online degree programs

Minggu, Agustus 03, 2008

Di Balik Menghilangnya Cak Nun


Oleh Edi Subkhan*


Saya bukan siapa-siapa Cak, hanya seorang yang merasa kehilangan di balik pengambilan jarak Engkau dengan jama’ah ma’iyah sekarang ini. Bahkan saya yakin Cak Nun sama sekali tak mengenal saya, dulu ketika masih menjadi santri di Jepara saya rela datang dengan berjalan kaki berkilo-kilo dari Senenan ke alun-alun Jepara tuk menghadiri pentas dan pengajian Cak Nun-Kiai Kanjeng. Setelah itu pada penerimaan mahasiswa baru di Universitas Negeri Semarang (Unnes) mendengarkan orasi Cak Nun di masjid kampus, pada kesempatan berikutnya saya sebagai panitia dari BEM FIP Unnes menghadirkan Cak Nun dan Kiai Kanjeng untuk pentas di fakultas, setelah itu sebagai anggota pers kampus mewawancarai Cak Nun dalam kesempatan pentas di kampus Unnes juga, satu hal yang masih terpatri di ingatan adalah kata-kata Cak Nun, “Belajarlah ideologi pendidikan dulu, baru bersikap!”, ya...saya mulai belajar ideologi sejak saat itu Cak. Jauh sebelum itu, ketika masih di bangku sekolah dasar (SD) saya sudah nyolong-nyolong tuk baca Markesot Bertutur milik Pak Lik saya yang nyantri di Madrasah al-Qudsiyah Kudus.

Dan setelah itu saya dan beberapa sahabat sesama mahasiswa dari Unnes dengan rutin menghadiri pengajian Gambang Syafa’at di Baiturrahman, Semarang. Tentu yang paling membahagiakan adalah kehadiran Cak Nun dengan di dampingi Kiai Budi Harjono. Yah, tak peduli hujan pun kami datang, tetap setia sampai pagi dalam suasana kekeluargaan, kebersamaan, yang memang cocok dengan karakter kami, yang tak mau terkungkung dalam formalisme simbolis, namun juga membutuhkan pencerahan intelektual dan celupan spiritual sufisme-filosofis khas ala Cak Nun. Saya pribadi yang sudah merasa jengah dengan pembalajaran agama tradisional yang kering diskusi selama di pesantren, pun bosan dengan perkuliahan yang sama sekali tak mencerdaskan, bersama teman-teman merasa mendapatkan sebuah alternatif yang dapat mengisi kekosongan batin dan pikir kami, mengisi kekeringan ide dan spiritual kami.

Kau hamparkan di hadapan kami sebenar-benarnya pluralisme, bukan sekadar retorika dan jualan isu belaka. Kau teladankan pada kami kerendahan hati dan keberanian yang terpadu dalam sikap tegas dan kesungguhan menjalani laku hidup. Kau ajari kami untuk menjadi lebih sederhana, tentang semua ilmu hidup yang berharga bagi kami. Di situlah semuanya menjadi satu dalam kebersamaan yang di tempat lain tak ada. Cak, Engkau mewakili banyak sisi kemanusiaan yang kami sangat butuh belajar darinya, sisi intelektual, spiritual, budaya, sastra, tasawuf, dan Engkau tidak pelit membagi semuanya dengan kami, Engkau tak bersembunyi di balik bilik-bilik pesantren, padepokan, sanggar, kelas-kelas untuk menjadi terlalu berharga agar didatangi orang yang membutuhkanmu, justru Engkau datangi kami dengan semuanya itu, hingga menjadikan kami yang kecil ini, yang masih hijau ini, berbesar hati, percaya diri, dan berani.

Ketika saya dan seorang kawan lagi setelah lulus kuliah dan berkeinginan untuk ‘belajar’ sampai di Jakarta, agenda pertama kami adalah mencari jadwal Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuqi (TIM). Ya, jum’at minggu kedua tiap bulannya Kenduri Cinta digelar di TIM, ya...sederhana seperti bayangan kami sebelumnya, sederhana seperti yang Engkau tuturkan, dan hangat serta akrab seperti yang kami inginkan. Jadilah kami pada jum’at kedua tiap bulannya dengan naik KRL dari Kalibata ke Cikini menghadiri Kenduri Cinta, dan semua penat, susah, dan gelisah oleh Jakarta yang tak lagi ramah buat kami terobati. Kami dapatkan lagi semangat baru untuk berbuat yang lebih baik lagi, untuk berkarya lagi, untuk membaca dan belajar lagi. Dan seperti biasa, setelah acara selesai pada sabtu dini harinya, kami kleleran di emperan TIM tuk sejenak tidur sampai pagi, atau kalau masih ada tukang kopi kami habiskan malam dengan diskusi -sambil ngopi- mengenai apa yang Engkau sampaikan tadi, juga diskusi tentang Engkau Cak, tentang Kia Kanjeng, mbah Surip, mBak Novi, Letto, dan semuanya. Ya, seolah tiada jarak lagi kami dengan Engkau, dan bukankah kita memang berkeluarga dalam jama’ah ma’iyah?

Cak, saya tidak tahu sejarah dan niat berdirinya Gambang Syafa’at, Kenduri Cinta, Mocopat Syafa’at, dan bagian dari jama’ah ma’iyah lainnya. Tapi dengan sendirinya Engkau menjadi tokoh sentral dari forum-forum itu. Dengan sendirinya forum-forum yang Engkau prakarsai berdirinya itu dengan sendirinya merupakan majlis ilmu yang mengkhususkan untuk menimba ilmu darimu, bukan yang lain. Maka menjadi wajar kiranya jika para jama’ah banyak yang pulang ketika Engkau tak datang, alasannya agaknya cuma satu, yakni Cak Nun sebagai sumber ilmu yang ditunggu-tunggu tak datang. Bukan Cak, bukan, kami bukan dan tidak akan mengkultuskan Engkau, pun Engkau bukan pula candu bagi kami. Hanya saja kami merasa bahwa Engkau sebagai tokoh besar bangsa ini, dengan segenap keunikan yang ada padamu, yang telah merelakan diri untuk turun menyapa kami, dengan forum jama’ah ma’iyah yang Engkau prakarsai ini, maka kami merasa perlu untuk menimba ilmu darimu, itu saja.

Sebagai tokoh sentral jama’ah maiyah, walau Engkau menyatakan bawa Engkau juga jama’ah ma’iyah, bukan ketua, bukan koordinator, bukan direktur, tapi ketokohanmu nyata di situ. Kehadiranmu dinantikan, pencerahanmu diperlukan, dan itu adalah konsekuensi dari prakarsamu atas jama’ah ma’iyah, Gambang Syafa’at, Kenduri Cinta, dan lainnya. Maka menjadi wajar jika Engkau tak datang, semuanya menjadi hilang ruhnya.Gambang Syafa’at mungkin masih bisa bertahan karena ketokohan Kiai Budi Harjono dan sekali-kali Gus Nuril datang, tapi akankah dapat bertahan lama ketika Engkau tak lagi datang. Maaf jika saya yang masih hijau ini menyatakan bahwa Gus Nuril dan Kiai Budi pun belum memadai untuk menggantikanmu Cak, secara intelektual, spiritual, budaya, politik, dan lainnya, Engkau multidimensi Cak! Dosen saya di Unnes, seorang penulis yang cukup produktif lintasdisiplin bersama-sama kami selalu menghadiri Gambang Syafa’at, beliau hadir di belakang bersama kami dengan khusuk mendengarkanmu Cak, dan memang ketika Engkau tak datang, beliau kecewa dan pulang. Ya, karena sumur yang akan ditimba ilmunya tak datang. Engkau tak menjadi candu baginya, tak juga menjadi kultus baginya, melainkan salah satu sumber ilmunya.

Lambat laun Gambang Syafa’at bisa-bisa hanya menjadi majlis taklim seperti pengajian kampung lainnya, karena hanya dimensi spiritualmu yang terwakili Kia Budi dan Gus Nuril, lainnya tidak Cak. Yang parah pasti Kenduri Cinta, bulan Agustus 2008 ini pasti tak terselenggara karena Engkau tak datang dan tak ada tokoh semacam Kiai Budi di situ, semuanya yang ada dalam kepengurusan walaupun cerdas dan pintar-pintar belum bisa minimal menjadi ‘Kiai Budi’ di Kenduri Cinta, padahal orang-orang Jakarta yang begitu plural agaknya yang dibutuhkan tak sekadar pengajian formal, tidak pula sekadar diskusi intelektual, bukan pula sekadar pentas seni budaya saja. Jika hanya salah satu dari itu, maka sudah banyak acara terselenggara di Jakarta. Sepenangkapan saya, Kenduri Cinta dan forum-forum lainnya memang forum untuk belajar darimu, hingga wajar jika para jama’ah kecewa jika Engkau tak datang.

Namun mungkinkah Engkau meniatkan dan menghendaki lain dari forum-forum itu, misalnya agar para jama’ah bisa berdaya, mengambil sikap jelas bentuknya, atau apalah yang beberapa kali Engkau lontarkan kepada jama’ah baik di Semarang maupun Jakarta kalau tidak salah. Diakui atau tidak forum Kenduri Cinta dan forum lainnya memang berbeda dari forum pengajian, majlis, taklim, diskusi ilmiah, atau pentas seni; Kenduri Cinta, Gambang Syafa’at, Mocopat Syafa’at unik khas ala Cak Nun. Jika Engkau tak lagi datang, menarik diri dari jama’ah, dan kemudian Kenduri Cinta berhenti, konon kabarnya Bang-bang Wetan juga berhenti, Gambang Syafa’at kehilangan ruhnya, dan tak tahu akan seperti apa Mocopat Syafa’at, maka yang saya tanyakan adalah, kami mesti belajar dari siapa lagi tentang multidimensinya kehidupan, multiperan yang kau tunjukkan, lintasbatas jangkauanmu, komprehensifitas pemahamanmu, sementara tak ada yang minimal selevel denganmu dalam dimensi-dimensi kemanusiaannya sekarang ini di forum-forum itu, bahkan di level nasional. Belum ada juga forum-forum yang begitu hangat, merakyat, bebas, namun penuh nuansa spiritual dan tradisi yang lekat yang memanusiakan manusia sekaligus mengagungkan Allah. Di mana lagi kami harus mencari, sementara untuk menghidupkan lagi atau membuat lagi belum sanggup, ya karena kami masih hijau, masih perlu belajar banyak darimu.

Cak, tidak semua jama’ah ma’iyahmu memiliki kapasitas intelektual, spiritual, kesadaran budaya, dan politik yang sama. Belum banyak yang mampu memberi motivasi seperti ketika Engkau memotivasi kami agar berani dan percaya diri, ya karena siapa sih kami...yang belum berbuat banyak untuk sesama ini kok berani memprovokasi yang lain? Jika Engkau yang bicara tentu lain Cak, seakan semua otomatis menjadi berani dan percaya diri, ya karena Engkau telah buktikan dengan dirimu sendiri sampai sekarang untuk berani. Cak, Engkau guru kami semua, jika hanya untuk membuat majlis taklim, diskusi ilmiah, atau pentas seni, maka kami tak butuh Engkau Cak, tapi ini lebih dari itu semua, dan Engkaulah yang membawa itu –format jama’ah ma’iyah- kepada kami, makanya tanpa Engkau untuk bisa melanggengkan Gambang Syafa’at atau Kenduri Cinta sebagaimana Engkau hadir di dalamnya, kami belum bisa, maaf. Kenduri Cinta levelnya telanjur tinggi se-Jakarta, Gambang Syafa’at levelnya pun telanjur tinggi se-Semarang atau Jawa Tengah, sementara kami hanya level Rt, kompleks, mushola, atau masjid. Bukankah mestinya Kenduri Cinta atau Gambang Syafa’at dapat menjadi simpul gerakan sosial jama’ah ma’iyah? Yakni yang menghubungkan berbagai aktivitas yang satu ruh dengan aktivitas intelektual, spiritual, dan budaya jama’ah ma’iyah dari anggota jama’ah seperti kami di tingkat Rt, kompleks, kampung dengan Kiai Kanjeng dan Cak Nun dan komunitasnya sebagai penggagas pertama. Ya, karena aktivitas jama’ah di level Rt, kompleks, masih perlu dibimbing, disemangati, dibantu, oleh jaringan jama’ah ma’iyah, terutama oleh Engkau Cak.

Cak, jika sekarang Engkau menarik diri dari jama’ah, maka kami belajar darimu melalui forum apa lagi? Mestikah kami datang ke Djogja untuk dapat berdialog dan belajar langsung darimu? Bukannya kami mengkultuskanmu, kami tetap belajar dari tokoh lain juga, tapi kebutuhan kami akan Engkau adalah nyata lantaran jama’ah ini telanjur Engkau buat, walaupun begitu bukannya kami telanjur ‘terikat’ denganmu, namun ketika kebutuhan untuk belajar darimu sebagaimana kebutuhan kami belajar dari yang lain mesti dipenuhi, maka dengan forum apa lagi kami akan dapatkan? Sementara Engkau justru seolah-olah dengan ‘begini’ telah ‘meninggalkan’ kami. Cak, Engkau telanjur menjadi tokoh besar di Indonesia yang kiranya tak ada yang menyamaimu dalam kompleksitas dimensi kemanusiaanmu. Cak, Engkau telanjur membuat jama’ah ma’iyah tempat kami mempererat kebersamaan dan belajar menimba ilmu darimu. Cak, Engkau telanjur menjadi buku besar, buku wajib yang mesti kami baca pada malam sebelum pagi menjelang dan kami berbuat nyata untuk hidup kami, keluarga, anak-istri kami, dan orang-orang sekitar kami. Cak, Engkau telah telanjur membangkitkan bara di hati ini untuk belajar dan terus belajar darimu di samping belajar pada yang lain. Cak, Engkau telanjur menginspirasi kehidupan kami.

Cak, kami tahu Engkau pun perlu dan butuh privasi, punya hak juga untuk menolak setiap permintaan, sebaik apapun itu. Cak, kami tahu Engkau punya keluarga yang mesti juga diperhatikan sebagaimana kami punya orang-orang yang kami sayangi. Cak, kami pun tahu Engkau perlu waktu walau sejenak tuk istirahat, melepas lelah, mengendapkan rasa. Namun bukankah Engkau telah telanjur memiliki tanggungjawab lebih besar ketika Engkau dengan sendirinya menjadi tokoh di antara kami, yang telah rela menyapa kami di pinggiran kehidupan ini, sebuah tanggungjawab yang kami belum bisa menanggungnya saat ini. Cak, seandainya kami bisa dan sudah mencapai sepertimu, niscaya kami akan turut meringankan bebanmu, kalau itu menjadi beban. Cak, tetap sapalah kami sekiranya Engkau punya waktu luang tuk sekadar membuat kami merasa menjadi manusia yang berderajat, ketika para ‘tokoh-tokoh itu’ tak sudi menyapa kami. Cak, tetaplah jaga silaturahmi jama’ah dengan kehadiranmu. Cak, maafkan kami belum bisa sepertimu, atau minimal seperti yang Engkau kehendaki, atau bahkan karena kami belum bisa memahamimu. Cak, maafkan saya telanjur menulis ini untukmu.


* Edi Subkhan, anggota jama’ah ma’iyah di Jakarta.

14 komentar:

Anonim mengatakan...

sudahlah, Cak...

biarkan Cak Nun mengundurkan diri. guru kita ingin istirahat sejenak. biarkan, Cak... kita sudah terlanjur menjadi muridnya. maka, tak ada jalan lain bagi kita kecuali meneruskan jalan sunyi ini!

biarlah, Cak...
akan terus kuteteskan keringat di jalan ini. akan terus kukirimkan rinduku padanya seperti terus kurimkan rindu yang absurd ini pada gurunya, Muhammad. Cak, yakinlah dia hanya mau menguji kita yang muda ini. sebagaimana keserakahan, keberanian seharusnya tidak boleh dimonopoli oleh yang tua. kita yang muda harus merebut keberanian, kejujuran dan kebaikan itu. Cak, yakinlah...

Cak, aku biasa mengerti kesedihanmu yang mendalam itu. Tapi, sudahlah...
bahkan jika dia memang benar-benar tidak kembali menyapa kita, ikhlaskan! kita harus belajar berdiri dengan kaki kita sendiri! biarpun dia hanya datang lewat mimpi-mimpi kita. biarpun hanya kata-katanya yang datang menendang-nendang terus nurani kita... biarlah, jika itu membahagiakannya...

Cak,yakinlah...
dimana ada nurani di situ ada dia
biarlah...

Anonim mengatakan...

Maaf tapi aku tetap butuh seorang guru seperti beliau...
Maaf tapi aku bukan orang kuat yang sudah dapat tegak berdiri di kaki sendiri....
Maaf aku mesti belajar berdiri dengan bantuan... walau itu hanya sapaan...
Maaf kalau memang begitu adanya, akan kutentukan masa depanku, negeri ini, dan umat yang mungkin tidak Kau kehendaki, karena ku belum pahamimu...
Maaf kalau memang tak lagi bersedia menyapa, akan kusapa yang tak kau sapa....kan kudatangi yang tak lagi kau datangi....kan ku raih yang tak kau raih....
Maaf kalau memang begitu, maka kau biarkan kami tak memahamimu secara utuh....
Maaf inilah yang terjadi....

Anonim mengatakan...

ikut sedih aku jadinya..he2...
ada murid kehilangan gurunya..

apa dua anak itu yatim piatu...?
kasihan ya...emang tidak ada sekolah lain untuk pindah po?

Anonim mengatakan...

ya...klo sekolah kehidupan dengan guru-guru hebat berangsur ditelan modernitas? trus berguru pada siapa lagi....

Anonim mengatakan...

sekolah alam..kan banyak dibuka...(gurunya kan Alam (bukan anak RIPTEK lho))
barangkali "sekolah" alam mau cetak muridnya jadi "TARZAN"....

ouo...ouo....bruk! (nabrak kayu)

Anonim mengatakan...

Ndoelmoe Kang Gik!!!
Btw aku pengen buat multiversitas Kang, gak cuma universitas, apalagi fakultas..tapi multiversitas, ntar aku rektornya, Kang Gik PR III nya...ben podo koplo kabeh ....gubrak (nabrak lemari)..

Anonim mengatakan...

ya, ndk apa2... kalo Rektor-nya sdg studi banding, maka akan ku provokasi aktivis tuk demo kamu...
setelah itu ak ndk jadi rektornya...

tapi tukang parkir belakang rektorat saya angkat jadi rektor...

kita coba...cerdas mana ama rektor kita.

perkiraanku, hasilnya sama saja,he2..

Piyitiki INFO mengatakan...

Insya Allah bulan Agustus 2008
KC akan absen kembali. Disamping
CN sibuk persiapan/latihan teater
dinasti "tikungan iblis", kalau
juli 2008 lalu hadir akan mafhum dan
tidak timbul pertanyaan kenapa.
atau paling tidak rajin "search"
web tentang CN tidak akan meratapi,
tapi justru akan simpati dan empati
terhadap CN.
tonton saja "tikungan iblis"
23 agustus di jogja

Piyitiki INFO mengatakan...

sorry, jangan search "tong sampah",
sekedar supaya bisa masuk sini saja.
masuk rumahku di
http://walayah.multiply.com/

Anonim mengatakan...

Taternya gratis ndak Mas....kita khan orang-orang kere hehehe.....yang hanya punya modal nekat saja....

a_tril mengatakan...

Suwun tulisane,..
numpang maiyahan tithik mas..

kayaknya CN sudah hadir dalam tulisan ini bukan fisik atau tapel 'mengkultuskan' tapi lebih jauh lagi pemikiran dan dimensi ruh yang ada..

Ragawi CN biarlah beristirahat.. tapi pemikiran dan ajaran beliau akan kita bawa dan kita sampaikan terus... bukan untuk mendewakan atau membesar-besarkan..

He.. He.. dadi melu sok iso nulis..
Suwun kang pencerahane..
'mung melu mampir sekedhap'
monggo mampir
www.bangbangwetan.com

Unknown mengatakan...

Mmmmmmm

dian bros mengatakan...

Saya buanyak belajar dari CN.
Maaf ini murni pendapat pribadi saya, jadi jangan diseret-seret pendapat saya.
Saya sangat berterima kasih pada Allah yang telah menghadirkan seorang CN ditengah keringnya sosok yang layak jadi panutan dalam kehidupan saya. Ketika saya sadar dunia ini begitu gelapnya, ketika skeptisme sudah memenuhi ruang pandangan saya. Tiba-tiba saya ngikut saja ama temen ke pengajian Maiyah. Awalnya tidak berasa apa-apa, hanya beban saya sedikit ringan. Tanpa sadar, saya mencoba mengamalkan sdikit-sdikit apa yang disampaikan CN, dan tanpa sadar juga hidup saya mulai terarah. Saya tidak pernah mengkultuskan beliau tapi menghormati beliau sebagai seorang guru dalam kehidupan saya adalah sebuah kehormatan tersendiri. Semoga Allah melimpahkan kesehatan dan panjang umur untuk beliau. Amin

rfy kuningan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.