online degree programs

Sabtu, Agustus 23, 2008

Nafas Neoliberalisme RUU BHP

Oleh Edi Subkhan*

”Lunturnya rasa nasionalisme itu antara lain disebabkan lahirnya perdagangan bebas yang merontokkan batas-batas negara serta kemajuan teknologi informasi
yang tidak mengenal batas-batas waktu dan tempat”

H.A.R. Tilaar (2005)

Neoliberalisme Pendidikan

Sofian Effendi (2007) menyatakan, bahwa para ekonom membagi kegiatan usaha menjadi tiga sektor. Sektor primer adalah semua usaha ekstraksi hasil tambang dan pertanian. Sektor sekunder mencakup bidang usaha untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier adalah industri-industri untuk mengubah benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Berdasarkan pada tipologi tersebut, maka World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi dunia yang mengatur perdagangan multilateral memasukkan bidang pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya keterampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya keterampilan. Inilah awal mula neoliberalisasi pendidikan secara sistematis dalam skala luas dunia internasional.

Prinsip dan peraturan dari WTO adalah adanya jaminan atas perdagangan bebas, sehingga semua bentuk kebijakan dan tindakan yang menghalangi atau mengurangi persaingan bebas harus dihilangkan. General Agreement on Trade in Services (GATS) sebagai salah satu kesepakatan WTO menyatakan bahwa semua transaksi perdagangan dapat diperjual belikan dalam pasar global. Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani pembentukan WTO dan GATS dengan konsekuensi mesti tunduk pada ketentuannya, termasuk dunia pendidikan.

Menurut WTO, lingkup pendidikan mencakup: (1) pendidikan dasar, (2) pendidikan menengah, (3) pendidikan tinggi, (4) pendidikan orang dewasa, dan (5) pendidikan lainnya. WTO pun telah menyediakan empat mode penyediaan jasa pendidikan, yaitu: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet seperti on-line degree program, distance learning, dan tele course. (2) Consumption abroad, penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, yaitu pengiriman mahasiswa ke luar negeri. (3) Commercial presence, lembaga pendidikan luar negeri hadir secara fisik di Indonesia dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan lembaga pendidikan tinggi dalam negeri. (4) Presence of natural persons, yaitu dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal. Dari beberapa mode layanan pendidikan tersebut, maka sudah beberapa lama Indonesia menerapkannya, hanya saja belum diatur legalitas hukumnya.

Neoliberalisme RUU BHP

Setelah menandatangani GATS, maka pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 76 tahun 2007 dan Perpres 77 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal sampai dengan 49 persen di “bidang usaha” pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan nonformal. Oleh karena itu, sebelum lahir UU Sisdiknas tahun 2003, menjelang tahun 2000 hingga sekarang perguruan tinggi pun sudah melakukan transformasi dari institusi yang tadinya bergantung pada pemerintah menuju badan hukum yang mandiri lepas dari birokrasi pemerintah. Otonomi tersebut diwujudkan dengan dibentuknya badan hukum perguruan tinggi di Indonesia dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tahun 1999 dan disusul dengan PP No. 155/2000 yang menjadikan empat perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jejak tersebut kemudian diikuti oleh USU dan UPI.

Setelah itu pemerintah kemudian menginisiasi RUU BHP karena telah terikat oleh amanat UU No. 20/2003 pasal 53 ayat (4). RUU inilah yang dipandang sebagai jalan pembuka kapitalisme pendidikan, menempatkan pendidikan subordinat dari sistem ekonomi neoliberalisme, dan menjadikannya sekadar komoditas dagang. Hal ini karena dalam draft awal RUU BHP juga menyinggung tentang modal asing dalam bidang pendidikan sampai 49 persen. WTO dengan GATS-nya memang tidak secara eksplisit menyatakan penarikan tanggungjawab pemerintah atas dunia pendidikan, namun pola dan strategi implementasi, juga globalisasi dan ideologi neoliberalisme yang berada di baliknya meniscayakan ditariknya peran negara dalam memenuhi tanggungjawabnya atas dunia pendidikan.

Banyak pihak mengkhawatirkan keberadaan lembaga pendidikan dalam negeri yang masih kembang kempis jika mesti berkompetisi dengan lembaga pendidikan asing di Indonesia. Di sisi lain ketika asing boleh menanamkan modalnya sampai 49 persen, dikhawatirkan lembaga pendidikan tersebut akan banyak disetir oleh asing, baik orientasi belajar, pemahaman keilmuan, sampai pada budaya dan filosofi pendidikannya. Walaupun pada draft RUU BHP versi April 2008 pasal 12 telah dihapuskan, namun kontroversi tetap berlanjut ketika ketentuan pendirian lembaga pendidikan asing dan kepemilikan modal tersebut masuk dalam RPP pengelolaan dan pelayanan pendidikan yang dikeluarkan pada Juni 2008. Di situ ditegaskan bahwa pihak asing boleh investasi di lembaga pendidikan sebanyak 49 persen.

Menangapi hal itu Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan kepada anggota DPR mengenai Perpres No. 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup dalam rapat kerja Komisi X, bahwa penanaman modal asing di bidang pendidikan akan dilakukan terbatas pada lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Selain itu, saat ini hanya berlaku pada bidang pendidikan politeknik dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. Dinyatakan juga bahwa dasar hukum adanya penanaman modal asing di bidang pendidikan tidak hanya berdasarkan pada Perpres saja, tetapi juga adanya tawaran dari Departemen Perdagangan mengenai kesepakatan pemerintah Indonesia dalam perundangan WTO di Jenewa, Swiss, pada 2002.

Dalam tawaran itu, pendidikan menjadi bagian yang ditawarkan dalam arus globalisasi, namun Depdiknas meminta tidak dibuka secara liberal, tetap harus ada persyaratan yang mesti dipenuhi jika modal asing masuk ke Indonesia di bidang pendidikan. Prihatin dengan kebijakan tersebut, Mantan Rektor UGM, Sofian Effendi menyatakan, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 77/2007 maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi ladang bisnis luar biasa bagi pemodal asing, karena dalam PP tersebut dunia pendidikan dimasukkan sebagai bidang usaha terbuka yang menjadi pintu masuk kekuatan asing di dunia pendidikan (Media Indonesia, 18/9/07).

Adanya modal asing pada institusi pendidikan menjadikan adanya intervensi sang pemilik modal atas institusi tersebut. Lagipula investasi sebagai sebuah termilogi ekonomi memang bernalar materialistik, bukan nalar intelektual, karena sudah pasti orang yang investasi tidak lain tujuannya kecuali ingin mendapatkan untung, baik materiil maupun dalam bentuk lain, ini sudah lazim dalam konsepsi ekonomi. Oleh karena itu, ruh dinamika dan berjalannya agenda program institusi akan selalu berorientasi pada mencari untung. Selain keuntungan finansial yang sudah pasti dituju oleh pihak investor, tidak menutup kemungkinan adanya keuntungan lain yang dituju, dan nalar materialis biasanya akan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu.

Dengan neoliberalisasi yang mendasarinya maka patut dicurigai bahwa salah satu intervensi yang akan dilakukan adalah dalam rangka menanamkan ideologi neoliberal tersebut pada peserta didik, baik melalui konstruk ilmu pengetahuan maupun kultur yang dibangun di sekolah atau perguruan tinggi tersebut. Sekarang saja dalam perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN glamor kehidupan dari kultur modernitas sudah terasa dengan nalar mencari keuntungan ekonomi yang sangat besar, hal yang sama juga terjadi di PTS-PTS favorit. lebih rawan lagi adalah pada fakultas atau jurusan yang telah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri dalam bentuk dual degree.

Lepas Tanggungjawab Pemerintah

Pemerintah mengaburkan tanggungjawabnya atas pendanaan pendidikan pada RUU BHP versi Juni 2008, bab VI tentang pendanaan pada pasal 33 ayat (2) dengan menyatakan bahwa pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 terdapat pada pasal 32 ayat [2]). Di sini kata-kata ‘tanggungjawab bersama’ selama ini menjadi dalih pemerintah untuk tidak memenuhi pendanaan pendidikan.

Pada draft usulan RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (1) dinyatakan, bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung biaya pendidikan dasar berdasarkan standar minimal saja, ayat (2) menyatakan pemerintah daerah dan masyarakat ‘dapat’ memberikan bantuan sumberdaya pendidikan pada badan hukum pendidikan. Sementara untuk pendidikan menengah dan tinggi Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung ‘sekurang-kurangnya’ 2/3 biaya pendidikan untuk biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berdasarkan ‘standar pelayanan minimal’ (pasal 34 ayat [3] & [4]).

Dengan demikian acuannya sekadar standar minimal saja dan obsesi untuk wajib belajar 12 tahun yang sempat dilontarkan pemerintah tak lagi menjadi pertimbangan, dan jelas dengan demikian minim komitmen pemerintah pada upaya meningkatkan pendidikan untuk menciptakan kader bangsa yang berkualitas. Banyak obsesi pemerintah yang dipaksakan pada pendidikan menengah dan tinggi dengan sekolah berstandar internasional dan world class university akan kian menekan masing-masing lembaga pendidikan menengah dan tinggi dengan minimnya alokasi dana untuk mereka. Pun dalam klausul tersebut badan hukum yang dimaksud tersebut adalah BHPP yang didirikan pemerintah pusat dan BHPPD yang didirikan pemerintah daerah. Agaknya pihak swasta tidak mendapat perhatian di sini.

Pengaburan kewajiban juga terdapat pada draft RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (5) yang menyatakan bahwa peserta didik ‘dapat’ ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orangtua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai. Tanggungjawab tersebut sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari seluruh biaya operasional (pasal 34 ayat [6]). Sebelumnya, pada pasal 33 ayat (3) sudah dinyatakan pula bahwa pungutan oleh badan hukum pendidikan kepada peserta didik atau orangtua/wali dilakukan dengan subsidi silang, dengan demikian sudah terlebih dahulu ‘pungutan’ disahkan oleh RUU BHP ini.

Pada pasal 38 ayat (1) tentang alokasi dana 20 persen untuk beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dirasa akan membebani BHP bersangkutan, hingga kebijakan ini akan memaksa mereka untuk terus mencari dana besar-besaran dalam memenuhi pendanaan operasional dan pemberian beasiswa. Sementara pada pasal 38 ayat (2) yang menyatakan bahwa beasiswa tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah belum disepakati oleh pemerintah. Dalam pasal itu pun belum jelas antara BHPP dan BHPM. Mestinya dalam draft tersebut terdapat ketegasan dan kejelasan peran dan fungsi pemerintah, dan pemerintah betul-betul bertanggungjawab atas dunia pendidikan. Dengan demikian terlihat betapa jelas bahwa pemerintah justru membebankan kewajiban memberi beasiswa pada badan hukum pendidikan.

Oleh karena itu, untuk pemenuhan pendanaan, badan hukum pendidikan dibolehkan mendirikan badan usaha berbadan hukum (pada pasal 35 draft RUU BHP versi Juni 2008), sebelumnya pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 pasal 37 badan hukum tersebut jelas disebut perseroan terbatas, sementara dalam draft terakhir ini justru masih ‘tanda tanya’. Kenyataannya di UI, PT Makara yang telah menjalankan fungsi tersebut (karena UI telah menjadi BHMN) selama delapan tahun tidak pernah untung, namun justru merugi terus, dan ironisnya tidak ada transparansi berkaitan dengan berbagai pemasukan dana dari luar sampai pengalokasian dan realisasi kontribusinya bagi kampus.

Selain itu Timus dalam draft terbaru versi Juni 2008 pasal 34A (pasal 39 versi Pemerintah) mengusulkan bahwa badan hukum dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio, padahal investasi ini pasti berasal dari anggaran badan hukum pendidikan, ini tentu akan mengganggu jalannya operasional badan hukum pendidikan. Orientasinya menjadi sangat berbau mencari keuntungan sekali dengan adanya badan usaha dan investasi. Mestinya terdapat ketentuan tentang batasan-batasan etika intelektual yang orientasi pada intelektualisme, atau keberpihakan pada pencarian kebenaran –kata Bung Hatta, hingga tidak akan terjebak pada bisnis kepakaran, atau bahkan pelacuran intelektual. Hal ini mungkin sulit dilakukan karena paradigma RUU BHP ini sepenuhnya berorientasi ekonomi, maka semuanya akan .

Sampai pada draft terakhir RUU BHP versi hasil Timus 20, 22—23 Juni 2008, tidak banyak terdapat perubahan substansial, hanya penambahan dan pengurangan di sana-sini, ironisnya sekadar dalam hal redaksional saja. Sampai draft versi Juni 2008 tersebut, pemerintah belum menyepakati tentang tanggungjawab persentase pendanaan yang mesti ditanggungnya. Di samping itu, masih terdapat banyak inkonsistensi penggunaan istilah ‘penyelenggara’ dan ‘pengelola’ yang dipermasalahkan oleh banyak PTS. Yang tak kalah mengerikan adalah hilangnya istilah ‘guru’, ‘sekolah’, ‘siswa’ atau ‘murid’, berganti dengan istilah ‘pendidik’, ‘tenaga didik’, ‘satuan pendidikan’, dan ‘peserta didik’. Padahal dalam istilah-istilah tersebut terkandung filosofi yang lebih luas dan dalam. Misalnya adalah konsepsi ‘guru’ yang memiliki wibawa, panggilan hati, keluasan dan kedalaman ilmu serta pengabdian, tentu lebih luas ketimbang istilah pendidik yang sekadar berdimensi teknik dan profesi.

Darwin SN (Suara Pembaruan, 7/6/08) menyatakan, bahwa proses liberalisasi pada sektor pendidikan di Indonesia sama seperti pada liberalisasi sektor migas, yakni mengharuskan pemerintah melepaskan diri dari tanggungjawab sektor pendidikan. Untuk memuluskan liberalisasi migas, seluruh rakyat Indonesia “menikmati” kenaikan harga BBM dengan legalisasi UU Migas. Begitu juga bidang pendidikan dengan RUU BHP nantinya. PP No. 60/1999 tentang perubahan administrasi institusi perguruan tinggi dan PP No. 61/1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai BHMN, bagi Darwin merupakan tindak lanjut pertemuan Unesco di Paris. Sejak tahun 1980-an, negara-negara maju mendapatkan income besar dari sektor jasa. Ender & Fulton (2002: 104-105) menyebutkan tiga negara yang mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pada 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp. 126 triliun. Di Inggris, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut.

Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Export mengungkapkan, bahwa pada tahun 1993 sektor jasa telah mengumbang 20 persen dari PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total Australia. Sebuah survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa ketiga negara tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Lebih kurang sampai sekarang enam negara telah meminta Indonesia membuka sektor jasa pendidikan, yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea, dan Selandia Baru.

* Edi Subkhan, penulis, tinggal di Jakarta.

18 komentar:

Anonim mengatakan...

Pendidikan harus mahal karena ono rego ono rupo.
jadi tidak ada yang namanya universitas negeri.yang ada hanya di semarng saja yaiut UNNES tercinta

Anonim mengatakan...

bagi saya, logika "ono rego ono rupo" juga terbalik.

mana yang lebih rasional, "ono rupo ono rego" atau yang sebelumnya?

yang pertama itu, kalo yang bilang seorang makelar (transaksi tidak secara langsung).

lha wong logika saja bisa dibentuk, di wolak-walik. apalagi kok sekedar tafsir..

Anonim mengatakan...

maaf dengan argumen itu (bwt anonim) pendidikan dimaknai sebagai apa dulu??? hehehe.....

juga perlu dikaitkan sebagai sebuah relasi kuasa modal atas pendidikan dan banyaknya fetisisme komoditas sekarang di alam yang semakin neoliberal.

Apa pula relasinya menyebut universitas "neegri" ???

saya abis baca Hamsad Rangkuti di Kompas tentang permainan kata-kata....konon sastrawan muda berkutat pada permainan atau dalam istilahnya Hamsad adalah akrobat kata-kata, di filsafat juga ada, di intelektual juga ada.....tapi klo dipikir-pikir dengan "akrobat" itu ternyata bisa dicari makna filosofisnya...heheeh...

Anonim mengatakan...

Artikel di kompas tsb memang sangat bagus dan mendidik...

Padahal ke-dua2-nya "cuma" lulusan SMP...alias bukan org2 sekolahan...

tapi kok, keren2..

Anonim mengatakan...

iya ya.... banyak yang tidak sekolah tapi karya-karyanya luar biasa. Pram, Cak Nun, Rendra, Tagore, ah banyak lah pokoknya...

memang, saya kira harus ada yang seperti mereka. mungkin salah satu dari kita. sungguh, saya akan salut jika ada yang mengambil jalur 'pendidikan' macam itu.

atau mungkin ada yang jauh lebih penting bahwa sesungguhnya tidaklah soal itu pendidikan 'sekolahan'
atau pendidikan 'jalanan', melainkan soal kesetiaan merawat pertanyaan, kegelisahan alias 'kepenasaranan'.

jadi, kira-kira definisi pendidikan menurut saya adalah aegala hal-hal (entah di jalanan, entah di masjid, entah di prostitusi, juga entah di sekolahan, pokoknya dimana saja dan kapan saja) yang bertujuan dalam rangka pemuasan hasrat akan kepenasaranan, juga tentang apa saja.

"saya bukanlah orang yang jenius. saya hanyalah orang yang benar-benar penasaran" he he... sayangnya kata-kata kerendahanhati ini keluar dari mulut si Einstein yang 'jenius' itu sendiri. he he... so what, brother?

Anonim mengatakan...

Saya lebih menghargai lagi, kalau "org2 sekolahan" bisa lebih "menghargai" hasil pembelajaran dari org2 "non sekolahan"...

Barangkali, itulah yg kita butuhkan di masa mendatang dari "sikap kedewasaan" akademisi kita...

Berarti ini sama dengan saya menantang, Taufik, Edy, Lu2k yang telah "mendahului" kita2 yg masih di SMG

agar SMG menjadi kota impian dan dapat menjadi pusat "prostitusi intelektual" alias "begundalnya para pemikir" alias campur aduk bror...he2...

Ada pebisnis, filsuf, budayawan, ilmuwan politik, ahli filsafat psikologi, HRD, guru, trader, karyawan, sastrawan, artis (kalau ada, tapi kelihatannya sulit,he2), pengacara, jaksa, wartawan, penulis koran, peloper koran, penerbit, sales, etc....

Terus yg jadi "gundik"nya siapa ya?

Anonim mengatakan...

he he..... saya menghargai jika kita semua saling menghargai.tidak hanya yang 'sekolahan' menghargai yang 'non-sekolah', tapi yang 'non-sekolah' juga patut menghargai yang 'sekolahan' jika dia memang pantas dihargai.jadi, ukuran penghargaannya bukanlah terletak pada dia 'sekolahan' atau 'non-sekolahan' melainkan pada kepatutannya/kepantasannya.lha, disinilah soalnya; apakah ukuran kepatutan itu? atau pertanyaannya begini; siapakah yang paling patut untuk mengukur kepatutan?

sampai di sini, saya kira masing-masing kita punya ukuran kepatutan sendiri-sendiri.dan kemudian kita bisa memutuskan sendiri dengan ukuran itu apakah kita menghargai seseorang atau tidak atas karya, pemikiran, bahkan kehidupannya.

lha, disinilah kita sulit menolak ATAU malah tak mungkiN BISA MENOLAK imperatif. DAN bagi saya, penghargaan akan saya berikan PADA SIAPAPUN SAJA YANG BERPIKIR SECARA JUJUR DAN KEMUDIAN BERTINDAK ATAS DASAR PEMIKIRANNYA TERSEBUT.

HAL ITULAH YANG MEMBAWA SAYA PADA DEFINISI INTELEKTUAL. BAGI SAYA, SEORANG PETANI YANG BERPIKIR SECARA JUJUR DAN BERTINDAK ATAS DASAR PEMIKIRANNYA TERSEBUT ADALAH SEORANG INTELEKTUAL. BAGI SAYA, SEORANG PROFESOR YANG TIDAK JUJUR DALAM PIKIRANNYA APALAGI DALAM TINDAKANNYA ATAU DIA JUJUR DALAM BERPIKIR TETAPI DIA TIDAK BERTINDAK ATAS PEMIKIRANNYA TERSEBUT DIA BUKANLAH INTELEKTUAL.

LHA, BAGAIMANA KITA MENILAI SESEORANG ITU JUJUR ATAU TIDAK DALAM BERPIKIR ATAU SESEORANG BERTINDAK ATAS PEMIKIRANNYA YANG JUJUR ATAU TIDAK. INI YANG SULIT DILAKUKAN.SEBAB, SIAPA YANG TAHU KEDALAMAN HATI SESEORANG.LHA, DISINILAH KITA PERLU HATI-HATI.SALAH MENEBAK MAKA YANG TIMBUL ADALAH FITNAH.DAN KITA TAHU, FITNAH ITU LEBIH KEJAM DARI PEMERKOSAAN (wong dari pembunuhan aja lebih kejam tO...)

tapi, kira-kira ada cara mendeteksi kejujuran itu kok, bror. kalau BAGI saya sih, itu INTUITIF! rasionalitas yang lain! gak bisa dibuktikan 1 TAMBAH 1 SAMA DENGAN 2. he he....

Anonim mengatakan...

Gus Taufik dan Kang Gik, sepertinya ketika mengaitkan intelektualisme Gramsci pernah berkata bahwa setiap menusia adalah intelektual, ia potensi yang laten ada pada diri tiap orang. Jadi menurut Gramsci tidak ada yang tidak intelektual, semuanya intelektual, hanya saja potensi tersebut digunakan atau tidak. Definisi Gus Taufik agaknya lebih mendasarkan pada realitas empiris sebagai bentuk eksistensial dari esensial intelektualisme dalam -meminjam istilahnya Plato dan yang "terkini" dalam hermeneutika Kritis Ricouer & Thompson- doksa keseharian, belum definisi intelektual sebagai esensi, atau dalam filsafat Islam Ibn 'Arabi adalah wujud-maujud itu.

Setidaknya dalam filsafat Islam intelektual justru sangat luas, bahkan lebih luas pengertian dan definisinya dari filsafat Barat, termasuk Gramsci sekalipun, baca saja ulasan Syed Hossein Nasr dan Corbin yang tentang filsafat tawsawuf (teosofi Ibn 'Arabi), iluminasi ('Irfani Suhrawardi al-Maqtul),hikmah al-muta'aliyah (Mulla Shadra), dll. Misal, terdapat bahasan Akal Pertama sampai Akal Kesepuluh yang diidentifikasi sebagai Jibril, dan semua tingkatan dalam filsafat emanasi yang "menurun" menggunakan terminlogi "aql" (akal, intelektual), dalam banyak hal Allah adalah kausa prima, Akal Pertama. Soal intuisi misalnya, walaupun Plato sudah mengatakannya, dan jauh sebelum itu (pra Yunani) sudah ada yang memulainya, ternyata dalam filsafat Hikmaah atau yang lebih sering disebut sebagai "Himah" saja -yang oleh banyak pengkaji filsafat Islam disebut sebagai bentuk sebenarnya dari filsafat Islam- dalam sumbangannya bagi epistemologi Islam -atau Islami?- mengakui intuisi sebagai satu dari beberapa "cara" menemukan dan mengungkap kebenaran, intuisi inilah yang begitu kental pada masa filsaat tumbuh di Yunani -kuno- waktu itu dan dalam sejarah filsafat Islam baik yang marjinal maupun mainstream sekalipun. Sayangnya intuisi ini tak diakui secara formal oleh modern scientific method, yakni positivisme yang kaku, keras itu, inilah yang di Barat dengan bahasa lain coba digugat via teori-teori sosial kritis, dan di Islam -tanpa bermaksud membuat dikotomi antara keduanya- agaknya salah satunya dengan Oksidentalisme, muncul dan merebaknya tasawuf modern dll itu.

Maaf saya tak bisa meneruskan lebih lanjut soal ini hingga mungkin agak membingungkan, ya.....sekadar untuk memberikan warna lain bahwa kita juga perlu membaca khasanah Islam klasik sampai kontemporer untuk tidak berbangga dengan definisi atau istilah bahkan jargon yang seolah-olah kita merasa telah "menemukannya", padahal berabad-abad lalu telah ada yang mengulasnya dengan teramat jernih dan menjadi rujukan bagi Renaisance Barat.

Hasrat akan kepenasaranan Gus Taufik dalam mendefinisikan pendidikan tampaknya bukan definisi final pendidikan, dan saya yakin Gus Taufik sudah mengetahui itu, dan memang bukankah tak ada definisi yang final, apakah yang final itu selain Yang Satu -kata al-Kindi. Kepenasaranan adalah proses intelektual secara sadar yang ia menjadi ada (wujud) ketika dirasa terdapat ruang kosong yang perlu dipenuhi dalam intelektual, kesadaran akan kekosongan ini hanya akan timbul ketika intelektual memiliki bekal awal -berupa penegtahuan awal- untuk pertanyaan-pertanyaan yang niscaya muncul sebagai bentuk diskursif yang terus terakumulasi seiring bertambahnya pengetahuan. Dus, kepenasaranan pun membutuhkan penge-tahu-an awal untuk menimbulkannya dan pengetahuan sebagai bentuk kebenaran tertentu salah satunya bersumber dari intuisi. Tanpa itu takkan ada penasaran, dan tanpa penasaran atau keingin-tahu-an takkan ada pendidikan sebaga proses abadi kemanusiaan universal. Btw, definisi dengan fokus pada kepenasaranan ini masih menyisakan problem bahwa bisa saja yang tidak penasaran karena memang ia belum memiliki bekal ilmu penge-tahu-an mendapatkan pendidikan yang sekiranya dirasa perlu didapatnya.

Intelektual dan proses pendidikan kita memang telah kehilangan -dalam terminologi filsafat Yunani Kuno- phronesis, atau Illative sense, atau dalam istilah yang sering digunakan Sindhunata adalah "rahsa", yakni kebijaksanaan untuk selalu rendah hati dan mengakui keterbatasan, kemungkinan salah, namun tanpa menyangkal bahwa dirinya dapat mencapai atau setidaknya mendekati kebenaran. Setidaknya saya memahami phronesis ini sebagai capaian tertinggi intelektualitas seseorang, yakni kebijaksanaan; dalam khasanah Jawa banyak sebutan untuk ini dalam konteks yang beragam pula, misal sumeleh, nrimo, dll.

Terakhir, Hamsad "berpolemik" dengan F. Rahardi di Kompas tiap minggu hingga kemarin adalah media pembelajaran yang menarik buat saya, yakni perdebatan, argumentasi, gaya "melecehkan" dengan kekhasannya masing-masing, ya tanpa saya mesti menilai mana yang paling sreg di hati, atau yang paling intelektual, kita mesti belajar dari mereka ketika kita memang ingin berpolemik dengan siapapun, yah Gus Taufik tentu lebih tahu soal itu dan soal polemik kebudayaan yang dulu itu hehhe...

Kita berpolemik dengan mainstream intelektual sekarang, membuat perlawanan intelektual...kenapa tidak???

Anonim mengatakan...

HE HE... SIAP, GURU.
saya kira, kata 'penasaran' dengan sendirinya adalah sebuah pernyataan tentang suatu ketidakfinalan. jadi kira-kira, pendidikan dengan sendirinya, jika mengikuti alur kepenasaran ini, adalah sesuatu yang memang tidak akan final.

namun, kan memang kita sulit menolak posisi 'sekarang' dan 'disini' itu. maka, pengetahuan ysng kita peroleh dari hasil kepenasaranan itu adalah selalu hasil pengetahuan yang selalu 'situated' (situated knowledge).oleh karenanya, tidak pernah ia selesai. jadi, kesimpulan memang selalu bersifat sementara tetapi apakah dengan demikian kita tidak harus membuat kesimpulan.

dari sinilah, saya kira 'keberpihakan' itu muncul. afiliasi itu sah, bahkan adalah kewajiban umat manusia. hanya pada siapa afiliasi itu diarahkan ya terserah. kalau saya ya kepada yang benar menurut saya.saya kira, dari sinilah mulai munculnya pertentangan antara pengetahuan dan kekuasaan (atau katakanlah 'kepentingan').maka, jika dulu saya memikirkan pertentangan antara pemikir dan politisi akhir-akhir ini saya sedang memikirkan pertentangan antara pemikir dan aktivis. yah, aktivis (dalam arti orang yang memprjuangkan nilai-nilai sosial di luar partai). pada akhirnya, layaknya seorang politisi aktivis juga mengarahkan k egiatan-kegiatannya pada suatu tujuan, suatu imperatif tertentu. dalam hal-hal teknisnya, terkadang tidak bisa dipungkiri seorang aktivis juga melakukan 'upaya-upaya' politis sebagai strategi perjuangannya. samapai di sini,akhirnya sesuangguhnya secara esensial seorang aktivis sesungguhnya juga adalah seorang politisi.

saya kira, inilah beda aktivis dengan plato.atau jangan-jangan plato itu ya aktivis, hanya saja tujuannya bukan semacam aktivis-aktivis seperti yang kita punya (demokrasi,HAM, kesejahteraan,dll).tujuannya, hanya agar orang terus berpikir dan berpikir.sebab, ia tahu bahwa hasil pikiran selalu sementara benarnya.atau gimana ya...

atau apakah akhirnya akan jatuh lagi pada keterbatasan bahwa dalam hidup ini kita memang harus memilih.kita tidak bisa mendapatkan semuanya yang kita inginkan.atau gimana ya...

memang selalu ada soal ya Cak dalam kata 'kita' itu. sebab, 'kita' itu ya selalu kita yang 'sekarang'. mungkin besok aku sudah menjadi bukan kita bagimu atau mungkin akan selalu begitu sepanjang waktu. tapi memang, polemik atau perdebatan atau apalah namanya selalu membuat 'kategori' itu. maka memang mungkin tak jadi masalah polemik sekeras apapun asalkan dengan hikmah dan kata-kata yang baik(Quran). sampai disini pun akhirnya saya tetap tidak bisa menolak imperatif,yaitu 'asalkan' itu.

kita memang selalu terjebak dalam 'bahasa'.kita terpenjara dalam penjara kata-kata.di luar itu,mungkin diam adalah bahasa yang paling mungkin. he he....

Anonim mengatakan...

Psitivisme digugat oleh teori ilmu sosial kritis yang baru?

perasaan kemarin saya juga nggugat, he2...

Coz, yg saya tahu...bukan hanya positivisme, historiesme juga telah dipatahkan oleh Menger pada abad 19?

Terus apakah tori kritis itu?
dia cuma sebuah landasan pikiran lama yg "tidak bener", yang sebenarnya sudah lama terpatahkan...

itulah bedanya sejarawan dengan praksiolog....

Ah, saya juga ngantuk...mendingan baca2 yg saya suka....

daripada harus memaksakan bacaan saya pada orang lain...

suruh baca tapi cuma nyuruh...

barangkali itulah bedanya "guru" dengan "murid"...

kalau saya sih jarang menganggap ada yg gitu2-an...

kalau saya: pas lagi seneng belajar ya belajar, pas lagi seneng Play station ya main, Pas lagi seneng nonton Bioskop ya nonton, pas lagi seneng cewek ya ditembak aja...he2....

Anonim mengatakan...

Agaknya ”penasaran” adalah proses sesudah ”tahu” awal dan menuju pada ”tahu” akhir, dan sebagaimana dialektika Hegelian ”tahu” akhir ini adalah ”tahu” awal untuk ”kepenasaranan” berikutnya. Dengan demikian definisi tersebut dalam kerangka definisi pendidikan yang lebih ”rigid” atau tepatnya memenuhi syarat membuat definisi secara komprehensif dan holistik dengan mengacu subjek-objek definisi, dalam pendidikan adalah manusia dan sesuatu selainnya itu, maka dapat dikatakan sebagai pra definisi atau sebelum definisi pendidikan, ia mesti mendahului definisi, ia ada, hadir (hudhuri –dalam filsafat hikmah yang dilawankan dengan ushuli), present, sebagai keniscayaan, karena manusia memang fitrahnya memiliki potensi intelektual yang dalam salah satu bentuknya yang ”embrio” adalah need for curiosity, atau disebutkan Gus Taufik sebagai kepenasaran itu. Saya agaknya memahami ”kecairan’ definisi Gus taufik itu sebagai akumulasi dan representasionalisasi habitus kesusastraannya selama ini hehehe.... Pendidikan sebagai proses internalisasi abstraksi eksistensi menjadi esensi dalam pemikiran manusia belum tercapai dengan definisi pendidikan Gus Taufik, pendidikan dalam definisi ini sudah dengan sendirinya memenuhi kepenasaranan sebagai pemenuhannya.

Seingatku para filosof pra filsafat Hikmah menyatakan bahwa esensi atau substansi atau kuiditas atau mahiyah itu tetap, yang bergerak hanya empat hal, yakni dimensi pertama sampai keempat (konon dimensi keempat yang diidentifikasi sebagai waktu bahasan filosofisnya disumbangkan oleh diskursus filsafat Islam paripatetik untuk filsafat Barat yang terutama diapresiasi oleh Heidegger sebagaimana penuturan Henry Corbin). Namun Mulla Shadra dengan filsafat Hikmah al-muta’aliyah menyatakan bahwa yang substansi itu pun bergeran –di sini bahasan gerak substansial dalam diskursus filsafat Islam menjadi menarik dan memberikan sumbangan besar bagi filsafat Barat-, dus tidak ada yang tetap, sebagaimana dalam filsafat Yunani, ”panta rhei ke udan manei”, dalam terjemahan acaknya, semuanya bergerak tak ada yang tetap. Sepemahaman saya posisi ”sekarang” dan ”di sini” itu pun selalu bergerak dan ”menjadi”, dalam idealisme Platonian gerak –yang substansial sekalipun- adalah kumpulan dari puzle-puzle posisi ”diam”, pemahaman atas kesementaraan –atau dalam istilahnya Gus Taufik ”kesimpulan”- bagi saya mesti diberikan dan dapat walaupun tidak mesti untuk dinilai benar-salah, bahkan tiap kesementaraan yang terus berjalan dan menjadi mesti diperikan, didefinisikan, sampai pada definisi ”akhir” yang mungkin tak dapat manusia definisikan karena ia selalu saja mengandaikan, berada di luar, tidak sepenuhnya di dalam, yang didefinisikan itu.


Dalam filsafat Islam hikmah al-muta’aliyah (Mulla Shadra) definisi ”yang paling benar” adalah dalam kilatan-kilatan mendadak pemahaman eksistensial (dalam tingkatannya yang paling tinggi adalah wahyu, setelah itu ilhan, intuisi, dan eureka ala Barat) di mana objek masuk dalam subjek (eksistensial), dan sayangnya eksistensial sebagai pengalaman ini tak dapat didefinisikan, ia harus dialami sebagai kebenaran ”yang paling benar”, contoh sederhana adalah konvensi manusia terhadap rasa manis, maka mesti ada pengalaman eksistensial tentang manis itu, tapi definisi manis tak pernah memuaskan semuanya, karena masing-masing yang mengalami secara eksistensial dengan ”kebenarannya” masing-masing.


Bagi saya agaknya terlalu meloncat mendasarkan keberpihakan pada kesementaraan dan kontekstualitas, mungkin akan lebih kokoh jika pijakannya adalah fitrah kemanusiaan secara filosofis, ia sebagai ada (wujud) kemudian mengada (maujud) dalam sikap-sikap keseharian dalam logika common sense atau nilai-nilai unversal itu, tapi fitrah manusia itulah yang memang dengan logika modernitas positivisme direduksi –untuk tidak mengatakan dihilangkan- dalam diskursus perkembangan perkembangan ilmu pengetahuan ke arah yang lebih kaku dalam scientific method sejak Descartes (Cartesian) dan Bacon dulu itu (Kang Gik pasti lebih tahu soal ini hehehe...).


Ya Gus, bahasa adalah fitrah kemanusiaan, fitrah komunikasi, dan diam pun adalah bahasa tanpa kata-kata (dalam pengertian formal), jika kata-kata saja menyimpan seribu misteri di baliknya, apalagi klo tanpa kata-kata, tentu lebih ”misterium tremendum” dan ”facsinant” kata Bauer dalam mendefinisikan The One (Yang Satu, tiada lain adalah Tuhan), mungkinkah Tuhan adalah Something without words? Atau kata-kata tanpa kata-kata? Wallahu a’lam....


Hehehe...ini sedikit saja buat Kang Gik, kemarin Kang Gik kayaknya khan menggugat positivisme, padahal hal itu sudah lama dilakukan oleh teoritisi kritis, jangna lupa Kang, ada teoritisi interpretatif juga, dan dalam banyak hal teori kritis adalah varian praksis dari teori atau tepatnya pendekatan interpretatif yang fondasionalnya adalah hermeneutik sebagaimana Dilthey menyebutnya geistesswescensaften (mungkin ejaannya salah hehehe...) atau fondasi ilmu-ilmu humaniora secara fundamental. Bukan historiesme tapi mungkin tepatnya historisme atau historisisme atau historisitas, mana yang Kang Gik maksud? Kang Gik sudah baca Fuocault yang memodifikasi pendekatan sejarah (historis) dalam konsep arkeologi dan genealogi-nya itu. Dan selanjutnya saya jg sama dengan Kang Gik, tak terlalu mau menanggapi Kang Gik yang belum juga sampai sekarang dapat membelajarkan dengan bijak via tulisan dan komentar-komentarnya hehe...

Anonim mengatakan...

salah satu kesulitan saya dari dulu hingga sekarang (dan bagi teman-teman yang terganggu dengan hal ini, saya mohon maaf)adalah ketidakpandaian saya dalam menghafal nama-nama, angka-angka dan simbol-simbol dan kemudian menuliskannya, jauh dari seperti cak EdKhan.he he...

saya merasa lemah dalam menanggapi tentang Foucoult, Hegel dan (apalagi)Filsafat Islam. mungkin lain kali kita bisa membahasnya kembali. Ampun... he he...

Anonim mengatakan...

pendidikan bukan barang dagangan, itu tanggung jawab negara... logika mu cm berlaku dipasar bukan di dunia pendidikan. bhp wujud privatisasi pendidikan alias komersialisasi pendidikan ato bisa di bilang cucu dari neoliberalisme pendidikan cicit dari kapitalisme anjing!!! cwry kawah fahmy kali ni kita berseberangan,...

Anonim mengatakan...

pendidikan bukan barang dagangan,..tu udah tanggung jawab negara!!! logika mu hanya laku di pasar bukan didunia pendidikan. BHP adalah wujud komersialisasi pendidikan alias privatisasi bisa dikatakan cucu dari neoliberalisme pendidikan cicit dari kapitalisme anjing!!! cwry kawan fahmy kali ini qt bersebra

Anonim mengatakan...

Good day !.
You may , perhaps curious to know how one can make real money .
There is no initial capital needed You may commense to receive yields with as small sum of money as 20-100 dollars.

AimTrust is what you need
The firm represents an offshore structure with advanced asset management technologies in production and delivery of pipes for oil and gas.

It is based in Panama with structures everywhere: In USA, Canada, Cyprus.
Do you want to become an affluent person?
That`s your choice That`s what you desire!

I feel good, I started to take up real money with the help of this company,
and I invite you to do the same. It`s all about how to select a correct companion utilizes your funds in a right way - that`s AimTrust!.
I make 2G daily, and my first deposit was 1 grand only!
It`s easy to get involved , just click this link http://benuhusyw.the-best-free-web-hosting.com/ogerax.html
and go! Let`s take this option together to become rich

Anonim mengatakan...

Hi !.
You may , perhaps very interested to know how one can collect a huge starting capital .
There is no need to invest much at first. You may begin to receive yields with as small sum of money as 20-100 dollars.

AimTrust is what you haven`t ever dreamt of such a chance to become rich
The firm incorporates an offshore structure with advanced asset management technologies in production and delivery of pipes for oil and gas.

Its head office is in Panama with structures everywhere: In USA, Canada, Cyprus.
Do you want to become really rich in short time?
That`s your choice That`s what you desire!

I feel good, I started to take up income with the help of this company,
and I invite you to do the same. If it gets down to select a correct companion utilizes your funds in a right way - that`s the AimTrust!.
I take now up to 2G every day, and my first investment was 500 dollars only!
It`s easy to get involved , just click this link http://abylowil.digitalzones.com/ofegogu.html
and go! Let`s take our chance together to feel the smell of real money

Anonim mengatakan...

Hello!
You may probably be very curious to know how one can make real money on investments.
There is no initial capital needed.
You may begin to get income with a sum that usually goes
for daily food, that's 20-100 dollars.
I have been participating in one project for several years,
and I'll be glad to share my secrets at my blog.

Please visit blog and send me private message to get the info.

P.S. I make 1000-2000 per daily now.

[url=http://theinvestblog.com] Online investment blog[/url]

Anonim mengatakan...

Good day, sun shines!
There have were times of troubles when I felt unhappy missing knowledge about opportunities of getting high yields on investments. I was a dump and downright pessimistic person.
I have never imagined that there weren't any need in large starting capital.
Nowadays, I feel good, I begin to get real money.
It's all about how to select a correct partner who uses your funds in a right way - that is incorporate it in real deals, parts and divides the profit with me.

You may get interested, if there are such firms? I'm obliged to tell the truth, YES, there are. Please be informed of one of them:
http://theinvestblog.com [url=http://theinvestblog.com]Online Investment Blog[/url]