Kemarin seorang teman mengirim SMS. Dia bertanya, Apa beda kemerdekaan dan kebebasan? Kenapa tanggal 17-08-1945 bukan hari kebebasan Indonesia?
Tepat saat pesan SMS masuk, saya sedang membaca sebuah artikel di National Geographic Magazine. Artikel tersebut ditulis sekitar 50 tahun yang lalu, kemudian diterbitkan ulang oleh NGM Indonesia edisi bulan Agustus 2008. Sang wartawan, Beverly M. Bowie, menulis:
Masyarakat Indonesia sangat ramah, sangat sopan, sangat bersih---dan tidak terburu-buru. Di setiap daerah, siapapun bisa merasakan energi anak muda yang berlebih. Bertubuh lentur dengan proporsi yang baik dan berotot, mereka berjalan dengan kepala tegak, bangga, dan melangkah selincah penari---kenyataannya, sebagian besar diantara mereka dapat menari. Jarang sekali mereka meninggikan nada bicara kecuali ketika Tertawa dan tampak tidak pernah marah.
Apa artinya keterkaitan kedua situasi yang secara kebetulan sedang saya alami itu? Mengapa situasinya begitu kontras dengan fakta sekarang? Kemudian, mengapa tidak ada istilah hari kebebasan?
Seketika saya membalas SMS tersebut. Begini: kemerdekaan itu berbentuk plural. Kemerdekaan identik dengan “kita”, sedangkan kebebasan identik dengan “saya”. Bentuk plural adalah sebuah klaim. Dia akan berevolusi menjadi sebuah pluralis imperialis. Yang akhirnya akan berkontras dengan dirinya sendiri.
Semisal, ketika saya mengatakan bahwa saya adalah cowok jomblo terhebat di dunia. Barangkali orang tidak akan merasa tertipu dengan pernyataan saya. Orang yang mendengar hal tersebut barangkali akan menganggap saya sebagai pembual gila. Dan tidak akan pernah menganggap saya memiliki keterkaitan dengan PJI (alias, Persatuan Jomblo Internasional). Tapi hal tersebut lain jika dikatakan dalam konteks politik.
Kemerdekaan! Adalah sebuah klaim bagi pembenaran kekuasaan. Dia adalah klaim politik bagi sebagian orang yang sekarang disebut sebagai Founding Father. Segelintir orang dipercaya sebagai perwakilan sebuah bangsa. Sebuah kebetulan yang dirayakan sebagai peringatan kemerdekaan.
Bagi orang yang sering menggunakan akal sehatnya---dan sedikit jeli. Lenyapnya kolonialisme “bangsa lian” secara laten akan berevolusi menjadi “imperialisme” dalam bentuk yang baru. Perampokan gaya baru ini semakin mendapat legalitas serta jalannya nyaris mulus. Karena hampir belum pernah ditentang sekalipun.
Zaman sekarang, imperialisme dapat dilakukan dengan tiga cara. Yang pertama melalui kekerasan/perang, yang kedua melalui penguasaan penuh terhadap sistem moneter, Ketiga melalui strategi budaya.
Dalam sistem moneter, uang logam dirubah menjadi uang kertas. Surat hutang digunakan untuk biaya operasional politik/pemilu, pajak dikorupsi secara terang-terangan. Media massa memberi penjelasan panjang lebar tentang manfaat bonds—sekarang punya varian dengan nama sukuk! Pertanyaannya, dengan apa pemerintah membayar itu semua di masa depan? Yang jelas dengan uang dari individu-invidu yang bekerja keras!
Dalam bidang kebudayaan, Sejarah digunakan sebagai pembenaran bagi rezim penguasa. Dan kebenaran diplintir sedemikian rupa melalui ruang-ruang kelas yang disebut sebagai sistem pendidikan nasional.
Jalan imperialisme baru tersebut nyaris mulus. Karena sang imperium (baca: pemerintah) telah berhasil menciptakan sebuah artificial enemy. Mereka sering menyebutnya "Barat", "Kapitalis" "Kafir Bejat", "Kontra revolusioner", "Anti pembangunan", "Anti Reformasi", "Fundamentalis Pasar", "pengacau keamanan", "Pemberontak", "Pengganggu Stabilisator", "Pembangkang", "Anti Pancasila", dan "Anarkis"(Giy)
38 komentar:
Tidak ada pembebasan !!!
jika melihat indonesia tambah lucu...ha..haaa.
karena negaranya sudah terjajah/dirampok oleh barat baik itu ekonomi,militer,budaya.dan sebagainya..
e... malah masyarakatnya ikut merampok dinegaranya sendiri.
Kita merdeka kalau sudah tidak ada pajak, tidak ada bank sentral dan pemerintah adalah service provider.
Service provider dengan system pay as you use the service.
Kalo mau cari kerja, pergi ke depnaker, gunakan jasanya dan bayar. Kalo dapat kerja tanpa depnaker..., nggak perlu bayar dong.
Juga dept. sosial. Kalo ada keluarga yang perlu dititipkan ke panti sosial, gunakan panti sosial pemerintah dan bayar
Nggak perlu ada dep penerangan... dep agama, dep peranan wanita, BIN, Sekneg, DPR, MPR.
Untuk bikin aturan, cukup kabinet. Buat apa DPR(D)?
masalahnya, hampir seluruh masyarakat sudah mempercayai bahwa pemerintah adalah "pencipta uang" atau "pencipta kemakmuran"...
Padahal sebaliknya, mereka gerombolan perampok dgn cara menciptakan inflasi setinggi-tingginya....
Parahnya, yang konon menyebut diri mereka intelektual....mempercayai ketololan itu....!
ah mumet memang meyakinkan org2 yang tidak mau belajar....apalagi calon politikus...
uang Fiat + Bonds + Pajak = penggerus kemakmuran....
ketiganya adalah ciptaan pemerintah....
masalahnya, hampir seluruh masyarakat sudah mempercayai bahwa pemerintah adalah "pencipta uang" atau "pencipta kemakmuran"...
Padahal sebaliknya, mereka gerombolan perampok dgn cara menciptakan inflasi setinggi-tingginya....
Parahnya, yang konon menyebut diri mereka intelektual....mempercayai ketololan itu....!
ah mumet memang meyakinkan org2 yang tidak mau belajar....apalagi calon politikus...
uang Fiat + Bonds + Pajak = penggerus kemakmuran....
ketiganya adalah ciptaan pemerintah....
wah kang Gik sudah termakan logika kapitalisme ne....
berarti saya dah bisa belajar kapitalisme dari kang gik aja, coz pak imam semar tak kunjung menanggapi pertanyaan saya. hehehe
Ah, mas giy terlalu sentimentil.
tidak semua bisa di generalisir mas..
fah berkata...
Ah, mas giy terlalu sentimentil.
tidak semua bisa di generalisir mas..
BI nyetor ke DPR sejak tahun 1970!!!
Nilai riil rupiah turun 99.4% selama 38 tahun (1970 - 2008) - Tarif bis dari Rp 15 (awal 70) ke Rp 2500 (sekarang).
Dengan pembangunan selama ini oleh pemerintah yang katanya pencipta kemakmuran, GDP Indonesia 79 grm emas per tahun perkapita, setelah 38 tahun.....GDP Inonesia.....50 gram emas (ambil harga emas rata-rata 6 bulan terakhir).......
Jadi pemerintah Orde Baru dan reformasi adalah penghisap kemakmuran, seperti kata Giy. Tahukah anda pada jaman Belanda, rakyat Hindia Belanda lebih makmur. Itu kata nenek dan buyut saya...., jaman NORMAL, katanya. Bukan jaman Revolusi (Sukarno), jaman Pembangunan (Suharto) atau era reformasi...
@ Ed Khan....,
Kalau mau tahu tentang kapitalisme free market, saya anjurkan untuk mampir ke
http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com untuk yg praktis dan lebih menekankan pada logika/kewarasan dan ke
http://akaldankehendak.com/ untuk yang teoritis
Saya barusan baca sebuah Tesis seorang Master dari Universitas Nevada, Judulnya: Early Speculative Bubbles and Increases in the Supply of Money yg ditulis Doug French.
Disana ada penjelasan singkat sejarah koin emas.
Anehnya, konsep koin emas yang diterapkan Belanda tempo dulu adalah pengadopsian dari konsep pemerintahan Islam di Hindia belanda yang juga diadopsi oleh bangsa portugis.
apa maksudnya dari sejarah itu? konon yang mengaku islam tidak tahu sejarahnya sendiri, tapi yang menerapkan justru org2 eropa.
"Islam" apabila tidak diiringi "ilmu" hanya akan menjadi sesuatu yang sia2.
anehnya, bangsa belanda yg dihujat sebagai "penjajah" ternyata lebih manusiawi dari pada yang menyebut mereka bangsa Indonesia.
Baca kompas akhir2 ini: BI telah lama membagi2 uang kepada DPR, konon katanya karena DPR itu paling berkuasa.
Pertanyaan saya, lebih berkuasa mana UU dari DPR sama Uang dari BI?
Toh nyatanya, yg konon DPR itu berkuasa, mulutnya diam ketika disumbat uang dari BI. Ya kita beruntung ada org seperti Agus Condro yang dengan polosnya mengatakan bahwa dia tidak menerima uang 250 juta dr BI,
tapi malah 500 jt...ha2
ini semua kekuasaan Bos!
-----------------------------------
apalagi buku M. S. Goeltom itu, yang konon Best Seler? itu cuma propaganda....
sekarang yang kita pelajari itu jauh dari kebenaran. Semua telah diplintir menurut kepentingannya masing2...
----------------------------------
Begitu juga kritik saya pada segerombolan intelektual. Mereka dengan ilmu pas2an seoalah2 sudah dapat menjadi nabinya para akademisi.
Ingat kata2 saya: jika diskusi2 intelektual tanpa dibarengi dengan pemahaman Ilmu yang cukup, yang cuma dilandasi studi2 "sesat", ujung2nya menuju ke sosialisme.
yg akibatnya kesengsaran seperti di Unisoviet & Jerman tempo dulu.
Ah Pak Imam semar ada -ada saja, saya bolak-balik ke kedua blog itu seperti yang disarankan Kang Giyanto....tak mendapatkan hal baru, dalam pengertian semuanya lemah secara konseptual dan praksisnya....
dan Pak Imam sama sekali gak nanggapi argumen saya...ya maaf saja jadinya males....
Pak Imam Semar dengan alasan sibuk kerja juga tak pernah membuat tulisan yang sekiranya dpt melegitimasi "kebenaran" neoliberalisme-kapitalisme itu...
Kang Gik saya sarankan mempelajari yang benar tentang kapitalisme dan sosialisme, serta gerakan post-marxisme sekarang dan neoliberalisme juga..... jadi gak sekadar ikut pada web: ekonomiorangwaras itu....ya semoga kita tak ikut larut dalam sebuah keangkuhan "intelektual" yang mengaku paling "waras" yang kemudian konsekuensinya menjadikan adanya yang "tidak waras"....
Sudahlah.... kemukakan argumentasi yang sistematis, ilmiah, logis, biar kita bisa belajar dalam bahasa yang lebih sederhana.... maklum kita yang masih hijau di sini perlu belajar dari mbahnya Kapitalis, Pak Imam Semar.....
Tuk tanggapan pada komentar saya atas Pak Imam semar bisa diposting dalam bentuk artikel ntar kita publish-kan di sini....
Edy:
Wong ikut diskusi disana aja ndk pernah, katanya sudah belajar.
kita harus dapat membedakan antara org munafik dan ilmuwan...
mana ada org yang tidak ikut membahas pemikirannya, cuma nonton, dapat menilai sesuatu?
saya sarankan, buat Edy untuk baca2 buku yang asli, jangan cuma terjemahannya ataupun tafsirannya doank!
bacaanmu tolong juga diperluas, jangan cuma Habermas, Russell, Marx, Bordiueu dan tafsiran2 filsafat ala Indonesia itu...
baca yang asilnya donk, jangan cuma terperangkap dalam pengaruh tafsiran orng lain.
Misal, setelah saya baca tafsirannya Russel ttg sejarah fisafat Barat (itu kitab kamu kan?) ternyata berbeda dengan tafsiran saya....
makanya, baca buku aslinya dong, perbaiki tu pemahaman bahasa inggrismu!
Giy
Buat Pak Imam, mendingan Bapak Enjoy bekerja aja daripada nanggapi argumen2 yang tidak orisinil,
cuma menghabiskan energi Pak IS....!
Santai saja Pak IS, masalah counter argument itu sudah ada petugasnya sendiri...kita kan kapitalis?he2...
ngapain mumet2...entar kan banyak ilmuwan yang mengungkap kebenaran itu...
kalau sekarang belum, saya siap jadi "korban" menjadi ilmuwan menentang sosialisme, neo-marxisme, dsb...
Mendingan entar saya lanjutkan menulis ttg "cinta", lebih asyik....he2...
bacaan saya memang tidak banyak, ya cuma itu-itu saja. yang saya tahu ya cuma itu-itu saja. yang akan saya baca, ya lagi-lagi akan itu-itu saja.
tapi, masyarakat sekarang (mas taufik akan lebih bisa menjelaskan) itu bukan seperti beberapa abad lalu, yang belum berpengalaman dan berpengetahuan luas seperti mas giy atau pak IS.
yang saya tahu, semua manusia mempunyai realitasnya sendiri-sendiri. betul bahwa mas giy dan saya (misalnya) hidup di lingkungan sekaran juga Unnes, juga embun pagi, tapi iti hanya perpotongan dari masing-masing dunia kita, dan tentu lebih banyak lagi dunia ms giy yang tidak saya tahu, juga sebaliknya.
dan lagi, sekarang ini titik tumpu masyarakat bukan lagi produksi mas, tapi konsumsi. barang, semula ada karena dibutuhkan. tapi sekarang, barang dibutuhkan karena diadakan;logikanya sedah terbalik. iklan misalnya, yang tadinya hanya perantara pun menjadi barang itu sendiri, yang tak mewakili apa-apa.
saya rasa, dunia tak hanya ekonomi, politik, bisnis, intelektual, penipu, dsb. kapitalis tidak lagi bisa dihadapkan vis a vis dengan sosialis, karena memang tidak bisa lagi demikian.
dikotomi semacam kapitalis/sosialis, mengharuskan keunggulan pada kata yang pertama. tapi sekarang tidak bisa lagi seperti itu, juga dikotomi-dikotomi yang lain (oposisi biner)
realita tak hanya realita, tapi pseudo realita, hiperrealita, posrealita, dan mencari realita yang sebenarnya sulit. semua ada.
semua ada.
atau mungin karena cita-cita founding fathers yang hanya menghantarkan sampai pintu gerbang kemerdekaan, telah disakralkan oleh orang-orang yang (diharapkan) menjadi penerima tamu di gerbang, penabur bunga, penyedia karpet merah, pembabat alas, ternysts hsnys hidup dalam romantisme "depan gerbang".
sebuah kata yang keluar tak pernah bisa berkata utuh, apalagi sekedar teks preambule yang telah berumur. itu hanya potret, yang hanya memperlihatkan sebagian kecil, hanya potret dalam tempo yang singkat;usaha menghentikan jalannya waktu.
Buat Kang Gik...saya butuh jawaban yang dewasa, bukan keangkuhan intelektual semacam itu yang dulu sudah saya ingatkan...kok saya merasa Mas Fahmi lebih dewasa dalam hal ini...
gimana ini>? Wong Pak Imam yang posting di blog embun pagi ya mesti menanggapi di embun pagi lah, masak tanggapannya di blognya sendiri, padahal saya menanggapi di embun pagi....hehehe...satu-dua kalisaya coba tanggapi di blog Pak Imam, ternyata menungu moderasi dan gak pernah muncul komentar saya ....
ya...saya memang bacaannya baru itu Kang dan Pak, jadi argumen saya juga bisanya segitu aja, tapi kalau argumen saya yang cuma segitu tak bisa ditanggapi ya mau apa lagi saya....masak saya mesti berargumen lagi??? males ah....
gampangnya gini, klo yang masih belajar dan belum tau apa-apa soal kapitalisme kemarin menanggapo posting Pak Imam Semar gak bisa ditanggapi, yah...bagaimana saya bisa belajar ....
Nah ini saya baru belajar baca tulis Inggris, ya masih tingkat anak-anaklah dibandingkan Pak Imam dan Kang Gik...tapi ya itu tadi, ya semoga saya gak terperangkap dalam tafsiran orang lain, wong tafsiran orang lain itu saya tafsirkan juga hehehe....
Memang kita perlu baca teks aslinya, kita khan dalam tahap itu semua, tapi dengan memahami terjemahan yang saya kira cukup logis dengan dukungan fakta, juga sudah dapat lumayan menjadi dasar argumen yang kokoh....
Nah, gini saja Kang Gik pakai buku asli bahasa Inggris, jerman, prancis, atau manapun lah untuk menegaskan argumen dan saya pakai yang versi terjemahan saja....itu untuk uji sahih tidak, kuat tidaknya sebuah argumen, ...
contoh Kang Gik, beda tafsiran antara bacaan Russel atas filsafat Barat dan bacaan Kang Gik atas filsafat barat berbeda, lho kalau berbeda terus kenapa??? itu perspektif berdasarkan pada kerangka metode yang berbeda, referensinya Russel dan Kang Gik juga berbeda ya wajar klo tafsirannya beda...saya pun juga beda sama Russel...atau jangan-jangan Kang Gik menganggap saya mengamini semua yang saya baca, ah Kang Gik ada-ada saja....
Sudahlah buat tulisan tentang neolib-kapitalis dengan rujukan asli yang Kang Gik baca, dan akan saya tanggapi...oke...salam sayang dari sini....hehehe....
saya tak mencoba berlindung dibalik nama orang lain, atau barangkali kalau argumen saya sama dengan irang lain. saya kira itu hal yang biasa, karena kebetulan saya bukan manusia yang pertama, sehingga berhak membuat sejarah manusia. saya jadi teringat pertanyaan seorang teman "apakah ada yang orisinil?"
itu bukan masalah "ada atau tidak", tetapi memang setiap orang mempunyai realitanya masing-masing.
untuk menafsirkan sesuatu, itu bukan menyematkan makna kepadanya. tetapi lebih kepada menghargai apa-apa yang membangunnya..
entah itu kapitalisme, sosialisme, mas giy, mas edi, embun pagi, dan semuanya
ungkapan itu bukan dogma dan tidak untuk saya dogmakan, bermaksudpun tidak. sekali lagi, saya tak merasa menghamba pada "isme" apapun, juga humanisme yang indah itu!
saya juga tak meng-aku ini adalah gagasan (orisinil) saya..
maaf ya baru koment..
maklum kapitalis biasanya kalo malem mingguan digunakan untuk santai.
Kalau saya sih nonton film ama temen2 sekerja...barusn nonton Big Mom...lucu juga,he2...
Masalah tanggap menanggapi ya entar saya tak nyicil artikel dikit2...coz hidup itu indah boz..
toh nyatanya sekarang saya lu2s ndk lu2s tetep bisa senyum gembira...coz kuliah itu bukan segala2-nya....
kalau ada yg ngebelain masalah pendidikan harus subsidi...ya itu kan pandangan pribadi yg dimaksukan ke politik...toh nyatanya Bapak saya ndk mumet2 amat kalau anak nya sekolah apa ndk...
karena masalah belajar ndk belajar adalah tanggungjawab individu itu masing,
kalau ada yang mengemis ama negara itu ya urusan pandangan pribadi....
entah atas nama membela serangan dari neoliba lah....ya ujung2nya juga pakai duit org yang bekerja keras...
kalau ndk dari pajak?inflasi?sama obligasi?
ya negara cuma punya alat itu untuk mencuri dari manusia2 bebas seperti saya ama Pak Imam...
ya kita harus bisa membedakan antara pengemis dan pekerja-keras....
itu saja menurut saya, tidak ada kata2 muluk di komen saya (yang barangkali sekaligus menutup artikel saya ini) dan apabila ada tanggapan lain...its not my busnise man! ok..please realistis..and peace!
and so, good questions...
salam
realistis, itu sesuai dengan realita. tetapi, realita yang saya hadapi mengajarkan saya bahwa realita itu bukan cuma satu.
kebetulan, saya belum lama ini, dan sampai sekarang ikut bantu-bantu jadi EO acara off air sebuah radio swasta, di kawasan BSB, sekedar bermain (kalau itu tidak boleh disebut bisnis) dan bagi saya nyata, tentu saja sampai batas tertentu. tetapi, apakah yang saya lakukan itu "nyata"? bagi saya (yang EO), urusan saya adalah tetek bengek panggung, sound system, rundown acara, sponsor, publikasi, proposal, venue, backdrop, banyaklah. dan memang tetap ada pembagian tugasnya, lagi2, walaupun berada dalam satu EO, realita masing-masing anggota juga berbeda.
bagi penonton, tak ada itu semua, yang ada hanya tontonan, band, dancer, asyik atau tidak. atau agak sedikit teoritis, ya saya tidak bisa cerita banyak, lagipula juga pemahaman akan berbeda. ada itu hiperrealita, hipersemiotika, itu bukan alih bahasa, karena memang karangan orang indonesia..
nah, buku itu, realita atau tidak? keyboard yang saya pencet2 ini? kopi yang sedang saya minum? layar monitor yang sedang saya "penthelengi"? apa yang saya ketik? apa yang saya pikirkan?
menjadi EO, apa ada hubungan dengan pajak? (kebetulan tidak memasukkan proposal ke "milik negara", tetapi ke pengusaha2, tak seperti lembaga kemahasiswaan)
tapi saya tak bisa dan memang tak pernah merasa bebas. bebas, ya mungkin bebas dari realita-realita, dan hanya mengakui satu realita untuk dipaksakan pada orang lain yang juga punya realitanya sendiri...
barangkali itu.
lagipula, mungkin bagi sebagian orang, apa yang saya lakukan ini juga tidak realistis.
Ya, ada realitas buku, realitas cinta, realitas akadamik, realitas bisnis, realitas mimpi?, realitas Giyanto, realitas fahmi, realitas dsb...
tercecer deh akhirnya....
tentang intelektual yang "selingkuh",
lah, intelektual itu kan harus jujur dalam mengungkapkan sesuatu.
orang yang mengungkapkan ini-itu, yang kebetulan juga didengar oleh dua pihak yang sedang bertransaksi, lalu salah satu pihak terpengaruh oleh apa yang dikatakan (oleh intelektual), apa itu bisa disebut campur tangan? intervensi? menganggu transaksi?
celana boxer itu, dibikin oleh orang-orang dengan gaji tak lebih dari satu dollar (AS) dalam sehari (dalam sehari bisa bikin puluhan celana). tetapi dijual di belahan bumi sebelah sana, sekitar 120ribu rupiah, atau 12 dollar. itu fakta.
jika seseorang mengungkapkan kebenaran itu, ya jelas mengusik ketenangan salah satu pihak. tetapi apa mengurangi level kebenaran dari fakta tersebut? tanpa bahasa persuasif, yang berapi-api ala soekarno pun, orang akan terpengaruh. dan saya tak bisa membayangkan, kalo hal semacam itu dianggap campur tangan.
sejujurnya, saya sangat merasa tidak rela jika melihat kesenjangan ekonomi yang begitu jauh. orang yang satu bekerja keras, macul di sawah, ngrabuki, panen, ngedos, (n)jemur gabah, tapi ya begitu-begitu saja. (kebetulan mbah saya, juga orang tua saya punya sawah, jadi saya akrab dengan hal-hal semacam itu). di sisi lain, seseorang yang hanya memegang tilpon dan tak henti-hentinya melihat bursa saham, bisa sedemikian kaya. orang itu bukan bagian dari pemerintah, baik itu RT, RW, desa, apalagi negara.
mbah saya, atau ayah saya pun tak lantas menyalahkan negara, juga orang yang memegang tilpon tadi. padahal beliau cukup akrab dengan isme-isme, karena kebetulan juga menjadi guru;PNS.
jika suatu saat, ayah saya mendapatkan pemaparan yang memusuhi negara (walaupun apa yang dipaparkan adalah kejujuran dan kebenaran), apa itu bukan suatu bentuk propaganda? dan jika ayah saya lalu percaya dan memusuhi negara, apakah kesalahan bisa dilemparkan pada sang propagandis?
poin utama yang saya maksudkan adalah kejujuran. saya jujur, bahwa ini yang saya tahu. tetapi, apakah yang saya tahu dan saya tuliskan ini benar? tentu tidak. dan sayapun (semoga) tetap membuka diri untuk hal-hal lain, dan tidak mendogmakan apa yang saya tahu sekarang ini.
intelektualitas, setidaknya bagi saya, bukan masalah benar-salah. lebih kepada kejujuran, bukan kepentingan dan opportunisme seperti yang dikatakan mas haris. saya secara pribadi menganggap mas giy seorang intelektual, ya karena kejujuran yang senantiasa melekat pada mas giy. bukan atas apa yang mas giy suarakan. tentang perbedaan pendapat, lha itu hal yang biasa, bahkan harus ada, dan tak harus menjadi sama.
saya tak ingin membahas negara/pemerintah dulu, karena saya belum merasa "berkepentingan" dengan mereka. tidak adapun tidak apa-apa.
tentang simbol,
saya rasa simbol itu ada setelah realita. karena simbol (pada awalnya) memang mewakili realita.
sekarang ini, simbol sudah bertebaran sedemikian rupa mendahului realita;logika sudah terbalik. mengandaikan realita dari simbol tertentu, apa itu "realistis"? konsekuensi logisnya, pengandaian itu belum pernah ditemui oleh si pengandi. dengan sendirinya (bagi si pengandai), apa yang dia andaikan itu jelas bukan realita, karena belum pernah dia alami dan dia temui.
ini mungkin bisa menjadi satu artikel, tetapi berbenturan dengan hal lain. sejujurnya, bahwa saya butuh tambahan uang untuk makan di perantauan, dan saya merasa tidak bisa selamanya bergantung pada orang tua, maka saya ikut bantu2 mewujudkan dan mensukseskan acara yang tidak "realistis" semacam2 itu.
lalu negara? boro-boro memandangnya sebagai perampok kebebasan, lha saya lirik saja belum kok.
hehe,,
(saya berharap ada yang menjawabkan pertanyaan-pertanyaan saya)
kalau semua tanya, siapa yang menjawab...
ketika semua bersuara, siapa yang mendengar...
ketika semua menyerukan kebenaran, mana beda yang salah dan benar...
ketika semua realitas, mana beda atara realitas dan khayalan
ketika semua mengisi, siapa yang mengsongkan...
ketika semua mengosongkan, siapa yang mengisi...
itulah manusia...
oposisi biner, kok sepertinya sudah tidak bisa lagi "di-oposisi biner-kan"
tanpa logika formal, jadinya tidak ada ilmu pengetahuan...
yg ada hanya kesamaran pikiran yg samar2...
logika formal, tidak cocok untuk semua ilmu pengetahuan..
ilmu berkembang karena tidak realistis, dan pengetahuan memang harus realistis.. rasionalitas ilmu dan pengetahuan itu sudah berbeda, belum lagi agama, ideologi, dan cinta.
mem-formalkan salah satu rasionalitas untuk diberlakukan kepada semuakah?
berpikir, itu semacam bercakap-cakap dengan diri sendiri. mengajukan pertanyaan, dan menjawabnya sendiri.
"kok bisa seperti ini ya? = oh, ya seperti ini, lalu seperti ini" lalu "bagaimana agar tidak menjadi seperti ini? = ada beberapa opsi, seperti itu, atau tidak seperti ini"
dst..
logika mungkin semacam alur berpikir. kalo diformalkan, dilegitimasi, diabsahkan, ya akhirnya menjadi logika yang sekedar formalitas.
logika itu sendiri menjadi tidak logis.
Imam Semar berkata...
(fah berkata...
Ah, mas giy terlalu sentimentil.
tidak semua bisa di generalisir mas..)
BI nyetor ke DPR sejak tahun 1970!!!
Nilai riil rupiah turun 99.4% selama 38 tahun (1970 - 2008) - Tarif bis dari Rp 15 (awal 70) ke Rp 2500 (sekarang).
Dengan pembangunan selama ini oleh pemerintah yang katanya pencipta kemakmuran, GDP Indonesia 79 grm emas per tahun perkapita, setelah 38 tahun.....GDP Inonesia.....50 gram emas (ambil harga emas rata-rata 6 bulan terakhir).......
"Jadi pemerintah Orde Baru dan reformasi adalah penghisap kemakmuran, seperti kata Giy. Tahukah anda pada jaman Belanda, rakyat Hindia Belanda lebih makmur. Itu kata nenek dan buyut saya...., jaman NORMAL, katanya. Bukan jaman Revolusi (Sukarno), jaman Pembangunan (Suharto) atau era reformasi..."
saya merasa tak menjadi satu-satunya orang yang terperangkap dalam romentisme masa lalu. dalam keterkaitannya dengan waktu, masa lalu hadir melalui cerita-cerita, yang dinamakan sejarah.
sejarah selalu hadir dengan wajah yang tidak lengkap.
ah, manusia itu "sawang sinawang" saya, yang kebetulan hidup di masa sekarang, mungkin akan berkata "masa lalu lebih enak". tapi sayang, saya tak bisa bertanya pada orang yang hidup di masa lalu "apakah hidup pada saat itu enak?"
ilmu tanpa logika...?
itu yg membedakan antara pelamun, ilmuwan dan juga seniman...
lho, siapa yang bilang ilmu itu tanpa logika?
ilmu itu berkembang justru karena tidak realistis.
john dalton itu, apa realistis pada zamannya. dia bilang ada atom, elemen terkecil dari semua zat, dan itu seperti bola pejal. lalu henry mosley, apa realistis poada saat itu? setelah john dalton bilang bahwa atom itu ada lintasan-lintasannya, seperti planet? lalu dia pake sinar laser, gamma atau beta atau apa, untuk melihat bahwa atom mempunyai lintasan-lintasan, yang berisi elektron, proton, dan netron.
galileo, justru menjadi korban karena dianggap tidak realistis (terlepas dari intrik-intrik tentang roman kisahnya), tapi justru mataharilah yang menjadi pusat Bimasakti, bukan bumi.]
banyaklah, contoh-contoh bahwa ilmu itu berkembang justru karena tidak realistis.
contoh lain,
mas said, dalam artikelnya itu, mengisahkan apa yang dia lihat;PPA. dan itu realistis.
tetapi PPA itu sendiri bagaimana?
PPA=program poengenalan akademik, yang ditujukan mengenalkan kehidupan kampus pada mahasiswa baru. PPA sebagai pengenalan, pencitraan atas kehidupan kampus. tetapi apakah kehidupan kampu itu akademis an sich? PPA itu sendiri tak menggambarkan kehidupan kampus dengan realistis.
kehidupan kampus, itubertujuan agar mahasiswa siap terjun di kehidupan masyarakat. kehiduypan kampus sebagai simulasi. tetapi apakah kehidupan masyarakat itu seperti kehidupan kampus?
maka, setidaknya akan ada dua diskursus.
yang pertama, realita adalah apa-apa yang dihadapi oleh individu. sementara individu tidak cuma satu, bermilyar-milyar, dan apa yang mereka (juga kita hadapi) itu berlainan.
yang kedua, ada realitas tunggal, seperti kesimpulan Plato itu, idea-idea ato apa itu.
khayalan;imaginasi itu sendiri juga dipengaruhi oleh apa yang dihadapi oleh si pengkhayal.
orang berkhayal tentang kuda bersayap dan bertanduk. itu juga karena pernah melihat kuda, hewan bersayap, juga hewan bertanduk. lalu di comot-comot, jadilah unicorn.
khayalan itu sendiri, memang tidak realistis, tetapi selalu berdasarkan apa yang pernah dihadapi.
saya tak berusaha mendukung untuk ber-utopis, tetapi mengatakan dunia dengan oposisi biner, itu saya punya pendapat lain.
Sudahlah Mas Fahmi....selama Kang Gik menggunakan paradigka "kengeyelan dogmatis" dan tulisannya sama sekali tidak "membelajarkan" dan "ilmiah" mending gak usah ditanggapi serius...diprovokasi aja biar tambah merasa paling benar, biar merasa dia sudah bisa....biar merasa gak ada yang benar selain dirinya hehhe....aku khan paling seneng liat Kang Gik seneng...lha gimana lagi, gap pernah seneng dari masa kecil.... peace man....
Terima kasih kepada Giy yang telah mengirimkan link ke dialog ini. Saya tertarik untuk memberi tanggapan awal; maaf kalau agak berkepanjangan. Berhubung jurnal saya ikut tersebut, saya ingin mulai tepat dari sini.
Akaldankehendak.com berfokus pada kebebasan individu dan memperkenalkan tawaran kesimpulan bahwa kapitalisme, dalam pengertian liberalisme klasik laissez faire, adalah satu-satunya sistem pengorganisasian sosial yang paling tepat dan paling moral bagi manusia. Sayangnya, istilah kapitalisme dan liberalisme itu sendiri sudah katakanlah tercemar, antara lain dengan berbagai varian2 neoliberalisme, kapitalisme kroni, dll. Dalam pemahaman saya varian-varian ini lebih tepat diklasifikasikan ke dalam varian dari statisme atau sosialisme, yang saya yakini cepat atau lambat, akan membawa kemanusiaan kepada totalitarianisme.
Jurnal Akal & Kehendak, seperti kata Ed Khan, masih lemah secara konseptual dan praksisnya. Ini tepat. Seperti halnya KEP, dia tidak berhasrat menghasilkan risalah buku teks; seperti KEP, A&K tertarik pada berbagai isu. Namun setidaknya, sejak di bagian mukadimah hingga sebagian besar artikelnya, Jurnal setidaknya mencoba mendedah konsep/isu dengan seterang mungkin (kadang mungkin terkesan terlalu bersemangat) dengan menjejakkan landasaran teoritis/filsafati dari pemikirannya, sehingga skeptisisme para pencari “kebenaran” berpeluang untuk terpuaskan dengan menelusuri lebih lanjut apa-apa yang belum/tidak tercakup di dalam keterbatasan jurnal.
A&K bahkan memiliki ketertarikan khusus dengan metodologi ilmu sosial dan metodologi yang sama sekali asing dan bagi bumi Indonesia: praksiologi. Jika semakin banyak orang tertarik untuk mendalami praksiologi, akan semakin berkualitas dialog kita. A&K juga coba menerangkan sejumlah isu dari sudut pandang ekonomi. Tidak selalu ekonomi, tetapi kok banyak cukup banyak ekonominya? Karena ilmu ini paling sering dijadikan alat justifikasi kebijakan; jadi ilmu ini harus bersedia mempertanggungjawabkan kekacauan yang ditimbulkannya;-p.
Jika bung IS di dalam 2 artikelnya pernah bilang bahwa ekonomi itu bukan sains; saya dengan ini menyatakan tidak sependapat, meski saya memahami mengapa ia menyimpulkan demikian.
(Perkembangan dan penerapan ilmu ekonomi dengan pendekatan dan metode empirisme+positivisme ala ilmu alam memang sepertinya menunjukkan betapa kerap temuan-temuan teori ekonomi mainstream seperti bertumbukan dan membingungkan. Ini alasan utama mengapa di A&K saya juga coba perkenalkan pemikiran ekonomi dari mazhab yang kurang dikenal di Indonesia: yaitu mazhab Austria. (Teori-teori ekonomi yang saya pelajari secara formal adalah teori arusutama. Tetapi jawaban yang memuaskan dan tidak taksa seputar fenomena perekonomian, justru saya sering saya peroleh dari pemikiran mazhab ini.)
Saya salut dan sepenuhnya sependapat dengan pandangan bung fah tentang kejujuran intelektual, yang bagi sesama pembelajar sepanjang hayat harus disadari arti pentingnya di samping persoalan salah-benar. (Sama dengan fah, saya juga tidak mempertanyakan keintelektualan seorang Giy, yang belum lagi sarjana; potensinya besar di usianya yang muda. Hemat saya, dia bukan macam ‘cecunguk desa’ dan saya harap Bung Goen orang terakhir yang memakai istilah tersebut.)
Saya sadari jurnal yang saya asuh adalah lebih sebagai proses ketimbang hasil. Dengan itu saya menyatakan bersedia terpapar pada pemikiran-pemikiran yang berlawanan; saya sama sekali tidak keberatan mendengar ide-ide yang bertentangan. Bagi saya ini justru sangat penting untuk menyadari kekeliruan-kekeliruan, terutama di pihak saya sendiri.
Menurut hemat saya dalam pencarian kebenaran ilmiah, kita perlu bersandar pada teori atau kalau tidak ada, dan jika kita mampu, kita harus menggagas teori baru. Sebab, teori yang baik akan membantu kita membei cahaya penerangan. Contohnya tentang celana boxer fah:
“...celana boxer itu, dibikin oleh orang-orang dengan gaji tak lebih dari satu dollar (AS) dalam sehari (dalam sehari bisa bikin puluhan celana). tetapi dijual di belahan bumi sebelah sana, sekitar 120ribu rupiah, atau 12 dollar. itu fakta.”
Ini fakta. Tapi bagaimanakah kita memahami pernyataan yang sepertinya sederhana ini?
Untuk pemahaman yang baik tentang fakta tersebut, kita perlu memahami teori pertukaran—dalam hal ini pertukaran yang terjadi secara bebas, tanpa ada unsur paksaan di kedua pihak. Untuk memahami teori ini, kita perlu memahami teori subyektivitas nilai. Untuk menerima teori subyektivitas nilai, kita perlu memahami perjalanan teori tersebut, sebab teori ini sepertinya memerlukan pemahaman logis beberapa tingkat yang tidak langsung dapat disimpulkan, dan dengan demikian kita bisa mengapresiasi betapa mengagumkannya tilikan ilmu ekonomi dalam hal yang satu ini: yang disebut dengan the Marginal Revolution theory dalam sejarah perkembangan pemikiran ekonomi, yang dalam hemat saya nilai pentingnya kurang disadari dewasa ini.
Kembali ke celana boxer, ini adalah fakta yang ‘terlihat’. Yang juga penting dan mungkin lebih penting adalah fakta yang tidak terlihat.
Salah satu fakta yang tidak terlihat adalah peluang kebangkrutan sang penjual jika ia menjualnya dengan harga tersebut. Juga tidak terlihat adalah berbagai puluhan bahkan ratusan pajak dan pungutan yang harus dibayarkan seorang pebisnis atas ‘kebijakan’ pemerintah pusat dan daerah.
Kita perlu tahu juga fakta bahwa di dalam setiap pasar bebas, tidak ada paksaan apakah kita harus membeli celana semahal itu. Fakta juga bahwa dalam persaingan bebas, kita mungkin lebih berpeluang mendapatkan celana serupa dengan harga yang lebih murah dan kualitas lebih baik.
Semua hal yang saya sebut ini berangkat dari pemahaman yang intuitif tentang individu: bahwa setiap individu cenderung dapat berproduksi secara jauh lebih baik tanpa adanya koersi. Jika kita ingin tahu darimana tilikan ini berasal, kita tidak perlu jauh-jauh menceknya, tinggal cek dengan diri sendiri. Jika sebagian dari kita masih ingin tahu ulasan yang lebih konseptual, Ludwig von Mises dan Ayn Rand hampir sepanjang hayatnya memperjuangkan hal-hal semacam ini.
Bagian selanjutnya dari komentar ini saya tujukan sebagai tanggapan tidak langsung atas pertanyaan yang pernah ditanyakan oleh Ed Khan kepada IS; saya sekalian menanggapi tanggapan fah kepada Giy.
Kapitalisme yang dimaksud dalam konteks tulisan Giy dan IS saya yakin adalah paham pengelolaan perekonomian yang tidak ingin membela kepentingan satu golongan pun—tidak juga kepentingan pengusaha dalam pengertian pebisnis. Atau, mengingat semua kita dalam sudut pandang tertentu adalah juga pengusaha, dalam arti bahwa kita semua menempuh risiko dengan mempertaruhkan penggunaan sumber daya terbatas yang kita miliki untuk suatu tujuan di masa depan dengan ketidakpastian yang pasti, maka kapitalisme di sini adalah sistem yang mencoba yang paling baik, paling moral, dengan sepenuhnya menghargai manusia sebagai individu. (Saya pernah menulis ini dalam satu artikel di Jurnal—Kapitalisme, Ideal Yang Tidak Kita Kenal.)
Pasar bebas dalam pemahaman kedua penulis tersebut, sejauh yang saya pahami lewat dialog kami lewat email dan komentar2 masing-masing, adalah sistem pengorganisasian laissez faire. Di penghujung paham ini, ada dua varian ultimat yang terkait dengan tugas negara: yang satu minarchism, yang kedua anarcho-capitalism; dan sejauh ini kami belum memasuki memasuki wilayah tersebut.
Namun, dapat saya pastikan di sini, pandangan-pandangan Giy dan IS tidak dapat digolongkan sebagai pengikut, melainkan justru menentang, paham neoliberalisme. Jadi justifikasi neoliberalisme harus kita cari dari pemikir-pemikir lain. (Kalau saya keliru, saya dengan ini mohon tanggapan dari Giy dan IS. Sampai saat ini pun kami tidak belum pernah bertemu. Namun, kesamaan pandangan saya dengan pandangan mereka dalam hal inilah yang telah menggerakkan saya untuk menyurati keduanya untuk ikut menerbitkan tulisan-tulisannya di jurnal saya.)
Tentang beasiswa ataupun menyangkut subsidi, keduanya dapat dilihat dengan iluminasi cahaya yang sama dengan yang saya coba berikan di atas.
Bagi seseorang yang menikmati beasiswa dari pemerintah—semacam saya sendiri misalnya atau subsidi (semacam yang diterima orangtua Giy dalam bentuk Raskin), tentu selalu menyenangkan mendapatkan apa yang sering disebut sebagai manna from heaven.
Tetapi yang tidak terlihat bagi kita adalah apa yang dapat terjadi dengan perekonomian seandainya uang-uang subsidi tersebut tidak dipaksakan kepada setiap individu, seandainya uang-uang orang tua kita tidak diambil untuk didistribusikan kepada orang-orang lain.
Alasan utamanya bagi keberatan ini: kita sebagai individu-individu cenderung dapat mengalokasikan bagi diri sendiri DAN orang lain secara jauh lebih efisien dan lebih efektif. Ini tidak berpretensi bahwa individu-individu akan selalu berhasil menentukan apa yang terbaik menurut mereka, tetapi cara ini tetap cara yang terbaik seperti pernah saya coba uraikan dalam beberapa artikel di Jurnal.
Apakah kita harus merasa bersalah jika telah menerima beasiswa/subsidi dari pemerintah tersebut? Yah, kita memang hidup di dalam matriks maha-pemerintahan yang semakin menggurita, baik disadari atau tidak. Sebagian kita justru harus menuntut pemerintah, karena pemerintah sudah terlalu banyak mengambil dari kita. Sebagian lagi menganggap ini tidak pas, sebab cara ini hanya akan berakhir menilbulkan kekusutan baru atas kekusutan yang telah ditimbulkan pemerintah dalam mengintervensi perekonomian.
Secara prinsip, dapatlah diterima secara umum bahwa akan sudah cukup baik jika masing-masing dari kita, paling tidak, tidak ikut semakin memperburuk keadaan; minimum begitu. Namun adalah suatu kekeliruan jika kita berpandangan bahwa sepak terjang pemerintah tidak berpengaruh kepada kualitas kehidupan kita. Atau bahwa kita perlu memantau kebijakan pemerintah kalau kita sudah bersinggungan langsung dengannya. Dalam salah satu artikel terbaru, saya secara singkat menulis mengapa kita perlu meningkatkan pengetahuan kita tentang ekonomi.
Akhir kata, perkenankanlah saya mengundang seluruh penggiat KEP (Bung Ed, Bung Fah, dll.) agar bersedia memberi masukan/tanggapan/kritik di jurnal yang saya asuh. Terus terang saya belajar banyak dari tulisan dan tanggapan rekan-rekan di sini.
Saya juga kagum dinamika interaksi dalam komunitas ini—dan saya mendambakan Jurnal A&K dapat dinamis seperti KEP. Dalam kaitan ini saya mau menyarankan agar moderator KEP menambahkan fasilitas komentar, biar jalannya diskusi dapat dinotifikasi secara otomatis untuk siapa saja yang tertarik, lewat email.
Demikian dan terima kasih atas kesempatan ini. Mohon maaf jika ada hal yang mungkin kurang jelas dalam tanggapan yang impromptu ini.
Salam hormat,
Nad/Akaldankehendak.com
wah, saya sungguh tersanjung, mendapat tanggapan dari pak nad, yang jurnalnya hanya saya lihat "dari jauh", karena memang saya tidak (atau belum) tahu tentang permasalahan dengan perspektif yang lebih luas semacam itu.
ya, saya juga sering membuka jurnal A&K, tetapi belum ada "kehendak" untuk ikut meramaikan di sana, bagaimanapun juga modal (dalam arti ilmu dan pengetahuan) itu kan harus punya, sementara saya baru bisa belajar dulu di jurnal pak nad..
yah, bagaimanapun juga saya tetap sayang sama mas giy (hayo, jangan berpikiran yang aneh-aneh lho!hehe)..
mas giy, mas haris, mas yogas, mas luluk, mas taufik, mas edi; beliau2 ini yang menjadi "orang pertama", yang bisa jagongan 4 hari 4 malam, ya bukan karena kepentingan apa-apa selain ngobrol itu sendiri..
oh iya, saya jadi teringat..
waktu bazar tahun lalu, saya membeli buku epistemologi obyektifnya Ayn Rand, tetapi sekarang entah di mana (padahal belum saya baca)
ah, resiko hidup di rumah kost, dengan gaya bohemian
yah apalagi klo bohemian rhapsody khan lebih ber-aphorisma gitu hehehe.....
setubuh juga nie.... (sengaja disalahkan biar dikira saru...). Kayak Pak Nad inilah yang tak maksud Kang Gik, argumennya bagus, sistematis, ilmiah, dan membelajarkan yang baru belajar kayak saya ini, gak kayak Kang Gik...nulis sak nulis-nulise dhewek hehehe....
ya tp itulah style-nya Kang Gik, klo gak gitu gak seru juga rasanya....rasanya ada yang hilang dari komunitas embun pagiiii....
sebenarnya saya pengen nanggapi Pak Nad, tapi blom sempet nulis nie...tentang teori pertukaran yang seingat saya memang satu paket dengan neofungsionalisme Cs yang berupaya bagnkit setelah digempur oleh posmodernisme, cultural studies, feminisme, dan teori sosial kritis lain. juga soal celana boxer itu, mungkin maksud Mas Fahmi adalah pada "keadilan" bukan paksaan atau apa.... teori pertukaran memang sama sekali menutup celah konsepsi hegemoni ala Gramsci, apalagi Marx, bahkan Laclau & Mouffe....
Juga soal pengambilan istilah kapitalisme yang kemudian dimaknai secara "beda" oleh Pak Imam Semar, mungkin gitu klo saya gak salah tangkap.... termasuk relasi dengan kuasa modal, pemerintah, dan negara sebagai entitas yagn sampai sekarang masih ada dan "dibutuhkan" hehe...
Oke, kali lain aja yah...
Halo Fah; ini Nad lagi. Terima kasih atas tanggapannya. Kapan aja mampir ke jurnal dan tertarik kirim tanggapan, monggo ya...
Sekadar info 1:
Ayn Rand konon pernah diwawancara super singkat untuk menyarikan keseluruhan konstruksi pemikirannya sambil berdiri di atas satu kaki.
Dia jawab: rasionalisme, aristoteles; ekonomi, ludwig von mises; filsafat, ayn rand; kesusastraan, victor hugo. he, he... (cuma pandangan teologisnya itu lho yang menyisakan keberatan besar buat saya pribadi!)
Info 2:
Besok saya akan posting satu draft terjemahan yang menarik dari Mises (Bagian 6), yang terkait dengan isu tulisan Giy dan IS di sini. Ini satu-satunya buku mises yang non-ekonomis; dia menguraikan pandangannya ttg mentalitas anti-kapitalisme dari sudut pandang psikologis dan kultural.
Insya allah, minggu depan (01/09) saya turunkan esei singkat ttg kegagalan pasar. Diskusi KEP hari ini (terutama masukan tidak langsung dari Ed Khan) telah memberi saya inspirasi untuk menyampaikannya secara berbeda dari biasanya. Saya akan coba menyoroti konsep kerja yang cukup penting ini dari berbagai sudut. Semoga hasilnya tidak mengecewakan.
Salam,
Nad
Ed Khan, tanggapan saya barusan belum mencakup tanggapan Anda yang terakhir. Terima kasih; saya senang atas respons positifnya. Tulisan-tulisan Bung Ed tentang gagasan-gagasan Gramsci, Laclau & Mouffe, dll, ditunggu dengan antusias.
Salam,
Nad
Oke saya tunggu posting bab 6-nya Bung Nad.... smoga saya bis buat tulisan ringkas tuk sedikit bertanya lagi atau menanggapi tulisan Bung Nad ekmarin...oke, trims.
malik:
wah gayeng tenan.
berawal dari kata merdeka.
kata pepatah jawa "wong akeh iku pirang-pirang"
masalahnya setiap manusia sekarang di berihak untuk membuat definisi sesuai dengan kemaunnya.
jadi mustahil akan di peroleh konsepsi tyang sama selama belum ada bentuk definisi yang memiliki nilai yang sama.
tapi jangan kuatir
allah telah menjamin bahwa perbedan itu rahmat saudaraku.
selama kita menyikapinya dengan bebnar.
maturnuwun
wah, ujang ternyata ikut nimbrung juga. Oh ya, gimana tadi sore rencana "provokasi"-nya sama mahasiswa baru untuk membaca KEP?....he2..
Posting Komentar