online degree programs

Jumat, April 24, 2009

Pragmatism Syndrome



Pemilihan umum legeslatif telah berlalu, walau hasil secara resmi dari KPU belum dikeluarkan tetapi prakiraan hasil dari berbagai Lembaga Survey Nasional telah dapat kita jadikan referensi sebagai hasil Pemilu. Dari kabar-kabar di media nasional dapat kita saksikan beberapa caleg bersuka cita atas kemenangan mereka dan yang membuat miris dan menyayat hati kita semua adalah kabar tentang caleg yang gagal mendulang suara untuk dapat duduk di “gedung rakyat”. Banyak diantara mereka yang mengalami gejala stress berat dan bahkan ada yang harus dirawat secara intensif di pondok-pondok terapi kejiwaan dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Sungguh sangat memilukan!


Masih begitu terngiang jelas di telinga kita semua janji-janji para elit parpol dan para caleg saat kampanye beberapa saat sebelum hari H penyontrengan. Semuanya mengaku “Pro Rakyat”, semua berjanji takkan korupsi dan akan memberantas korupsi, semua berjanji sebagai pengemban amanat rakyat, semua kata manis nan menjanjikan diumbar. Namun, kita semua takkan tahu apa yang akan terjadi kelak (jika para caleg tersebut sudah duduk sebagai “wakil rakyat”). Saat ini saja kita begitu sulit membedakan mana yang bersungguh-sungguh membuktikan semua janjinya, apalagi menagih janji-janji itu kelak. Saya yakin akan sangat sulit dan bahkan bisa dibilang mustahil. Masih begitu jelas di benak kita janji-janji serupa dilontarkan para elit politik negeri kita pada saat pemilu lima tahun yang lalu (2004). Apa yang mereka berikan pada konstituen saat mereka menduduki kursi empuk gedung rakyat selain berebut mega proyek untuk kepentingan saku pribadi dan partainya (kelompoknya), kisruh RUU yang menguntungkan atau merugikan kelompok dan partainya, legislator yang tertangkap menerima suap, sampai skandal seks yang menimpa para wakil kita tersebut. Tak terlihat lagi rasa simpati pada kesengsaraan rakyat seperti saat masa-masa kampanye, tak terdengar usaha untuk mensejahterakan rakyat, tak ingat lagi atau pura-pura lupa atas semua janji-janji kampanyenya. Sungguh menyebalkan. Pragmatis, yang bermuara pada kepentingan diri sendiri !


Pada masa kampanye beberapa saat yang lalu, tidak hanya parpol dan calegnya saja yang sibuk mengatur strategi memikat hati konstituen. Sebagian rakyat juga ramai membicarakan segala yang berkaitan dengan “pesta demokrasi” yang akan segera bangsa ini langsungkan. Percayakah anda dengan apa yang saya dengar dan lihat? Pada masa-masa kampanye yang lalu, saat saya besinggungan langsung dengan tukang becak, kuli bangunan, pedagang kaki lima dan para teman dan tetangga, di warung makan, kucingan, tempat kerja dan di jalan-jalan. Apa yang mereka bicarakan dan harapkan sungguh sangat diluar nalar saya. Tak ada pembicaraan tentang visi misi partai dan calegnya, tak ada yang peduli apa yang akan diperbuat para caleg kelak benar-benar jadi legislator, tak tahu dan bahkan tak mau tahu track record para calon wakilnya tersebut. Perkiraan saya, mereka telah jenuh dengar janji-janji kosong para politikus. Sekarang mereka hanya ingin berfikiran realistis (menurut versi mereka tentunya). “Siapa yang berani kasih saya uang ya akan saya pilih, jika ada beberapa caleg yang kasih saya uang maka yang kasih paling banyaklah yang akan saya contreng. Namun jika tak satu pun yang kasihh uang ya mending tidak usah repot-repot datang ke TPS untuk nyontreng toh ga ada untungnya buat saya. Mending tidur atau gunakan waktu untuk bekerja cari duit. Toh kelak jika mereka jadi (Anggota DPR/DPRD) mereka tidak bakalan ingat dengan kita-kita yang orang kecil ini”. Begitulah kiraa-kira kesimpulan dari pembicaraan dan pandangan orang-orang yang saya rekam dalam otak saya yang terbatas ini. Sungguh sangat memprihatinkan. Pragmatis, yang bermuara pada kepentingan diri sendiri lagi !

Sekarang pileg sudah berlalu, perkiraan hasilnya pun sudah dapat kita tebak. Kini bangsa ini tengah disibukkan dengan hiruk-pikuk persiapan pilpres. KPU sibuk mempersiapkan segala Ubo Rampe yang berkaitan dengan pemilihan RI 1 dan RI 2, termasuk memperbaharui (kalau tidak bisa dibilang men(y)SEMPURNAkan) DPT yang sudah kadung amburadul dan harus beres dalam waktu yang sesingkaat ini. Yang dilakukan para elit parpol, ah… jangan ditanya lagi. Mereka jelas lagi sibuk mencari dan menimbang partai-partai mana yang sekiranya dapat diajak “kerjasama” dalam pertemanan ala koalisi. Sangat dinamis, media nasional begitu santer mengabarkan perkembangan kemungkinan partai mana yang akan “berteman” dan kelompok mana yang akan menjadi rival. Setiap hari bisa berubah-ubah, hari ini blok G akan berangkulan dengan Blok D dan mengusung S dan J sebagai kandidat RI 1 dan RI 2. Keesokan harinya kabar berubah lagi, dikabarkan Blok G akan kembali lagi dengan kubu M untuk menindak lanjuti pertemuan kedua pimpinan partai yang pernah dilakukan dulu yang bahkan sudah menyepakati 5 item kesepakatan. Dan saat ini kabar berubah lagi, S akan ikut berkompetisi menjadi orang no. 1 negeri ini melawan mantan rekan kerjanya seperti yang diamanatkan oleh Rapimnas partainya. Dan masih banyak kabar-kabar yang bikin saya semakin bingun dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Benarkah itu semua dilakukan demi untuk kemajuan bangsa ini 5 tahun ke depan? Benarkah alotnya komunikasi politik anta relit parpol itu karena alasan persamaan dan perbedaan visi dan platform? Sekali lagi saya tidak yakin dengan itu semua. Semua itu (menurut saya) dilakukan semata-mata demi kekuasaan yang jelas akan sangat menguntungkan pribadi dan kelompoknya. Indikasi tersebut dapat kita lihat dari gerak-gerik para elit parpol yang dengan mudah dan tanpa rasa malu untuk menjilat ludahnya sendiri demi sebuah peluang yang besar. Tak ada lagi rasa ewuh pekewuh untuk mengajukan syarat-syarat yang bertujuan melanggengkan kekuasaan (jika kelak terpilih) kepada parpol lain yang ingin bergabung dalam koalisi partainya, hanya karena dia yakin benar bahwa saat ini tak ada yang bisa mengalahkan dia, namun tetap berharap akan banyak partai lain yang ikut dengannya sehingga kelak jika terpilih akan terbentuk pemerintahan yang kuat yang jalannya tak terusik oleh celoteh badan legislatif yang memang seharusnya dapat menciptakan check and balancing agar jalannya pemerintahan dapat terkontrol. Setidaknya hasil survey mengatakan bahwa jika Pemilu dilakukan bulan ini maka dia akan menang mutlak ( ≥ 50%+1). Sedang parpol “medioker” lebih memilih jalan aman dengan mendukung dan ikut koalisi dengan calon yang kuat, sehingga kelak bisa kebagian jatah kekuasaan dalam pemerintahan. Di sisi lain, ada beberapa kelompok parpol yang notabene cukup kuat namun agak pesimistis calonnya bakal meraih kemenangan dalam pilpres kelak terindikasi bakal mengacaukan pemilu dengan segala cara, termasuk memBOIKOT pemilu. Dengan harapan jika kelompoknya tidak maju dalam pilpres maka kubu S akan maju sendirian dan itu tidak diperkenankan oleh undang-undang. Begitu menyedihkan. Pragmatis, lagi-lagi!


Maaf jika apa yang saya tulis diatas begitu menggambarkan bahwa saya sangat pesimistis dengan semua ini. Mungkin bagi sebagian orang ini sangat berlebihan, keterlaluan. Tapi itulah yang saya rasakan, dari apa yang ada dalam benak saya, dari apa yang saya tangkap lewat kacamata saya yang notabene bukan siapa-siapa yang kemampuan berfikirnya tak sanggup mengikuti pola pikir dan manuver-manuver yang dilakukan para elit penguasa diatas sana. Tapi yang jelas, terlalu naïf bagi saya untuk bisa bersikap optimistis dengan semua yang saya lihat selama ini. Masa depan bangsa ini tak tampak jelas dari pandangan saya, jauh dari jangkauan otak saya, sangat kabur dalam bayangan saya. Sekali lagi maaf, semoga semua ini hanya karena keterbatasan saya.

Kawulo Alit di donie_12@telkom.net
Starcom Community, gg. Setanjung Unnes - Semarang.
Gambar di unduh dari : rumahsejutaide.files.wordpress.com

1 komentar:

tikno mengatakan...

Sesuai dengan idiom dalam dunia politik, yaitu ;

Tidak ada kawan atau lawan abdi, yag ada hanyalah kepentingan abadi.

Kepentingan : siapa dapat apa.