Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akhir-akhir ini kian meneguhkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan elitis yang tak merakyat. Lewat Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mulai dirintis telah menjadikan kuliah di PTN kian mahal, hal ini dibuktikan dengan sekian banyak pungutan yang dikenakan bagi mahasiswa. Rumor yang berkembang adalah, siapa berani bayar mahal walaupun nilai ujiannya tak lebih baik dari yang tak mampu bayar mahal, maka ia yang diterima masuk kuliah.
Padahal lewat perguruan tinggi negeri mestinya pemerintah melaksanakan tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, termasuk rakyat kecil. Ternyata pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengurangi subsidi untuk PTN sebagai sebuah lembaga pendidikan yang menjadi tanggungjawab negara, di mana rakyat mestinya berhak mendapatkan subsidi tersebut. Jika hal ini diteruskan, lama kelamaan fungsi pelayanan publik dari PTN akan beralih menjadi pelayanan untuk orang-orang tertentu saja, karena PTN sudah menjadi milik pribadi (privatisasi) dan biaya kuliah semakin mahal.
Mahalnya biaya kuliah setelah penerapan PTBHP ini terjadi karena banyak PTN di Indonesia belum mempunyai sumber pemasukan selain dari mahasiswa. Tradisi riset belum tumbuh di PTN kebanyakan, padahal di Barat riset adalah salah satu dari pintu pemasukan dana bagi operasional universitas. Layanan lain seperti percetakan dan penerbitan, short course, program sertifikasi, dan lainnya juga belum banyak memberi kontribusi bagi pemasukan PTN. Jadilah PTN “terpaksa” menaikkan SPP, sumbangan pembangunan, dan pungutan lainnya dari mahasiswa setelah subsidi dicabut via PTBHP.
Di sinilah akhirnya PTN betul-betul menjadi universitas menara gading (ivory tower), yang tak ramah rakyat kecil. Walaupu riset, penerbitan, dan program pelatihan dapat diberdayakan untuk menunjang operasional PT, maka orientasinya hanya untuk mendapatkan untung saja, karena memang tradisi ilmiah terutama riset dan penerbitan belum kuat di PTN negeri ini serta tuntutan pemenuhan dana untuk operasional PTN. Dengan begitu akhirnya tujuan dan hasil penelitian serta penerbitan takkan banyak memberi kontribusi bagi peningkatan kualitas keilmuan yang semestinya dibangun. Tak hanya itu, hasil karya ilmiah pun akan menjadi elitis untuk profit, dan visi PT untuk ikut memecahkan problem sosial masyarakat dinafikan, begitu juga dengan visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Akhirnya terjadi problem penurunan intelektualitas, yakni pemiskinan intelektual.
Ini problem serius yang dihadapi pendidikan tinggi di negeri ini, yakni ketika negara mulai melepaskan tanggungjawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa lewat kebijakan PTBHP. Karena PTBHP sudah dilegalkan lewat Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 untuk UI, UGM, IPB, dan ITB, dan akan menyusul PTN lain tentunya, maka demo dan seminar yang diupayakan untuk menolak PTBHP di kampus-kampus, baik yang sudah berbadan hukum maupun yang akan menyusul akhirnya tak ada gunanya karena tak dapat membatalkan PP tersebut.
Dengan PTBHP walaupun dengan dalih “untuk kemandirian lembaga” serta memberikan kesempatan bagi lembaga agar dapat mandiri dan leluasa dalam mengurus dirinya sendiri sebenarnya tak dapat diartikan secara langsung dengan cara mencabut subsidi pada PTN. Rakyat kecil yang tak mampu secara finansial mestinya berhak atas pendidikan tinggi yang murah namun tetap bermutu melalui PTN. Dan PTBHP menjadikan mereka tak bisa mendapatkan haknya, mereka telah dizalimi oleh negara, dan negara lewat PTBHP dengan terang-terangan telah melanggar Undang-undang yang dibuatnya sendiri.
Jika negara tak dapat menjalankan peran dan fungsinya, inilah saatnya rakyat untuk melawan, meruntuhkan universitas menara gading, dan mendirikan pendidikan tinggi yang lebih merakyat dan sesuai dengan konteks di mana ia berada. Inilah saatnya intelektual organik –dalam istilahnya Gramsci- tampil memimpin sebuah pergerakan sosial dalam bidang pendidikan yang telah terdiskriminasi oleh kekuasaan negara. Mereka adalah intelektual yang mumpuni secara teoritis dan praktis untuk menjadi pusat dari gerakan sosial di sekitarnya.
Sebuah pendidikan tinggi yang entah ia dinamakan universitas, institut, sekolah tinggi, atau apa yang mengakomodasi semua kebutuhan personal dari warga belajar, konteks daerah sekitar, dengan tanpa menafikan realitas global yang penuh tantangan. Yang tak berorientasi pada bagaimana agar lembaga tersebut dapat eksis, tapi pada bagaimana agar lembaga tersebut mampu secara optimal memberi kontribusi bagi peningkatan kualitas warga belajar (baca: mahasiswa) dan memajukan daerah setempat.
Selain itu para aktivis pendidikan perlu terus memperjuangkan agar negara tak begitu saja memutus subsidi untuk PTN. Para pengelola dan segenap sivitas akademika perlu memikirkan bagaimana agar PTN dapat menuju universitas berbasis riset yang ditandai kuatnya tradisi ilmiah dalam memajukan keilmuannya dengan tanpa meninggalkan peran dan fungsinya berorientasi pada pemecahan masalah sosial masyarakat. Hingga biaya kuliah dapat ditekan dan PTN menjadi lebih berkualitas dan merakyat dengan hasil risetnya dan keberpihakannya pada pemecahan masalah sosial masyarakat.
Berdayanya masyarakat dengan mendirikan pendidikan tinggi sendiri yang lebih merakyat tak sekadar sebagai antisipasi ketika negara tetap tak mau bertanggungjawab dalam menangani pendidikan tinggi untuk rakyat kecil ini. Hal itu merupakan bukti bahwa kebijakan pendidikan tinggi dari pemerintah memang tak memuaskan rakyat kecil, bahkan sama sekali tak memihak rakyat sendiri. Pendidikan formal kita telah bobrok, tak berdaya terseret arus neoliberalisme, hingga yang terjadi adalah diskriminasi pendidikan. Dalam pergerakan sosial baru pada bidang pendidikan ini, kita layak memberikan apresiasi pada sahabat-sahabat kita di SLTP dan SMU Qaryah Thayibah, Kalibening, Salatiga yang mulai merintis perguruan tinggi alternatif.
7 komentar:
dunia semakan Nyaknhahhh. Wong cilik yo tetep dadi wong cilik.
negara sudah tidak bisa memelihra warganya, ironisnya jika warga memelihara dirinya sendiri malah tidak didukung pemerintah...contoh banyak sekolah pinggiran milik masyarakat yang tidak pernah tersentuh oleh pemerintah..Madrasah Tasnawiyah AL-Hadi Girikusumo Mrangen demak. fasilitas tidak ada sama sekali
tidak ada negara...
tidak ada indonesia....
tidak ada pendidikan......
tidak ada universitas.....
yang ada...
perampok dengan sistem dan undang-undang.......
sekumpulan badut yang main catur dengan bidak nasib manusia....
pembodohan, penipuan dan pabrik mesin........
sekumpulan peragawan dan pragawati korban mode dengan otak dan hati kosong,,,bahkan sekumpulan pelacur dan gigolo yang cari status agar harganya melambung.....
apa itu negara...?
apa itu indonesia....?
apa itu pendidikan...?
apa itu universitas.....?
ujang
mas edi yang tercinta....
katana selain PTBHP, ada BLU juga, apa tuh mas?
mas edi yang tercinta....
katana selain PTBHP, ada BLU juga, apa tuh mas?
BLU tu badan layanan umum, itu usul dari forum rektor dulu sebelum tahun 2000-an tuk menangani PTBHMN dalam polemik aset negara yang beralih menjadi aset PTBHMN, tapi ditolak karena bertentangan dengan undang-undang APBN, dan selain itu BLU menjadikan masalah keuangan PT di bawah kendali Depkeu bukan Depdiknas....gitu Mas,
wah ada banyak yang belum tahu soal detil BHP, RUU BHP ya....mau-maunya juga mereka mendukung BHP yang jelas-jelas PTBHMN seperti UI, UGM, ITB dan lainnya sebagai model percontohan PTBHMN mahal, banyak korupsi, kolusi, tak transparan, dll...
Saya bangga melihat Si "Ujang" sekarang dalam "fase" skeptis.
karena hanya dengan melalui "fase" itu semoga pencarian akan kebenaran melalui akal dapat menjadi obat mujarab bagi "pembabtisan" pikiran. Sehingga jalan menuju "kebebasan" dan hakekat individu dapat terwujud. "Amin"
(tapi inget2 pesenku, jangan lama2 bersikap skeptis, bisa2 lo jadi gila kalo kelamaan,ha2)
kemudian, solusi agar cepet2 lo2s dari skeptisme agar entar tidak terjebak pada "kenihilan" adalah dgn "Belajar sepanjang hayat"
Semoga sukses buat si "Ujang"!
salam
Giy
Negara adalah alat legalisasi kekuasaan bagi penguasa untuk menindas kaum yang tertindas oleh Penguasa karena mereka ingin membebaskan diri dari penindasan
BLU itu Badan Layaan UMROh...Jadi ngisi formulir wai bayare nekek wong cilik.
Posting Komentar