online degree programs

Rabu, April 08, 2009

Yang Politik

Minggu lalu, Menteri Komunikasi dan Informasi BEM KM Unnes sepertinya ingin bercerita mengenai ”Membangun Kecerdasan Masyarakat Melalui Media Massa”, di kolom ini, kolom Opini Buletin Express. Tetapi barangkali tidak. Karena ternyata yang terceritakan adalah sesuatu yang disebut(nya) kecerdasan politik dan diakhiri anjuran ”jadi jangan memilih politisi busuk” (Nanang Qosim, 2009).

Poin yang barangkali bisa digarisbawahi diantaranya mekanisme komunikasi politik yang terjadi (salah satunya) dalam lalu lintas informasi melalui media massa yang begitu lalu-lalang dan crowded, serta bagaimana kecerdasan media diupayakan sebagai determinan utama untuk menyikapi keadaan tersebut.

Yang terlupakan di sana adalah, bahwa anjuran agar media massa untuk mencerdaskan masyarakat, yang ditujukan kepada media massa, tetaplah sebuah anjuran yang—jika itu dihubungkan dengan bahasan politik—justru akan menimbulkan permasalahan baru. Seperti yang kita ketahui, setiap media massa tidaklah hanya berhubungan dengan pihak penganjur, melainkan juga pihak yang memungkinkan operasional media bisa berjalan dan juga orang-orang dalam media massa yang membentuk sistem sosial tersendiri. Sedangkan sebuah sistem sosial menurut Niklas Luhmann (dengan menganalogikan sekaligus mengembangkan gagasan Humberto Maturana dan Fransisco Varela yang bersifat biologis) adalah sistem autopieses, sistem yang bisa terus membentuk dirinya, senantiasa dinamis. Karena media massa juga merupakan sistem sosial, seperti halnya masyarakat dan pihak penganjur, sehingga juga merupakan pelaku politik. Maka, dalam bahasannya, Nanang Qosim memberikan titik tekan yang kurang pas dalam bahasan tersebut—untuk tidak menyebutnya wacana kosong.

Sejatinya yang lebih menarik bagi saya di sini bukanlah pada informasi yang disampaikan Nanang Qosim, ataupun anjurannya agar jangan memilih politisi busuk. Tetapi justru diskursus mengenai ”politik” yang secara implisit bisa ditarik dari rangkaian gagasan yang dituliskannya.

Absurdnya membicarakan ”politik” sama absurd dengan membicarakan demokrasi. Hal ini terjadi karena baik Politik maupun Demokrasi menjadi terlalu sering dipekikkan, menjadi sekedar jargon. Semua orang mengetahui, semua orang mengerti, tapi tidak seorangpun yang bisa menunjukkan seperti apakah yang namanya, baik politik maupun demokrasi itu.

Politik (dan Demokrasi) menjadi bahan perbincangan yang ramai serta mengasyikkan, sekaligus tanpa terketahui dengan jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan keduanya. Dalam hal ini, baik Politik maupun Demokrasi telah diandaikan dipahami secara sama oleh setiap orang—meskipun degan samar, bahwa Politik (dan Demokrasi) adalah hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan menjadi hangat saat menjelang pemilu seperti saat ini.

Dengan spektrum pandang semacam itu, maka bukan hal yang aneh jika Politik menjadi identik dengan kampanye, dan akhir-akhir ini terlekati sebagai tempat untuk mengobral janji tanpa harus menepati. Tidak lebih. Dan bisa jadi karena para pelaku politik (praktis) memiliki sprektum pandang semacam itu jugalah, politik menjadi terkesan semakin praktis, sehingga nalar yang digunakan untuk menjalankannya secara otomatis adalah nalar praktis-oportunis-berjangka pendek.

Dus, yang paling mungkin dalam hal ini adalah dalam setiap diri pelaku politik, dimanapun lokusnya, harus bersedia, terbuka kepada dirinya sendiri, jujur dan adil bahkan sejak dalam pikir, mendekonstruksi konsepsi politiknya (dan demokrasinya), karena tidak ada satupun petanda referensial yang final (fixed) yang bisa dilekatkan padanya.


Ahmad Fahmi Mubarok
Psikologi FIP Unnes.

3 komentar:

Ed Khan mengatakan...

Joshhh....dimuat neng Experss rak nda???

Anonim mengatakan...

aku kira begini, fah. kesadaran kita ketika berbicara Politik masih dalam cara berfikir nasionalistik. artinya, seolah-olah yang dibicarakan masih politik mikro di bawah atap Indonesia.

aku pikir, cara berpikir dan memandang persoalan mestinya sudah cara berpikir global, yaitu kesadaran tentang politik makro.maksudnya, jangan lihat Demokrat dan SBY yang semakin meningkat pamornya tapi kekuatan besar apa di baliknya, konstruksi apa yg ditawarkan kekuatan itu,ideologi dan kepentingan siapa, dsb.

dengan itu juga, mestinya kita memandang media massa kita sekarang. lihat saja, metro tv, tnone, rcti dan semuanya. apa ada stasiun televisi yang mendatangkan Arif Budiman, George Aditjondro, Sri Bintang Pamungkas,Giyanto,Edi Subkhan atau Fahmi misalnya.

persoalan kita adalah persoalan global. persoalan hidup dan mati antar negara. soal tunggang menunggangi:Indonesia yang menunggangi Amerika atau sebaliknya? entahlah... di tv-tv itu, orang-orang berpendidikan tinggi berbicara panjang lebar tentang politik,demokrasi,negara dan seterusnya, tapi di mataku seolah-olah mereka tak berucap bahkan sepatah kata!

Ed Khan mengatakan...

.....nak ngundang aku, aku arep ngomong, "nie tv ama maunya..??? presiden baru, legislatif baru tak tantang tandatangani kontrak jangan pernah tunduk didikte AS..!!"

hehe......