online degree programs

Rabu, Agustus 06, 2008

-0-

Jangan lanjutkan membaca ini, jika ingin mencari tips-tips menyesuaikan diri, layaknya tips mengakhiri kejombloan yang menjamur di “lapak kontes terhormat itu”. Jangan pula menyelesaikan ini, jika berharap akan mendapat sebuah suplemen pembangun, seperti yang didapat usai membaca Andrea Hirata, Habiburrahman, Andre Wongso, Renald Kasali, Dale Carnegie, John C Maxwell, atau apapun yang best seller itu. Sekali lagi, jangan lanjutkan jika mengaharapkan hal itu, karena ini hanya sebuah cerita.



Mulanya saya bermaksud membuat yang semacam itu, tetapi mungkin mental saya memang sedang tidak sehat, terlalu tidak sehat, bahkan hanya sekedar untuk berbagi tips penyesuaian diri.. Atau mungkin karena saat ini saya sedang memikirkan sesuatu.


Suatu saat saya membeli sebuah baju yang ternyata berukuran terlalu besar, maka saya membawanya kepada tukang jahit dan berharap si tukang jahit bisa mengecilkan ukurannya, sesuai dengan badan saya ; untuk disesuaikan.
Atau kejadian lain,
Saya mendapatkan undangan pesta dengan dresscode ‘hero’, tetapi ternyata saya lupa sehingga mengenakan batik Pekalongan. Maka saya pulang dan berganti kostum Gatot Kaca lengkap dengan kumis palsu serta selendang. Mengganti kostum adalah salah satu cara agar tidak menyunggingkan senyum kecut nan ciut sepanjang pesta ; untuk menyesuaikan.


Dari ilustrasi itu, terlihat bahwa ada dua bentuk penyesuaian yang dilakukan manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Manusia ‘berubah’ demi lingkungan, atau manusia ‘merubah’ lingkungan agar sesuai dengan dirinya.
Semua bentuk penyesuaian, bermula dari ketidaksesuaian. Artinya, ada semacam upaya untuk menyesuaikan hal yang tidak sesuai. Kata ‘tidak sesuai’ di sini mengisyaratkan sebuah kata sifat, seperti halnya cantik, yang berarti sangat relatif dan multi-interpretatif pada masing-masing individu. Semua individu mempunyai kriteria masing-masing untuk menilai -sesuai atau tidak sesuai tentang- suatu hal. Dengan demikian, penyesuaian diri semula bukanlah permasalahan “komunal”, melainkan lebih kepada unisitas individu.


Di sisi lain, ‘penyesuaian’ bukanlah sesuatu yang bisa berdiri tegak tanpa topangan. Setidaknya harus ada dua unsur yang ‘bermain’ dalam penyesuaian diri, katakanlah itu subyek dan obyek. Dalam konteks hubungan manusia dalam sebuah tatanan masyarakat, ternyata hubungan subyek-obyek menjadi kabur. Semua manusia menjadi subyek sekaligus obyek bagi manusia lain.


Dalam kehidupan saya misalnya, saya adalah subyek, dan semua manusia di luar saya (termasuk anda) adalah obyek. Begitu juga dengan anda yang menjadi subyek dalam kehidupan anda, dan saya merupakan salah satu dari banyak obyek anda. Dan hal ini terjadi antar semua manusia. Pola pertautan yang sangat kompleks inilah, yang menjadikannya memasuki ruang publik, sehingga ‘penyesuaian’ itu sendiri menjadi inheren dalam masyarakat.


Kedua dimensi di atas (manusia sebagai individu dan bagian dari masyarakat) masih pula harus bersentuhan dengan dimensi lain dengan kompleksitas yang lebih luas. Dewasa ini bukan menjadi soal sulit ketika seseorang ingin melihat film, style pakaian, atau apapun juga dari luar daerahnya. Arus komunikasi lewat internet, ponsel, televisi, juga media massa, membawa informasi sedemikian rupa, sehingga membuat orang Indonesia pun bisa tahu kematian anjing kesayangan Paris Hilton bahkan sebelum prosesi penguburan selesai. Pertukaran informasi yang sedemikian cepat membawa serta pertukaran dan lalu lintas nilai yang saling-silang dan terkesan carut-marut, membentuk 'masyarakat virtua', meminjam bahasa Yasraf Amir Piliang. Maka akan sangat wajar ketika Edward Said mengatakan, bahwa dalam konteks kekinian, tak seorangpun yangsemata-mata hanya satu hal. Sebuah “pengingkaran” terhadap otentisitas.


Lalu yang menjadi pertanyaan pada diri saya, apakah para pembuat tips-tips itu memikirkan hal yang sama, seperti apa yang saya pikirkan? Lalu bagaimana jika mereka membuat tips itu hanya dengan 'semangat pasar', tanpa rasionalitas instrumen maupun tujuan yang jelas? Bisakah saya yakin, bahswa tips-tipr itu sesuai untuk semua orang dalam semua konteks, dan semua kasus? Atau hal itu seperti penilaian Hatta pada Soekarno, yang bertujuan baik, tapi cara yang dicapainya justru mendatangkan dampak buruk? Atau seperti tokoh dalam salah satu novel Goethe, yang selalu bermaksud jahat, tetapi tindakannya justru berakibat baik?


Maka, saya tidak bisa (langsung) percaya dengan tips-tips apapun yang datang dari siapapun. Dan saya juga tidak ingin Anda (langsung) percaya dengan tulisan yang baru saja Anda baca ini. Menyesuaiakan diri terhadap lingkungan, membutuhkan pertimbangan yang senantiasa melibatkan hal-hal yang dilematis, sehingga membutuhkan pertimbangan-pertimbangan.


Yang terpenting bagi saya, bukanlah keputusan akhir, dalam hal ini keputusan untuk menyesuaikan diri-atau tidak. Terdapat proses sebelum penentuan keputusan akhir tersebut, juga realita bahwa saya sebagai seorang yang sudah menginjak rentang usia remaja, memiliki kesempatan untuk tahu tentang 'ilmu perilaku-ilmu gejala jiwa', mempunyai anima intelektiva, cipta-rasa-karsa, id-ego-superego, alam bawah sadar kolektif, habitus-modal-ranah, anima-animus, dan “perabotan” lain yang saya punya. Sudahkah saya menyadarinya, menggunakan salah satu dari itu, ketika memutuskan untuk 'menyesuaikan diri'? Atau bahkan saya tak pernah (me-)ingat tentang semua itu, selain dalam ruang kelas, pada satu malam sebelum ujian?

Ahmad Fahmi Mubarok.
fah_itusaja@yahoo.com

Tidak ada komentar: