanya, ia tidak pernah ”melampaui kapasitas definitifnya” karena memang ruang yang bisa dijangkaunya sudah penuh, tapi juga penuh yang sementara. Dia tidak melampaui tetapi dia membentuk ruang lagi yang baru yang selalu sama sekali lain. Dengan demikian, sejauh yang bisa saya pahami, sesungguhnya suatu titik pada saat yang sama adalah akhir sekaligus mula. Ia akhir bagi suatu eksistensi yang lama. Pada saat yang sama ia menjadi mula bagi eksistensi yang baru.
Dengan cara pandang inilah,menurut saya, esensialisme dan eksistensialisme lebih mudah untuk dilihat sebagai sesuatu yang tidak kontradiktif melainkan saling meng”ada”kan. Esensialisme adalah mula sekaligus akhir eksistensi, dan begitu pula sebaliknya. Ketegangan antara keduanya yang entah sampai kapan inilah yang menurut saya membedakan kita yang ”terbatas” dengan yang ”tak terbatas” itu.
Kedua, beradu argumentasi dengan mas Giy selalu membuat saya tambah semangat untuk memepelajari logika.
Ketiga, soal epistemologi dan positivisme. Sejauh yang saya tahu, para pendukung ”post-post” itu tidaklah pernah mempermasalahkan epistemologi. Apa yang ingin mereka gugat dari positivisme adalah ketika hanya epistemologi ilmu alam yang digunakan untuk ”menemukan” semua ilmu pengetahuan, juga terhadap ilmu pengetahuan sosial/humaniora. Anarkisme epistemologi (epistemic violence) inilah yang ingin digugat oleh para ”post-post” tersebut terhadap positivisme. Para pendukung ”post-post” ini sesungguhnya memang tidak pernah mempersoalkan epistemologi. Sebab, sebagai sebuah jalan menemukan apa yang sejati epistemologi tidaklah berwajah tunggal (dalam hal inilah saya menyebut batas yang samar antara ontologi dan epistemologi). Setiap hal memiliki epistemologinya sendiri-sendiri. Pencarian ilmu pengetahuan alam memerlukan epistemologi yang tidak selalu sama dengan epistemologi ilmu pengetahuan sosial. Demikianlah, jika dalam wajah epistemologi saja tidak tunggal apalagi wajah ilmu yang dihasilkannya. Oleh karena itu, kehadiran para pendukung ”post-post” itu sama sekali tidak berpretensi untuk mempersoalkan epistemologi melainkan justru dalam rangka merayakan pluralisme epistemologi. Mereka menggugat positivisme bukan epistemologi.
Dengan demikian, menurut saya, positivisme tidak hanya ”tidak dapat disebut sebagai” epistemologi melainkan ia memang benar-benar bukan epistemologi.
Keempat, tentang sosialis. Sebenarnya saya lebih suka memandang ”sosialis” ini dalam perspektif moral. Menurut saya, dalam perspektif inilah kata atau pengertian ”sosialis” ini lebih mendapatkan maknanya ketimbang jika dilihat dari perspektif sosial (sosiologi, antropologi apalagi sejarah). Dengan demikian, ia menjadi sesuatu yang jauh melampaui batas-batas apapun.
Mungkin filsafat ”sosialisme” Bambu dan Pisang ala Cak Nur dapat membantu menjelaskan konsep ”sosialis” yang saya maksudkan. Kira-kira begini (tentu saja dalam keterbatasan analoginya) , bambu adalah pohon yang merelakan daun-daunnya lepas agar ”yang lain” (others/liyan) dapat juga menikmati cahaya yang jatuh dari langit dan apa saja yang menimpanya. Others itu bisa jadi tetangga-tetangganya (bambu di sampingnya), bisa jadi anak-anaknya (rebung yang ingusan), atau bahkan bisa jadi others yang bener-bener others (misalnya, pohon singkong di sampingnya.
Pisang, sebaliknya, adalah pohon yang tidak rela membagi cahaya yang datang menimpa dengan ”yang lain” tadi. Lihatlah daun pisang, ia menjulur panjang ke segala arah mata angin. Sampai sejauh mana panjang daun itulah wilayah kekayaannya. Ia merasa segala tanah---bahkan yang di luar tempat berdirinya sejauh tanah itu ada di bawah kekuasaan daun-daunnya yang menjulur itu---adalah miliknya. Tidak demikian dengan bambu. Kekayaan bambu hanyalah tanah dimana dia berdiri. Dia sadar bahwa semua tanah di luar tempat ia berdiri bukanlah tanahnya. Dia bahkan tak pernah ”merelakan”nya, ia memang ”membiarkan”nya demikian. Ia sudah merasa cukup dengan tanah tempat ia ada. Karena memang semua tanah yang di luar dirinya bukanlah miliknya. Bahkan tanah tempat ia berdiri yang ia rasa sebagai ”milik”nya, juga mungkin bukanlah tanah yang benar-benar miliknya.
Demikianlah, bambu yang tidak meniatkan untuk memberi kebebasan justru memberikan kebebasan bagi ”yang lain” itu untuk turut hidup dan berkembang. Sebaliknya, pisang yang tampaknya mengayomi dan membebaskan itu justru akhirnya tidak memberikan kebebasan pada ”yang lain”. Sebatang bambu bahkan tidak pernah menunggu ”tua” dan ”roboh” untuk melihat anaknya tumbuh. Tidak demikian halnya dengan pisang yang menunggu dirinya dirobohkan (saking serakahnya) untuk memberikan kebebasan berkembang bagi yang lain yang sama sekali baru. Demikianlah kisah bambu dan pisang.
Demikianlah saya memahami “sosialis”. Kenyataan bahwa pernah ada dalam sejarah manusia seperti Muhammad, Gandhi, Hatta, Nelson Mandela, Sukarno, (Edi Subkhan Muda juga mungkin bisa dimasukkan dalam golongan ini) dll, bagi saya, adalah harapan optimisme akan tetap adanya orang-orang ”sosialis” di dunia ini. Orang-orang yang sesungguhnya mempunyai peluang sangat besar untuk menumpuk kekayaan pribadi (karena mempunyai kompetensi-kompetensi pribadi yang luar biasa untuk itu) tetapi memilih untuk merasa cukup sekadarnya saja untuk hidupnya agar ”yang lain” dapat juga berkembang bebas seperti dirinya. Dan disinilah mungkin saya menyebutnya sebagai pilihan intuitif-kategoris (untuk tidak menyebutnya imperatif).
Dari sinilah, saya tetap berpendapat bahwa filantropis bukanlah sosialis. Filantropis (khususnya filantropis-filantropis super-konglomerat) adalah memberikan harta ”curian” kepada orang yang yang hartanya mereka ”curi”. Pun tidak mengembalikan sepenuhnya hasil curian itu. Bahkan hasil curian yang dikembalikan itu mungkin hanyalah nol koma sekian persen. Sedang sosialis bukanlah pencuri. Sosialis adalah ia yang memberikan harta kepada ”yang lain” dengan cara ”tidak mempunyai harta” atau ia mempunyai harta tetapi bukanlah harta hasil curian. Jika ia hidup cukup hanya dengan nol koma satu persen dari jumlah hartanya maka akan ia berikan 99,9 persennya kepada ”yang lain”.
Demikianlah pengertian saya tentang ”sosialis”. Saya tidak tahu apakah Muhammad, Gandhi dan teman-temannya tadi adalah benar-benar sosialis dalam pengertian saya. Saya juga tidak tahu adakah orang yang benar-benar ”sosialis” seperti itu di negeri ini (juga Edi Subkhan Muda) sekarang ini. Tetapi paling tidak mereka adalah orang yang paling mendekati definisi saya tentang siapakah ”sosialis”, si bambu itu. Celakanya, menurut saya the very example of sang pisang di negeri ini sekarang ini tak lain adalah orang macam Abu Rizal Bakrie.
Thanks.
Pengantar
Beberapa waktu lalu di situs ini dan Akal &Kehendak terjadi perdebatan pro & con mengenai pasar bebas dan sosialisme. Kebetulan kami di EOWI (Ekoomi Orang Waras dan Investasi) sedang mengisi topik minggu ini dengan topik Kondratieff Cycle – phase winter K. Pada periode ini mood masyarakat cenderung mengarah ke sosialisme. Kami disini akan memberi contoh kegagalan sistem sosialisme. Oleh sebab itu kami menawarkan pengelola A&K dan Komunitas Embun Pagi untuk cross-posting artikel ini. Ada sedikit perbedaan di kata pengantarnya dan renungan. Hal ini untuk menyesuaikan dengan warna masing-masing situs.
SOSIALISME SISTEM YANG GAGAL – SEBUAH KASUS DI ZIMBABWE
Keadilan Sosial – Prinsip Yang Paradok
Pertengahan Agustus 2008 lalu, pada final pemilihan Putri Indonesia, pemandu acara mengajukan sebuah pertanyaan kurang lebih seperti ini: “Kenapa mukadimah UUD 45 tidak diubah pada saat amandemen UUD 45 tahun 2002?”
Tiga finalis menjawab kurang lebih sama yaitu bahwa mukadimah UUD 45 sudah sempurna dan mengandung Pancasila yang merupakan cerminan kepribadian bangsa Indonesia. Jawaban mereka seperti beo yang diajari menghapal buku sejarah kebangsaan atau kewarganegaraan (dulu disebut civic). Mereka tidak tahu bahwa pada Pancasila banyak terdapat ketidak jelasan. Misalnya sila ketuhanan yang maha esa. Apa maksud maha esa, apakah tuhan itu 1,000000 dan bukan 1,00598? Esa merujuk pada angka 1 (satu). Kalau maha esa berarti paling satu, tentu saja salah. Kata satu tidak mempunyai pengertian gradasi (yang bertingkat-tingkat). Tidak ada kata paling satu atau tidak terlalu satu. Kalau esa artinya 0,999997 artinya bukan satu dan kalau 1,0000923 juga bukan satu. Kalau Moh. Yamin atau Sukarno masih hidup, bisa ditanyakan apa maksud maha esa itu.
Keadilan sosial secara logika adalah paradoks. Adil tidak bisa disatukan dengan sosialisme. Mari kita buktikan. Adil artinya: “ada korelasi antara usaha dan hasil”. Kalau anda menanam padi, memelihara dengan baik, kalau tidak ada hama dan force majure, maka anda akan memanen padi anda, dan bukan jeruk. Pada sistem sosialis tidak demikian. Antara usaha dan hasil tidak ada kaitannya. Misalnya, salah satu prinsip sosialime adalah pemerataan kesejahteraan, pemerataan kekayaan, persamaan kesempatan, sama sekali berlawanan dengan keadilan. Orang yang rajin dan cerdas berusaha maka dia akan memperoleh kesempatan yang lebih besar dari pada yang malas dan bodoh. Orang yang berkerja dengan giat dan cerdas akan memperoleh jenjang karier dan kenaikan pangkat yang lebih cepat, uang yang lebih banyak, dsb. Itu akan ditekan di sistem sosialisme. Pemerintah akan merampas sebagian hasil keringat orang yang giat, rajin dan cerdas bekerja dengan alasan pemerataan dan kemanusian, melalui pajak progresif atau lebih ekstrim lagi penyitaan.
Alam ini adil. Demikian fitrahnya. Kalau anda menanak beras, jadinya nasi atau bubur dan tidak mungkin..... kadang berlian, kadang emas atau kadang tahi kucing. Ini adalah hukum alam. Usaha-usaha yang dasarnya menyimpang dari hukum alam ini, pasti gagal. Tujuannya tidak tercapai. Jika tujuan sosialisme adalah untuk memakmuran bersama, maka niscaya akan gagal. Kalau penguasa menghukum orang yang produktif dengan merampas hasil keringatnya, ini merupakan disinsentif untuk bekerja lebih produktif. Kalau dengan bermalas-malasan bisa hidup enak, kenapa mesti capek? Bila kultur ini tumbuh, maka masyarakat secara kolektif tidak produktif dan melarat.
Jadi apakah mukadimah UUD 45 sempurna? Paling tidak ada 2 hal yang harus diperbaiki. Ganti kata maha esa menjadi esa dan kata keadilan sosial menjadi keadilan.
Zimbabwe Kasus yang Terbaru
Sosialisme kadarnya bermacam-macam. Ada yang ringan seperti penerapan pajak progresif dan ada yang ekstrim sampai pada menyitaan harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin dan nasionalisasi. Zimbabwe adalah kasus yang terakhir yang menerapkan sosialisme secara ekstrim. Dan hasilnya malah menambah kemelaratan.
Sebelum menjadi Zimbabwe yang sekarang Zimbabwe dikenal sebagai Rhodesia Selatan sebuah negara yang menerapkan apartheid. Perdana mentri kulit putih terakhir adalah Ian Smith yang turun tahun 1979. Pada jaman-jaman itu, Rhodesia adalah lumbung pangan Afrika bagian selatan yang makmur. Tanah pertaniannya dikelola oleh petani-petani atau dengan bahasa yang sinisnya tuan-tuan tanah adalah orang kulit putih. Orang kulit hitam banyak yang menjadi buruh tani.
Sejalan dengan pergantian nama Rhodesia menjadi Zimbabwe tahun 1979, peran orang kulit putih berkurang. Tahun 1980 Mugabe naik memimpin Zimbabwe.
Kecemburuan sosial antara kaum putih dan hitam yang mungkin sudah ada sebelumnya, mungkin juga diciptakan, pada masa pergolakan menjadi terbuka bagi penjarahan kekayaan. Isu tanah muncul kembali. Zanu, partai yang berkuasa menyebutkan bahwa 70% dari tanah yang diusahakan secara komersial dikuasai oleh kaum putih yang jumlahnya hanya 1% dari populasi. Dan pada tahun 2000 Robert Mugabe mulai menjarahi tanah-tanah pertanian milik orang putih yang produktif dan terampil untuk dibagikan kepada orang hitam yang tidak mampu mengolah tanah alias tidak cakap. Akibatnya produksi pangan jatuh. Mugabe dan gengnya yang berwawasan sosialisme berpikir bahwa bertani dengan baik bisa dilakukan oleh semua orang. Tetapi nyatanya tidak. Zimbabwe yang dulunya terkenal sebagai eksportir bahan pangan untuk negara-negara sekitarnya mengalami krisis pangan sampai sekarang. Singkatnya, bagi Zimbabwe sosialisme adalah jalan dari eksportir pangan ke krisis pangan dan kelaparan dalam masa kurang dari 5 tahun.
Walaupun hanya 4000 petani kulit putih yang dizalimi karena tanahnya dibagi-bagikan kepada kaum kulit hitam, tetapi dampaknya adalah peningkatan tingkat pengangguran sampai 80%. Mayoritas yang kena dampaknya adalah orang kulit hitam yang katanya mau dimakmurkan. Untuk membiayai pemerintahannya Mugabe mencetak uang seakan tidak ada hari esok. Hiperinflasi memanggang Zimbabwe. Tahun 2008 mencapai 11.2 juta % atau 11,200,000%. Denominasi uang kertas yang beredar makin banyak nolnya. Yang terakhir adalah pecahan Z$100,000,000,000 (100 milyar dollar Zimbabwe). Sangking parahnya inflasi, sampai-sampai pemerintah tidak mengumumkan lagi tingkat inflasi ini dan pecahan uang Z$100 milyar ditarik dari peredaran. Krisis demi krisis berlangsung. Pemerintahannya menjadi sangat represif. Banyak warga Zimbabwe mengungsi ke negara-negara tetangganya.
Krisis pangan di Zimbabwe termasuk yang paling parah dalam peradaban manusia. Life expectancy, harapan hidup rakyat Zimbabwe turun dari 60 tahun menjadi 37 tahun saja. Angka yang paling rendah di dunia. Ini terjadi di negara yang dulunya eksportir pangan. Jaman apartheid lebih baik dari pada jaman kesetaraan warna kulit!!!!!
Ringkasnya: Diawali dengan rasa iri yang terpendam dan bisa dieksploitasi terhadap sukses kaum produktif yang berkulit putih. Ini dianggap sebagai isu atau problem yang harus diselesaikan. Politikus kemudian memanas-manasi dengan isu ketimpangan kemakmuran dan memberi impian pemerataan kemakmuran melalui landreform paksa. Ketidak-bijaksanaan (campur tangan di bidang ekonomi) dilakukan. Asset berpindah secara paksa dari kaum produktif ke kaum kurang terampil baik dari kalangan kroni birokrat atau rakyat biasa. Akibatnya banyak tanah menjadi tidak produktif dan akhirnya terjadi krisis pangan. Ini merupakan problem baru sedangkan problem lama – yaitu membuat kaum kulit hitam lebih makmur, belum selesai, bahkan semakin parah.
Pemerintah kemudian melakukan ketidak-bijaksanaan lagi, mencetak uang untuk membiayai proyek-proyek pengentasan kemiskinan. Akibatnya terjadi inflasi 2.2 juta% sampai 11.2 juta% per tahunnya di tahun 2008 (tidak tahu berapa angka pastinya, pokoknya tinggi sekali). Ini problem baru lagi bagi rakyat Zimbabwe (tetapi bukan bagi politikus yang hidup enak). Dan problem lama belum selesai, bahkan bertambah parah. Jaman apartheid lebih makmur dari pada jaman kesetaraan warna kulit!!!!!
Sosialisme biasanya bersemai tidak hanya karena ketimpangan ekonomi, lebih utama karena krisis ekonomi. Selanjutnya krisis ini membuat jurang dan tekanan penderitaan ekonomi yang kemudian melahirkan gerakan sosialisme. Kambing hitam harus diciptakan. Tetapi gerakan sosialisme tidak akan memperbaiki keadaan. Birokrasi dan politikus, akan berlagak sebegai dewa penyelamat dalam suatu krisis dan problem. Tetapi campur tangan birokrasi dan politikus akan melahirkan krisis yang lain.
Rasa keingin-tahuan saya terusik untuk mengetahui bagaimana kondisi winter K dua siklus sebelumnya yang dimulai tahun 1870an. Ini yang saya peroleh dari Wikipedia tentang partai Populist di US:
The Populist Party grew out of the agrarian revolt that rose to the collapse of agriculture prices following the Panic of 1873. The Farmers' Alliance, formed in Lampasas, TX in 1876, promoted collective economic action by farmers and achieved widespread popularity in the South and Great Plains. The Farmers' Alliance was ultimately unable to achieve its wider economic goals of collective economic action against brokers, railroads, and merchants, and many in the movement agitated for changes in national policy. By the late 1880s, the Alliance had developed a political agenda that called for regulation and reform in national politics, most notably an opposition to the gold standard to counter the deflation in agricultural prices.
Kalau memang ekonomi sudah memasuki winter K, maka tidak lama lagi kita akan menyaksikan gerakan sosialisme dalam skala yang lebih besar dari Zimbabwe. Pemerintah US melakukan penyelamatan terhadap penghutang yang tidak mampu bayar. Nasionalisasi Freddie Mac dan Fannie Mae, nasionalisasi bank-bank yang kolaps. Tetapi ini adalah perampokan para penabung untuk dihadiahkan kepada para penghutang yang sebenarnya tidak layak menikmati apa yang mereka nikmati. Mungkin tidak hanya US, tetapi juga Inggris, Spanyol, Indonesia, dan lainnya.
Akhir kata, sangat ironis bahwa di Zimbabwe, jaman apartheid, kaum kelas bawah yang berkulit hitam lebih makmur dari jaman persamaan derajat, walaupun setelah kekayaan para kapitalis kulit putih dibagi-bagikan kepada kaum kelas bawah ini. Ironis juga kalau Cina mengalami pertumbuhan yang pesat setelah sosialisme dilonggarkan menjadi kapitalis. Ironis juga Russia lebih makmur dan menelorkan banyak milyuner (US dollar, bukan rupiah dan juga bukan Zimbabwe dollar) setiap tahunnya setelah Uni Soviet yang sangat sosialis runtuh. Mungkin UUD45 pasal 33 ayat 2 harus dihapus supaya ada insentif bagi pelaku ekonomi untuk berkiprah di domain yang vital bagi hajat hidup orang banyak sehingga supply nya lebih banyak. Mungkin UU ketenaga-kerjaan dihapuskan saja, supaya lebih banyak orang berani berinvestasi dan memberi lapangan kerja sehingga terjadi kompetisi diantara majikan untuk memperoleh buruh (ini menguntungkan buruh).
Jakarta 5 September 2008
Hari ini (7/9/08) Harian Kompas (hal 20) mewancarai seorang ekonom Indonesia, dia mengatakan:
Link terkait artikel: Bulog, Perencanaan Pemerintah
Entah kutipan ini bermanfaat atau tidak, menurut saya, paragraf ini adalah kata-kata paling menusuk ketika saya dulu meminati filsafat:
Tuk Pak Nad dan yang lain yang bersedia berdiskusi untuk tema ini, saya kembali memposting tanggapan saya ini di “artikel” untuk mempermudah diskusi, karena bulan terlah berganti, dan agak susah membuka kembali di inbox bulan kemarin.
Tapi setidaknya bagi saya terdapat beberapa point yang sampai sekarang masih belum terjawab, hingga saya menyatakan ibarat saya memandang satu sisi dinding dengan lukisan surealisme dan mempertayakannya, lalu Pak Nad datang membawa lukisan realisme dan memajangnya di sisi dinding yang lain dan menjelaskanya pada saya. Point-point tersebut antara lain adalah: (1) argumentasi tentang kapitalisme pada komentar Pak Nad yang pertama yakni, “....kapitalisme, dalam pengertian liberalisme klasik laissez faire, adalah satu-satunya sistem pengorganisasian sosial yang paling tepat dan paling moral bagi manusia. Sayangnya, istilah kapitalisme dan liberalisme itu sendiri sudah katakanlah tercemar, antara lain dengan berbagai varian2 neoliberalisme, kapitalisme kroni, dll. Dalam pemahaman saya varian-varian ini lebih tepat diklasifikasikan ke dalam varian dari statisme atau sosialisme,...” juga “...maka kapitalisme di sini adalah sistem yang mencoba yang paling baik, paling moral, dengan sepenuhnya menghargai manusia sebagai individu...”, dan “Pasar bebas dalam pemahaman kedua penulis tersebut, sejauh yang saya pahami lewat dialog kami lewat email dan komentar2 masing-masing, adalah sistem pengorganisasian laissez faire...” saya belum melihat penjelasan yang memadai tentang kapitalisme dan pasar bebas di sini, jadi saya kemarin mempertanyakan hal itu, tapi Pak Nad mungkin merasa sudah menjelaskan hingga menyuruh saya kembali membaca komentar Pak Nad yang awal ini. (2) pada paragraf saya, “....peran negara mesti diminimalisasi atau bahkan dihilangkan dalam sistem perokonomian pasar bebas, .... utopia pertukaran tanpa koersi ini pada penyataannya tak terjadi dan isu keniscayaan koersi ini tak tertanggapi oleh teori pertukaran itu, termasuk konsep pasar bebas. Justru dengan pasar bebas yang niscaya membawa koersi telah menimbulkan bencana sosial-ekonomi-politik-budaya di mana-mana.” Pak Nad hanya mengomentari yang mungkin Pak Nad anggap lemah logikanya, mungkin dengan tidak melihat runtutan kalimat sebelumnya. (3) adalah pertanyaan saya “apa perlu ada negara jika tidak ada pengaturan (regulasi) yang memerlukan tilikan filosofis-historis awal berdirinya negara atau pemerintahan itu untuk apa?”
Soal Pak Nad tidak menanggapi pernyataan “keruh” saya dari Agger tentang positvisme, teori kritis dan lainnya itu, bagi saya ya tak mengapa, toh kalaupun ditanggapi tentu diskusi ini akan melebar pada bahasan-bahasan teoritis dan historis positivisme vs teori-teori sosial kritis di Amerika dan Eropa “kala itu”, yang mungkin Pak Nad tidak berminat membahas itu. Tapi yang perlu saya tanyakan, bilamanakah pernyataan itu keruh bagi Pak Nad? Argumen-argumen saya “keruhnya” di mana? Mohon penjelasannya.
selanutnya, menjawab Pak Nad: Positivisme, saya setuju dengan Pak Nad bahwa ia tak cocok jika dipaksakan untuk ranah keilmuan sosio-humaniora, walaupun toh sampai pada batas-batas di luar kapasitasnya, positivisme dalam ranah sosio-humaniora menjadi pegangan “pasti” yang diperlukan untuk beberapa “kemudahan”, misal dalam psikologi untuk mengukur kecerdasan manusia, emosi, religiusitas, dan lainnya, ya bagi saya hanya untuk “memudahkan”, bukan untuk ketapatan, lainnya saya kurang tahu; positivisme dengan demikian bagi saya hanya cocok untuk disiplin eksakta, dalam sosio-humaniora ia cenderung reduksionis-deterministik terhadap fenomena.
Positivisme bagi saya dengan tanpa memberikan referensi yang memadai, adalah paradigma ilmu pengetahuan dengan serangkaian prinsip seperti objektivitas, serba pasti, terukur, tertata, generalisasi, bebas nilai, ilmu untuk ilmu, netralitas, mengandalkan empirisitas, rasionalitas, dan lainnya.
“Bebas nilai dan bebas tanpa paksaan” dalam kalimat saya tersebut dapat dikatakan bahwa, prinsip bebas nilai yang merupakan pegangan bagi kaum positiv dalam melakukan riset dan pengembangan keilmuannya berubah dalam konteks yang berbeda dalam bentuk lain namun dengan substansi yang sama, yakni “bebas dari”, dalam konteks transaksi ekonomi tersebut.
pak Nad berkata, ”Tidakkah Bung sadari? Anda menyatakan bahwa keterbatasan yang menjadi fitrah manusia dalam bertransaksi adalah KOERSI. Kekeliruan terhadap konsep elementer ini saya coba koreksi secara tidak langsung dengan "scarcity."
Pak Nad mencoba mengoreksi kekeliruan saya hingga “mengganti” koersi dengan scarcity, saya mengatakan bahwa bukankah tidak sama antara koersi dan keterbatasan? Dalam pemahaman “intutitif” saya, koersi adalah berupa aksi-aksi sedangkan keterbatasan adalah pada posisi-posisi, dan saya tidak tahu di bagian kalimat saya itu yang mana saya menegaskan menyamakan koersi dengan keterbatasan? Saya menyatakan keterbatasan tersebut menjadikan koersi, atau koersi oleh keterbatasan tersebut, saya kira kalimat saya jelas. Bagi saya agaknya scarcity Pak Nad justru membuang koersi yang niscaya ada dan saya percayai adanya, keduanya tidak satu, tapi ibarat dua sisi dari satu koin mata uang yang sama.
Pak Nad berkata, “Nah, menurut Bung Ed, selain faktor scarcity, dan motif untuk memperbaiki suatu keadaan dengan keadaan lain yang diharapkan oleh seorang pelaku tindakan akan membawa ke keadaan yang lebih baik, faktor dan tujuan apa lagikah yang tertinggal? Anda bilang ini terlalu mereduksi; bisakah Anda tambahkan yang tertinggal tanpa menjadi redundant?”
Maaf Pak, tapi saya mungkin akan redundant, yang kemarin sudah saya nyatakan dan agaknya terlupa tidak ikut dibahas oleh Pak Nad, yakni tentang humanisme seperti keadilan, kebajikan, kebersamaan, pengorbanan, keikhlasan, ketidaksadaran, ketidaksengajaan, dan lainnya, serta faktor-faktor politik, budaya, dogma, agama, Tuhan, dan yang sering Pak Nad sebut, intuisi, selain itu juga koersi, hegemoni, eksploitasi, dan lainya. Ya, bagi saya konsep yang diajukan Pak Nad terlalu mereduksi, sedangkan yang dibidik tepat atau yang diopeni (diurus) dalam konsepsi Pak Nad hanyalah yang berkaitan dengan logika ekonomi yang rigid dan pasti saja. Yakni motif-motif yang dapat dihitung dengan pengandaian hitungan akan tepat terjadi, tanpa kesalahan, dan ramalan menjadi terbukti, ala positivis. Keasyikan dalam pengandaian inilah yang bagi saya agaknya terlupa tidak melihat faktor lain seperti yang saya sebutkan tersebut, dan sangat bisa menjadikan konsepsi Pak Nad tak terbukti dalam realitas empiris. Walaupun bagi saya bukan terbukti atau tidak terbukti secara empiris masalahnya, tapi dengan menafikan faktor-faktor tersebut berarti mengabaikan fakta lain, faktor lain, yang berpotensi membawa pada hasil “perhitungan” yang beda, yang tak sesuai pada rumus transaksi Pak Nad.
Pak Nad berkata, “Logika saya jelas, berangkat dari teori-teori ekonomi. Dan saya secara pribadi anti-membuat pernyataan-pernyataan keruh. Saya bilang semua tindakan manusia itu tindakan ekonomis dalam konteks yang cukup jelas atas dasar faktor dan tujuan di atas tersebut. Konsep-konsep yang Anda sebutkan: “pemberian, pengorbanan, keikhlasan, keadilan,” sangat relevan ditinjau lewat teori ekonomi. Kalau Bung Ed bicara pemberian, pengorbanan, keikhlasan, itu dari sudut pandang apa?”
Pak Nad bilang semua tindakan manusia itu tindakan ekonomis dalam konteks yang cukup jelas atas dasar faktor dan tujuan “di atas” (atas yang mana? Keadaan yang lebih baikkah?) dan Pak Nad kemukakan berangkat dari teori-teori ekonomi. Oke saya petikkan lagi pernyataan Pak Nad pada posting sebelumnya, yaitu “Manusia adalah makhluk yang bertindak. Dan konsep transaksi langsung terkait di dalamnya, sekalipun seorang individu ber-relasi dengan invididu lain. Sebab setiap tindakan adalah transaksi. Dalam transaksi yang autistik, individu membuat pilihan-pilihan oleh sebab semua sumber daya yang ada di dunia, baik sebagai cara ataupun tujuan, memiliki keterbatasan...”.
Menjawab Pak Nad, saya mengemukakan “pemberian, pengorbanan, keikhlasan, keadilan, dll” itu secara keilmuan adalah dalam konteks ranah sosio-humaniora, jadi tidak sekadar dari perspektif ekonomi Pak. Karena kemanusiaan bagi saya mestinya tak sekadar dilihat dari perspektif ekonomi saja, tapi ya mesti minimal perspektif sosio-humanaiora di mana ekonomi ada di dalamnya.
Pak Nad berkata, “Bung Ed, bagaimana kita dapat menegakkan menegakkan humanisme dengan tidak mengedepankan individualisme dan egoisme? (Biar tidak keruh: egoisme tanpa merugikan kepentingan orang lain; yg sadar bahwa orang lain juga berhak egois)”
Saya jadi berpikir kembali apakah pemahaman saya akan individualisme dan egoisme selama ini salah? Ketika dari kecil sampai saya banyak berdiskusi dengan dosen-dosen psikologi, bahwa egoisme itu tidak baik, kemudian juga berdiskusi dengan dosen-dosen filsafat saya bahwa individualisme itu tidak baik. Saya terbuka terhadap kemungkinan kesalahan pemahaman saya akan kedua istilah ini. Pertanyaan saya, adakah egoisme yang tak merugikan orang lain, adakah egoisme yang menoleransi egoisme orang lain –sebagaimana adakah agresi yang tidak mengagresi agresor lain, adakah individualisme yang memerhatikan orang lain di sekitarnya, adakah individualisme yang “keadilan, kebersamaan, kekeluargaan”? Mohon jawaban Pak Nad agar saya keluar dari kekeruhan pemahaman ini.
Pak Nad bertanya, “Apakah kapitalis yang nota bene berarti “pemilik modal” tidak boleh memperkaya dirinya sendiri?
Bagi saya persoalannya bukan boleh atau tidak boleh memperkaya diri sendiri, tapi tidakkah kiranya melihat orang lain sebagai sesama manusia di sekitarnya, buruh pekerjanya, fakir miskin, yatim piatu, korban gusuran, yang mestinya mendapatkan perhatian. Apakah patut seseorang terus memperkaya diri sendiri sementara buruhnya hidup jauh di bawah standar kelayakan hidup minimal? Di mana ia pagi dapat sarapan di Thamrin, siang shoping di Orchid Road Singapura, malam di Hong Kong, dan paginya kembali sudah ngopi di Starbuck Menteng, sementara pekerjanya bahkan untuk menyekolahkan anaknya saja tidak bisa, dan terpaksa menjadi asongan, adilkah ini? Kemanusiaannya diletakkan di mana? Individualisme dan egoisme inikah yang hendak dijadikan pegangan untuk menegakkan humanisme? Ooo...sungguh saya tidak paham, mohon pencerahannya Pak Nad.
Pak Nad bertanya, “Apakah Anda mengasumsikan bahwa orang yang punya modal hanya bisa dan mau memperkaya diri sendiri?”
Tentu tidak Pak Nad, saya tidak menganggap seperti itu, ada juga orang yang punya modal tidak individualis dan egois dan dapat memanusiakan orang-orang lain yang menjadi staf, karyawan, dan buruhnya dengan gaji yang layak. Yang saya khawatirkan tentu adalah kejadian sebaliknya dari semua pengandaian positif Pak Nad akan mekanisme tindakan dan transaksi ekonomi tersebut, yakni ketidakadilan, eksploitasi, dll.
Pak Nad berkata, “Saya mau ingatkan hal yang tidak terlalu intuitif ini: ketika orang bertransaksi secara bebas demi keuntungan dirinya sendiri, ia bahkan memberi lebih banyak kepada masyarakat, ketimbang jika orang tersebut berbisnis dengan niat menguntungkan orang lain?”
Mohon Pak Nad memberikan contoh riil bagaimana seseorang yang selalu individualis dan egois demi keuntungan dirinya sendiri dapat memberi lebih banyak kepada masyarakat? Tentu khusus untuk edisi diskusi “komunitas embun pagi” ini secara lebih simpel bagi kita-kita ini Pak.
Pak Nad berkata, ”Bagi saya, hanya ketika setiap individu dapat mengekspresikan individualitasnya dan egoismenyalah, potensi setiap manusia dapat tumbuh sesubur-suburnya.”
Oh iya, saya pun setuju sekali dengan pendapat Pak Nad ini, yakni ketika seorang menjadi individualis dan egois ia akan dapat tumbuh subur “semua” potensinya, namun pada saat yang sama ia kehilangan potensi untuk dapat mengasah sensitivitas sosialnya, bahkan mungkin juga spiritualnya, karena individualisme dan egoisme menghilangkan sesuatu di luar dirinya.
Saya menulis di posting kemarin bahwa, “Sepemahaman saya keadilan memang tak terberi secara otomatis dalam ranah sosiologis, kalau dalam ranah teologis keadilan itu terberi (tapi akan lebih baik kita tak membahas secara teologis dulu, nanti akan telantar dan semakin lama tak menyelesaikan “masalah”) ia mesti diraih, ketika tak ada keadilan ya mesti ada “koersi” untuk memberikan keadilan.” Kemudian Pak Nad bertanya, “Ini kurang jelas Bung Ed; kalau Anda bersedia menjelaskan, saya bersedia mendengarkan.”
Penjelasan saya dari ranah teologis tampaknya akan hampir sama secara substansi dengan penjelasan Gus Taufik pada komentar atas Pak Nad kemarin, namun intinya adalah semua yang diciptakan Tuhan adalah sesuai dengan fitrah keadilannya masing-masing, misal menjadi guru, petani, penjual gethuk, pandai, pintar, bodoh, yang melekat pada seseorang diyakini sebagai keadilan orang yang “terberi” pada orang tersebut tanpa mesti diperjuangkannya walaupun mungkin dalam logika manusia dikatakan tidak adil.
Pak Nad berkata, “Anda mencoba kembali lagi ke problem moralitas, mis. ketamakan, kerakusan, dsb. Sementara uraian-uraian saya dalam hal ini, obyektif.
Pak Nad mengklaim obyektif di sini dalam uraian-uraiannya. Saya memang sengaja mengulas itu, bagi saya tak sekadar problem moralitas tapi kemanusiaan, kebudayaan dan lainnya yang tak mendapat tempat dalam diskursus yang dibangun Pak Nad dalam argumentasi2 kemarin itu. Kalau begitu ketidakobyektifak saya di mana? Agaknya saya juga merasa obyektif ketika menyertakan hal lain yang mestinya dibahas namun tak terbahas oleh Pak Nad. Tapi okelah, saya akan menjawab pertanyaan pengecek Pak Nad;
“Apakah Anda bersedia ingin mengakumulasi modal pribadi Anda untuk, saya misalnya?” Bagi saya, yang tidak bertujuan untuk akumulasi modal untuk saya sendiri, tapi juga untuk anak, istri, orangtua, pembantu, anak-anak yatim, orang telantar, dhuafa, orang-orang miskin, dengan kata lain tidak individualis dan egois, melainkan melihat mereka juga, akan rela memberi sesuai dengan porsi (keadilan) yang Pak Nad butuhkan jika Pak Nad termasuk dari mereka.
“Atau, tidak dapatkah Anda bertindak adil ketika mengakumulasi modal pribadi untuk Anda sendiri?” Saya sebagai manusia bisa saja tidak adil, dan bisa saja adil, ...
Bagi saya fokusnya bukan pada kaya-nya seseorang, tapi perilaku adil-tak adil itu Pak yang menjadi nyata pada bentuk akumulasi modal kaum kapitalis.
Atas permintaan Pak Nad yang merasa perlu saya menjelaskan kembali pernyataan saya, bahw, “Bagi saya, sekali lagi menyayangkan konsep, semangat, dan bahkan istilah keadilan juga kebijakan hilang dalam ranah sosio-humaniora, dan ini memang menegaskan betapa kapitalisme bahkan secara terminologis tidak adil.”
Maksud saya begini Pak Nad, mungkin secara “istilah” dan susunan kalimat saya tidak tepat, namun intinya begini: kata, kalimat, mewakili dan menjadi media transformasi dan bahkan peneguh semangat atas substansi atau makna dari kata atau kalimat tersebut, maka ketika kata-kata “keadilan, pengorbanan, dll” itu hilang dari kosakata dalam ranah keilmuan tertentu, dalam hal ini ekonomi, maka disiplin ilmu tersebut dengan sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja telah menafikan hakikat makna dari kata tersebut, jadi kalau kata “keadilan” tak ada lagi dalam disiplin ekonomi, maka disiplin ekonomi telah menafikan keadilan dalam arti yang sebenarnya.
Dari pernyataan saya, “Bagi saya mungkin akan lebih tepat dengan mengatakan, tak akan pernah ada yang dapat “menilai” sesuatu –hal atau barang atau apapun- dengan tepat karena nilai atau -dengan terpaksa saya gunakan istilah- “harga” itu adalah persepsi kita yang tak pernah tahu secara tepat berapa nilai atau harganya.” Pak Nad kemudian menyatakan, “...ini dengan sendirinya menuntut kejelasan arti, sebab di bagian selanjutnya Anda JUSTRU mengatakan ... (pernyataan saya [ed-khan]) ‘Tapi bukankah “sesuatu” itu pasti memiliki nilainya sendiri secara substansial-essensial yang bagi saya takkan dapat pernah kita ketahui secara tepat karena kita bukan “sesuatu” itu sendiri, kita ada di luar dan kemudian menilainya -secara “paksa”, dan kita tidak pernah punya pengalaman eksistensial berada dalam obyek itu, bukan nilai yang kita berikan –dalam istilahnya Pak Nad- karena posisi-posisi kita?’”
Bagi saya pernyataan saya cukup jelas, tidak paradoks, pun tidak merupakan istilah yang kontradiksi. Akan lebih mudah dengan contoh, misalnya sebutir mangga muda. Saya tidak akan pernah dapat menilai mangga tersebut dengan tepat, karena penilaian saya pada mangga muda tersebut adalah berdasarkan persepsi saya atasnya, bukan dengan telah mengetahui nilai substansial yang sebenarnya dari mangga tersebut. jadi, kita memberika nilai pada mangga muda itu, bisa Rp. 500, Pak Nad memberi nilai Rp. 1000, Kang Gi memberi nilai Rp. 3000. Tapi nilai sebenarnya mangga tersebut berapa? Tidak juga tergantung dari pemilik atau penjual mangga yang menilainya Rp. 10.000 umpamanya.
Secara kualitatif mangga muda itu pun tak dapat dinilai secara tepat dalam bentuk angka atau nominal uang tersebut, bagaimana menilai kenikmatan mangga, proses dari bunga hingga menjadi mangga muda? Tapi bagaimanapun juga mangga muda tersebut tetap memiliki nilai substansialnya, bukan nilai yang kita berikan padanya, tapi nilai yang melakat inheren padanya, hanya mangga muda itu sendiri yang dapat menilai dirinya sendiri (dan Tuhan tentunya hehehe....bagi seorang yang percaya kemutlakan kuasa Tuhan). Jadi tidak paradoks, ada nilai yang diberikan ada nilai yang terberi yang esensial substansial.
Pak Nad menyatakan, seperti apa kiranya cara memproduksi celana boxer agar adil dan mendekati kebenaran dalam bentuk konvensi nilai universal? Dalam harga berapa harus dijual celana boxer yang diproduksi @ US$1 itu, Bung Ed? Keadilan untuk siapa yang diperjuangkan Bung di sini? Kalau Anda tidak dapat menguantifikasinya Bung Ed, saya tidak dapat menyalahkan Anda; sebab saya bukan termasuk positivis yang ingin menguantifikasikan segala hal. Having said that, seseorang akan tetap tertuntut untuk menerangkannya secara kualitatif jika ia berpretensi sanggup melakukannya.
Nah Pak Nad mengulang lagi perpsesi yang dulu dikemukakan, jadi bagi saya dan mungkin Mas Fahmi, bukan soal celana tersebut akan dijual berapa Pak. Tapi keadilan upah yang diberikan si boss pada buruh pembuat celana boxer itu! Mau dijual 12 dollar –sebagaimana kata Mas Fahmi- gak masalah, tapi apakah adil dengan harga jual segitu ternyata si pembuatnya mendapat gaji hanya 1 dollar sehari? Bagi saya tidak adil, karena jelas keuntungannya selangit, menafikan kemanusiaan orang-orang pembuatnya dengan memberikan harga 1 dolar atas keringat mereka.
Pak kembali bertanya, “Apa maksudnya pasar bebas itu utopis dalam pengertian filosofis?” Pak Nad, Pasar bebas itu utopis dalam pengertian filosofis, ya karena melalui permenungan filosofis sekalipun, setidaknya yang telah saya lakukan dengan tidak “intutitif”, saya mendapatkan simpulan –sementara- yang saya yakini kebenarannya, bahwa pasar bebas itu tidak ada, pasar sebagai tempat atau mode transaksi selalu ada keterbatasan dan koersi yang oleh karena itulah transaksi terjadi, kalau bebas semaunya apa perlu ada negosiasi, transaksi, dan lobying?
“Seperti apa pemahaman Bung Ed tentang monopoli dan tentang permainan ekonomi kaum borjuis?” Pak Nad, Pemahaman saya sederhana saja, karena saya belum paham ekonomi, permainan ekonomi kaum borjuis termasuk di dalamnya adalah monopoli dengan segala strateginya berupaya agar perputaran modal hanya akan berputar di tangan mereka saja dan dalam rangka untuk memperkaya mereka saja (kapitalis borjuis). Misal produksi buku pelajaran yang boleh masuk ke sekolah hanya buku terbitan XXX saja, yang lain tidak boleh, bagi saya ini monopoli, dengan alasan apapun. Kecuali ada tender hehehe ...(dalam contoh buku pelajaran ini tentunya). Ataukah ada pengertian monopoli lain menurut Pak Nad? Mohon bimbingannya...
Pak Nad bertanya, “Menurut Bung Ed, ketidakadilan dalam transaksi itu seperti apa ya? Dalam kasus celana boxer, seperti apa Anda melihat transaksi yang adil dan manusiawi atau bajik itu? Saya kira tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa, kalau kita tidak mampu menjawab hal ini, maka dapat dipastikan kita juga TIDAK akan mampu memperjuangkan nomina-nomina abstrak di atas—biar jelas saya sebut saja di sini: keadilan, kemanusiaan, kebajikan.”
Pak Nad, Saya kira saya sudah menjelaskan, bahwa ketidakadilannya dalam kasus celana boxer Mas Fahmi kemarin adalah pada upah yang begitu sedikit yang diberikan untuk buruh pabrik yang tidak sebanding dengan keuntungan yang dipungut si boss. Dan soal transaksi yang Pak Nad tanyakan, kok rasanya dalam kasus celana boxer Mas Fahmi saya belum melihat sebuah proses transaksi? Dan saya tidak mempersoalkan transaksi. Kalaupun toh saya jawab, walaupun itu tak ada dalam contoh Mas Fahmi, ya mesti adil antara harga yang diberikan pada celana dengan kualitasnya dan duit yang diberikan pembeli untuk selana itu, adil kan? Ini manusiawi, baru tidak manusiawi klo beli celana dengan harga sesuai yang tertera tapi ternyata mendapat kualitas jauh dari harga yang tertera itu, mesti dipaksa beli lagi hehe... Bagi saya sesimpel itu.
Keadilan bagi saya memang tidak dapat dikuantifikasi atau dirumuskan secara tepat sebagaimana saya katakan di depan soal nilai substansial itu, hanya saja sebagaimana nilai substansial, keadilan, kebajikan, dapat dirasakan secara eksistensial, walau bisa juga secara empiris dan logis, namun tidak selalu. Oleh karena itu, saya menyatakan karena keadilan, kemanusiaan, kebajikan, dll itu adalah fitrah kemanusiaan untuk mencapai kemuliaannya maka ia mesti diperjuangkan dengan terus merumuskannya mendekati kebenarannya. Konsep-konsep itu bagi saya adalah konsep yang tak pernah selesai, seperti ekonomi atau matematika misalnya, tapi terus menjadi, dan bukan berarti dengan ketidakfinalannya ia tak dapat diperjuangkan.
Terakhir Pak Nad berkata, “...lagi pula, bukankah Anda sendiri mengatakan argumen saya sudah “bagus, ilmiah dan sistematis” dalam komentar-komentar Anda terdahulu (20/08) dan juga di shoutbox? Atau apakah itu seorang Ed Khan yang lain?”
Pak Nad, “bagus, ilmiah, dan sistematis” bagi saya bukan berarti otomatis semua argumentasinya saya setujui, bukan berarti jawabannya tepat sesuai apa yang dipertanyakan, bukan berarti benar menurut saya, jadi “bagus, ilmiah dan sistematis” bagi saya pun masih membuka dialog-dialog baru untuk selalu menemukan kebenaran-kebenaran “baru” atau “yang lain”.
Salam,
Edi Subkhan, selamat ber-ramadhan ria...