online degree programs

Rabu, Agustus 27, 2008

BELAJAR TEORI SUBYEKTIF DARI “GETUK GORENG” BU RURY

Beberapa waktu lalu STNK motorku hilang---alias ketukar. Kemudian saya mencari ke rumah salah seorang teman. Tanpa sengaja saya mendapat pengalaman tentang “Getuk Goreng”.

Singkat cerita. Saya disuguhi satu piring getuk goreng. Setelah bergurau mengenai “kasus” STNK ku yang tertukar dengan STNK milik menantunya. Tanpa sengaja Beliau (Bu Rury) bercerita mengenai kesehariannya berjualan getuk goreng di pasar.

“To”, Seru Bu Rury menyebut namaku. “Saya kalau pulang dari pasar dan ternyata getuk saya masih sisa, biasanya saya tukar dengan ikan atau sayur-sayuran. Jadi kalau pulang saya tidak pernah membawa getuk sisa, tapi malah membawa sayur ataupun ikan”, beliau menjelaskan.

Kemudian saya bertanya, “lho, ikan kan lebih mahal daripada getuk Bu?”. Kemudian beliau menjawab: ”ya memang. Tapi penjual Ikan biasanya suka membawa oleh-oleh buat pakan ikannya”.

Saya keceplosan, “wah ikannya berarti makan getuk,ha2”. “Lha ini kok mirip dengan teori yang saya pelajari di bukunya Rothbard” dalam hati saya berdiskusi dengan diri sendiri.

Kemudian dengan sok jago teori---seperti biasanya---saya menjelaskan tentang teori subyektivitas nilai dari ilmu ekonomi. Rifky, anaknya yang paling bungsu mengangguk-ngangguk seolah-olah mengiyakan teori yang saya jelaskan.he2…

Begini, setiap pertukaran di dalam pasar, seorang penukar masing-masing pasti mengharap keuntungan. Bagi kasus Getuk Bu Rury, maka Ikan bagi Bu Rury akan lebih bernilai daripada getuk gorengnya sendiri. Begitu sebaliknya bagi penjual ikan, yang tidak memiliki Getuk Goreng, maka Getuk Bu Rury akan lebih bernilai daripada Ikan yang dijualnya.

Maka nilai barang bagi masing-masing orang akan dinilai secara subyektif. Katakanlah Bu Rury menukarkan 5 Getuk Gorengnya dengan 1 ikan. Maka Harga Ikan bagi Bu Rury adalah seharga 5 getuk georengnya. Dan rasio ini tidak berlaku mutlak bagi setiap kegiatan pertukaran. Adakalanya 10 getuk bisa dihargai 1 ekor ikan. Atau bisa jadi dua ekor ikan dihargai dengan dua getuk goreng Bu Rury.

Apa yang menyebabkan perubahan-perubahan nilai masing-masing barang tersebut? Jawabnya ada pada teori tentang faedah marjinal---untuk teori ini bukan menjadi pokok bahasan tulisan ini, yang akan saya tulis entar kalau ada waktu.

Setelah saya bercerita panjang lebar mengenai sejarah ekonomi klasik hubungannya dengan Getuk goreng. Maka saya beralih bergurau tentang cerita-cerita konyol lainnya.

Termasuk cerita mengenai “eksploitasi buruh” oleh Bu Rury. Pasalnya, anak kedua dari Bu Rury (Achmad Chunaifi) sering harus susah payah bangun “pagi-pagi buta” untuk “ditindas” Ibunya menggoreng Getuk. Ya saya dapat memaklumi, karena Si Chun (yang juga teman sekelas saya) juga harus mengajar di sebuah lembaga Bimbingan Belajar ternama di Semarang. Jadi wajarlah kalau dia sering kelelahan dan males-malesan untuk “dieksploitasi/dihegemoni” oleh ibunya. Jadi sangat wajar bila dia dijuluki “buruh” paling males dari keluarga Bu Rury.

Ya, itu lah cerita singkat dari salah satu keluarga yang paling saya kagumi. Dan saya memang banyak belajar dari mereka, termasuk teori subyektivitas nilai yang terkenal itu. Salam.(Giy).

55 komentar:

Anonim mengatakan...

Maaf baru bisa posting untuk menyicil mengenai teori2 yg bagi anak KEP sangat awam.

Coz dua hari ini saya sedang seneng2 di Gedung Songo. Semalam ndk sengaja ketemu Boz Yogas.

Sore tadi pulang terus liat postingan Edy, seolah saya berkewajiban untuk menyicil teori2 ini.

Masalah Pertukaran dan "eksploitasi"...Selamat menikmati..

Maaf ya, karena ini nulisnya tergesa2...

Dan sekarang juga Saya lapar...semoga sukses untuk semua Anak KEP, Lanjutkan Perjuangan Kalian!!!

Bravo Embun Pagi....

Anonim mengatakan...

pa kabar mas gi.....semoga dikau baik2 di sanaa....ukutan yo....
getuk goreng ko di urusi....
ya di bedakan to mas antara nilai dan kebutuhan....

getuk goreng jelas nilainya kurang dari ikan....

lah tapi kalo mas jo tetangga saya yang kalo gak makan getuk sehari badanya bisa lemes ya jelas pilih getuk goreng to...
lah wong sama-sama bikin kenyang...

kalo eksploitasi gimana yas....
kadang kadang masalah rasis (warna kulit) juga berpengarauh loh....he......peace.....

Imam Semar mengatakan...

Orang yang mengatakan bahwa "kulit" dijadikan alasan untuk mengeluh akan adanya pembedaan perlakuan, mungkin orang ini harus bertanya: "Apa yang belum saya lakukan supaya punya nilai tambah". Apakah itu mempertinggi kualitas dan marketing.

Saya baru saja meng-hire seorang lokal (Indonesia) dengan rate harian lebih tinggi dari pada bule. Asal tahu saja, rate dia $ 1500/hari bersih ($2000/hari kotor). Dan dibandingkan bule di sini $800 - $1200.

Kenapa orang ini mahal? Karena skillnya langka dan dibutuhkan. Jenis skill semacam ini sedang diperebutkan di dunia.

Kalau orang complain diskriminasi...., tengok apa yang membuat dirinya tidak kompetitif.

Anonim mengatakan...

Pak Anonim senang bisa berdiskusi kembali dengan anda...Gimana kabarnya juga Pak?

Semoga sukses selalu ya...kadang rasa ingin tahu saya dapat "mengalahkan" segalanya...termasuk kalau ditawari jabatan "Rektor termuda" atau "presiden termuda" sekalipun"...

@Pak Anonim:
"ya di bedakan to mas antara nilai dan kebutuhan...."Terima kasih atas tanggapannya Pak.

Ya memang beda antara nilai dengan kebutuhan Pak. Saya tidak menyangkal kebenaran tersebut. Tapi dampak dari orang mempunyai kebutuhan yg berbeda menyebabkan dia memiliki preferensi nilai-nya sendiri2....

Semisal, kebutuhan saya sekarang adalah bertahan hidup, jadi Kuliah saya kurang bernilai daripada kebutuhan saya akan "bertahan hidup"...

dampaknya...preferensi nilai saya berbeda dengan preferensi nilai bapak....

Jadi, kalau saya menganggap bahwa berdagang itu lebih penting daripada "pendidikan" saya...

Maka akan jelas bahwa saya mempunyai subyektivitasan nilai sendiri terhadap "pendidikan"..

Masalah rasial memang sangat pelik, dan sejarah kita memang sangat buruk dalam menghadapi itu semua...

Tapi bukan tidak mungkin kalau kehidupan yg kita jalani adalah "sebagian kecil" titik dari sejarah yg memiliki sejarah rasialnya masing2...

Semisal, AS sekarang lagi gandrung2nya Barak Obama, itu menurut saya juga merupakan bagian dari "keseksian" isu rasial untuk kehidupan masyarakat AS...

Tapi masalah rasial bukanlah persoalan ekonomi pak, sekali lagi dia lebih dekat dengan Antropologi, Sosiologi, dan politik...

Padahal penemuan bidang genetik yang baru sudah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu sama secara genetik...

istilah "ras" tidak lebih sebenarnya hanya determinasi lingkungan yg menyebabkan manusia menjadi berwarna warni dan beraneka ragam...

Maka menurut saya, "isu Ras" bukanlah suatu yg permanen...dan tidak akan menjadi kendala bagi kegiatan ekonomi...

Kalau Bapak ada waktu, jalan-jalanlah ke daerah "semampis" dekat pasar Johar semarang...

Disana, pembelinya semua adalah orang Tiong Hoa, tapi penjualnya kebanyakan orang jawa...

Jadi menurut saya, isu rasial hanya isu akademik yg dipolitisir...Gitu Pak...

Terikasih.
Salam hangat dari Saya

Anonim mengatakan...

Buat Pak Anonim. Sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terima kasih karena Bapak telah mampir ke Blog kami yg sederhana ini dan mohon maaf juga karena saya termasuk org "gagal" menjadi seseorang "ideal" yg dulu bapak harapkan...

Tapi itulah garis tangan yg mengharuskan saya menjadi begini. Tapi, saya merasa beruntung telah mengenal bapak.

Bapak termasuk org yg telah membentuk dan menginspirasi saya untuk terus belajar.

Mohon bimbingannya, dan jangan bosan-bosan mengomentari tulisan saya.

Sekali lagi terima kasih

Anonim mengatakan...

Penjelasan sederhana Kang Gik tentang "teori" subyektifitas nilai ini dengan begitu tidak dapat mematahkan argumen saya menjawab argumen Pak Nad...tapi nantilah saya tulis dengan lebih baik, coz nanggapo Pak nad gak spt nanggapi Kang Gik....hehehe mesti lebih "serius" hehehe...sori Kang...

Anonim mengatakan...

@Edy
"Penjelasan sederhana Kang Gik tentang "teori" subyektifitas nilai ini dengan begitu tidak dapat mematahkan argumen saya menjawab argumen Pak Nad..."

Giy:
sekali lagi, saya tidak mempunyai niatan mematahkan argumen ataupun menggurui.Saya hanya ingin berbagi mengenai kebenaran ilmu. Masalah argumen saya apakah dapat menjawab permasalahan atau tidak tentang perdebatan ini. Semua saya serahkan ke"pasar" pembaca.

Terus untuk pendapat Pak Anonim:
Bahwa Gethuk Goreng nilainya kurang dari ikan? Jawab saya, belum tentu (nah ini pentingnya teori faedah marjinal) entar saya usahakan jelaskan lagi dari analisis Gethuk Bu Rury. Coz, saya sudah minta ijin "lisensi" dari keluarga Bu Rury. Salah satu anaknya sudah membaca tulisan ini. Tadi malam dia berkomentar dan sudah memberi beberapa masukan pada saya...

Salam

Anonim mengatakan...

Kang Gik dapat royalti berapa dari promosi gethuknya ini hehehe....

Anonim mengatakan...

mas Giy, sesungguhnya aku memberanikan diri untuk ikut nimbrung.

mas Giy, sejauh yang saya tahu mas Giy adalah seorang penentang (bahkan penentang 'pertama') positivisme di Semarang (atau Unnes-lah). sejauh yang saya tahu, positivisme adalah cara pandang ilmu pengetahuan yang hanya satu dimensi.katakanlah, cara pandang ilmu alam. kalau saya tidak salah itulah yang coba ditentang oleh para post-positivis, pendukung teori kritis Frankfurt, postmodernism,postkolonialism, dan sebangsanya.itu juga yang kemudian melahirkan pe'revisi' Marx---yang sangat economy minded--- yang banyak disebut orang sebagai neo-Marxisme. kira-kira itu yang saya tahu.

kalau saya tidak salah meraba-raba pandangan mas Giy tentang ekonomi(pasar bebas) dan masyarakat, saya merasakan jejak-jejak pemikiran positivisme yang sangat lekat dalam pandangan mas Giy.determenisme ekonomi seperti telah mendominasi pemikiran mas Giy belakangan ini.

atau bagaimana ya? mungkin mas Giy bisa menjelaskan kepada saya dan juga teman-teman perihal hubungan antara teori ekonomi mas Giy dengan anti-positivisme dalam pemikiran mas Giy.

thanks

Anonim mengatakan...

Pertanyaan menarik. Entar pasti saya cicil: dari epistemology, teori, sampai analisis empiris. Coz ini kan kegiatan social kita untuk bagi-bagi ilmu pengetahuan.

Untuk masalah positivisme, kita harus definisikan dulu apa itu positivisme. Menurut saya, “dia adalah uji empiris yang harus terukur”. Dia tidak dapat disebut epistemology, biasanya dinamakan metodelogi. Positivisme saat ini lebih menekankan pentingnya “obyek materiil”

Berbeda dengan epistemology yg saya pakai. Saya menyebutnya, analisis “cara pandang formil”. Walaupun non empiris, tapi lebih pada penggunaan logika yg ketat. Tanpa ini, sebuah kajian ilmiah akan menjadi kabur. Entar sulit dibedakan antara opini, pendapat, gurouan, sastra dsb…jadi dia juga harus menggunakan penggunaan prosedur logika yg ketat (barangkali ini yg Taufik anggap bahwa saya berbau positivisme). Masalah ekonomi? Wah sementara yg saya bisa memang itu, dan saya juga punya keinginan mengembangkan ke ranah ilmu social yg lain, tapi karena keterbatasan serta “sulitnya” pembahasaan abstraksi ranah bidang lain semisal karakter formil antropologi, sosiologi, geografi, dsb….(saya sudah mencoba, tapi ternyata juga sangat sulit memposisikan bidang2 tersebut dalam ranah praksiologi yg saya pahami, thanks)

Makasih ya pertanyaannya, dengan seperti itu membuat saya berfikir. Salam untuk semuanya.

Anonim mengatakan...

hehehe...akhirnya karena "geli" membaca argumen Kang Gik, saya terpaksa ikut bertanya sama Kang Gik, gini kang...

Apa beda positivisme dengan epistemologi, karena Kang Gik membedakan keduanya kan dari tulisannya itu.

Mungkin saran saya salah, tapi untuk kesekian kalinya saya sarankan Kang Gik mempelajari perbedaan -dan mungkin kesamaan, klo ada- antara positivis, interpretatif, dan kritis sebagai tiga varian paradigma keilmuan yang bagi saya masing-masing memiliki basis epistemologisnya sendiri-sendiri.

Anonim mengatakan...

Betul! Positivisme memang memiliki basis epistemologi---yg sangat keliru. Tapi dia tidak dapat disebut sebagai epistemologi. Cukup sebagai metodelogi!

Masalah positivisme. Kelemahan positivisme, dia tidak memebedakan antara Res Extensa dengan Res Cognitas. Artinya, apa yg menjadi dunia eksternal (materiil) dengan dunia kognitif (pikiran/formil)

Sejarahnya: adalah kesalahan Saint Simon yg menggunakan jubahnya filsafat Newton untuk kepentingannya sendiri. Kemudian, Comte bermimpi ttg masyarakat positivis. Dan Filsafat jerman dengan gegabah tidak dapat, seperti yg edy katakan:"mempelajari perbedaan -dan mungkin kesamaan" karakter keilmuan. Inilah kesalahan terbesar-nya.

Santai sajalah, entar kalau sempet pasti akan saya tulis. Silakan geli2 sendiri. he2..

Anonim mengatakan...

Sebelum mengajukan saran, Kita harus intropeksi dulu..."Kekuasaan tidak hanya politik, modal tapi juga intelektual". Yg terakhir itu tidak lebih arogan daripada kedua dan pertama.

Anonim mengatakan...

Nah makana itulah yang membuat Gus Taufik merasa aneh pada Kang Gik, kok bisa-bisanya Kang Gik yang gak setuju pada positivisme pada akhirnya bersepakat dengan kapitalisme, modernitas(isme), teori pertukaran, teori subyektfitas yang semuanya berbasis pada epistemologis positivis yang salah itu?

Anonim mengatakan...

Saya katakan tidak ada epistemology positivisme. Dia itu metodology.

Kalau kita belajar Epistemologi, maka ada yg namanya empirisme dan rasionalisme. Keduanya baru bisa disebut epistemology.

Saya sekarang baru mencoba "memadukan" kedua ranah epistemology tersebut. Bukan tataran teoritisnya, tapi "pemaduan"-nya untuk penyelidikan/analisis saya pada bidang "ekonomi politik pertanian".

Kalau dirunut secara rasionalis. Konsep tindakan manusia akan mengarah sebuah tujuan. Lah disinilah peran kapitalisme sebagai alat pemunuhan kebutuhan manusia yg paling efisien.

kalau kamu masih menganggap kapitalisme bertolak belakang dengan gugatan epistemolgy saya kemarin.

Maka bacalah lagi seluruh tulisan saya baik di KEP ataupun di A&K. Selamat membaca!

Anonim mengatakan...

@Edy:
"kok bisa-bisanya Kang Gik yang gak setuju pada positivisme pada akhirnya bersepakat dengan kapitalisme, modernitas(isme), teori pertukaran, teori subyektfitas"

Giy:
Saya coba merangkum menurut apa yg saya pahami sekarang:
*Positivisme Bukan Epistemology
*Kapitalisme adalah sistem pengorganisasian yg paling efisien untuk memenuhi kebutuhan manusia.
*Modernisme adalah implikasi yg tak terhindarkan dari perubahan sistem pengorganisasian masyarakat (sekarang kapitalisme)
*Teori Subyektif adalah kerangka dasar bagi pemahaman kita dalam menjelaskan relasi dalam ilmu sosial. Dengan demikian kita tidak akan berputar-putar terhadap adanya relasi "ekploitasi". Coz kalau menggunakan kerangka 'Eksploitasi', maka semua relasi sosial akan bersifat hegemonis!
*Teori Pertukran dia adalah kesimpulan dari basis subyektivitas nilai dalam bidang ekonomi.

Salam

Anonim mengatakan...

Maaf dengan amat terpaksa saya katakan Kang Gik agaknya memang belum memahami sepenuhnya tentang epistemologi dan positivisme, dan agaknya sudah tentu belum membaca filsafat Islam yang epistemologinya -yang kontemporer- memasukkan unsur diluar rasionlitas dan empirisme, yakni pengalaman eksistensial dan intuisi.

Kengototan Kang Gik untuk tetap keras kepala mengatakan positivisme bukan bukan epistemologi ya memang klo dirunut dari logika Kang Gik, positivisme bukan epistemolog, kan sudah jelas saya katakan positivisme memiliki epistemologinya masing-masing, hal ini artinya positivisme bukan epistemologi, ia "mengandung" epistemologi, gitu Kang...

"Kalau dirunut secara rasionalis. Konsep tindakan manusia akan mengarah sebuah tujuan." di sinilah Kang Gik tanpa sadar terjebak pada epistemologi positivisme, atau dalam pemahaman Kang Gik metodologi positivisme, yaitu dengan tema yang selalu menjadi pusat bahasan positivisme adalah "rasionalitas" dan "tujuan".

Maaf saya tetap menyarankan Kang Gik tuk belajar jangan tekks book satu aja, ada positivis, interpretatif, dan kritis.

Anonim mengatakan...

Saya coba merangkum menurut apa yg saya pahami sekarang:
*Positivisme Bukan Epistemology
*Kapitalisme adalah sistem pengorganisasian yg paling efisien untuk memenuhi kebutuhan manusia.
*Modernisme adalah implikasi yg tak terhindarkan dari perubahan sistem pengorganisasian masyarakat (sekarang kapitalisme)
*Teori Subyektif adalah kerangka dasar bagi pemahaman kita dalam menjelaskan relasi dalam ilmu sosial. Dengan demikian kita tidak akan berputar-putar terhadap adanya relasi "ekploitasi". Coz kalau menggunakan kerangka 'Eksploitasi', maka semua relasi sosial akan bersifat hegemonis!
*Teori Pertukran dia adalah kesimpulan dari basis subyektivitas nilai dalam bidang ekonomi.

mmm...bagi saya ada banyak pertanyaan, misalnya itu kan kesimpulan general? apa ada yang general dalam ilmu sosial dengan menafikan logika positivisme? itu semua sangat-sangat reduksionis-deterministik ala positivis! Kapitalis paling efisien....buktinya apa dan menurut siapa? teori subyektifitas nilai dapat menjelaskan dst, teori lain juga dapat menjelaskan, kata-kata "dapat menjelaskan" telah mengandaikan sebuah generalisasi yang invalid atas realitas yang temporal dan sekuensial! Ya, kerang ka eksploitasi saja jua reduksionis, hegemoni juga, jadi bagi saya gak cuma dari kerangka eksploitasi, tapi kerangka ini kan dihilangkan dalam pandangan positivisme kapitalisme...

Anonim mengatakan...

Saya tidak akan menyarankan sesuatu untuk Edy. Coz masalah belajar adalah minat bukan paksaan. Kayak dosen saya saja...Wong se-umur2 Bapak saya aja ndk pernah nyuruh gw belajar. Tanya saja sama keluarga saya, Bapak saya itu ndk pernah menyuruh anaknya belajar. Apalagi menyarankan membaca buku tertentu...boro-boro men.
-------------------------------
Saya akan coba jelaskan sendiri: kita lihat dulu sejarahnya lahirnya positivisme. Kemudian definisikan dulu itu positivisme. Kita baca dulu pengertian epistemoly. Dan perkembangan perdebatan pemikiran epistemologis.

Benar kalau positivisme "mengandung" epistemology. Tapi, dia tidak dapat dengan gegabah kita sebut sebagai epistemologi. dan sekarang sudah menjadi keyakinan akademisi kita adalah penggunaan empirisme ditambah dengan kesalahan positivisme.

Basisnya adalah epistemologi empiris dengan model positivis. Walaupun "positivis" sekarang sudah surut. Tapi akademisi sekarang masih berlandaskan epistemologi empiris.

Ini adalah contoh2 perkembangan epistemologi empiris non positivis dalam bidang ilmu sosial terbaru: Etnometodology (Garfinkel), fenomenology (Husserl), Falsifikasionis (Popper), Strukturalisem serta varian post2-annya itu (Giden dan beberapa pimikir Prancis), dan banyak lagi model2 metedology yg semuanya berbasis epistemology empiris...

Gitu men sejarah dan pemetaan singkat epistemologi ilmu sosial. Itu yg saya ingat dan pernah baca. Dan masih banyak lagi, dari Boerdieu, Habermas, juga saya sudah terlanjur beli bukunya.

Walaupun sebenarnya sedikit menyesal membeli buku2 mereka.

Salam

Anonim mengatakan...

bagaimana kalau kita jadikan kasus GETHUK dan IKAN sebagai contoh.

dalam perspektif mas GIY, kalau saya tidak salah, Gethuk dan Ikan ternyata bisa saling dipertukarkan meski masing-masing mempunyai nilainya sendiri-sendiri.Gethuk mungkin lebih murah dari pada ikan.tetapi karena masing-masing si empunya memiliki 'kebebasan'(tanpa paksaan siapapun), pertukaran pun terjadi.dan keduanya pulang ke rumah masing-masing dengan senyum 'kebahagiaan'.begitu ya mas?

dari kasus dia atas sebenarnya proposisi(klaim) apa yang ingin sampeyan sampaikan?
1.
2.
3.
4.

mungkin kita bisa lebih jernih jika mendiskusikan persolan ini per proposisi.dengan demikian nantinya kita mungkin bisa memilah-memilah mana epistemologi, mana metodologi, mana teori, mana yang positivisme, mana yang hermeneutisme, dan mana yang kritis.

begitu usul saya.

Anonim mengatakan...

Bagus! itu rencana saya. Makanya saya minta lisensi dulu dari Bu Rury. (dan sudah dapat)

Karena dengan menggunakan anilisis keluarga Bu Rury. Entar kita akan mengenal Beras-nya Pak Juri, Ikannya Pak Mamat, Perut mulesnya Ms Jo kalau tidak makan "Gethuk". Si Rifki yg berjuang untuk Kuliah, Si Chun yg belum Lu2s karena harus bekerja. dsb...dsb...

Dan berbagai relasi2 sosial lainnya berdasarkan pemahaman praksiologis saya.

Tapi ada kendala. Dua hari ini saya disuruh pulang. Jadi Artikel Gethuk Bu Rury barangkali tertunda.

Dan ini tidak harus menjadi kendala bagi anak2 KEP untuk menyorot isu-isu yg lain.

Makasih Gus Taufik. Seharusnya moderatornya Mas Yogas. Kan dia udah menjadi moderator selama KEP diskusi.

Entah sekarang dianya sibukan apa. Tadi malam saya ke kosnya. Pacaran melulu sama Hp-nya.he2.

Salam

Anonim mengatakan...

siap,mas Giy.

saya tunggu sampeyan merumuskan proposisi-proposisi teori ekonomi-nya.

sembari menunggu saya mau belajar lagi dulu tentang positivisme, hermeneutisme, kritis,dsb.

semoga setelah ini mas Yo berkenan jadi moderatornya.he he...

Anonim mengatakan...

wah, telat..
maklumlah, ga bisa tiap hari ngenet kalo lagi ga dikantor (wuih, punya kantor, haha)

aku ikut diskusinya nanti ajalah,
tentang epistemologi dan positivis...
sekalian dirunut dari ontologi atau tidak?

Anonim mengatakan...

Ontologinya: keberadaan Fahmi itu nyata. Dia bukan ilusi. Dan ontologi kedua yg lain: bahwa Getuk Goreng itu ada serta Giyanto juga berfikir bahwa dia punya pikiran. Titik.

Basis ontologinya, sudah saya sahkan.ha2...

Silakan kalau Fahmi berpikir dulu tentang "eksistensi" ketiga hal yg saya sebutkan di atas.

Pertanyakan seumur hidup ttg itu! Silakan, kalau saya tidak tertarik mendiskusikannya,he2..Selamat berontologi ria...

Thanks.

Anonim mengatakan...

Hehehe.... Mas Fahmi bagi saya ilusi, ia semacam simulasi Baudrilard hehehe...karena kesadaran saya hanya melihat tubunya Fahmi, matanya Fahmi, pikirannya Fahmi, karyanya Fahmi, temannya Fahmi, Fahmi itu ilusi....

ia hanya nyata dalam pandangan empirisme!!! di sinilah kita sring lupa pendapat kita, pernyataan kita itu mendasarkan pada paradigma apa dulu...

kata "titik" jelas-jelas menegaskan "kepastian" ala positivisme yang eksakta an sich. dan ini menyangkal perlunya dialog dan kemungkinan lain dalam pluralitas dunia ala teori posmodernism...

Gak cuma eksistensi, tapi juga essensi, eksisten, aksiden, dan proses esensi menjadi eksistensi...

Anonim mengatakan...

tapi, 'titik' tidaklah selalu titik yang absolut.tapi, juga bukan koma.ia titik yang sementara.bagi saya, itu sah.

esensi selalu mencari eksistensi ataukah eksistensi yang mencari esensi?

yag berbahaya, bagi saya, adalah ketika 'titik' yang sementara itu memaksa-maksakan (coercive action)eksistensinya (yang mungkin sesungguhnya juga sedang mencari esensi) kepada other (liyan). selama 'titik' itu ada hanya untuk 'ada' dan menunjukkan kepada liyan bahwa ia 'ada', bagi saya, itu sah.

dan sepertinya kita hampir selalu tak pernah bicara tentang ontologi.tanpa sadar, sepertinya kita terkutuk pada wilayah epistemologi (yang kadang-kadang terselubung serupa ontologi).keinsyafan pada politik pluralisme epistemologi inilah, saya kira, yang memberikan kesadaran akan pentingnya menghindari epistemic violence demi kepentingan membangun masyarakat yang komunikatif dan akhirnya bahagia semuanya.

tapi, mungkinkah?

Anonim mengatakan...

Wah ini lah susahnya diskusi ama budayawan dan filsuf...apalagi calon filsuf,...he2..

ya...ndk apa2. Saya ndk mau ikut2-an jadi orang "gila".

Yang "waras" ngalah ajalah..ha2

Semoga pembaca2 KEP tidak bingung kalau ada anggota KEP yg mempertanyakan 'keberadaan' mereka sendiri.

Ini bukan ranah "analisis" saya. Barangkali ini cocok untuk diskusi Edy, Taufik ama Fahmi.

Saya biar nonton aja...please donk ah...he2...

I come back again...

Anonim mengatakan...

Berarti definis Gus Taufik pada "titik" yang saya maksud melebihi kapasitas definitif tersebut untuk beroperasi, dengan kata lain "titik" beroperasi di luar kapasitas defnitifnya sebagai "titik" yang memang semestinya "berhenti". Titik selalu di akhir, tak ada di tengah apalagi di awal, secara grammatologi.
ketika "titik" menjadi subjek/objek diskursif, maka sebelum titik adalah "koma", dan sebelum koma adalah kalimat atau "narasi" atau "titik" dalam sekuel sebelumnya yang "tak dianggap".

esensi menjadi eksistensi melalui "perwujudan", eksistensi menjadi esensi melalui "permenungan", keduanya benar dalam lokus kebenarannya masing-masing hehehe....

wah saya ngaku nyerah tuk bisa memberikan pemahaman pada Kang Gik soal positivisme dan epistemologi, wong sudah jelas saya katakan positivisme itu bukan epistemologi, tapi positivisme itu memiliki epistemologi, mosok gak paham rek-rek ....tobat aku..

Anonim mengatakan...

berarti sama2 nyerah. Tapi pembaca KEP pasti tahu. Siapa yg paling keruh di sini?

Anonim mengatakan...

lebih parah lagi, sudah dikasih gethuk belum mengerti basis dasar relasi subyektif. Saya kelihatannya sama2 gagal.

Anonim mengatakan...

Kelihatannya, biar diskusi ini jelas arahnya. Saya perlihatkan "pandangan" saya kembali. untuk penekanan kembali biar argumen tidk kembali diulang-ulang:

Saya katakan:
1. "Betul Positivisme memang memiliki basis epistemologi. Tapi dia tidak dapat disebut sebagai epistemologi. Cukup sebagai metode/model".
2. Dan sosialis adalah otak2 kotor yg menganggap kegagalan dirinya adalah disebabkan oleh orang lain.
3. Dan masih banyak yg harus diketahui setelah keberadaan relasi subyektif. Seperti kalau kita belajar matematika. Sebelum menguasai Trigonemetri, kuasai dulu Geometri!, Sebelum menguasai kalkulus&Aljabar, kita kuasai dulu aritmatik.
Dalam ilmu sosial, setelah dasar subyektif diketahui. Baru kita melangkah ke bangunan teori2 yg lain.

Tapi sayang, manusia memang penuh keterbatasan. Termasuk ttg waktu.Semoga tugas2 saya ini nanti bisa "rampung". Dan tanggungjawab saya yg lain juga rampung. Kerjaan, Skripsi, Cari jodoh, dsb..

Salam

Anonim mengatakan...

Hehehe...yang paling keruh adalah yang mengaku tidak keruh hehe..."keruh" itupun istilah yang keruh bukan? keruh itu apa sih, klo saya gak jelas dengan istilah "keruh" berarti dalam asumsi kekeruhan saya, istilah "keruh" itupun "keruh".

"Betul Positivisme memang memiliki basis epistemologi. Tapi dia tidak dapat disebut sebagai epistemologi. Cukup sebagai metode/model".

Makanya berdasarkan pendapat Kang Gik itu saya katakan positivisme bukan epistemologi, ia mengandung dan memiliki epistemologi, Kang gik berpendapat positivisme sebagai metode setelah membaca bukunya siapa? jangan teks book ya...heheeh..

2. Dan sosialis adalah otak2 kotor yg menganggap kegagalan dirinya adalah disebabkan oleh orang lain.

"Otak-otak kotor" bukankah istilah ini juga "keruh" menurut istilahnya Kang Gik? Saya mau tanya ne, Kang Gik mendapat simpulan hingga berkata seperti itu dari pemahaman siapa, setelah baca apa?


3. Dan masih banyak yg harus diketahui setelah keberadaan relasi subyektif. Seperti kalau kita belajar matematika. Sebelum menguasai Trigonemetri, kuasai dulu Geometri!, Sebelum menguasai kalkulus&Aljabar, kita kuasai dulu aritmatik.

Di sini jelas analoginya aja matematika (eksak), positivis sekaleee....

Dalam ilmu sosial, setelah dasar subyektif diketahui. Baru kita melangkah ke bangunan teori2 yg lain.

Saya bertanya Kang Gik, apa benar relasi subyektif (itu apa saya juga gak ngeh...) adalah "dasar" ilmu sosial? Pandangan itu Kang Gik dapatkan setelah membaca apa dan siapa? Di mana Kang Gik tempatkan -maaf dengan tidak linier- subyejtivitas, objektivitas, eksistensi, esensi, empiris, fenomena, sejarah, temporalitas, sekuensial, dll itu????

Anonim mengatakan...

Baca buku bahasa inggrisnya langsung dari Menger to bos!...

Anonim mengatakan...

"eksak" itu analogi. Sabar ajalah...wong dasarnya aja "subyejtivitas nilai"....entar pasti saya tulis....he2..

Saya menggunakan analogi "matematika" itu karena akhir2 ini lagi seneng matematika aja. Menggali bakat2 gw tempoe dulu yg sudah "lenyap".

sekali lagi itu analogi dalam pengertian bangunan penguasaan "teori".

Jangan samakan itu dengan "positivisme". Matematika itu sama2, dalam istilah Kant, dalam pandangan kaum rasionalis bersifat "sintetik apriori". Artinya, dia cukup dengan akal/logika bisa menciptakan "teori" tanpa dengan pembuktian empiris (namun secara empiris juga tak terbantahkan kebenaranya).

Makanya saya "jatuh hati" sama praksiologi. Coz kaidah-kaidahnya sangat pasti. Tapi sekali lagi praksiologi bukan tergolong 'positivisme'.

Sekali lagi, anda harus belajar dulu tentang positivisme.

Salam

Anonim mengatakan...

Oh ya masalah relasi subyektif. Konon, kata Rothbard (dan juga sudah saya renung2, pikir2, diamati, dirasakan, dan di'skeptiskan) merupakan relasi yg konon "aristoteles hingga Marx" tidak memahami masalah ini...he2...

Saya juga geli mendengar 'argumen' Prof Rothbard tersebut...

Kalau dipikir2, iya2-iya...ha2..

Anonim mengatakan...

meyakini basis ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi, pada semua ilmu pengetahuan itu juga berbau positivis..
mau tidak mau, positivis itu juga merasuki orang sekarang ini, setidaknya yang pernah sekolah.
mau tidak mau positivis itu bukan hal yang tidak perlu. dia perlu. tetapi "perlu" itu juga ada batasnya toh..

Anonim mengatakan...

Nah sudah saya duga Kang Gik Cuma baca satu buku doing…milik Menger lagi hehehe…. Selayaknya dengan begitu tidak membuat kita besar kepala sudah memahami positivisme kan? Apalagi epsitemologi yang sangat variatif –plural dalam istilahnya Gus Taufik kemarin- itu. Membaca buku teks asli dengan bekal modal intelektual yang terbatas justru berbahaya, karena besar kemungkinan akan gagal menangkap pesan sang penulis, sebagaimana penafsir tanpa modal emmadai hal yang ditafsirkannya itu dalam konsepsi hermeneutika filosofis, teoritis, maupun kritis.

Positivisme itu ada di Comte pada mulanya di ilmu sosial, dalam banyak hal Marx, Parson, Durkheim juga positivis. Tak ada klaim tunggal atas positivis. Agaknya adalah kesalahan besar membaca hanya satu ”versi” pandangan tentang positivisme dan mengkalim sebagai pandangan yang paling benar atas positivisme.

Persis dalam pernyataan tersebut Kang Gik kembali mengulang hal yang dulu sudah saya ingatkan, yaitu saya bertanya tapi Kang Gik tidak menjawab dan mengemukakan hal lain yang mungkin tidak relevan sebagai jawaban. Saya bertanya tentang ”keruh”, tak ditanggapi, saya bertanya tentang otak-otak kotor tak ditanggapi, saya bertanya tentang posisi historis, temporalitas, empirisme, objektivitas/subjektivitas, dll tak ditanggapi, dan tiba-tiba dan lagi-lagi dengan berbangga hati mengulangi lagi pernyataan positivisme itu.

Okelah kalau contoh matematika itu sekadar karena sekarang Kang Gik lagi belajar matematika lagi, tapi klo dilihat dari pendekatan hermeneutik hal itu sangat-sangat berkaitan dalam kerangka ideologis, minat itu termasuk kajian yang memengaruhi konstruk pemikiran seseorang yang terpengaruh juga oleh habitus baca dan lintasan intelektual seseorang. Tiap apa yang ditulis seseorang sebagai sebuah teks yang terbuka untuk dibaca secara kritis adalah pengejawantahan dari apa yang ada dalam bawah sadarnya, termasuk keterpengaruhan paradigma keilmuan. Makanya secara genealogi kita bisa menelusuri latar pemikiran orang dari tulisannya, apa yang dikatakannya, sikapnya.

Jika positivisme dan praksiologi adalah sama-sama pasti dalam prinsipnya, lalu apa beda di antara keduanya? Ini yang dulu sampai sekarang Kang Gik belum bisa menjelaskannya kepada saya dengan lebih memahamkan. Bagi saya kepastian yang ada pada praksiologi dan positivisme adalah benang merah yang mengaitkan keduanya, dalam pemahaman awal saya yang belum tahu apa-apa soal praksiologi menyatakan praksiologi jangan-jangan adalah bentuk lain dari positivisme, atau ia hanya berupaya meneguhkan kembali kejayaan positivisme yang padam sekarang dalam ranah sosio-humaniora.

Anonim mengatakan...

Hidup itu pilihan dengan akal. Barusan saya baca Positivisme ala Pk Hardiman (pinjam dari Fahmi), saya tertawa terpingkal2...

Apalagi 'Teori kritik' dari Kant, Hegel dan Marx... ha2...

Sekali lagi, mereka tidak memahami relasi subyektif (itulah kelebihan Menger)
------------------------------------
Kan saya sudah bilang udah beli buku2 non Menger...

dan juga saya barusan beli buku matematika dasar, he2..

Saya juga pernah dipinjemin Buku oleh salah satu Prof Antropologi UI yg kantornya di Pasca UGM dan ketemu langsung...diskusi sebentar ttg Metodologi...

Please deh....(dalam diskusi ilmiah, hindari penduga-ndugaan yg tidak berdasar,ha2)....

Anonim mengatakan...

Oh lupa, tentang positivisme? kelihatannya menarik untuk ditulis secara khusus. Tapi perlu diinget, ini kan kegiatan sampingan....

Suer...pasti kapan2 akan saya tulis (kalau diberi panjang umur dan kesehatan).

Anonim mengatakan...

Saya sekali lagi mencoba merangkum:

Praksiologi: Logika tindakan manusia (prinsipnya kepastian hukum/teori). Landasan epistemologinya "rasionalisme" non empiris dengan cara pandang "formal". (sekali lagi, ini kata2 saya sendiri)

Positivisme: Uji empiris dengan mengukur "fakta". Konsep tersebut berasal dari Saint Simon yg dikembangkan Comte (sebagai Bapak Sosiologi awal). Kemudian sering disebut2 serta diagungkan oleh para sosiolog (yg terbaru adalah Hutington(makanya kemarin Hutington saya hujat habis2an)

Jelas secara epistemologis, historis, maupun etimologis berbeda jauh, he2...

Sekali lagi, jangan suka menduga2 dalam diskusi ilmiah, nanti kamu terjebak pada asumsi sendiri yg salah kaprah...

Anonim mengatakan...

Heheheeh...saya pun geli membaca Kang Gik menamini kebenarannya Menger dalam menafsirkan positviisme hwahahahaha.....

tapi ya sudahlah, daripada debat kusir mending Kang Gik tuk sampingan buat tulisan tentang itu, ntar saya tanggapi dech, oke...salah jauh, slamat ber-ramadhan ria...

Anonim mengatakan...

buset....Itu pengertian positivisme bukan dari Menger boz!!! itu dari buku Hardiman yg mengartikan dari Comte...Terus pengertian positivisme diubah "seenak sendiri" oleh "mazab kristis"

Jangan salah, Menger ndk pernah mengungkit2 positivisme. Yg dia tentang itu historisme...

Baca donk!!!

Anonim mengatakan...

Ooo..gitu ya, Menger gak pernah ungkit positivisme, ya jelas wong dia positivis hehehe.....

yang lucu, "pengertian positivisme diubah seenaknya sendiri" hehehe....ini lucu sekali buat saya, emangnya positivisme berwajah tunggal? ah ada-ada saja Kang Gik ini....klo Kang Gik berkata seperti itu artinya ya tiada lain kecuali sudah terperangkap dalam paradigma berpikir ala positivis hehehe....

belajarlah kang ...

Anonim mengatakan...

Sekali lagi, saya kira definisi "positivisme" ala teori kritis terlalu luas dan mengada-ada.

Dan kalau kamu memasukkan saya dalam paradigma 'positivisme' ala teori kritismu, saya tidak keberatan.

Wong saya dianggap maling oleh sesama maling aja tidak keberatan. Yang saya tahu, saya punya definisi maling yg menurut saya sudah saya usahakan untuk menghindari 'permalingan'.

Paling enak memang mendifinisikan sendiri suatu definisi, apalagi secara luas menganggap positivisme sbagai rasionalistis, bebas nilai, obyektif, kapitalistik, ahistoris dsb.

Kalau untuk acuan definisi dan sejarah positivisme secara lebih sempit, baca Mises. Judulnya "teori and History, atapun buku "pengantar epistemologi" tulisan org Indonesia pengarangnya saudara Wahyudi.

Cek donk! jangan cuma satu buku doank. Dalam hal usaha penyelidikan pengertian positivisme, saya kira sudah berimbang dalam menyelidiki pengertian positivisme: dari teori kritis, pemikiran Austrian dan Juga Filsafat UGM....

Salam

Anonim mengatakan...

Oh ya, yg belum saya selidiki adalah pengertian 'positivisme' ala British. Buku 2 seri yg berjudul: "Ensiklopedia Ilmu Sosial" terbitan rajawali pers saya kira sangat cocok. Menurut saya, ensiklopedia tersebut British banget. Tebakan saya, mereka ndk jauh-jauh dengan definis 'positivisme' yg sudah saya jelaskan...

Sekali lagi maaf, saya orgnya sering komen tergesa-gesa. Saya memang sering 'langsung menjawab' menurut pengingatan saya pribadi. Dalam menulis, saya tidak pernah membawa buku kemudian saya contek/eja ataupun membawa kamus...he2...

Saya sangat mengahargai pada spontanitas...karena sikap tersebut lebih jujur dan tidak mengada-ada...

Salam

Anonim mengatakan...

Hehehehe....Kang Gik, begini ya, sedikit saja saya komentar dech...misalnya saya katakan beberapa dari kekhasan positivisme adalah bebas nilai, maka yang saya maksudkan adalah: kerangka pikir positivisme sebagai acuan dalam penelitian -terutama- eksperimen mengabaikan tata nilai kemanusiaan secara umum. Misalnya adalah kasus kloning itu Kang Gik, itu kan bebas nilai, padahal sangat kontroversial ketika dipandang dari sudut humaniora, teologi, apalagi teori-teori kritis lainnya.

Misal lagi, saya katakan positivisme kapitalistik, ini ada dalam tulisan Kang Gik, saya gak pernah nulis begitu, tapi saya tulis kapitalisme adalah buah pikir dari positivisme, dan sebaliknya dalam besutan kapitalisme, positivisme berkembang dan mendapatkan legitimasinya. Mohon dibedakan antara positivisme dengan bebas nilai, positivisme dengan kapitalisme, semua itu berbeda Kang Gik.

Saya kira saya paham sepenuhnya akan kengototan Kang Gik pada pengertian definitif positivisme seperti itu, tapi saya kan menyatakan bukan dalam kerangka definitif Kang. "Uji fakta empiris" ya saya tahu itu Kang, dan kemudian yang terlewat adalah disekitar uji fakta, efek, dan faktor lainnya. yaitu tentang nilai, kemanusiaan, alam, dan lainnya. Bebas nilai, ilmu untuk ilmu, eksploitasi alam, fetisisme komoditas, itu akibat dari positivisme dalam ilmu alam dan sosio-humaniora Kang Gik. Jadi bukan memperluas definisi Kang, just efect of positivism, okay...!

Masalahnya adalah, Kang Gik tidak pernah jelas membedakan antara positivisme dan epistemologi, positivisme dan kapitalisme, jangan dianggap sama dong ah... kegagalan dalam memahami ini akan mengakibatkan kerancuan pemahaman pada tingkat lanjut dan ini sering tidak disadari, misal saya mengambil dari kata-kata Kang Gik soal "ahistoris", bagi saya positivisme bukan ahistoris itu sendiri, sama sekali berbeda, tapi praktik positivisme pada ranah studi politik, budaya menjadikan dinafikannya konteks historis itu sendiri, ada keterpotongan historis, dan sekadar mengambil 'simpulan' berdasarkan kondisi fakta empiris kekinian saja, gitu Kang Gik.

"cek donk, jangan cuma satu buku", heheheh...ya saya memang eblajar positivisme juga barusan Kang Gik, belum banyak yang saya baca, ya paling baru puluhan buku lah, gak banyak seperti Kang Gik. Patut kita sadari kiranya faktor ketertarikan awal, bacaan awal, akan memengaruhi kepercayaan kita pada paradigma berpikir tertentu, seperti Kang Gik yang mpe sekarang masih saja gandrung pada Mises, Rothbard, Cs itu....hingga membaca Hardiman, Teori kritis, dll dalam kerangka Misesian, padahal Mises ada sebelum teori kritis muncul "secara absah" di tangan Mazhab Franfurt.

Ah sudahlah, mohon kebesaran hati untuk berdiskusi dengan mengedepankan pencarian kebenaran ya, trims...

Ed Khan

Anonim mengatakan...

"Saya memang sering 'langsung menjawab' menurut pengingatan saya pribadi. Dalam menulis, saya tidak pernah membawa buku kemudian saya contek/eja ataupun membawa kamus...he2..." dan "...Saya sangat mengahargai pada spontanitas...karena sikap tersebut lebih jujur dan tidak mengada-ada..."

waduh mungkin hal ini gak perlu di tulis Kang Gik, coz justru akan menurunkan "kualitas" Kang Gik, kejujuran itu gak perlu ditulis bahwa "saya ini jujur loh", "orisinalitas" (mana ada????) juga gak perlu ditulis "saya orisinil loh, gak nyontek".....please dech...

justru dengan mengungkapkan kebaikan seperti itu, terlihat betapa seseorang yang mengatakan itu seakan hendak menyatakan bahwa 'saya ini jujur loh, dengan bukti...saya ini pinter loh dengan bukti.... akan lebih baik klo kejujuran tak diumbar dengan menyatakan saya jujur loh.... btw, selalu ada bias dalam bahasa, selalu ada banyak tafsir sebanyak pembaca tulisan Kang Gik...

Anonim mengatakan...

Barankali sumbernya ini pada penafsiran teori kritis...

Saya tidak mau mempersoalkan ttg gaya saya berargumen...

Tapi kelihatannya sumber masalahnya adalah pada definisi positivisme pada teori kritis...

Sekali lagi menurut saya, penafsiran mereka terlalu luas dan mengada-ada..

Entar saya tunjukan halaman buku yg mengatakan kalimat-kalimat seperti itu dalam (Buku Pak Hardiman)...

Barangkali itu solusi terbaik untuk debat kusir yg sangat kolot ini...

Anonim mengatakan...

Sekali lagi, Edy terlalu sering menduga-nduga, ini adalah contoh kalimat pendugaan:

"justru dengan mengungkapkan kebaikan seperti itu, terlihat betapa seseorang yang mengatakan itu seakan hendak menyatakan bahwa 'saya ini jujur loh, dengan bukti...saya ini pinter loh dengan bukti.... akan lebih baik klo kejujuran tak diumbar dengan menyatakan saya jujur loh.... btw, selalu ada bias dalam bahasa, selalu ada banyak tafsir sebanyak pembaca tulisan Kang Gik..."

Masalah seperti itu barangkali hanya saya yg tahu. Tapi tidak apa, saya anggap masukkan buat saya pribadi. Dan tidak ada kaitannya dengan pendiskusian masalah "teori" dalam ilmu sosial.

Thanks

Anonim mengatakan...

Terus sebenarnya saya kok agak terganggu dengan kata ini:

"kapitalisme adalah buah pikir dari positivisme".

Menurut pemahaman saya, kapitalisme bukan buah pikir dari positivisme. Tapi kapitalisme adalah hasil dari penggunaan akal dalam kegiatan ekonomi manusia yg kira-kira muncul setelah masa pencerahan. Dengan sistem pengorganisasian produksi massa untuk kepentingan massa.

Kalau menurut pemahaman saya, berdasarkan sebuah kata pengantar dari karangan Prof Hoppe: Bahwa metode positivisme memuluskan jalan bagi intervensi negara untuk mengitervensi kegiatan ekonomi pasar.

Dan sekarang bagi sebagian besar akademisi melihat pasar dengan penuh keangkeran...padahal sebaliknya, yg angker menurut saya adalah negara!

Anonim mengatakan...

"Sekali lagi maaf, saya orgnya sering komen tergesa-gesa. Saya memang sering 'langsung menjawab' menurut pengingatan saya pribadi. Dalam menulis, saya tidak pernah membawa buku kemudian saya contek/eja ataupun membawa kamus...he2..." dan "Saya sangat mengahargai pada spontanitas...karena sikap tersebut lebih jujur dan tidak mengada-ada...",

Kang Gik, bagi saya dugaan, asumsi, prakonsepsi, adalah sah secara ilmiah sebagaimana hipotesis dalam riset kuantitatif. Bagi saya di sinilah matinya sanga pengarang, kalau kita belajar tata bahasa di mana ada hal yang dirujuk, ada maksud tersembunyi di balik kata, dan gaya bahasa mewakili maksud dari si pengarang, kegagalan dalam menulis menjadikan maksud si pengarang tak sampai, dan kalau Kang Gik merasa tafsiran saya tak benar, maka Kang Gik telah gagal menulis dengan menggunakan kaidah tata bahasa yang seoptimal mungkin dapat mewakili maksud hati Kang Gik.


"Tapi kapitalisme adalah hasil dari penggunaan akal dalam kegiatan ekonomi manusia yg kira-kira muncul setelah masa pencerahan. Dengan sistem pengorganisasian produksi massa untuk kepentingan massa."

Kang Gik, makanya dengan penggunaan akal yang berbasis pada logika positivis yang selalu berupaya menguasai alam dan lainnya menjadikan timbulnya kapitalisme.

Justru tafsiran positivisme oleh kaum positivis itu menjadi keniscayaan untuk selalu dipertanyakan, karena ia tak berjarak dari apa yang dia tafsirkan, hingga akhirnya positivisme hanya dipandang itu-itu saja, ada hal lain, faktor lain, efek lain, yang tak tertangkap penglihatan para positivis itu. Mestinya gerak maju mundur dilakukan, tapi ternyata tak dilakukan dalam kerangka penafsiran positivisme.

sebuah analogi, apakah Kang Gik dapat melihat punggung Kang Gik yang penuh kotoran? Tak bisa kan....tapi orang lain bisa melihat, dan mestinya Kang Gik segera mengambil cermin untuk melihat punggung Kang Gik. Positivisme sebagai paradigma yang eksak, linier, tak punya banyak daya untuk melihat kekurangan dirinya, tapi yang di luar dirinya jelas dapat melihatnya. Analogi lagi, positivisme menyatakan bahwa gelas dalam anggur membawa kenikmatan kalau di minum, tapi paradigma kritis tak hanya menyatakan hal itu, lebih jauh juga berkata, bahwa segelas anggur akan membawa petaka jika diberi arsenik, atau anggurnya ditumpahkan ke wajah seseorang dengan sengaja, dan kemudian bertanya siapa yang memesan anggur, siapa peminumnya, mengapa memesan anggur kok bukan es teh,....gitu Kang Gik analoginya.

Kira-kira bisa dipahami gak ya...

Klo mengutip Hoppe yang muridnya mises, padahal mises adalah pendukung ekonomi pasar, ya jelas seperti itu dia mendefinisikan positivisme, lain tidak. Sebagaimana saya mengutip kata "jihad" dari Ali Imron, Imam Samudera, ya jelas "keras" wong dia -entah salah atau benar- muridnya Abu Bakar yang mengartikan "jihad" seperti itu (keras).

Anonim mengatakan...

Saya kira pertanyaan saya di artikel Gus Taufik di atas perlu saya ucapkan disini atas kengeyelan definisi positivisme dari kamu:

pistemologi mempersoalkan: Dengan cara bagaimana kita dapat memperoleh kebenaran ilmu (dalam persoalan kita adalah ilmu tentang manusia)? Itu adalah persoalan intinya.

Jadi, seandainya ada kebenaran-kebenaran yg memiliki epistemologinya sendiri-sendiri, dalam ranah apa dia dapat dikatakan sebagai kebenaran ilmu?

Salam

Anonim mengatakan...

Mengenai masalah anggur (dan mengapa bukan Getuk sesuai konteks diskusi dalam artikel ini?):

"bahwa segelas anggur akan membawa petaka jika diberi arsenik, atau anggurnya ditumpahkan ke wajah seseorang dengan sengaja,"

Ya saya baru bisa menangkap arti dari 'teori kritis': dia adalah teori yg memasukkan arsenik dalam anggur dan menumpahkan anggur ke waja seseorang!

Apakah itu dapat disebut sebagai epistemologi? Apakah kebenaran ilmu hanya dapat ditafsirkan dari dua sisi: baik dan buruk?

Please donk ah, jangan mengada-ada.

Anonim mengatakan...

Dan ini memperjelas pemahaman saya terhadap 'teori kritis' selain dari buku Pak Hardiman:

Dalam konteks Getuk, Teori kritis ingin mengatakan bahwa Bu Rury mencoba memasukkan 'obat tikus' di Getuk gorengnya, dan Bu Rury juga yg mencoba memanfaatkan si Chun untuk kepentingan/keuntungan dirinya sendiri.

Mulai sekarang saya baru memahami teori kritis. Terima kasih atas penjelasannya.

jabon mengatakan...

kok mengerikan, gethuk goreng pake obat tikus segala....