online degree programs

Jumat, April 24, 2009

Hukum untuk Manusia bukan Manusia untuk Hukum


Oleh : Wahyu Nandang H*

Perkembangan hukum dari zaman klasik sampai zaman modern telah melalui perubahan yang sangat pesat dengan perjalanan yang penuh liku.Ada yang pro dan kontra seiring dengan lahirnya para pemikir yang memiliki keahlian berpetualang dalam alam intelektual. Pengertian tentang hukum dari pemikir yang satu dengan pemikir yang lain tidak selalu sama, hal ini berkaitan dengan pandangan hidup dan keadaan dari zaman ke zaman yang berbeda. Sejak zaman awal modern (abad ke – 15) banyak orang secara langsung mengartikan hukum sama dengan hukum negara. Masyarakat berasumsi bahwa hukum adalah undang – undang ( aliran hukum positif ). Akan tetapi secara tradisional hukum dipandang sebagai bersifat idiil atau etis.

J.J Rousseau berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis. Manusia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat pergumulannya di tengah masyarakat yang egoistis. Permasalahan timbul dalam masyarakat karena terdesak oleh kepentingan – kepentingan pribadi yang harus dipenuhi, maka masing – masing individu menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Maka terjadi benturan kepentingan antara individu yang satu dengan individu yang lain dan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain yang mengakibatkan konflik bahkan sampai pertumpahan darah. Dengan terjadinya gejolak dimasyarakat dan kekacauan masyarakat maka Rousseau menggagas perlunya kontrak sosial yang menjadi aturan main bersama agar tidak ada pihak yang dirugikan. Kontrak sosial yang disepakati masyarakat meliputi segala bidang kehidupan ekonomi, sosial, politik termasuk hukum.

Sesuai dengan pendapat Rousseau tentang kontrak sosial, hukum terbentuk dari kesepakatan sosial dari sekelompok manusia yang mengikatkan diri dalam satu kesatuan untuk mencapai tujuan bersama yaitu keadilan,ketertiban dan kesejahteraan . Hal ini sejalan dengan Cicero yang berpendapat bahwa “ dimana ada masyarakat, di sana pasti ada hukum ” (ubi societas ibi ius ). Dari argumen cicero memiliki arti bahwa hukum lahir baik sadar atau tidak sadar dengan sendirinya telah ada dalam masyarakat. Kalau boleh ditarik kesimpulan, hukum adalah kontruksi dari manusia. Sudah barang tentu hukum itu ada untuk kepentingan dan kebutuhan manusia. Dan bukan disalahartikan bahwa manusia ada untuk hukum. Karena apabila memiliki konsep pemikiran tersebut, maka manusia sebagai objek. Yang mana terjadi perbudakan manusia akan hukum. Hukum bagaikan sebagai dewa yang memposisikan lebih tinggi dari manusia. Pemikiran yang salah kaprah inilah yang sedang terjadi dalam praktek hukum pada saat ini. Para lawyer menganggap hukum seperti suatu kebenaran yang hakiki yang tidak memandang kecacatan didalamnya. Mereka hanya berasumsi hukum adalah aturan - aturan yang harus ditegakkan dan apa yang ada dalam hukum itu benar . lawyer dengan bersilat lindah dapat mengutak – atik arti kebenaran dan keadilan dengan sesumbar “ semua harus berdasar atas hukum dan demi hukum ”!! . Bagi mereka hukum sebagai permainan bahasa ( Language Game ) saja. Yang ada dalam benak para lawyer bukan penegakan substansi dari nilai – nilai hukum itu sendiri tetapi bagaimana penerapan hukum secara praktis itu dapat dijadikan pemenangan dalam setiap perkara yang ada dalam tangannya. Maka yang terjadi Hukum sebagai objek penghasil finasial ( bisnis ) belaka. Gerry Spencer ( advokad senior Amerika ) mengatakan bahwa Kemampuan dalam segi finansial dapat membiayai pemenangan di Pengadilan. Pendapat dari spencer itu mendeskripsikan bahwa disini ada arti pentingnya uang dalam proses hukum dan penegak hukum yang bermoral rendah. Inilah realita yang nampak dalam dunia hukum kita, Hukum yang seharusnya untuk keadilan dan kesejahteraan untuk semua orang ( John Stuart MillThe greates happines of the greates number “ ) malah menjadi keadilan dan kesejahteraan oleh segelintir orang tertentu ( “ Beruang “ ). Perlu diingat bahwa hukum adalah buatan manusia dan hukum dibuat pada ruang dan waktu yang berbeda. Hukum dibuat dipengaruhi oleh kondisi pada zaman pada saat itu,baik politik,sosial cultural maupun ekonomi. Jadi hukum juga mengenal daluarsa seperti jajanan, ketika hukum dipakai melebihi batas waktu maka akan membawa kerugian bagi yang mengkonsumsinya.

Perkembangan era globalisaisi membuat batas – batas negara semakin kabur, arus informasi, iptek, isu internasional dan ajaran - ajaran baru yang seolah tidak dapat terbendung. Dengan perkembangan seperti itu juga harus diimbangi dengan aturan – aturan hukum yang memadai. Hukum mengalami perkembangan yang sangat lambat jadi tidak dapat menampung dan mengatasi permasalahan manusia yang semakin kompleks. Lambatnya perkembangan hukum mengakibatkan banyak permasalahan manusia yang tidak dapat diorganisir dengan baik. Akhirnya banyak kasus –kasus yang lepas sehingga si pelaku dapat menghirup udara segar, hal ini terbentengi oleh asas Legalitas ( pasal 1 KUHP ) , jadi disini peran seorang hakim bukan sebagai mulut undang - undang tetapi sebagai tangan keadilan. Bagaimana seorang hakim dengan keahliannya untuk menafsirkan hukum sesuai dengan porsinya . Oliver Wendell Holmes (1841 – 1935) berkata, bahwa “ melihat kelakuan para hakim, menjadi jelas bahwa hukum adalah apa yang dilakukan oleh para hakim di pengadilan. “ The pattern of behavior ” para hakim menentukan apa itu hukum. Kaidah – kaidah hukum hanya memberikan bimbingan. Moral hidup pribadi dan kepentingan sosial ikut menentukan putusan “. Jadi posisi hakim disini sangat urgen dalam setiap pemutusan sebuah perkara, karena ketika salah dalam pemutusan maka hukum sudah menciderai nilai – nilai keadilan. Kemudian Jerome Frank (1889 – 1957) menegaskan argumen dari Holmes , bahwa “ hukum ditemukan dalam putusan – putusan pengadilan. Unsur – Unsur pertimbangan adalah antara lain kaidah – kaidah hukum, tetapi juga prasangka politik, ekonomi, moral bahkan juga simpati atau antipati pribadi “. Hakim haruslah bersikap netral serta berpihak pada pihak yang tertindas.

Hukum di Indonesia cenderung bersikap prosedural bukan substansial, artinya hukum yang ada harus taat azas dan administrasinya. Ini merupakan sebuah fakta yang sangat ironis ketika suatu kebenaran hanya dapat dinilai dengan undang – undang, berkas – berkas, surat – surat dan sebagainya. Celakanya ketika dalam proses peradilan terjadinya kekurangan berkas – berkas atau kelengkapan lain yang tidak terpenuhi maka hukum tidak dapat menghadirkan nilai – nilai kebenaran dan keadilan. Banyak kasus yang lepas hanya karena si penuntut cacat dalam hal prosedural. Dengan realita tersebut, menurut Dr. Indah Sri Utari maka hukum yang dihasilkan bersifat formal. Jadi disini hukum tidak leluasa dalam menjalankan fungsinya dan harus terikat dalam suatu sistem yang kurang baik. Pada dasarnya hukum merupakan instrumen atau kendaraan, sedangkan keadilan merupakan tujuan dari kendaraan itu. Hukum seharusnya dapat membawa keadilan dan kesejahteraan bagi banyak orang ( bringing justice and welfare of peoples ). Inilah gambaran utuh hukum bukan hanya keteraturan ( order ), tetapi ketidakaturan ( Sampford,1989 ).

Indonesia mengadopsi sistem Rule of Law yang diwarisi oleh Belanda. Usia Rule of Law di Indonesia lebih tua ketimbang republik ini. Indonesia hanya menelan mentah – mentah produk impor ini tanpa berusaha mengkritisi substansi dari sistem ini. Rule of Law menurut Thompson lahir di Inggris pada abad ke – 19 sebagai akibat dari munculnya gerakan membebaskan diri dari penindasan raja, kekuasaan negara yang serba meliputi dan absolut dan kelas – kelas sosial yang kuat. Di Amerika, sistem ini diberlakukan untuk menjamin kemerdekaan individu melalui hukum. Dengan demikian , konsep ini memiki akar historis dan sosiologis yang kental dengan dunia barat. Sistem ini hanya mampu memberikan keadilan yang bersifat individual. Sistem ini di dunia barat mendapat kritikan dari Robert M Unger sebagai salah satu anggota CLS ( Critical Legal Studies ).

Menurut Dr. Achmad Gunaryo bahwa Hukum akan berjalan sesuai dengan fungsinya ketika adanya keterpaduan antara sistem sosial dengan sistem hukum. Kalau kita coba menilik hukum Indonesia berdasarkan historis dan sosiologisnya, dapat ditemukan sesuatu yang tidak kontras antara sistem sosial dan sistem hukumnya. Dari sisi historisya dapat dilihat, Indonesia dijajah oleh negara asing ( Belanda ) selama 350 tahun yang menghasilkan struktur, tatanan sosial, paham, budaya termasuk hukum. Sistem hukum yang diterapkan merupakan hukum Belanda bukan hukum asli Indonesia. Dilihat dari sisi sosiologisnya bahwa dari semua yang diterapkan Belanda di Indonesia bertentangan dengan nilai – nilai dan norma – norma masyarakat Indonesia baik pranata, adat – istiadat, kebiasaan dan perilaku. Perlakuan Belanda merupakan sebuah penindasan dan pemaksaan kehendak. Kegundahan dan kegelisahan inilah yang sebenarnya dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Hemat saya, pada akhirnya sistem yang dibawa oleh Belanda tersebut dalam penerapannya tidak efektif dan tidak sesuai dengan fungsinya. Dengan berasumsi pada hukum progresif sebagaimana seharusnya hukum yang layak diterapkan di Indonesia adalah hukum untuk manusia ( berdasarkan nilai – nilai dari bangsa indonesia kemudian menciptakan hukum yang khas Indonesia )

Yang harus perlu dilakukan oleh para praktisi hukum dan negarawan adalah melakukan perenungan terhadap sistem hukum yang selama ini kita praktekan apakah sudah sesuai dengan porsinya dalam penyuguhan keadilan bagi masyarakat. peninjauan kembali ( judicial review ) dan bersama melakukan pembenahan agar sistem hukum yang dipakai nantinya dapat mengakomodir aspirasi, kehendak dan cita – cita bangsa.

*Mahasiswa Hukum Unnes

6 komentar:

Anonim mengatakan...

teringat ketika kongres di beberapa organisasi, pada saat pemilihan ketua misalnya. di buatlah tata tertib untuk pra sayrat cal0n ketua atau balon. dan jika calon atou balon tersebut tidak memenuhi syarat maka gugurlah dia. karena tidak sesuai dengan kesepakatan bersema-bukankah JJ Russ, mengatakan suatuperaturan adalah kesepakatan bersama- karena dibuat bersama-sama maka harus di taati.

jadi ketika berbicara masalah hukum tidak boleh lepas dari yang namanya prosedural. karena itu sudah kodrat hukum.

yang perlu dikritikibukan prosedurnya. namun produk hukum itu memenuhi unsur manfaat kepada masyarakat atu tidak.

dan untuk menjadi kan hukum itu ditaati oelh masyarkat makadiperlukan para anggota legeislatif untuk berffikir secara holistik biar produk hukum itu mengena pada masyarakat.

Said

Imam Semar mengatakan...

Ungkapan yang sama bagi negara:

Negara untuk manusia, bukan manusia untuk negara.

Lupakan ungkapan Kennedy yang berbunyi:

"Don't ask what the country can do for you, but ask what you can do for the country".

nan_dank mengatakan...

To : kang Said

Berarti klo berbicara begitu prosedurnya sudah benar ya???
Apakah para penegak hukum Kita sudah berfikir progresif????


Kodrat hukum tidak harus prosedural.Tetapi yang menjadi kodrat hukum adalah membawa keadilan.

Anonim mengatakan...

manusia (termasuk penguasa) harus mengikuti (taat) hukum
bukan hukum yang menyesuaikan kepentingan segelintir manusia, dipelintir-pelintir...
unik bin ajaib benar bangsa ini ya???

salam
Donie

Anonim mengatakan...

salam kenal juga mas donie
...

David Pangemanan mengatakan...

MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675