online degree programs

Sabtu, Agustus 23, 2008

Aktivis Asli Tapi Palsu

"Apakah selamanya politik itu kejam, apakah selamanya ia datang untuk menghantam atau memang itu yang sudah digariskan, menjillat, menghasut, menindas memperkosa hak-hak sewajarnya"

( Iwan Fals)

Mas Gi, Mas Taufik, Mas Edi, Mas Luluk, Mas Haris, Mas Fahmi, dan teman-teman yang mebaca tulisanku, ini bukanlah munafik belaka karena saya adalah tokoh BEM. Tulisanku ini murni kegelisahanku terhadap apa yang terjadi di dalam lembaga kemahasiswaan, dan rasanya saya ingin mengubahnya.kita mulai ya….

Kata aktivis sangat popular dikalangan mahasiswa paska reformasi. Karena bargain aktivis menjadi tinggi saat mereka bersatu menumbangkan rezim orde baru di tahun 1998. Sampai sekarang aktivis dianggap bak seorang pahlawan yang telah mengusir penjajah di Negeri ini. Mereka selau dikenal dan disambut dengan hormat jika berjalan disepanjang jalan.

Di awali dengan sejarah itu, sekarang banyak orang yang ingin menjadi aktivis, terlepas dengan perasaan ketulusan hati mereka untuk memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Melaikan dengan dasar agar mempermudahkan mereka untuk mendapatkan jaringan, demi kepentingan dirinya sendiri atau yang lebih parahnya mereka yang ingin jadi aktivis agar mereka terkenal dimana-mana, Ini tidak ubahnya seperti artis.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan lembaga yang dikenal sebagai lembaga yang didalamnya bercokol sekumpulan aktivis. dan banyak mahasiswa yang ingin masuk ke organisasi tersebut. Penulis tidak tahu alasan mengapa mereka ingin masuk BEM. Apakah mereka ingin mendapatkan biasiswa? Atau mereka ingin namanya dikenal dimana-mana? penulis tidak tahu alasan mereka sebenarnya, penulis hanya cuma berwacana saja( Sok Tahu Loe).

Kebanyakan mahasiswa yang duduk di jabatan BEM mempunyai wibawa yang dahsyat untuk mempengaruhi teman-temannya untuk ikut bergerak dalam perjuangannya. Karena BEM identik dengan organisasi Inteletual-itu dulu-. Sekarang BEM hanyalah sekumpulan orang-orang yang oportunis, kebanyakan mahasiswa yang menduduki jabatan BEM hanya untuk mendapatkan sebuah biasiswa, ingin dirinya dianggap jago berpolitik atau bahkan ingin dirinya dikenal bagai artis, jika dia sedang berjalan orang akan menyapanya dengan rasa hormat, bagai Pejabat pemerintahan yang mengobral senyum dengan dihiasi wibawa palsu.

Parahnya lagi, aktivis mahasiswa yang ingin masuk BEM dengan niaatan untuk memburu posisi structural, misalnya hanya memburu jabatan ketua BEM, ini hanya akan menjadi sia-sia belaka. Mereka sudah mengorbankan waktu, harta dan pikiranya hanya untuk sebuah jabatan. Jika seandainya kalah maka akan tercipta ilklim kebencian pada salah satu lawannya. Dan akhirnya akan tercipta permusuhan, bisa jadi mereka akan selalu mempunyai perasaan saling curiga dan ini akan menimbulkan perasaan tidak tenang dalam kehidupan mereka.

Penulis selalu berharap semoga BEM selalu di duduki kaum intelktual yang disana selau terjadi iklim diskusi yang bisa mengasah intlektual mereka, bukan hanya sekedar sekumpulan mahasiswa yang rapat dan menggosip untuk membuat setrategi-setrategi agar bisa mengalahkan musuh dan akhirnya muncullah black compaine ( Kampanye hitam). Tapi penulis mengharabkan yang duduk di posisi BEM adalah orang yang selau berdialektika, membaca, diskusi dan kemudian menulis, tentunya dengan ketulusan hati yang paling dalam tanpa ada unsur kepentingan untuk menjatuhkan. Richardo Mathopat“ aktivis adalah orang yang bisa mengukur kekuatannya dan saling percaya terhadap sesama”.


Muhtar Said
Sekretris Jendral BEM FH UNNES

13 komentar:

Anonim mengatakan...

setubuh..
eh, setuju maksud saya,
hehe

Anonim mengatakan...

bener2 bakat membaca situasi...

asah terus boz kemampuan kamu...semakin jeli, semakin baik, dan semakin apa adanya...

bergerak, bergerak, bergerak, kemudian membaca, membaca, membaca, lalu...
menuliskannya...

coz membaca adalah "kewajiban" hidup...

Anonim mengatakan...

weleh weleh weleh...

Sek(s)Jend nulis di sini men....
ruarr biasa...

Anonim mengatakan...

saya kira, semua berhak 'berjuang'. yang ingin jadi 'artis' dengan menjadi aktivis dipersilahkan. yang ingin jadi 'ketua' ya dipersilahkan. yang ingin jadi 'intelektual' ya dipersilahkan.yang hanya ingin dapat 'beasiwa' ya dipersilahkan.yang ingin jadi 'politisi' juga boleh.yang hanya ingin mengisi waktu luang ya dipersilahkan.pokoknya semua boleh lah....

saya kira, sekarang kan memang zamannya free trade of ideas, perdagangan bebas ide-ide/gagasan. tentu kita tidak bisa (tidak perlu) memaksa-maksa orang untuk ikut ke jalur yang kita inginkan (katakanlah, jalur intelektual dalam bahasa mas Said). lha wong di dalam agama saja tidak ada paksaan kok. he he...

saya kira,apa yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita memperjuangkan jalur yang kita pilih itu(mendakwahkannya,dalam bahasa agama)melalui apa saja yang mendukungnya.misalnya, dengan mendesakkan 'kepentingan' kita itu ke arah apa saja agar turut memenuhi ruang-ruang sosial kita, termasuk juga BEM.tentu juga, saya kira, kepentingan itu janganlah dianggap kepentingan yang sudah 'final'.kita tetap harus waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan 'kesalahan' kepentingan kita itu.dengan begitu, saya kira nada bicara kita dalam mengusung nilai-nilai itu akan tetap terjaga dalam kerendahhatian(ketawadluan, juga dalam term agama).

jadi, saya tetap menyarankan teman-teman yang masih di BEM untuk tidak langsung keluar jika sekiranya mendapatkan hal-hal yang kurang berkenan.justru, dengan hal-hal yang bertentangan dengan diri kita itulah, kita mendapatkan tantangan terhadap idealime kita. saya tetap menyarankan agar teman-teman memasuki pos-pos yang sekiranya di situ masih dimungkinkan untuk melakukan 'desakan' intelektualisme. tentu, tanpa melarang-larang yang lain untuk melakukan ini atau melakukan itu(begitu kata Cak Nun).

pada akhirnya nanti (jika benar ada akhir),ide siapakah yang paling kuat dan yang paling 'laku' di pasaran kehidupan ini, saya kira, adalah ide yang dipasarkan oleh para 'fundamentalis' yang militan!

'fatwa' saya (he he...):
mari bersama-sama jadi fundamentalis intelektualisme!

Anonim mengatakan...

Wah, setuju banget tu pandangan Taufiq. Padahal kemarin2 saya jarang setujunya lho, ha2...

Kritik bukan berarti "meniadakan", dia tetap hidup namun dalam "keprogresifitasan" yang yahuuud...

Intinya, pake otak sendiri yang sudah diberikan-Nya semaksimal mungkin...

Masalah BEM, HIMA, dsb...itu adalah bagian dari proses, tapi kalau melihat dia sebagai hasil akhir "status" itu yg "membahayakan"...

Tapi sekali lagi saya disini salut ama Said, "kemampuannya" membaca situasi menurut "otaknya sendiri", tanpa teori "kemahasiswaan" yang muluk2...

Hidup Said!!!!
kalau tidak hidup, berarti namanya bukan Said, tapi?

Anonim mengatakan...

wah, kalau itu saya yang termasuk disentil sama mas taufik,hehe..

Anonim mengatakan...

saya tidak sepakat denga Mas Tuf. jika semua di izinkan untuk bebas. ada ranahnya sendiri...
Jika ini dibiarkan bebas berarti akan mengajrkan adiknya untuk berbuat keburukan dan ini merupaka salah satu dakwah untuk berbuat dosa
na,udzubillah.....

Anonim mengatakan...

terimakasih sasa atas tanggapannya.

memang keyakinan/pendapat hampir selalu mmpengaruhi 'laku'/akhlak/tindakan.adik sepupu saya dulu waktu berumur tiga tahun 'tahu'nya adalah semua yang seperti air itu ya air yang bisa diminum.waktu itu, ibunya jualan minyak tanah.lha, karena 'tahu'nya adek saya itu ya yang seperti itu ya 'air'.tahunya dia yang seperti itu ya bisa diminum seperti halnya ibunya memberi minum 'air'.maka dia akhirnya meminum minyak tanah.

sekarang dia sudah berumur tujuh tahun, dia 'tahu' ternyata minyak bukanlah air. atau mungkin air tapi air yang tidak baik untuk kesehatan jika diminum. alhamdulillah sekarang dia tidak lagi minum minyak tanah.

lalu, yang benar bagaimana ya, sasa?

mohon nasehat dan ilmunya.

thanks

Anonim mengatakan...

Saya mungkin sekali untuk salah, tapi bukankah "dakwah" itu sesuai kemampuan si pendakwah, maqamnya juga berbeda, dan itu pada akhirnya kembali pada pilihan subjektif masing-masing hehehe....

Anonim mengatakan...

Tanggapan untuk mas tauf heeheee.
memang kebenaran diketahui pada saaat terakhir.
Seharusnya untuk jadi aktivis yang murni harus ada syaratnya dulu. misal harus mempunyai intelektual yang memadahi. misalanya diberi sayarat agar bisa membuat artikel-yang layak-
berapa lembar. jadi yang diandalkan bukan hanya jabatan tapi juga intelektual. heee

Anonim mengatakan...

he he...juga buat sasa...

thanks atas tanggapannya

saya sependapat dengan sasa dalamhal tersebut. sepatutnyalah seorang aktivis mempunyai kapasitas 'intelektualitas' ynag mumpuni.misalnya, pengetahuannya tentang demokrasi, kapitalieme, liberalisme atau tentang isu-isu sosial yang berkembang di masyarakatnya.bukankah aktivis ada untuk masyarakatnya? dan bagaimana dia akan 'melayanai' masyarakatnya jika dia tidak memahamai (atau paling tidak mencoba memahami) masyarakatnya?

persoalannya sekarang adalah bagaimana sasa mem'perjuang'kan gagasannya tersebut? apakah akan memaksa-maksakan gagasan tersebut kepada teman-teman sasa sehingga kemudian yang tidak mau mengikuti gagasan sasa tidak dianggap teman lagi atau gimana?itulah "dakwah" yang saya maksudkan di komentar di atas.ada banyak alternatif "dakwah".salah satunya ya cara paksaan itu tadi (padahal kan pendapat kita belum tentu benarnya ya..).menurut saya, yang begitu itu metode "dakwah" yang kurang baik dan bijaksana (untuk tidak menyebutnya salah).lha, disinilah kita lebih jauh lagi apalagi jika kita membahas siapakah yang punya 'otoritas' menyatkan ini baik dan itu buruk, ini bijak dan itu tidak bijak.intinya, menurut saya, persoalannya akan tambah ruwet dan kacau (dan tidak akan menyelesaikan maslah)jika metode "dakwah" paksaan yang tertutup dan akhirnya tidak ingin mendengar "dakwah" yang disampaikan orang lain yang berbeda isi "dakwah'nya.

bukankah dalam agama (Islam, agama saya), kalau tidak salah dalam surat Al Ashr, kita diminta untuk saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan juga dalam kesabaran?

lagi-lagi menurut saya,ayat ini menunjukkan bahwa karena "kebenaran " bukanlah monopoli(dikuasai tunggal) salah satu pihak/golongan/manusia maka saling nasehat-menasehatilah kalian, wahai manusia.kira-kira begitu tafsiran saya.mungkin juga, bahwa jika "kebenaran" mutlak yang paling sejati itu kita andaikan 100% maka mungkin saya baru tahunya 0,5% (dan saya akan tetep ngotot dengan kebenaran versi ini) dan mungkin sasa sudah mencapai pengetahuan akn kebenaran yang 99,9% (dan sasa akan tetep ngotot dengan kebenaran versi sasa itu).

demikianlah menurut saya, kebebasan bertindak dengan berapa persen pun pengetahuan seseorang haruslah terus dipelihara.dengan demikian kita bisa melakukan "dakwah" yang lebih toleran, lebih halus, lebih menghargai, dan akhirnya dakwah yang "manusiawi". lagi-lagi, tentu saja ya "manusiawi" menurut saya, yaitu yang mengakui kelemahan dan kelebihan manusia pada saat yang sama.

he he....betapa terbatasnya ya kata-kata...

begitu yang saya tahu, sasa. thanks atas silaturahmi intelektualnya.

saya akan senang sekali jika kita terus dapat ber'adu' argumentasi dengan baik dan santun.

okeh....

nandank mengatakan...

Assalamualaikum,,,,,,,,
mas said,semata - mata kritikan saya jangan dijadikan sebagai anggapan negatif tapi sebagai koreksi bagi mas,....
Apa yang sudah dituliskan oleh mas, ada sebagian yang benar.Ingat mas,kita sebagai orang yang berada dalam struktural BEM, yang mana sebagai tugas kita untuk memperbaikinya bukan untuk menghujat BEM. BEM selamanya akan tetap menjadi BEM.Yang menjadi PR kita adalah berusaha untuk membangun BEM agar lebih baik.

Kita secara hierarkis dan struktural berada dalam suatu komunitas Fakultas HUKUM,sama halnya dengan kedudukan kita sebagai warga Indonesia.kita sebagai WNI sertamerta jangan menyalahkan Indonesia karena tingkah laku pejabatnya atau kebijakan - kebijakanya. justru kita bergotong - royong,bahu - membahu dan menyingsingkan lengan baju untuk memperbaikinya.

yang saya tanyakan adalah kedudukan masa said sebagai penempat struktural tersebut dan sebagai warga BEM FH sudahkah berkontribusi pada BEM????


TERIMA KASIH, . .

BUAT mas Said tetap sehat dan selalu Semangat!!!!!

Anonim mengatakan...

kadang aku heran dan malu kepada diriku sendiri mas...
Mas Said mungkin tahu saya...setiap saat aku sangat malu menyebut diriku sebagai seorang aktivis, mungkin yang kurasakan juga dirasakan oleh mas Said. Kenapa tidak, apakah kita ini disebut aktivis ketika kita ini tiba2 nongol dalam sebuah organisasi, ato sering ikut demo atau bangga ketika ditangkap polis waktu aksi. Inilah yang selama ini menjadi ambigu dalam pemikiranku.
Seorang calon pemimpin muda pernah berkata, apakah kita akan bangga dengan semua itu (yang saya sebutkan di atas). hendaklah kita berbangga saat kita ditangkap oleh polisi bukan karena demo anarkhi tapi ditangkap karena menggetarkan dunia dengan pemikiran dan gagasan-gagasan masa depan yang menurut orang lain berbahaya. Mungkin kekagumanku terhadap Bung Karno lah yang mempengaruhi sebagian besar ruang didalam otakku. Tapi saya sangat membenarkan isi dari opini mas Said, banyaknya aktivis aspal yang berkeliaran di sekitar kita.
Mungkin untuk solusi saya belum berani untuk menyimpulkannya, tapi dalam bahasa ku sendiri inilah ANJING-ANJING PENJILAT YANG DUDUK DI KAKI TUANNYA UNTUK MEMPEROLEH TULANG-TULANG DAN SISA MAKANAN DARI MEJA TUANNYA.

SALAM PERJUANGAN MAS..
AKU KAGUM PADA MU...