online degree programs

Selasa, Agustus 26, 2008

Sebuah Pesan*

Selain sering sekali terlibat dalam dialektika dengan Emha Ainun Nadjib, sampai sekarang pun, Cak Sudrun ternyata sering datang dalam Jama’ah Ma’iyah di beberapa tempat. Tidak seperti pak Kanjeng yang lebih kalem dan bijaksana, ia tampil lebih slengekan dan nggapleki. Kadang ia tampil dengan sarung kumal dan jas tebal, padahal cuaca malam sungguh gerah minta ampun. Sesekali ia tampil sok casual dengan kaos dan jelana jins yang warnamya bertabrakan di sana-sini. Tetapi bisa juga ia datang mengenakan kostum ala pria mapan dan metroseksual yang ternyata juga banyak menjadi jama’ah Emha. Dan malam itu, beberapa bulan yang lalu di Gambang Syafa’at, ia memilih hem warna hijau menyala dan sarung motif batik yang sepertinya sudah hampir setengah lusin bulan tidak dicuci apalagi disetrika. Setelah lantang mengajukan pertanyaan yang kemudian menjadi bahan tertawaan seluruh hadirin yang datang karena berkata “sing penting wareg !!” untuk menjawab pertanyaan Emha “milih segoné opo milih sambelé ?”, dengan senyum puas seakan telah berhasil mengerjai Emha dan jama’ahnya ia bergeser ke belakang agak serong ke barat daya di pojok pintu keluar ruangan yang biasa digunakan acara Gambang Syafa’at. Senyumya terlihat bermakna puas sekali, padahal ia baru saja diolok-olok dan ditertawakan sekitar 500-an orang. Sungguh sebuah metode pembelajaran yang berat dan dalam sekali.

Kemudian ia duduk bersila di samping orang-orang yang malam menjelang dini hari itu masih setia dengan syawab-syawab berkah Emha dan Kiai Budi Harjono. Kemudian tanpa diminta ia tiba-tiba nyerocos kepada orang yang ada di kanan-kirinya soal pengalamannya nyantri di padepokan Sunan Kudus. Dari ngumpet di jumbleng hingga terjun bebas dari pucuk pohon kelapa menggunakan kepala sebagai tumpuan mendarat, yang kesemuanya telah diceritakan Emha dalam buku-bukunya. Lantas cerita Cak Sudrun sampai pada masa betapa ia sangat ngebet ingin menikah, ingin kawin. Ia, entah dari mana datangnya, tiba-tiba mempunyai keinginan yang luar biasa untuk menjadi suami. Mulai dari hasrat dorongan biologis hingga psikologis seorang lelaki yang memang ingin melindungi dan bertanggungjawab. Tetapi masalah ini tidak bisa mudah begitu saja karena ternyata Sunan Kudus belum merestuinya untuk menikah. Segala daya upaya diplomasi dan lobbying sudah ia ungkapkan untuk mendapat restu sang Sunan, tetapi hatinya tidak bergeming jua. Hingga suatu malam, setelah selesai mengaji di pendopo, ia memberanikan diri sekali lagi mengungkapkan keinginannya kepada Sang Sunan. Bukan dengan cara bergaining yang halus, tetapi sudah dengan ancaman.

Mohon ampun, Kanjeng Sunan. Kalau Kanjeng Sunan tidak memberi restu kepada hamba untuk menikah, atau paling tidak ta’aruf dan yang-yangan, maka dengan terpaksa hamba akan melampiaskan hasrat dengan cara yang tidak-tidak dan akan menggoncangkan padepokan ini, Kanjeng Sunan”.

Sunan Kudus langsung naik pitam. “Hah ? Kau mau mengancamku ? Sehebat apa kau? Kau tidak sehebat Aryo Penangsang, orang Jipang yang tidak bias membaca sasmitoku itu. Berani sekali kau, Sudrun”.

Hamba tidak hendak melawan Kanjeng Sunan. Ini hanya metode, Kanjeng Sunan”.

Kau pikir aku takut ? Terserah kau. Berbuatlah sesukamu !”

Saestu, Kanjeng Sunan ? Betul begitu ? Apakah Kanjeng Sunan sudah siap menyaksikan peristiwa yang belum pernah Kanjeng Sunan saksikan sebelumnya ?”

Rona di wajah Sunan Kudus semakin merah menyala.

Kurang ajar !!! Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu kepadaku ?!”

Dengan enteng Cak Sudrun menjawab : “Gus Dur dan Emha Ainun Nadjib, Kanjeng Sunan”.

Seketika raut muka Sunan Kudus berubah.

Pilihlah wanita yang ingin kau nikahi, lantas bawa kemari”. Sambil mengumpat dalam hati “Assu !!!”

Tanpa menunggu lama, “Sendiko dhawuh, Kanjeng Sunan !” Setelah menghaturkan sembah, Cak Sudrun segera melompat keluar pendopo menemui kekasihnya untuk diajak menghadap Sunan Kudus. Kelak Sunan Kudus akan semakin terperanjat melihat siapa yang dibawa Cak Sudrun kepadanya.

***

Sepertinya siasat Cak Sudrun boleh juga ditiru. Fahmi ? Haris ? Mas Taufik ? Guru Ed ? Giyanto ? Hhmm…, Luluk.

Yogas Ardiansyah


*judul diberikan oleh postinger, soalnya di file yang dititipkan penulis artikel tidak terdapat judul. mohon maaf bila ada ketidak"sreg"an atas judul yang diberikan, dan sewaktu-waktu bisa diganti.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Sing gi gowo Sudrun sopo Kang...? Opo sing dilirik Kang Giy biyen kae po...? hehehe.....

Anonim mengatakan...

do not believe in Cak Nun!

dia aitu kerjanya hanya pembual. mendramatisir. aneh juga ya, ornag-orang seperti kalian kok gurunya orang macam dia. he he...

tapi, selamatlah... kasihan...

Anonim mengatakan...

Lho Steave itu gimana....wong guru orang-orang kayak kita (di embun pagi) ini gak cuma orang "baik-baik" ....tapi -setidaknya saya- juga belajar dari penjahat, penjilat, pencopet, koruptor, bahkan saya juga belajar dari seorang pembohng, pembual, dan "pemfitnah" hehehe.... peace men...

Anonim mengatakan...

saya jadi pengen berguru dari steave

hehe