online degree programs

Senin, April 13, 2009

Mengupas Hasil Pemilu 2009


Mengupas Hasil Pemilu 2009

Jelentik tangan kanan seorang pemilih telah dicelupkan dalam tinta berwarna hitam. Sebagai tanda ia telah menggunakan hak pilihnya. Merepotkan sekali rasanya, sekali mencontreng empat kertas seluas koran, memilih DPR Pusat, dua DPR daerah, dan DPD. Susah melipat, susah memberikan suara yang sah, susah milih mana yang terbaik, apalagi nagih janji calon terpilih, itu lebih susah lagi.


Ada yang menarik dari pemilu Legislatif dari pemilu 2009, hasil perolehan suara Partai Demokrat keluar sebagai pemenang menyusul PDI-P dan Golkar diurutan berikutnya. Lembaga survei tercengang melihat peristiwa tersebut. Pasalnya, hasil kuantifikasi politik sebelumnya banyak menyebutkan Partai Demokrat berada di urutan tengah. Hal tersebut juga di sadari oleh fungsionaris Partai Demokrat. Ketika membahas RUU Pilpres, Demokrat paling keras menolak syarat 20 % untuk bisa mencalonkan Presiden. Sekarang, mimpi buruk Partai Demokrat telah selesai. Kini mereka di atas angin.


Apa yang melatar belakangi kemenangan Partai Demokrat. Ternyata kemenangan Partai Demokrat bukanlah kemenangan Partai, melainkan kemenangan Susilo Bambang Yudoyono yang membangun citra Partai. Memilih Partai Demokrat itu memilih SBY!.


Ya, di dunia yang dilipat dalam sebuah layar kaca, ungkap Baudrillard. Realitas itu nampak semakin nyata di kotak telivisi, media, dan internet. Ramainya kampanye arak-arakan dan rapat umum partai lain di sekitar tempat tinggal mereka terasa tak nampak. Kenyataan itu ada di dalam stasiun televisi. Bersama SBY, contreng Partai Demokrat. Bahkan di kawasan Aceh, Demokrat menang tanpa memiliki supratruktur yang mapan dan kuat hingga ke tingkat bawah. Namun di Aceh, Demokrat menang setelah di susul Partai Lokal.


Kita tidak bisa menampikan bahwa kiblat demokrasi itu adalah Amerika. Bahkan sekarang menjadi kiblat segala-galanya. Seperti yang ditegaskan oleh Baudrillard dalam America (NY: Verso, 1986, 1988) pent. Chris Turner. Ia menjelaskan bahwa to undertake a symptomatic reading’ of America which looks beneath the surface. Masyarakat Amerika telah menjadi masyarakat konsumer yang telah menyihir masyarakat dunia untuk menirunya. Apa yang nampak di permukaan, informasi yang mudah di dapatkan melalui media, dan tentunya yang menghibur, sebagai sesuatu yang dipercaya.


Ketergantungan pada jaringan infomasi adalah watak dasar masyarakat konsumer yang hidup di atas lingkaran logika penanda. Bagaimana kita melihat kemenangan Obama lewat efektivitas media komunikasi internet yang di mainkannya untuk membentuk positioning.


Kemenangan Demokrat sekarang menunjukan watak dan perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini. Di bawah tekanan arus informasi dan teknologi yang tidak bisa di hindari, masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat konsumtif. Menelan apa yang tampak itu sebagai realitas sesungguhnya. Lalu, apakah kemudian mereka-masyarakat indonesia-bisa mengawasi kinerja parlemen terpilih melalui media dan teknologi yang tersaji. Tentunya tidak. Sebagian kecil yang menguasai media dan teknologi, kekuatannya tak berimbang dengan kekuasaan elit politik atau negara. Media telah dikuasai oleh penguasa tunggal yang telah memodifikasi bentuk sebagai realitas buatan yang melahirkan citra. Dan masyarakat kita telah terjebak dalam citra tersebut. Citra itu mempengaruhi kesadaran, tetapi bukan untuk mendorong upaya rasional, melainkan untuk hanya terlarut dalam simulasi yang dibangun oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Rakyatlah yang menjadi korban.


Awaludin Marwan alias Luluk

7 komentar:

Ed Khan mengatakan...

...loh...kerismu kok cilik luk..???

Imam Semar mengatakan...

Apakah ada blog yang tidak bernada negatif terhadap pemilu?

luluk mengatakan...

Memang pemilu kali ini paling buruk dalam sejarah Indonesia semenjak reformasi 98. Tetapi keburukan pemilu kali ini juga dipakai kedok bagi pihak-pihak yang kalah perang untuk menggugat hasil pemilu. Mereka belum siap kalah, siap menang. Yang menang menutup-nutupi kebrobokan hasil pemilu. Minta sengketa hasil pemilu diselesaikan melalui jalur hukum. Dan hukum negara adalah alat kekuasaan negara, sebelum sengketa itu di bawa ke meja peradilan, kita sudah bisa memprediksi hasilnya, kemenangan bagi pihak penguasa negara.
Pak Imam Semar,
Makasih pak atas kritikannya, saya sebenarnya juga sudah jenuh dengan politik berikut analisis baik praksis maupun filosofis. Melihat politik Indonesia yang kian terpuruk ini. Tapi ini sebagai bentuk kepedulian saja pak. Saya harap bapak bisa memahami kondisi saya, ketika gagasan sudah tidak lagi berharga ketimbang kekuasaan, maka gagasan banyak ditinggalkan. Maka tulisan ini hanya serpihan-serpihan gagasan yang tercecer berharap bisa menerangi ruang-ruang gelap yang penuh dengan rekayasa.

Geografi Dadang mengatakan...

h

Anonim mengatakan...

memang pemilu kali ini adalah yang terburuk. Yang menang yang punya uang... saya aja dapat 15 ribu dari sebuah partai, tapi saya lupa minta maaf pada caleg yang bersangkutan. Saya ndak coblos dia bahkan mungkin jelek sifat saya ya karena saya laporkan ke panwas dan kasusnya udah masuk polres.... he...
Ya langkah saya ini apakah benar atau salah... yang penting itu yang kemarin saya lakukan. Lumayan e.. uang 15ribu saya kasih ke panwas kecamatan sebagai barang bukti, saya diganti uang 20 ribu.... ya untung 5 ribu deh,,, makanya siapa yang benar, insya allah akan beruntung.
azil

ki demang revolusi mengatakan...

Mas mas ingkang ganteng ganteng berkeris kecillll...mbok yo sadar...DEMOKRASI MENIKO DAri PEMODAL, OLEH PEMODAL dan UNTUK PEMODAL...taksih mboten percados?sing menang sing GEDHE modal lan KErise..nek LULUK jelas kalah

kawulo alit mengatakan...

sama dengan mas azil, pas pemilu kemarin saya jg mau dikasih duit tapi bedanya saya langsung tolak uang itu dan tidak saya laporkan ke panwas. soalnya saya kasihan dengan calegnya. wong ga tak laporkan ke panwas saja sudah stres mikirin utangnya yang bertumpuk akibat jor-joran dalam kampanye. apalagi saya laporkan bisa-bisa benar-benar masuk RSJ dia. memang banyak caleg yang tidak siap kalah dan akhirnya stres bahkan gila. tapi lebih banyak lagi caleg yang tidak siap menang dan akhirnya mengingkari janji-janjinya, gebet sana-sini demi bayar utang atas dana kampanye yang begitu besar ia keluarkan. wajarkan jika seorang "bisnisman" ingin untung!!!