online degree programs

Selasa, Agustus 26, 2008

Pengandaian Utopis

Sedikit tulisan ini menanggapi komentar Pak Nad sebelumnya, sengaja di posting bukan pada “komentar” tapi di artikel untuk melawan lupa yang teramat sering menyerang kita dan sekaligus membuka diskursus “baru” tentang pemerintah, ekonomi, kedirian, nilai-nilai keadilan, isu hegemoni, dan eksploitasi.

Pak Nad berbicara dan mengajukan teori pertukaran untuk menjelaskan “celana boxer” Mas Fahmi kemarin. Kalau tidak salah teori pertukaran adalah varian ketiga dari teori positif masa kini di samping neofungsionalisme dan teori pilihan rasional, kalau salah mohon dikoreksi ya. Bagi Ben Agger, teori pertukaran berupaya bangkit dan melawan serangan-serangan teori-teori kritis yang meruntuhkan fondasi sosiologi positif Comte terutama di Amerika waktu itu, di mana terjadi pertarungan sengit antara intelektual positivis yang sudah susah payah untuk mendapatkan otoritas intelektual di jagad akademik via penelitian yang rigid dengan modern scientific method, jelas mereka terusik ketika otoritas mereka tersebut diruntuhkan seketika oleh posmodernisme, feminisme kritis, dan lainnya. Sebagaimana perlawanan dari neofungsionalisme dan teori pilihan rasional, teori pertukaran pun meminjam dari disiplin yang “keras” dan katakanlah lebih prestis, yakni psikologi dan ekonomi. Agaknya teori pertukaran mereduksi masyarakat dalam sebuah logika pertukaran individu yang mengejar keuntungan rasional mereka sendiri, di sini masyarakat masuk dalam pertukaran tersebut untuk memaksimalkan sumberdaya mereka, sebagaimana ekonom menyatakan bahwa masyarakat masuk ke dalam pasar untuk meningkatkan kepuasan mereka.

Teori ini mengandaikan sebuah pertukaran yang bebas tanpa paksaan, dengan sendirinya hal ini sudah terang menunjukkan warna positivisme, yakni bebas nilai yang di sini menjadi bebas tanpa paksaan, namun bagi saya apakah ini mungkin terjadi, agaknya tidak karena pertukaran sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dan bahkan keinginan selalu dibarengi dengan paksaan dalam bentuk keterbatasan-keterbatasan pilihan. Munculnya logika ini pun dengan demikian membawa kelemahannya dengan jelas, yakni pengabaian realitas atau setidaknya bahasan eksploitasi, hegemoni, diskriminasi, subordinasi yang “dituduhkan” oleh teori-teori kritis dan setidaknya sepemahaman saya tuduhan itu terbukti. Teori pertukaran agaknya gagal menyangkal ini dan asyik berada dalam logikanya sendiri dengan pengandaian ala positivisme itu yang jelas terasa dan terlihat “keras kepala” untuk tetap muncul. Mungkin selanjutnya Pak Nad dapat menjelaskan secara lebih jelas teori pertukaran itu dengan teori subyektifitas nilai yang konon menurut Pak Nad mesti dipahami secara bertingkat-tingkat itu, apalagi bagi saya dan kami yang masih belajar di tahap awal ini.

Sedikit komentar soal “celana boxer” itu, ketika Pak Nad menyatakan “yang juga penting dan mungkin lebih penting adalah fakta yang tak terlihat” saya langsung menduga –maaf klo salah- bahwa Pak Nad dengan habitusnya yang panjang lebih dan telah memilih mementingkan “sesuatu yang tak terlihat”, yang di luar empirisitas, realitas itu, ini sejalan dengan di muka yakni tentang pengandaian-pengandaian itu yang juga agaknya lebih menitikberatkan pada “sesutu yang tak terlihat”, mungkin ini secara genealogis dapat ditelusuri pada idealisme Platonian? Dan gaya ini kental sebagaimana telah memengaruhi Kang Gi –agaknya dalam waktu- setelah bertemu dan diskusi dengan Pak Nad, yakni yang penting adalah logika yang sudah pasti benar dengan premis-premis ala silogisme Aristotelian yang mesti juga benar terlebih dahulu, realitas seringkali menipu, akarnya agaknya adalah pilihan pendapat bahwa yang benar, yang “hakiki” adalah di alam ide, sedang di empiris hanya refleksi ide-ide, atau abstraksi “ide-ide (ologi)” dalam genealogi pengertian awal ideologi dulu.

Yang dipermasalahkan dalam neoliberalisme dan kapitalisme adalah soal keadilan, kemanusiaan, empati, hal itu yang agaknya dimaksudkan Mas Fahmi dengan mengambil contoh “celana boxer” itu, jadi mungkin agak menyimpang ketika kemudian meloncat dalam bahasan kebangkrutan sang penjual, yang lazimnya adalah pemilik pabrik, konglomerat, yang kaya (borjuis), yang sudah pasti ingin untung dan mungkin dari fakta empiris Mas Fahmi tak mempedulikan soal keadilan upah yang tak sebanding dengan kerja keras mereka, jadi bukan soal ancaman kebangkrutan yang menunjukkan betapa kental logika ekonomi di sini.

Ketika Pak Nad menyatakan bahwa “kita perlu tahu juga fakta bahwa di dalam setiap pasar bebas, tidak ada paksaan apakah kita harus membeli celana semahal itu. Fakta juga bahwa dalam persaingan bebas, kita mungkin lebih berpeluang mendapatkan celana serupa dengan harga yang lebih murah dan kualitas lebih baik...” dengan demikian agak terlalu maju ketika yang dipertanyakan Mas Fahmi adalah soal keadilan, eksploitasi, subordinasi, dan hegemoni borjuis, hingga bahasan yang lebih relevan agaknya –dan saya tak tahu banyak soal ini- adalah “nilai” yang “dijual” oleh pekerja (buruh pabrik) itu untuk ditukar dengan upah mereka.

Soal subsidi itu memang benar posting Pak Nad kemarin belum menanggapi semua pertanyaan saya yang mestinya dijawab Pak Imam Semar, namun menarik juga untuk dikomentari singkat. Ya sebagaimana ekonomi pasar bebas yang mungkin telah Pak Nad amini sebagai sistem atau katakanlah ideologi yang paling absah untuk menyejahterakan masyarakat via menyejahterakan per individu –yang bagi saya logika ini adalah khas epistemologi modernitas-liberalisme yang menekankan individu (dan Habermas agaknya mengambil logika ini juga dalam tesisnya soal subyektifitas dan “taste” dalam ruang publik)- hingga peran negara mesti diminimalisasi atau bahkan dihilangkan dalam sistem perokonomian pasar bebas, dan lagi-lagi dengan “pengandaian” akan terjadi pertukaran bebas tanpa koersi yang pada kenyataannya tak dapat terjadi, ya saya setuju kita membutuhkan mungkin lebih dari sebuah utopia untuk membangun peradaban “maju”, tapi “utopia” dalam logika pasar bebas dengan utopia pertukaran tanpa koersi ini pada penyataannya tak terjadi dan isu keniscayaan koersi ini tak tertanggapi oleh teori pertukaran itu, termasuk konsep pasar bebas. Justru dengan pasar bebas yang niscaya membawa koersi telah menimbulkan bencana sosial-ekonomi-politik-budaya di mana-mana.

Lebih lanjut tentu perlu dipertanyakan, apa perlu ada negara jika tidak ada pengaturan (regulasi) yang memerlukan tilikan filosofis-historis awal berdirinya negara atau pemerintahan itu untuk apa? Selain itu pada kenyataannya kita hidup dalam serangkaian fakta-fakta kesepakatan dalam bentuknya yang paling abstrak sekalipun untuk mengatur relasi sosial, hingga dalam filsafat China menuju pada “harmoni”.....yang mungkin juga utopia, tapi setidaknya secara eksistensial “harmoni” dapat dirasakan oleh yang mengalaminya, dan “kebebasan” dalam pertukaran “akhirnya” terjadi dengan penerimaan karena terpaksa –dengan keterbatasan-keterbatasan itu- atau ikhlas karena sudah menjadi kelaziman untuk menerima, koersi mungkin telah dihaluskan dalam konvensi-konvensi dari yang halus itu sampai pada bentuknya yang kaku, yakni hukum legal yuridis formal. Kiranya itu dulu....mohon tanggapannya Pak Nad. Trims...

Edi Subkhan, penulis ajah...

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas kehormatan ini.

“Mungkin selanjutnya Pak Nad dapat menjelaskan secara lebih jelas teori pertukaran itu dengan teori subyektifitas nilai yang konon menurut Pak Nad mesti dipahami secara bertingkat-tingkat itu ....”

1) Jika A menyatakan X, sedangkan B menyatakan non-X, maka B membantah A.
2) Jika A menyatakan X, sedangkan B menyatakan Y, maka B tidak membantah A, melainkan memiliki pandangan berbeda dari A.

Saya ingin memenuhi permintaan Bung Ed dalam spirit no 2 di atas.

Tentang teori pertukaran, saya akan coba mulai dari aksioma tindakan.

Manusia adalah makhluk yang bertindak. Dan konsep transaksi langsung terkait di dalamnya, sekalipun seorang individu ber-relasi dengan invididu lain. Sebab setiap tindakan adalah transaksi. Dalam transaksi yang autistik, individu membuat pilihan-pilihan oleh sebab semua sumber daya yang ada di dunia, baik sebagai cara ataupun tujuan, memiliki keterbatasan—scarcity. Scarcity ini penting; dialah mengapa manusia harus berekonomi. Scarcity langsung membatasi kemampuan individu dalam memilih. Ini kenyataan tanpa ada yang tidak bisa dipersalahkan.

[Lagi pula, siapa yang harus dipersalahkan di sini? Tuhan? Kalau Beliau menghilangkannya, dan sebagai gantinya memberi keberlimpahan (abundance), maka manusia tidak berekonomi. Manusia bahkan tidak akan bertindak! Sebab tindakan adalah perbuatan bertujuan yang disengaja untuk memperbaiki suatu keadaan dengan keadaan lain yang dianggap individu tersebut akan membuatnya merasa lebih baik.]

Dari pertukaran autistik, kita tahu muncullah keinginan berbarter (contoh dalam kasus Giy: mencari jodoh!), atau pertukaran langsung. Dan dengan terciptanya uang di pasar bebas (!), peradaban mengalami kemajuan pesat melalui transaksi tak-langsung.

Berbicara transaksi seperti ini sebenarnya kita sudah melompat satu tingkat. Kita perlu bicara dulu, dan juga, sedikit banyak tentang produksi.

Untuk bertahan hidup, setiap individu harus menghasilkan sesuatu (berproduksi). Cuma ada dua cara produksi dan tidak ada cara lain, yaitu cara damai melalui pengerahan faktor-faktor produksi; atau cara koersif, yang selalu melibatkan paksaan atau pemaksaan kehendak oleh pihak lain. Setiap individu dapat memilih hidup swasembada secara mandiri atau melakukan pertukaran. Selanjutnya, pemahaman yang lumayan tidak intuitif ttg pertukaran dapat dibaca di (http://akaldankehendak.com/?p=145).

Menurut Bung Ed:

“Agaknya teori pertukaran mereduksi masyarakat dalam sebuah logika pertukaran individu yang mengejar keuntungan rasional mereka sendiri, di sini masyarakat masuk dalam pertukaran tersebut untuk memaksimalkan sumberdaya mereka, sebagaimana ekonom menyatakan bahwa masyarakat masuk ke dalam pasar untuk meningkatkan kepuasan mereka.”

Komentar saya begini; pertama: Ini terkait pernyataan Giy sebelumnya waktu ia menulis secara singkat tentang perlunya logika formal. Saya cuma ingin tambahkan, semua teori itu adalah logika formal, bukan dalam pengertian sebagai lawan dari “logika informal” melainkan vis-a-vis dari konteks yang konkret atau spesifik. Teori formal menjelaskan, misalnya, bahwa proteksionisme berupa pengendalian harga itu hanya akan menimbulkan hasil-hasil yang buruk, tanpa mengkhususkan pengendalian harga apa, di mana, oleh siapa, dll.

Oleh karena itu, kedua: semua teori pasti mereduksi.

Ketiga: mengejar “keuntungan pribadi” (di atas: “keuntungan rasional masyarakat”) adalah konsep yang masih perlu kita cermati.

Pernyataan: “pertukaran individu yang mengejar keuntungan rasional mereka sendiri” mengandung asumsi etis bahwa hal tersebut kurang/tidak baik bagi kemanusiaan.

Paparan sebelumnya di atas menunjukkan bahwa setiap individu yang serius dengan enterprise ini--yakni hidup itu sendiri--harus memikirkan dirinya sendiri. Pilihannya sekali lagi adalah mati! Memikirkan kepentingan diri sendiri adalah suatu kebajikan, bukan kecelaan. Kalau ini disebut egois, maka setiap kita harus egois.

Pemaknaan ini menurut saya tidak mengabaikan realitas sama sekali; dan saya persilakan untuk Anda sandingkan atau perbandingkan dengan pemahaman Anda.

Dalam contoh celana boxer dan pemberian subsidi, “yang tak terlihat” di sini bukan berarti yang non-empiris, bukan yang ideasional, atau Platonic, melainkan semata-mata harfiah, dan dalam pengertian sehari-hari.

Intinya, semenarik apapun konsep keadilan, kalau kita paksakan dia dalam konteks ini, dia hanya akan membawa bencana. Tidak ada harga yang adil, sebab kemauan manusia dalam hal harga berubah-ubah tergantung posisi.

Semua hal barusan berpulang ke teori nilai yang subyektif, dan mohon maaf tidak dapat saya urai sementara ini.Tapi dapat disarikan dengan aman inti konklusi teori tersebut: nilai ekonomis suatu barang berpulang secara subyektif kepada kedua pihak pelaku transaksi tersebut. Teori ini menggugurkan jenjang pemahaman teoritis terdahulu terhadap nilai dalam sejarah pemikiran ekonomi—termasuk teori labor Marx yang diambilnya dari Adam Smith itu sendiri (!).

Satu contoh konkretnya dapat saya berikan sbb: jika kita mau beli rumah, kita mau harga yang mahal; kalau kita mau jual rumah, kita maunya murah. Itu saja. Kalau kita mau menyoroti “ketakadilan” orang yang menjual celana boxer senilai US10, kita perlu juga tahu fakta bahwa atas segala potensi keuntungan yang ditujunya, ia sudah mengeluarkan uangnya secara kontan dan duluan, plus peluang kebangkrutan tidak tercapainya keinginannya. Kalaupun ada ajaran "moral" di sini, itu agar kita tidak menilai permukaan saja, melainkan juga apa yang terselubung; tidak yang sekarang saja, tapi juga yang besok, dsb.

Dari semua yang Anda tulis, yang terpenting untuk disorot adalah tesis utamanya.

Dari judulnya Pengandaian Utopis Anda telah menduga, menyinyalir, atau berhipotesis (sebagaimana tersirat dari penggunaan kata “agaknya” atau “saya kira” dysi) bahwa pasar bebas adalah sebuah utopia. Dia tidak bisa terwujud karena pertukaran tidak pernah dapat berlangsung secara bebas, karena manusia tidak kuasa melepaskan diri dari koersi; meski di bagian lain Anda seperti membantahnya sendiri:

“...pasar bebas yang niscaya membawa koersi telah menimbulkan bencana sosial-ekonomi-politik-budaya di mana-mana.” [Cetak miring saya--halah, tidak ada cetak miring.]

Apakah pernyataan tersebut harus kita artikan bahwa karut marut penyelenggaraan perekonomian dewasa ini disebut sebagai pasar bebas alias perekonomian pasar alias kapitalisme?

Jika jawabannya ya, maka itu berarti menurut Bung Ed kita sekarang berada dalam kondisi pasar bebas, perekonomian pasar atau kapitalisme. Ini berbeda dari pemahaman kapitalisme yang saya postingkan dalam tanggapan sebelumnya. Sebab jika kapitalisme diartikan seperti ini, siapa yang masih perlu sosialisme?

Dalam kaitan ini saya jadi bertanya-tanya: mungkinkah keberatan sebagian dari kita terhadap hal ini terjadi karena di dunia ini tidak ada kebebasan? Mengenai hal ini, saya sudah mencoba menjawabnya di sini: http://akaldankehendak.com/?p=294.

Nah, saya akhiri tanggapan ini sbb: Jika pasar bebas utopia, maka yang niscaya terjadi bagi peradaban adalah pertukaran di mana selalu terjadi koersi, yang per definisinya dan tidak keliru lagi, bersinonim dengan intimidasi, pemaksaan, paksaan dan penggantian rencana-rencana individu dengan rencana pihak lain. Koersi di sini, sadar atau tidak sadar, dianggap sebagai suatu kondisi kehidupan yang mesti ada. Adakah kiranya pembaca tanggapan yang berkepanjangan ini yang percaya bahwa transaksi/pertukaran tanpa koersi tidak pernah ada; tidak dapat terjadi di dunia ini? Tesis Anda tergantung pada jawaban ini.

Jika pasar bebas harus kita tolak, yang tersisa adalah keniscayaan tersebut. Pertanyaan saya kepada diri sendiri: apa ini yang layak diperjuangkan?

Wassalam,
Nad

Anonim mengatakan...

Errata:

"sekalipun seorang individu ber-relasi dengan invididu lain."

sekalipun seorang individu BELUM LAGI ber-relasi dengan invididu lain.

"Pilihannya sekali lagi adalah mati!"
Pilihan lainnya, sekali lagi, adalah mati!

--Nad

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas tanggapannya Pak Nad, sebenarnya tanggapan Pak Nad di atas ibarat Pak Nad membawa dan kemudian memasang lukisan-lukisan di dinding yang sedang tak saya lihat ketika saya sedang melihat lukisan lain pada dinding yang berbeda, hingga mungkin tak terlalu menjawab pertanyaan saya pada lukisan yang sedang saya lihat dan pertanyakan. Tapi tak mengapalah, saya akan tanggapi sedikit dari tanggapan Pak Nad. Mmm...Pak Nad menyatakan, “Manusia adalah makhluk yang bertindak. Dan konsep transaksi langsung terkait di dalamnya, sekalipun seorang individu ber-relasi dengan invididu lain.” Ya, saya setuju dengan pernyataan itu, dan pada kalimat kedua langsung terlihat jelas bagi saya di mana manusia –kembali- direduksi atau mungkin tepatnya dipandang hanya dari perspektif –logika- ekonomi saja.

Scarcity atau keterbatasan yang Pak Nad katakan dengan begitu mengiyakan pernyataan pada paragraf terakhir saya di “Pengandaian Utopis”. Saya pun kemudian setuju bahwa memang keterbatasan adalah fitrah kemanusiaan dan –dalam bahasa Pak Nad- semua sumber daya di dunia ini. Namun saya tidak setuju dengan pernyataan Pak Nad bahwa scarcity adalah satu-satunya hal yang menjadikan manusia bertindak. Bagi saya dalam ranah sosial tak ada yang pasti soal tindakan, dalam penalaran logika positivisme mungkin iaya, tapi hal itu tak dapat digeneralisasikan pada ranah humaniora yang cair. Argumen Pak Nad dengan begitu kembali menegaskan betapa jelas logika ilmu pasti (eksakta) matematika, fisika Cs di sini. Positivisme dalam ilmu-ilmu sosial memang sebagaimana dalam disiplin eksak berupaya untuk menteorikan segala sesuatu, menteorikan yang bagi saya pun adalah reduksi –sebagaimana kata Pak Nad juga- dan mengabaikan sesuatu yang di luar dirinya, yakni faktor-faktor ketidakpastian. Kata-kata ”tak ada pilihan lain selain mati!” dari Pak Nad, padahal bagi saya tidak semuanya ada dalam logika oposisi biner, selalu ada pilihan lain, walaupun pilihan tersebut tidak tak terbatas.

Ya saya paham hal inilah yang dulu dilakukan oleh beberapa ilmuwan sosial –termasuk ekonomi- untuk memperoleh legitimasinya dengan mengukuhkan teori-teori sosial yang eksak. Hal ini kemudian diperbaiki oleh teoritisi interpretatif dan kritis, mengembalikannya pada fitrahnya semula sebagai ilmu-ilmu humaniora. Bagi saya seseorang bisa bertindak karena motif emosional, karena hati, karena intuisi, di sinilah ada pengorbanan, pemberian, keikhlasan, bertindak pun bisa dengan tak disengaja, itu yang tak terlihat dan disangkal oleh positivisme logis dalam ranah humaniora sebagaimana tampak dalam argumen Pak Nad di depan. Positivisme logis dalam humaniora agaknya memang telah menafikan kata-kata “bermakna mendalam” dan “manusiawi” seperti hati, cinta, intuisi, dan menjadikannya istilah mekanik khas eksakta. Positivisme agaknya sekali lagi mengandaikan semua hal bisa dihitung secara matematis dan pasti tepat, menggeneralisasi hingga menjadi teori umum yang mengandaikan bisa diterapkan pada semua hal.

Saya sepenuhnya setuju bahwa teori itu pasti mereduksi Pak Nad, tapi yang saya maksud dalam kalimat saya, “...teori pertukaran mereduksi masyarakat dalam sebuah logika pertukaran individu yang mengejar keuntungan rasional mereka sendiri...” adalah, teori tersebut dalam istilah saya “sangat” reduksionis-deterministik, masyarakat hanya dilihat dari satu sisi yang mengabaikan sisi lainnya, bagi saya hal ini agak memaksa, yakni memaksakan sebuah teori hanya dari satu perspektif, padahal dalam logika positivisme logis yang mungkin digunakan Pak Nad dalam menalar ekonomi di sini sebagaimana dalam teori pertukaran berupaya berangkat dari seluruh penampakan empiris yang ada, sebuah realitas (penampakan) mesti diambil secara menyeluruh karena memang tujuannya untuk membuat teori general. Dengan demikian reduksionis-deterministik dalam memandang masyarakat tak memenuhi “syarat dasar” penteorian ala positivisme logis dalam sosiologi positivis.

Pernyataan Pak Nad, “....setiap individu yang serius dengan enterprise ini--yakni hidup itu sendiri--harus memikirkan dirinya sendiri. Pilihannya sekali lagi adalah mati! Memikirkan kepentingan diri sendiri adalah suatu kebajikan, bukan kecelaan. Kalau ini disebut egois, maka setiap kita harus egois.” bagi saya sekali lagi jelas merupakan logika kapitalisme akumulasi modal untuk individu di sini sebagai basis filosofis neoliberalisme sekarang ini. Bahwa semuanya berpusat pada individu dan kehendak bebas yang diandaikannya itu, hingga pada mitos pasar bebas yang diciptakannya yang sesungguhnya tak ada. Ketika istilah dan bahasan keadilan, keikhlasan, kebersamaan, kemanusiaan, sudah hilang dari kosakata positivisme logis terutama dalam kasus ia secara salah memaksakan logikanya pada ranah ilmu-ilmu sosio-humaniora maka makna kebijakan pun menjadi hilang. Dalam budaya pop di alam moderntitas sekarang adalah contoh nyata tentang hilangnya kemanusiaan ini, bahkan dalam kosakata keseharian. Bagi saya individualisme, egosime inilah yang menjadikan dehumanisasi Pak Nad, tapi klo dilihat dari logika ekonomi neoliberalisme ya memang seperti itu, tanpa filosofi seperti itu kaum kapitalis borjuis tak dapat pegangan untuk semakin memperkaya dirinya sendiri.

Kemudian argumen “...semenarik apapun konsep keadilan, kalau kita paksakan dia dalam konteks ini, dia hanya akan membawa bencana. Tidak ada harga yang adil, sebab kemauan manusia dalam hal harga berubah-ubah tergantung posisi”, saya akan bertanya keadilan seperti apa yang membawa bencana Pak Nad? Sepemahaman saya keadilan memang tak terberi secara otomatis dalam ranah sosiologis, kalau dalam ranah teologis keadilan itu terberi (tapi akan lebih baik kita tak membahas secara teologis dulu, nanti akan telantar dan semakin lama tak menyelesaikan “masalah”) ia mesti diraih, ketika tak ada keadilan ya mesti ada “koersi” untuk memberikan keadilan. Bagi orang-orang yang menginginkan akumulasi modal untuk dirinya sendiri, pemberian keadilan agaknya memang mesti ditolak, kalau adil bagaimana ia bisa memperkaya diri sendiri. Bagi saya, sekali lagi menyayangkan konsep, semangat, dan bahkan istilah keadilan juga kebijakan hilang dalam ranah sosio-humaniora, dan ini memang menegaskan betapa kapitalisme bahkan secara terminologis tidak adil.

Kata “tak ada harga yang adil...” dan Pak Nad lebih memilih istilah “harga” ketimbang “nilai”, karena mungkin “harga” adalah kosakata ekonomi yang bisa ditukar dengan uang dan keuntungan-keuntungan, sedangkan “nilai” –tentu tanpa kata ekonomis di belakangnya- itu sangat manusiawi yang tak dapat diuangkan dan dimaterikan. Bagi saya mungkin akan lebih tepat dengan mengatakan, tak akan pernah ada yang dapat “menilai” sesuatu –hal atau barang atau apapun- dengan tepat karena nilai atau -dengan terpaksa saya gunakan istilah- “harga” itu adalah persepsi kita yang tak pernah tahu secara tepat berapa nilai atau harganya. Tapi bukankah “sesuatu” itu pasti memiliki nilainya sendiri secara substansial-essensial yang bagi saya takkan dapat pernah kita ketahui secara tepat karena kita bukan “sesuatu” itu sendiri, kita ada di luar dan kemudian menilainya -secara “paksa”, dan kita tidak pernah punya pengalaman eksistensial berada dalam obyek itu, bukan nilai yang kita berikan –dalam istilahnya Pak Nad- karena posisi-posisi kita? Btw saya tidak menampik klo memang kita sebagai subyek yang menilai maka memang tak pernah ada yang adil –atau bagi saya kata yang tepat adalah “tepat” bukan “adil”- itu, ya keadilan akhirnya menjadi relatif, tapi bukanlah keadilan itu mesti diberikan-perjuangkan-dapatkan? Dan keadilan akan selalu didefinisikan untuk mendekati kebenarannya dalam bentuk konvensi-konvensi nilai-nilai universal. Tapi agaknya Pak Nad luput memahami yang saya maksud dan Mas Fahmi maksud dengan contoh “celana boxer” itu, yakni bukan soal menjual celana boxer US10, tapi soal upayah yang diterima buruh yang terlampau jauh dari keuntungan yang didapat si kapitalis. Kok rasanya sedikit yang saya tulis soal ”moral” itu juga melihatnya secara ”dalam”, bagi Pak Nad yang terselubung itu yang seperti apa?

Selanjutnya, ya saya menyatakan pasar bebas itu utopis dalam pengertian filosofis, karena pada kenyataannya pasar bebas itu adalah eufimisme dari monopoli dan permainan ekonomi kaum borjuis untuk akumulasi modal bagi diri mereka sendiri. Pernyataan saya..“...pasar bebas yang niscaya membawa koersi telah menimbulkan bencana sosial-ekonomi-politik-budaya di mana-mana”, kata ”pasar bebas” yang saya gunakan itu bukan dalam rangka mengamini ”kebebasannya”, melainkan menyatakan pasar bebas yang pada kenyataannya tidak bebas itu memang menimbulkan bencana. Ya kita sekarang berada dalam belenggu kapitalisme global, neoliberalisme yang membawa karut marut dalam segenap sendi kehidupan kita. Tapi ketika Pak Nad mempertanyakan bahwa Pak Nad memberikan pemahaman tentang kapitalisme yang berbeda pada ”posting sebelumnya”, kok saya belum dapat melihat perbedaan itu, mohon diungkap kembali kapitalisme, pasar bebas, neolib yang Pak Nad maksud itu.

Argumen ”Sebab jika kapitalisme diartikan seperti ini, siapa yang masih perlu sosialisme?” agak membingungkan bagi saya, ”diartikan seperti ini”, ”ini” yang mana Pak Nad? Soal kita perlu atau tidak pada sosialisme, wah saya gak tahu...sebab sosialisme agaknya juga membawa ketidakadilan dan segala dekadensi itu Pak. Dari pertanyaan Pak Nad selanjutnya, saya katakan bahwa pasar bebas koersi, pertukaran bebas koersi, bagi saya tidak ada, itu hanya pembenaran ilmiah dari keinginan untuk akumulasi modal melalui istilah yang eufimis (menghaluskan, bahkan menghilangkan, paling parah memaknainya secara lain dari praktik dan realitanya). Kiranya sikap saya jelas, yakni menolak segala bentuk ketidakadilan dalam transaksi, bukan berarti saya menghalalkan semua koersi, karena fokus sebenarnya bukan pada bebas-tidak bebas, ada koersi atau tidak ada koersi, tapi bagi saya fokusnya ada pada keadilan, nilai-nilai kemanusiaan, kebajikan yang mesti diperjuangkan.

Saya tunggu jawab dan komentar berikutnya Pak Nad.

Edi Subkhan, di Jakarta.

Anonim mengatakan...

Bung Edi Subkhan di Jakarta Yth:

Saya jadi bertanya-tanya apa betul saya sebegitu irrelevant-nya? Rasanya saya telah mencoba menanggapi, sesuai permintaan Bung Ed, dengan sebaik mungkin. Berhubung sebelumnya Bung Ed katanya ingin belajar, kelihatannya Anda tahu jauh lebih banyak daripada saya; saya jelas telah gagal memberi pencerahan.

Bersyukur Bung cukup legowo, masih bersedia menanggapi saya, dan menunggu tanggapan saya selanjutnya. Saya sekali lagi berusaha memenuhi permintaan ini; dan saat ini sedang mencurahkan seluruh waktu saya yang berharga khusus bagi Anda.

Namun, harap dimengerti, dalam tanggapan kali ini saya agak kuatir kalau-kalau saya sekali lagi tidak relevan.

Oleh karena itu, saya berniat mencoba memperbaiki “kesalahan” kemarin dengan mengiluminasinya secara lebih detil, setelah itu baru akan memberi tanggapan baru atas tanggapan terbaru Bung Ed.

Meski dengan risiko agak berkepanjangan, saya akan kutip dan tanggapi pernyataan-pernyataan Anda secara langsung:

ED KHAN: “Pak Nad berbicara dan mengajukan teori pertukaran untuk menjelaskan “celana boxer” Mas Fahmi kemarin. Kalau tidak salah teori pertukaran adalah varian ketiga dari teori positif masa kini di samping neofungsionalisme dan teori pilihan rasional, kalau salah mohon dikoreksi ya. Bagi Ben Agger, teori pertukaran berupaya bangkit dan melawan serangan-serangan teori-teori kritis yang meruntuhkan fondasi sosiologi positif Comte terutama di Amerika waktu itu, di mana terjadi pertarungan sengit antara intelektual positivis yang sudah susah payah untuk mendapatkan otoritas intelektual di jagad akademik via penelitian yang rigid dengan modern scientific method, jelas mereka terusik ketika otoritas mereka tersebut diruntuhkan seketika oleh posmodernisme, feminisme kritis, dan lainnya. Sebagaimana perlawanan dari neofungsionalisme dan teori pilihan rasional, teori pertukaran pun meminjam dari disiplin yang “keras” dan katakanlah lebih prestis, yakni psikologi dan ekonomi. Agaknya teori pertukaran mereduksi masyarakat dalam sebuah logika pertukaran individu yang mengejar keuntungan rasional mereka sendiri, di sini masyarakat masuk dalam pertukaran tersebut untuk memaksimalkan sumberdaya mereka, sebagaimana ekonom menyatakan bahwa masyarakat masuk ke dalam pasar untuk meningkatkan kepuasan mereka.”

Tanggapan saya: Sebagian besar pernyataan Anda di sini bukan argumen-argumen yang perlu saya jawab, melainkan penyataan-pernyataan yang lumayan keruh bagi saya (mungkin juga bagi pembaca lain--sebab Bung Ed sengaja telah menampilkan postingan ini secara khusus untuk publik, toh?). Hemat saya, the burden of proof berada pada Anda, Bung Ed, bukan pada saya.

Barulah ketika Anda masuk ke teori pertukaran, yang merupakan teori dasar dalam ilmu ekonomi, saya coba menerangkannya dalam kerangka teori ekonomi mazhab Austria sesuai pemahaman saya. Saya singgung sedikit tentang proses produksi, sebelum transaksi antar-individu berlangsung, dengan tujuan antara lain memberi semacam hint tilikan kapan koersi mulai (berpotensi) terjadi.

ED KHAN: “Teori ini mengandaikan sebuah pertukaran yang bebas tanpa paksaan, dengan sendirinya hal ini sudah terang menunjukkan warna positivisme, yakni bebas nilai yang di sini menjadi bebas tanpa paksaan,”

Tanggapan saya: Tentang reduksionitas teori secara umum, sudah saya jelaskan. Di sini, fragmen kutipan Bung tentang positivisme agak membingungkan—dan di tanggapan terbaru Bung terus mempergunakannya sebagai konsep kerja. Saya kira Bung perlu menjelaskan apa yang dimaksud dengan positivisme. Apa hubungan wertfrei (bebas nilai) dengan bebas tanpa paksaan? Apa maksud Bung Ed dengan pengandaian yang keras kepala?

Jika Bung Ed tertarik meneropong posisi saya terkait hal ini, maka dapat saya eksplisitkan di sini: dalam hemat saya positivisme hanya bisa dipakai untuk ilmu-ilmu pengetahuan alam. Positivisme plus empirisme dalam ilmu tentang tindakan manusia, tidak mungkin dilakukan tanpa menimbulkan kekeliruan-kekeliruan besar. Saya persilakan Bung meninjau (ulang) beberapa tulisan saya di Akal & Kehendak yang khusus membahas empirisme dan positivisme. Pandangan saya, praksiologis. Dan Praksiologi memang telah saya coba saya perkenalkan.

ED KHAN: “... namun bagi saya apakah ini mungkin terjadi, agaknya tidak karena pertukaran sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dan bahkan keinginan selalu dibarengi dengan paksaan dalam bentuk keterbatasan-keterbatasan pilihan. Dst. “

Tanggapan saya sekarang: Tidakkah Bung sadari? Anda menyatakan bahwa keterbatasan yang menjadi fitrah manusia dalam bertransaksi adalah KOERSI. Kekeliruan terhadap konsep elementer ini saya coba koreksi secara tidak langsung dengan "scarcity."

Selanjutnya tentang tanggapan-tanggapan terbaru Bung Ed:

Dengan mengerahkan segenap kejernihan pikiran yang saya junjung tinggi, saya ingin tambahkan bahwa konsep-konsep yang saya telah perkenalkan dalam tanggapan saya, yaitu scarcity dan motif tindakan, bagi saya sudah cukup formal, inklusif dan sahih, sehingga amat memadai sebagai landasan teori yang kuat--terus terang bagi saya bahkan tidak terbantahkan.

Nah, menurut Bung Ed, selain faktor scarcity, dan motif untuk memperbaiki suatu keadaan dengan keadaan lain yang diharapkan oleh seorang pelaku tindakan akan membawa ke keadaan yang lebih baik, faktor dan tujuan apa lagikah yang tertinggal? Anda bilang ini terlalu mereduksi; bisakah Anda tambahkan yang tertinggal tanpa menjadi redundant?

Logika saya jelas, berangkat dari teori-teori ekonomi. Dan saya secara pribadi anti-membuat pernyataan-pernyataan keruh. Saya bilang semua tindakan manusia itu tindakan ekonomis dalam konteks yang cukup jelas atas dasar faktor dan tujuan di atas tersebut. Konsep-konsep yang Anda sebutkan: “pemberian, pengorbanan, keikhlasan, keadilan,” sangat relevan ditinjau lewat teori ekonomi. Kalau Bung Ed bicara pemberian, pengorbanan, keikhlasan, itu dari sudut pandang apa?

ED KHAN: “Bagi saya individualisme, egoisme inilah yang menjadikan dehumanisasi Pak Nad, tapi klo dilihat dari logika ekonomi neoliberalisme ya memang seperti itu, tanpa filosofi seperti itu kaum kapitalis borjuis tak dapat pegangan untuk semakin memperkaya dirinya sendiri.”

Tanggapan saya: Bung Ed, bagaimana kita dapat menegakkan menegakkan humanisme dengan tidak mengedepankan individualisme dan egoisme? (Biar tidak keruh: egoisme tanpa merugikan kepentingan orang lain; yg sadar bahwa orang lain juga berhak egois.)

Apakah kapitalis yang nota bene berarti “pemilik modal” tidak boleh memperkaya dirinya sendiri? Apakah Anda mengasumsikan bahwa orang yang punya modal hanya bisa dan mau memperkaya diri sendiri?

Saya mau ingatkan hal yang tidak terlalu intuitif ini: ketika orang bertransaksi secara bebas demi keuntungan dirinya sendiri, ia bahkan memberi lebih banyak kepada masyarakat, ketimbang jika orang tersebut berbisnis dengan niat menguntungkan orang lain?

Yang barusan itu kesimpulan teori “Invisible Hand” Smith, teori asosiasi menurut Mises, dan teori trade Ricardian, Bung Ed. (Tautan ke tulisan saya di Jurnal sudah saya berikan.) Bagi saya, hanya ketika setiap individu dapat mengekspresikan individualitasnya dan egoismenyalah, potensi setiap manusia dapat tumbuh sesubur-suburnya.

ED KHAN: “Sepemahaman saya keadilan memang tak terberi secara otomatis dalam ranah sosiologis, kalau dalam ranah teologis keadilan itu terberi (tapi akan lebih baik kita tak membahas secara teologis dulu, nanti akan telantar dan semakin lama tak menyelesaikan “masalah”) ia mesti diraih, ketika tak ada keadilan ya mesti ada “koersi” untuk memberikan keadilan.”

Tanggapan saya: Ini kurang jelas Bung Ed; kalau Anda bersedia menjelaskan, saya bersedia mendengarkan.

ED KHAN: “Bagi orang-orang yang menginginkan akumulasi modal untuk dirinya sendiri, pemberian keadilan agaknya memang mesti ditolak, kalau adil bagaimana ia bisa memperkaya diri sendiri.”

Tanggapan saya: Di sini Anda mencoba kembali lagi ke problem moralitas, mis. ketamakan, kerakusan, dsb. Sementara uraian-uraian saya dalam hal ini, obyektif. Pertanyaan pengeceknya begini: Apakah Anda bersedia ingin mengakumulasi modal pribadi Anda untuk, saya misalnya? Atau, tidak dapatkah Anda bertindak adil ketika mengakumulasi modal pribadi untuk Anda sendiri?

Pernyataan yang BERBAHAYA semacam ini cocok untuk mengagitasi rakyat agar membenci orang yang kaya! Yah, kiranya jelas darimana doktrin SOAK THE RICH ini bermuara….

ED KHAN: “Bagi saya, sekali lagi menyayangkan konsep, semangat, dan bahkan istilah keadilan juga kebijakan hilang dalam ranah sosio-humaniora, dan ini memang menegaskan betapa kapitalisme bahkan secara terminologis tidak adil.”

Tanggapan saya: Mohon maaf dan pencerahannya--saya sama di sini kesulitan memahami "kedalaman" maknanya.

ED KHAN: “Bagi saya mungkin akan lebih tepat dengan mengatakan, tak akan pernah ada yang dapat “menilai” sesuatu –hal atau barang atau apapun- dengan tepat karena nilai atau -dengan terpaksa saya gunakan istilah- “harga” itu adalah persepsi kita yang tak pernah tahu secara tepat berapa nilai atau harganya.”

Tanggapan saya: Ini dengan sendirinya menuntut kejelasan arti, sebab di bagian selanjutnya Anda JUSTRU mengatakan ...

ED KHAN: “Tapi bukankah “sesuatu” itu pasti memiliki nilainya sendiri secara substansial-essensial yang bagi saya takkan dapat pernah kita ketahui secara tepat karena kita bukan “sesuatu” itu sendiri, kita ada di luar dan kemudian menilainya -secara “paksa”, dan kita tidak pernah punya pengalaman eksistensial berada dalam obyek itu, bukan nilai yang kita berikan –dalam istilahnya Pak Nad- karena posisi-posisi kita?”

Tambahan saya: Sekadar hints saja: Apa maksud pernyataan Bung bahwa “sesuatu itu pasti memiliki nilainya secara substansial-essensial yang bagi saya takkan dapat pernah diketahui secara tepat karena kita bukan sesuatu itu sendiri?” Tolong ganti kata “sesuatu” dengan obyek yang konkret, dan jelaskan apa makna substansial-essensialnya.

ED KHAN: "Btw saya tidak menampik klo memang kita sebagai subyek yang menilai maka memang tak pernah ada yang adil –atau bagi saya kata yang tepat adalah “tepat” bukan “adil”- itu, ya keadilan akhirnya menjadi relatif, tapi bukanlah keadilan itu mesti diberikan-perjuangkan-dapatkan? Dan keadilan akan selalu didefinisikan untuk mendekati kebenarannya dalam bentuk konvensi-konvensi nilai-nilai universal. Tapi agaknya Pak Nad luput memahami yang saya maksud dan Mas Fahmi maksud dengan contoh “celana boxer” itu, yakni bukan soal menjual celana boxer US10, tapi soal upayah yang diterima buruh yang terlampau jauh dari keuntungan yang didapat si kapitalis.”

Tanggapan saya: Kiranya, waktunya tiba bagi kita untuk semakin konkret: seperti apa kiranya cara memproduksi celana boxer agar adil dan mendekati kebenaran dalam bentuk konvensi nilai universal? Dalam harga berapa harus dijual celana boxer yang diproduksi @ US$1 itu, Bung Ed? Keadilan untuk siapa yang diperjuangkan Bung di sini? Kalau Anda tidak dapat menguantifikasinya Bung Ed, saya tidak dapat menyalahkan Anda; sebab saya bukan termasuk positivis yang ingin menguantifikasikan segala hal. Having said that, seseorang akan tetap tertuntut untuk menerangkannya secara kualitatif jika ia berpretensi sanggup melakukannya.

ED KHAN: “Selanjutnya, ya saya menyatakan pasar bebas itu utopis dalam pengertian filosofis, karena pada kenyataannya pasar bebas itu adalah eufimisme dari monopoli dan permainan ekonomi kaum borjuis untuk akumulasi modal bagi diri mereka sendiri.”

Tanggapan saya: Apa maksudnya pasar bebas itu utopis dalam pengertian filosofis? Seperti apa pemahaman Bung Ed tentang monopoli dan tentang permainan ekonomi kaum borjuis? Ini penting, sebab kedua konsep tersebut Bung Ed jadikan argumen. Jika Anda bersedia menjelaskan hal-hal ini, saya berjanji akan menyandingkannya dengan pandangan-pandangan saya.

ED KHAN: “Dari pertanyaan Pak Nad selanjutnya, saya katakan bahwa pasar bebas koersi, pertukaran bebas koersi, bagi saya tidak ada, itu hanya pembenaran ilmiah dari keinginan untuk akumulasi modal melalui istilah yang eufimis (menghaluskan, bahkan menghilangkan, paling parah memaknainya secara lain dari praktik dan realitanya).”

Tanggapan saya: Menilik pemahaman Anda sebelumnya terhadap unsur-unsur transaksi, kiranya dapat dipahami mengapa Anda tiba pada kesimpulan ini.

Sengaja tanpa membantah argumen Anda, saya telah mencoba menunjukkan bahwa koersi tidak sama dengan scarcity. Sekarang Anda eksplisitkan fokusnya kepada keadilan, kemanusiaan dan kebajikan.

Okelah; kita tidak perlu bicara besar keadilan dalam arti umum yang sangat luas itu. Kita ciutkan ke konteks yang lebih kecil dan intuitif saja.

Dan berhubung hal ini terkait erat dengan ajakan saya untuk menjadi lebih konkret sebagaimana di atas, jadi Anda boleh menjawabnya secara sekaligus. Menurut Bung Ed, ketidakadilan dalam transaksi itu seperti apa ya? Dalam kasus celana boxer, seperti apa Anda melihat transaksi yang adil dan manusiawi atau bajik itu? Saya kira tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa, kalau kita tidak mampu menjawab hal ini, maka dapat dipastikan kita juga TIDAK akan mampu memperjuangkan nomina-nomina abstrak di atas—biar jelas saya sebut saja di sini: keadilan, kemanusiaan, kebajikan.

ED KHAN: "Kiranya sikap saya jelas, yakni menolak segala bentuk ketidakadilan dalam transaksi, bukan berarti saya menghalalkan semua koersi, karena fokus sebenarnya bukan pada bebas-tidak bebas, ada koersi atau tidak ada koersi, tapi bagi saya fokusnya ada pada keadilan, nilai-nilai kemanusiaan, kebajikan yang mesti diperjuangkan."

Tanggapan saya: Saya senang dan setuju membaca paragraf penutup ini.

Akhir kata, tentang konsep kapitalisme yang saya yakini, saya sungguh tidak merasa perlu mengulanginya lagi. Seluruh Akaldankehendak.com adalah testimoni keyakinan saya—yang sudah bolak-balik Anda kunjungi. Selain itu, hal tersebut sudah saya eksplisitkan dalam tanggapan saya terkait tulisan Kemerdekaan Kita. Lagi pula, bukankah Anda sendiri mengatakan argumen saya sudah “bagus, ilmiah dan sistematis” dalam komentar-komentar Anda terdahulu (20/08) dan juga di shoutbox? Atau apakah itu seorang Ed Khan yang lain?

Demikian; saya telah mencoba sejelas mungkin memberi tanggapan atas tanggapan Bung Ed.

Salam

Anonim mengatakan...

maaf Pak Nad, saya mau turut ngaji ilumunya.wah, saya jadi merasa terlambat nih ketemu pak Nad diduluin mas Giy.he he...

sejauh yang saya tahu, ketegangan antara (katakanlah) liberalisme (neo-) vs sosialisme (neo-) adalah ketegangan antara kebebasan dan keterikatan.liberalisme mengandaikan tidak adanya campur tangan negara sedang sosialisme menekankan akan campur tangan negara dalam ekonomi.ketegangan-ketegangannya bisa kita lihat lebih kongkrit semisal dalam pilihan akan privatisasi vs nasionalisasi.

bapak, sesungguhnya saya tidak begitu percaya pada adanya satu jawaban tunggal tentang keadilan 'ekonomi' di dunia ini.untuk itulah, saya tidak percaya tidak hanya pada liberalisme (kapitalisme) tetapi juga pada sosialisme.

menurut saya, masing-masing mempunyai kelemahan-kelemahannya sendiri.kelemahan kapitalisme sebagai sebuah sistem adalah demikian besarnya kemungkinan akan terjadinya koersi (menurut saya scarcity belum bisa menjalaskan apa yang saya maksud tentang koersi) dari pihak yang kuat atas pihak yang lemah.dalam hal kepemilikan modal, dari pihak yang mempunyai modal banyak (bahkan mungkin banyak sekali)atas pihak yang sedikit punya modal (atau mungkin bahkan tidak punya modal).koersi yang saya maksudkan kira-kira semacam perumpamaan persaingan yang bebas antara seorang anak berusia lima tahun dengan (contoh ekstrimnya) seorang bapak-bapak berumuh 37 tahun dalam memperebutkan sesuatu yang menyangkut hidup dan mati mereka.apa yang terjadi, mungkin akan banyak sekali kemungkinan atas persaingan tersebut.tetapi, kira-kira kita akan tahu hasilnya bahwa siapakah pihak yang menang dari persaingan tersebut.koersi yang saya maksud dapat berwujud menjadi dua hal.pertama, koersi fisik.kedua,koersi mental/batin.mungkin si bapak akan menghajar si anak kecil tersebut karena persaingan tersebut adalah persaingan yang menentukan hidup matinya dan keluarganya. mungkin tidak secara fisik, tetapi ada suatu koersi yang tidak terlihat secara nyata bahwa si anak dengan kebebasannya justru tidak bisa merasa bebas karena adanya koersi yang bersifat psikologis ini.mungkin kasus indonesia bisa dijadikan contoh dalam memandang analogi ini.(saya juga memberikan argumen ini kepada mas Giy tetapi belum tuntas. mungkin bapak bisa membantu memberi pencerahan).

mungkin itu juga yang dimaksud koersi oleh Bung Edi dalam tanggapannya.

kepada sosialisme, saya juga, kurang sepakat. sosialisme pada dirinya sendiri memang tidak memberikan 'kebebasan' bagi manusia yang ada di dalam sistem itu.hal ini akhirnya membatasi kemungkinan-kemungkinan pembatasan potensi manusia yang secara fitrah telah dianugerahkan tuhan untuk dikembangkan.dalam hal ekonomi, ini bernama kekayaan.di dalam bidang ekonomi, sosialisme membatasi kekayaan dan potensi manusia.tapi juga masih timbul pertanyaan karena memang manusia itu tidak pernah bebas dan ia kaya pun juga karena sistem dan 'liyan', maka sewajarnyalah ada mekanisme pemerataan ekonomi kepada yang tidak kaya.tentu saja dengan tidak semua harta kekayaannya.pada mekanisme-mekanisme inilah, saya 'curiga' Islam sudah memberikan cara bagi kita untuk merumuskan jalan itu dalam bentuk kewajiban zakat.

saya tidak tahu mengapa ya pak (maaf sekali ini snagat intuitif dan sangat tidak objektif, tapi ini kejujuran saya) bahwa ketidakbebasan dalam wujud pemerataan ekonomi dari yang kaya (sangat kaya) dan miskin (sangat miskin) menurut saya adalah hal yang 'benar'.sejauh tentang hal ini saya merasa tidak keberatan saya.konsentrasi saya justru adalah pada mekanisme-mekanisme yng akan digunakannya nanti.terhadap mekanisme itulah saya bisa keberatan dan bisa mendukung.dan ini sangatlah kontekstual.dimna dan kapan ia terjadi.

keberatan saya yang paling berat terhadap sosialisme adalah kemungkinannya menberikan ruang yang lebar terhadap terjadinya kekerasan keyakinan/pandangan/pendapat.sosialisme memberikan peluang yang sangat besar pada terjadinya pemberangusan kebebasan berpikir, berpendapat, berkeyakinan dan berserikat.intinya, kebebasan manusia yang mesti terjaga menjadi terancam.sebab, syarat yang paling kuat dari sosialisme adalah kepatuhan, keserempakan dan keseragaman.mungkin memang tidak selamanya demikian, maka saya katakan dia adalah sisitem yang "memberi peluang lebih banyak" pada ketiadakadilan berpendapat/berpikir/berpendapat tersebut.seorang pemimpin kadang akan melakukan apa saja untuk mengegolkan proyek ekonominya bahkan dengan pemberangusan terhadap yang menentang proyek tersebut.apalagi jika kita berpikir akan kelemahan-kelemahan manusia dalam menjalankan sebuah pemerintahan.

sosialisme memang tidak otomatis berarti pemberangusan kebebasan manusia.saya tetap berpendapat (mungkin ini utopia), sepanjang sosialisme hanya melakukan mekanisme pembagian ekonomi yang adil dan tidak memberangus kebebasan berpikir/berkeyakinan manusia yanga da di dalamnya, saya mendukung sosialisme itu.jika sebaliknya,artinya dia sudah bergerak terlalu jauh melakukan pemberangusan kebebasan berpikir dsb dan mekanisme-mekanisme yang dilakukannya tidak adil maka saya tidak mendukung sosialisme yang demikian.kelemahan dari argumen ini terletak pada 'adil' dan 'tidak adil'.(maaf saya membawa diskusi ini pada ranah yang lain) bahwa definisi adil menurut saya adalah adil yang tidak pernah mutlak.saya bertolak dari epistemologi Islam tentang adil.dalam konsep Islam, siapakah yang diletakkan sebagai penyandang yang Maha Adil hanyalah Alloh (tuhan). ini berarti yang di luar tuhan (katakanlah manusia dan sistemnya) sesungguhnya tidak pernah akan 'adil'. tetapi usaha menuju kepada keadilan yang mutlak tersebut adalah keadilan yang terus mencri, terus menyempurnakan walaupun dia tahu bahwa dia tak akan mungkin menjadi "adil yang sempurna, yang maha".

lha, bagaimanakah mekanisme-mekanisme ini dirumuskan menurut saya adalah kesepakatan (baiat yang artinya kontrak, dalam term agama).dalam hal inilah (maafkan saya) saya masih percaya pada demokrasi sebagai sistem yang terus mencari bagaimana mewujudkan yang "adil" itu.

bagi saya, dengan sendirinya liberalisme menghilangkan upaya menemukan (apalagi menjalankan) mekanisme-mekanisme perwujudan pemerataan ekonomi yang menuju pada "keadilan" tersebut dengan membebaskan manusia sebebas-bebasnya padahal ada yang lain yang di sampingnya.

sederhanya, mungkin saya ingin mengatakan bahwa filsafat ekonomi saya bukanlah filsafat "kesadaran/subyektif" lagi tetapi beralih kepada filsafat "bahasa/komunikatif" yang terwujud dalam teks-teks sistem yang bisa kita saling-silang tafsirkan.

jadi, kalau boleh merumuskan sistem yang saya mau (tanpa bermaksud mengesampingkan istilah-istilah proyek teranyar macam postmarxisme/neo-sosialisme yang sekarang gemar diperbincangkan Bung Edi) aadalah sistem demokrasi sosialis dan bukan demokrasi liberal.

demokrasi liberal yang ada dalam angan saya tersebut, bagi saya, adalah gmbaran negeri ini sekarang.dan saya merasa, demokrasi sosialis yang saya imajinasikan dalam pikiran saya tersebut belumlah pernah terwujud di negeri ini.entah kapan...

maaf, pak Nad.sesungguhnya saya tidak mengerti ekonomi.guru ekonomi saya ya cuma satu, yaitu mas Giy.jadi,tolong jika ada yang salah ya mohon timpakan saja kesalahannya pada beliau.he he....

pak Nad, mohon juga berkenan mengangkat saya jadi murid bapak yang kedua (barangkali..) dari semarang setelah mas Giy.

Salam ta'dzim,
Taufiq

Anonim mengatakan...

Mas Taufiq yang baik:

Terima kasih banyak atas tanggapannya!

Tepat pada saat ini saya merasa seolah-olah memiliki padepokan silat nun di Ciputat yang jauh dari sini. Lalu seorang jawara rupawan dan sakti—Anda—suatu hari datang ke sana sebab ingin belajar dari guru besarnya yang jauh lebih sakti. He, he...

Mohon gambaran seperti ini dibuang jauh-jauh, please, sebab jika tidak, tanggapan-tanggapan kita selanjutnya akan membicarakan cara terbaik mengalahkan tokoh sakti yang di dadanya tertulis kode 2112...

He, he... Terus terang saya akan merasa tersanjung sekali, dan tidak akan keberatan jika demikian adanya. Tapi itu sangat tidak betul, jadi saya keberatan.

Sebab saya bukan guru atau muridnya Giy; sebaliknya, Giy juga bukan guru ataupun murid saya. Selama ini saya cuma iba saja dia yang tidak-lulus lulus, jomblo, dan heboh he, he... (Just kidding: saya hargai dia sebab bagi saya dia intelektual muda yang berani berpikir sendiri, dan berani menempuh berbagai risiko dalam menerapkan hasil pemikirannya.)

Kami cuma saling tukar pikiran, saling periksa kebenaran atau kesalahan pemikiran; saling mempertanyakan kebenaran. Dulu sering berbeda pandangan; sekarang makin jarang (dan ini tidak harus berarti bagus)... Anda bebas ikut nimbrung kapan saja. Semakin banyak pembelajar-sepanjang-hayat, pasti semakin baik...

Saya juga sudah membaca baik-baik keberatan2 Anda tentang kapitalisme dan sosialisme; keberatan-keberatan Bung Taufiq sangat mendasar dan jujur.

Seandainya saja saya punya mantra singkat yang mampu meniadakan kegalauan itu.... Sayang,tidak ada; jadi mohon maaf.

Tapi, saya mau ajak Bung Tauf kembali saja ke transaksi gethuk-ikan.

Salah satu pandangan Anda yang terpenting dan intuitif saya kira terdapat dari contoh penjual gethuk dan ikan dalam artikel Giy (saya asumsikan di sini Taufiq=tauf). Ada hal berharga yang mungkin dapat kita tarik dari contoh nyata tersebut. (Di contoh lain, Anda hipotetiskan transaksi antara bapak tua dan bocah cilik—jika benar contoh ini dari Anda.)

Pertama, mari ganti posisi penjual gethuk tersebut dengan seorang bapak berumur 37; dan posisi penjual ikan dengan anak berusia 5 tahunan. Maka kita langsung mendapatkan situasi sebagaimana contoh hipotetis yang Anda berikan.

Apakah si penjual gethuk mengeksploitasi penjual ikan?

Transaksi mereka berlangsung sukses; keduanya pulang sambil senyum. Dan dalam contoh dunia nyata Ibu Rury, itu bukan cuma terjadi, melainkan juga berkali-kali. Dalam contoh konkret ini, yang terjadi bukan zero sum, melainkan win-win.

Artikel ini memperlihatkan bahwa transaksi bebas semacam inilah yang telah memungkinkan berlangsungnya dan meningkatnya peradaban, sebab kedua pihak bertransaksi tanpa paksaan dan dengan suksesnya transaksi tersebut, masing-masing pulang dengan kondisi yang lebih baik dari sudut pandang masing-masing pelaku tindakan. Pertukaran non-koersif selalu perkara win-win (dalam pengetian ketat, paling tidak secara ex-ante.)

Moralnya, bukan salah siapa-siapa kalau seseorang menjadi penjual gethuk, atau hanya dapat menangkap ikan. Kondisi tiap orang, sudah pasti berbeda-beda; hidup bukan perlombaan dan tidak dapat diulang atau dimulai dari titik start yang sama, semacam perlobaan 17-an.

Namun satu hal yang pasti, perbedaan kondisi seperti inilah--di samping perbedaan-perbedaan serta keunikan setiap manusia--yang memungkinkan orang bekerjasama dalam division of labor.

Salam,
Nad