online degree programs

Minggu, April 12, 2009

PMII dan Tantangan zaman (Sebuah Refleksi Harlah PMII Ke -49)


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah salah satu organisasi mahasiswa islam besar di Indonesia. Walaupun organisasi ini melabelkan islam di namanya, dia tak lupa mencantumkan Indonesia sebagai negara maupun kumpulan suku yang akhirnya disebut bangsa.

Sejarah Singkat PMII

PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Studens Movement) adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen Perguruan Tinggi IPNU.

Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.

Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa Nu bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU (PMII), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.

Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini sudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian departemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.

Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahasiswa NU, yang disambut Rekomendasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh 13 tokoh, yakni; Chalid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shabih ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA. (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi (Yogyakarta), Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul Wahab Djailani (semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko (Malang), dan Ahmad Husein (Makasar), dalam sebuah musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah (Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.

Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Dr. Idam Kholid memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Bernuansa Islam Tradisional

Organisasi PMII walaupun mewadahi mahasiswa yang tergolong intelektual muda tidak menghilangkan ciri khas sebagai kaum muda nahdlatul ulama (NU). Tetap memegang teguh tradisi keagamaan islam keindonesiaan ala ahlussunnah waljamaan. Bahkan dalam tantangan dan gempuran organisasi islam maupun kaum muda islam baik fundamental maupun liberal, PMII tetap memegang teguh ajaran yang menggunakan ahlussunnah waljamaah sebagai manhajul fikr.

Bagi pandangan PMII islam tradisional atau Islam Indonesia perlu di jaga karena itulah islam yang pas dan sempurna di Indonesia. Mahasiswa PMII menolak mentah-mentah jika tahlilan, manaqiban dan nyekar di maknai bid’ah yang perlu di tinggalkan. Menurut pemikiran kaum muda PMII yang teilhami oleh ajaran para kiai, membagi bid’ah dalam dua bagian yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Kalo kalangan fundamental memaknai semua yang tidak dilakukan nabi adalah bid’ah yang harus ditinggalkan maka seluruh kehidupan masyarakat islam di luar arab telah terselimuti oleh bidah. Pandangan sempit inilah yang di kecam oleh para kalanganmuda NU. Sehingga sebagai benteng islam tradisional yang memperjuangkan islam ala Indonesia den memegang teguh ajaran islam ahlussunnah waljamaah PMII selalu berseberangan pemikiran dengan kaum-kaum islamis fundamental.

Pmii dan Tantangan Modernitas

Modernitas yang menjadi akibat dari era globalisasi adalah sebuah fakta yang harus dihadapi bukan ditentang. Bagaimanapun dengan kecanggihan jaman, sampai jarak tidak menjadi persolan untuk berkomunikasi dengan adanya Hp maka modernitas menjadi hal yang tak terelakkan dan di manfaatkan nili-nilai positifnya.

Bahkan PMII memaknai modernitas harus di fahami dengan nilai moderat sehingga tak ada lagi problem. Antara modernitas dengan tradisional yang dari kacamata luar dianggap bertentangan dapat di jembatani oleh PMII sebagai dua hal yang seirama dan sejalan walaupun bagi yang belum tahu benar nilai-nilai ASWAJA (tawassuth, tawazun, tasamuh dan taadul) akan terjebak pada pertentangan. Alhasil warga PMII ada yang dianggap kekiri-kirian dan kekanan-kananan.

Dalam kurun waktu 49 tahun ini PMII telah mampu menunjukkan bagaimana menjembatani antara tradisionalitas yang menjadi ciri khas warga NU dan modernitas yang menjadi bagian dari perkembangan zaman. Dengan demikian kader PMII sekarang telah bermertamorfosis menjadi kader bangsa yang telah mumpuni dan dapat diterima di berbagai elemen bangsa baik di wilayah state, modal maupun wilayah gerakan sosial.

PMII pun telah menampik dari tuduhan miring berafiliasi dengan partai politik yang menjadi godaan yang menggiurkan dengan menunjukkan bahwa kader PMII diberi kebebasan dalam menentukan kehidupan berpolitiknya. Kader PMII tersebar di berbagai partai dan pemerintahan, tersebar di berbagai dunia usaha, tersebabar di berbagai lembaga sosial kemasyarakatan akan tetapi tetap satu tujuan mengawal ajaran islam berwawasan kebangsaan serta tidak meninggalkan tradisi islam Indonesia ala ahlussunnah waljamaah.

M. Azil Maskur

Mantan Ketua PMII Universitas Negeri Semarang

11 komentar:

Anonim mengatakan...

"Mahasiswa PMII menolak mentah-mentah jika tahlilan, manaqiban dan nyekar di maknai bid’ah yang perlu di tinggalkan"

saya kira ada banyak hal yg perlu di cermati kang azil...

siapa bilang tahlil itu bid'ah?di dalam kalimat takbir yang kita kumandangka pada saat hari raya terdapat juga kalimah tahlil.itu menunjukkan bawa tahlil itu memang bukan bid'ah,yang menjadi bid'ah kemudian jika tahlil seolah2 menjadi wajib pada saat ada yg mati,dan seolah2 si mati aka masuk neraka jika tidak di tahlilkan.padahal syariat sudah menjelaskan dengan gamblang bagaimana tata cara mendoakan orang mati.bukan dengan tahlilan sampai 7 hari,kmudia 40 hari,kmudian 100 hari,kmudian selapan dan sebagainya..
klo saya boleh nanya:
apa dasar yg di gunakan dalam mengadakan acara itu semua..?
budaya-kah...?
kalo iya, njenengan tentu harus belajar membedakan mana budaya dan mana syar'iat,agar tidak ikut2an terjebak bid'ah.
nyekar...
memang dulu pd zaman nabi, nyekar pernah di haramkan, karena nabi takut umatnya yg pd saat itu imannya masih labil kembali ke budaya jahiliyah.tp kmudian nyekar di halalkan dalam rangka megingatkan umat pada mati.tetangga saya,ktika anaknya akan menikah megajak kedua calon mempelai ke makam kakeknya sambil membawa segala kesukaan sang kakek semas hidup dan bunga2an...
sesampainya di makam sang kakek.si bapak berkata"mbah,iki putumu meh nikah,nyuwun dongane"apa ini bukan bid'ah namanya..
intinya tidak semua tahlil dan nyekar itu bidah kang....
sdulurmu,
malik.

Ed Khan mengatakan...

.....ini pertarungan wacana, mujadalah, munaqasah atau apalah ... antara mahaguru, syeikh, kyai, haji, maulana malik dan mahaguru, syeikh, kyai, haji, sunan azil hehe.....

kangen tahlilan sama romo yai mbiyen nda nda...

Anonim mengatakan...

Maturnuwun kang malik.. Kita sama2 diskusi. Menurut kang malik semua budaya apakah bidah yang menyesatkan sehingga saya harus membedakan dg cermat antara budaya dan syariah? Apakah budaya tdk dapat menjadi ibadah yang menghasilkan pahala?

Anonim mengatakan...

eyang resi,maha guru,brahmana ed khan.....your coment...?

tidak semua budaya itu bid'ah kang azil,
budaya yang membahayakan dan melenceng dari akidah dan tauhid lah yang menurut saya tergolong dalam bid'ah..

inilah yang menurut saya perlu untuk kita cermati...

Anonim mengatakan...

Sepakat kang.. Tdk semua budaya bidah. Kalo yg pernah sy pelajari bhkn byk jumhur ulama membagi bid'ah mjd 2 macm, hasanah dan sayyiah. So.. Kalo pertanyaan kang malik tentang 7 hr,40 hr-an dasarnya sementara saya jawab budaya gmn? (Krn dulu saya pernah dengar dasar hadis atau ijma'nya waktu pengajian peringatan 40-hr meninggalnya puterany pak ali mufiz, nanti saya cari kang.... Mdh2n ndak lupa) Perpaduan budaya local dg syariat islam inilah yg mjdkn agama ini dpt diterima oleh semua pihak,dimanapun dan kapanpun. Di arab pun memadukan budaya localnya dg syariat sehingga agama islam diterima disana. Nah.. Kita di Indonesia yang punya budaya sendiri harus cermat memilah mana yg budaya arab dan mana yang betul2 syariat....

Anonim mengatakan...

jaman walisongo pimpinan Raden Mas said...ehhh raden Mas sahid( Sunan Kali jogo). dalam mengajarkan islam melalui dua setrategi, setrategi pertama keras ( menolak ajaran-ajaran dari luar islam) yang pertama menggunakan ajaran yang dinamis (menggabungkan budaya islam dan local) dan semua itu kanyaknya berhasil, karena islam adalah agama terbesar di negara ini(jika diukur dengan kuantitas).

jadi kita jangan terlau dipusingkan antar Budaya dan Syari'ah. menurut sepemahaman saya syari'ah juga bersumber dari sebuah budaya yang berkemabng di masyarakat tersebut.

karena semua saling mempengaruhi, sekarang malah sudah ada ajaran Fiqih Progresif dan fiqih lingkungan. dibanding dengan Fathul Qorib yang sangat kaku.

begitu juga dengan ajaran Syiah. di indonesia ada dua syiah yaitu syiah arab(iran) dan Syiah (keindonesiaan)kok kaya PMII z...Islam keindonesiaan

Said
Aktivis PMII

Anonim mengatakan...

islam is islam sodara...
todak ada islam arab,iran,amerika ...
juga indonesia....

sandhi mengatakan...

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :

MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.


KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).

Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

SELESAI , KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926

REFERENSI :

 Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
 Masalah Keagamaan Jilid 1 - Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media.

Anonim mengatakan...

Ini saya ambil dari Blog NU.Or.Id
"Fasal tentang Bid'ah (2)
01/03/2007

Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)"

Sebagai referensi;
Kalau pengen lebih jauh tahu tentang pijakan dasar warga NU membaca tahlil, kemarin telah dikeluarkan buku tentang tahlil yang judul bukunya "Judul Buku : Tahlil dan Kenduri; Tradisi Santri dan Kiai
Penulis : H.M. Madchan Anies
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : xii + 180 halaman
Peresensi : Abdul Halim Fathani Yahya.

Salam,
M.Azil Maskur

Anonim mengatakan...

Apa yang di kutip dan diutarakan mba sandhi bahkan membawa KH. Sahal Mahfud saya kira sangat kontra produktif apabila mba menyangkal hukum di bolehkannya tahlil. Yang jelas saya tidak akan panjang lebar mengungkapkan dengan kata-kata karena ini merupakan khilafiyah yang dari dulu tak ada ujungnya.
"Masalah bid'ah"
Ulama membagi bid'ah menjadi dua ,bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah , sedangkan bid'ah hasanah sama sekali tidak sesat meskipun tidak pernah dikerjakan oleh nabi jadi ukurannya bukan pernah dikerjakan oleh nabi atau tidak , namun lebih luas dari itu, apakah sesuai dengan syariat atau tidak ! yang dimaksudkan syariat disini tentu saja dalil dalil alquran sunnah ,atsarus shahabah , Ijma' dan qiyas . jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan dalil dalil tersebut maka sesat.

Sekarang kita lihat apakah dalam tahlil ada yang bertentangan dengan syari'at ? tidak ada, tahlil adalah serangkaian kalimat yang berisi dzikir, bacaan alqur'an, yang disusun untuk sekedar mudah untuk di ingat, biasanya dibaca secara berjemaah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit , rangkaian bacaan yang ada mempunyai keutamaan yang mempunyai dasar yang kuat, dari sisi ini jelas tahlil tidak ada yang bertentangan dengan syariat.

Jika yang dipermasalahkan adalah sampai dan tidaknya pahala maka perdebatan tidak akan menemui ujung usai, sebab itu masalah khilafiyah dengan argumen masing-masing ada yang mengatakan pahalanya bisa sampai ada yang mengatakan tidak, pendeknya ulama' sepakat untuk tidak sepakat , ya sudah jangan dipermasalahkan lagi.

Hemat kita urusan pahala adalah masalah penilaian Allah SWT yang tidak bisa di intervensi (dicampuri) oleh siapapun. Kita yang membaca tahlil esensinya kan berdo'a semoga pahala bacaan kita disampaikan kepada mayit.

Lepas dari Khilafiyah itu KH Sahal Mahfud, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.

Saya akan menunjukkan bahwa realita yang ada semua kiai besar NU menganjurkan tahlil dilestarikan, coba maba sandhi tanya langsung aja ke KH. Sahal Mahfud pati, KH. Musthofa bisri rembang, Habib yahya bib Luthfi pekalongan, KH. Abdurrahman khudlori magelang, KH. Abdullah Faqih langitan, dan kiai2 NU lainnya. Saya yakin para kiai yang saya sebutkan diatas dapat dipercaya dan ilmu agamanya dapat di jadikan tempat taqlid.

Salam

Hamba Tuhan

Anonim mengatakan...

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ