online degree programs

Rabu, April 08, 2009

Revitalisasi Kawasan Pecinan Semarang?




Ini adalah tahun 2009. Sebuah tahun baru lagi, sebuah urutan 1 Januari hingga 31 Desember lagi. Kita memasukinya, seperti tahun lalu kita memasuki awal tahun 2008, seperti kita memasuki awal tahun-tahun sebelumnya, dengan atau tanpa terompet.

Ini adalah tahun 2009, sekitar 40 tahun semenjak pemindahan alun-alun kota Semarang, dari lokasi Pasar Johar yang sekarang menuju alun-alun (yang sekarang) Simpang Lima yang kita kenal. Alun-alun adalah pusat kota. Mengukur jarak antar kota, juga berarti mengukur jarak antar alun-alun masing-masing kota. Alun-alun adalah pusat kota, setidaknya seperti yang terlihat di Jepara, Kudus, Demak, dan Kebumen. Alun-alun di kota tersebut dikelilingi oleh pusat pemerintahan, pusat perekonomian, pusat kegiatan keagamaan, dan pusat keamanan. Entah bermula semenjak Majapahit ataukah Mataram.

Pusat di sini tidak selalu berarti tengah, sehingga ber-relasi opositif biner dengan pinggir yang tepi, yang sudah tentu bukan tengah. Dalam olahraga panahan, berhasil memanah di tengah-tengah berarti mendapatkan nilai yang paling tinggi, semakin ke tepi, nilai semakin sedikit. Tepian serabi selalu tipis, kaku, gosong, dan pahit, tak seperti bagian tengah yang tebal serta tempat semua gula berkumpul. Dalam suatu tayangan demo memasak TV swasta, ketika memasak dengan bahan dasar roti tawar, maka tepian roti dibuang, karena mengurangi keindahan. Pinggir tidak indah.

Pusat di sini lebih bisa dijelaskan oleh Ronaldinho dan Frank Ribery, dalam sepak bola. Keduanya adalah seorang playmaker, pengatur irama permainan, yang lebih suka beroperasi di sayap (pinggir). Mereka menunjukkan jalannya irama permainan tak harus berada di tengah, mereka memindahkan titik pusat. Mereka menunjukkan bahwa pinggir pun bisa menjadi ”pusat”. Alun-alun sebagai pusat, bukan berarti berada persis di tengah secara pemetakan geografis, melainkan sebagai pengatur ”irama permainan” kota, baik di tengah ataupun di pinggir.

Bisa jadi fungsi alun-alun di sini bukanlah pusat itu sendiri, melainkan hanya sebagai simbol, oleh pusat-pusat sebenarnya. Pendopo kabupaten, pasar, tempat ibadah, dan komplek penjara, adalah pusat sesungguhnya dari sebuah kota, yang di setting mengelilingi sebidang tanah lapang, dan disebut alun-alun.

Tetapi bisa juga alun-alun adalah pusat yang sesungguhnya, karena bidang tanah ini adalah tempat yang sedari mula, dengan keterlanjuran sejarah, telah dijadikan sebagai tempat yang paling mungkin untuk berlangsungnya interaksi masyarakat lintas kelas. Sampai sekarang, elemen masyarakat masih belum beranjak dari kebutuhan ekonomi, kegiatan religi, roda pemerintahan, dan juga keamanan, yang kesemuanya berada dekat dengan alun-alun. Pun juga kenyataan bahwa terdapat kesamaan diantara beberapa kota tersebut (Jepara, Kudus, Demak, dan Kebumen), bahwa alun-alun dikelilingi oleh komplek pemukiman warga ”pendatang" dan ”pribumi”. Komplek pekojan dan pecinan, sebagai komplek para warga pendatang, berada di sekitar alun-alun. Hal itulah yang sampai sekarang bisa dilihat di Jepara, Kudus, Kebumen, dan Demak, dengan ciri khasnya masing-masing. Alun-alun memang disediakan sebagai tempat yang paling memungkinkan terjalinnya komunikasi antar semua elemen masyarakat.

Bertolak dari pandangan demikian, memindahkan alun-alun berarti memindahkan ”pusat”, dan juga memindahkan tempat komunikasi antar elemen masyarakat. Hal inilah yang terjadi di kota Semarang. Alun-alun sekarang, kawasan Simpang Lima, memang disertai dengan pembangunan pusat perbelanjaan, dan sebuah masjid. Dalam posisi sekarang ini, alun-alun Semarang dikelilingi oleh masjid, dan beberapa tempat berbelanja. Artinya, terdapat perpindahan pusat itu sendiri. Kawasan-kawasan yang dulunya adalah pusat, dan sehingga ramai, sejak pemindahan alun-alun terjadi, tidak lagi menjadi ramai.

Tempat-tempat yang dulunya vital, tidak lagi menjadi se-vital sebelumnya.
Kawasan pecinan Semarang adalah salah satu kawasan yang mengalaminya, dan menjadi ”layak” untuk dibahas, karena kawasan inilah, yang diwacanakan untuk di-revitalisasi. Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata dengan Waroeng Semawis-nya, misalnya, adalah fenomena yang bisa dilihat sebagai upaya untuk me-revitalisasi kawasan pecinan. Pasar Imlek Semawis 2009 yang dimulai pada Selasa, 20 Januari 2009 malam, yang diawali oleh pelaksanaan lomba Rally Photo Pelajar yang diikuti oleh puluhan pelajar dari berbagai sekolah di kota Semarang, yang juga dibarengi pembukaan pameran Oei Tiong Ham di gedung Rasa Dharma dan pemutaran film "Aku Punya Bendera" di aula SD Kebon Dalem, adalah salah satu contoh konkret-kecil bahwa revitalisasi pecinan adalah satu hal yang diimpikan dan diupayakan.

Seperti dinyatakan oleh Tubagus P. Svarajati dalam koran Tempo edisi 8 Mei 2008 dan 22 Januari 2009 lalu, ternyata upaya revitalisasi tersebut tidak bisa menolak untuk tidak memberikan permasalahan baru. Bahwa empat tahun terakhir, keramaian itu—seperti kala pecinan masih ramai—ditingkatkan, meski tak lagi di situs asalnya. Namanya Pasar Imlek Semawis, diadakan oleh Komunitas Pecinan Semarang untuk pariwisata (Kopi Semawis), serta acara Waroeng Semawis, yakni pusat jajan kaki lima di ruas Jalan Gang Warung. Bukanya hanya pada malam hari, Jumat hingga Minggu.

Dua kegiatan tersebut, ujarnya, ditengarai menjadi penanda kuat Semarang kiwari, selain tentu saja lokus Pecinan itu memang sudah bermagnet: ada 13 kelenteng tersebar di sana. Tetapi di sisi lainnya, lingkungan Pecinan menjadi semakin kumuh, lalu lintas memadat, relasi sosial melonggar.

Kemudian Tubagus menanyakan, mengapa para stakeholders tidak acuh pada pokok-pokok soal itu. Penggawa Kopi Semawis—sebagai pencetus dan pelaksana ide—pun abai dan lalai, padahal salah satu alasan pendiriannya adalah merevitalisasi Pecinan. Revitalisasi apa? Apakah dengan cara berdagang ala Waroeng atau Pasar Imlek Semawis itu? Adakah program yang holistik, integralistik dalam membangun kawasan? Apakah kehadiran kerumunan layak dicacah sebagai keberhasilan?

Secara eksplisit pun dikatakan bahwa Kopi Semawis tak lebih sebagai organisasi klangenan saja. Ia seakan-akan bergiat, padahal tidak berinteraksi atau mengakar pada kebutuhan masyarakat yang hendak dilayaninya. Dan di akhir kesimpulannya, dikatakan bahwa terdapat jarak kultural, ekonomi (dan politis) yang mesti didekatkan, dengan semacam perencanaan dan pengelolaannya melibatkan masyarakat lokal (community-based tourism).

Jika dirunut, Kopi Semawis ini resmi berdiri pada 28 November 2005, dengan disahkan oleh seorang notaris. Konon perkumpulan ini dinamakan ”Kopi Semawis” adalah karena kata ”semawis” itu sendiri merupakan pembahasaan Jawa Kawi dari kata”semarang”. Dan ”kopi”, semua orang tahu, minuman yang membuat mata betah melek, atau aktif lebih lama. Demikian diandaikan nama ”Kopi Semawis” dapat memunculkan harap agar kehidupan di Semarang berlangsung lebih panjang, agar waktu mengecap makanan yang tersohor lebih panjang, agar orang mengetaui bahwa di Semarang ada udara sejuk.

Bisa jadi kalimat tersebut bukanlah harapan sesungguhnya, melainkan sebuah metafora. Bisa jadi, dan tentu saja ini merupakan sebuah tafsir, harapan yang dimaksudkan adalah untuk mengajak lebih banyak orang agar mengenal kota Semarang, menikmati Semarang. Sebuah harapan didahului oleh adanya motif, yang melandasi dan mendorong manusia untuk berharap, termasuk para pendiri Kopi Semawis. Pertanyaan yang akan sangat sulit terjawab adalah, apa (kira-kira) motif-motif yang berkelindan dalam harapan-harapan tersebut?

Dalam konteks kekinian, bisa dikatkan ekses-ekses yang timbul akbiat pemindahan ”pusat”, kawasan pecinan tidak legi menjadi ramai—setidaknya tidak seramai dulu. Secara sederhana, revitalisasi berarti membuat vital kembali. Dengan lebih panjang, mengutip dari Bernadus Himawan, revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah hidup/vital akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi, agar terkondisi menjadi lingkup kehidupan yang produktif dan memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.. Upaya revitalisasi bisa dilakukan dalam skala mikro (pada sebuah jalan, bangunan) ataupun pada skala makro (mencakup kawasan yang lebih luas).

Dalam upaya revitalisasi ini, tersembunyi sebuah romantisme akan keberhasilan masa lalu, bahwa kawasan pecinan, dahulu merupakan kawasan ramai, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Kata ”re-” berarti mengembalikan kembali pada keadaan yang telah terjadi, ada semacam ketidakrelaan menerima keadaan seperti ini, sehingga ingin kembali pada keadaan sebelum sekarang. Pandangan semacam ini berbeda dengan pandangan Walter Benjamin—yang takut akan kemajuan—melihat kemajuan sebagai malaikat yang terbang ke depan sembari kepalanya menoleh ke belakang, melihat bangunan yang runtuh ke arahnya. Pandangan ini bukan takut kepada kemajuan. Pandangan ini lebih kepada adanya sebuah kerinduan akan masa lalu, karena putus asa akan hal-hal yang telah terjadi dianggap tidak lebih baik dari masa lalu. Terdapat kesan post power syndrome yang tidak angkuh.

Oleh karena itu, penelitian seperti yang telah banyak dilakukan, yang berupaya untuk mengupayakan bagaimana komplek Pecinan selanjutnya, dengan berdasarkan pada telah adanya Kopi Semawis, masih perlu dilakukan, hanya saja dengan corak dan nada yang berbeda. Penelitian ini bukan bertolak dari pertanyaan ”bagaimana”, melainkan terdapat pada bagaimana kita harus melihat kawasan Pecinan sekarang ini, dalam artian berupaya memperjelas ”posisi” (dalam hal ini tidak terkait dengan konteks ke-ruang-an) dari kawasan pecinan, barangkali juga akan meninjau kembali arah gerak pembangunan Pecinan nantinya (sebuah konsekuensi logis atas berubahnya cara pandang), dan berdasarkan hal itu akan diajukan rekomendasi-rekomendasi jawaban atas pertanyaan ”bagaimana” pada kawasan tersebut.


Ahmad Fahmi Mubarok

Tidak ada komentar: