online degree programs

Jumat, April 10, 2009

Kekejaman Prosedural Pemilu



Kekejaman Prosedural Pemilu

Hiperkejahatan nampak terlihat dalam pemilu kali ini. Sebuah kejahatan sempurna yang terlindungi oleh sistem hukum. Watak jahat yang teroperasionalisasi melalui aktivitas yang legal.

Misalnya saja, pembunuhan orang melalui penghilangan hak pilih. Antusiaisme warga yang hendak mencoblos perlu diapresiasi. Cuman lantaran secarik kertas yang disebut DPT itu, banyak warga kehilangan suaranya.

Sejarah negara yang terimplementasi sebagai ”Roh Absolute” pada dirinya dan bagi dirinya, ungkap Hegel menempatkan negara yang sadar akan posisi dan eksistensinya. Bagaimana bisa menjadi negara yang bermartabat jika ”ora nguwongke wong”. Tidak menghargai rakyatnya, menghormati haknya, dan melindungi suaranya.

Harus ada tujuan yang hakiki, bukan proseduralistik. Benar jika Democracy and Civil Society in The Third World Politics & New Political Movement buku yang ditulis oleh Jeff Hayness, mendudukkan bahwa demokrasi pada akhirnya lebih bersifat proseduralistik ketimbang suntansional di negara berkembang.

Hal inilah yang kemudian diberlakukan oleh supratruktur penyelenggara teknis pemilu lebih mementingkan DPT yang sama sekali tidak valid itu ketimbang mengakomodir pemilih murni yang tidak terdaftar tetapi memiliki niat sungguh-sungguh untuk mencoblos. Tata administrasi itu lebih unggul dari pada ”hak” warga sebagai orang asli Indonesia.

Hak itu tak sederhana, tetapi serangkaian institusi yang terkait. Ia masuk dalam tatanan tubuh, pikiran, jiwa dan roh. Distingsi keseimbangan hak dan kewajiban ini bukannya sudah dikupas tuntas oleh Hegel. Hak itu bukan sesuatu yang nampak dalam diri manusia, tetapi ia masuk kedalam benak hingga ke alam bawah sadar (unconscience mind) manusia.

Hak itu mencerminkan impian, harapan, kebutuhan, keinginan, cita, dan insititusi transenden manusia. Sehingga, hak adalah kekuatan yang tidak bisa dipisahkan dengan manusianya. Jika ia tidak lagi diberi hak, maka tak ubahnya sebagai mahluk diluar manusia (hewan atau tumbuh-tumbuhan) yang tak bisa menuntut apapun akan dirinya pada pihak lain.

Sekarang kita melihat betapa kejamnya sistem proseduralistik itu. Ia melarang orang bermimpi. Ia menghina manusia bukan pada kodratnya. Ia memanipulasi legitimasi moral yang diberikan dari rakyat untuk menghancurkan hati rakyat sendiri.

Berbeda dengan golput ideologis seperti kita (maksud saya, ”aku” tanpa melibatkan siapapun). Golput yang lahir dari proses pe-matian manusia oleh lembaga penyelenggara pemilu sebuah kejadian yang tragis. Saya ingin menyampaikan kepada mereka, ”apa yang kamu harapkan dari politisi busuk macam produk pemilu yang seperti ini”.

Mereka akan menyakitimu, seperti anggota dewan yang lalu, menyakiti hati rakyat ketika harga BBM naik, menyengsarakan rakyat, ramai-ramai mengajukan hak angket dan interpelasi yang mandul”

”kasus korupsi dan skandal seks politisi yang biadabnya melampaui zaman jahiliyah” ungkapku dalam hati.

Tapi saya tidak tega, mereka terlalu polos untuk itu. Mereka hanya berniat baik, berharap politisi yang dulu bisa berubah dan pemilu yang baru benar-benar membawa perubahan yang lebih baik.

Tapi inikah perlakuan negara terhadap mereka. Dasar kejam. Jahat.



Awaludin Marwan Alias Luluk

9 komentar:

Anonim mengatakan...

state terrorism,kata orang2. bror, apakah ada negara yang tidak melakukan teror terhadap penduduknya?

tauf

Luluk mengatakan...

Ada jone, negara yang ada alam pikiran orang-orang yang memiliki kehendak baik.

Ed Khan mengatakan...

...mari kita dekonstruksi konsepsi negara dan melihatnya secara lebih substansial...

sebagai institusi socio-political yang mesti menjamin keamanan "warganya", kesejahteraan "warganya", mencerdaskan kehidupan "warganya", ada konsensus untuk kebaikan bersama....

di sinilah bentuk paling embrio atau protonegara adalah keluarga, bahkan persahabatan antara dua orang atau antara orang dan sesuatu selainnya, sampai di sini saya setuju negara itu, pun sebagai perwujudan "roh absolut"...

tapi sayang bukan roh absolut dalam pengeritan Hegel hehe.....

salam,

Anonim mengatakan...

Tidak adakah niat individu satu men-teror individu lain jika memang fungsi negara dihilangkan?


individual terrorism, kata Kata,
yoG

Anonim mengatakan...

mudah aja bro ... kalian pilih aja malaikat atau tuhan atau setan yang jadi presiden ... jangan manusia.

Tricks video editing mengatakan...

nyontreng disalahin, golput disalahin, mo ngapain nih daku rakyat ketcil

Giyanto mengatakan...

Lah, ndk ingat ketika masih dikampus. Bukankah Semua bentuk prosedur pemilu adalah kejam? bahkan semenjak dia dilahirkan. Apakah anda tidak mengingat hal itu kawan! Ketika kalian dulu "belajar Politik" di kampus...

Intinya,Bulshit buat negara!

Anonim mengatakan...

barangkali benar kata Ignas, bahwa relevasi sosial mesti dubedakan dengan relevansi intelektual. jika yang kedua mencari mana yang benar dan mana yang salah, yang pertama lebih mencari mana yang perlu dan mana yang tidak.

soalnya memang, gejala-gejala sosial terkadang (bahkan hampir selalu) membutuhkan solusi-solusi cepat dan segera. sedangkan jawaban-jawaban yang lahir dari relevansi intelektual kadang membutuhkan waktu yang cukup lama.

pemilu, dengan demikian, adalah selalu sebuah percobaan yang terkadang cukup mahal untuk sebuah negara yang tidak cukup kaya macam indonesia ini. tapi, bagaimana lagi?

pun, kalau kita tidak mengikuti alur irama negara macam pemilu ini. soalnya adalah (selalu) mulai dari mana kita membuat alur irama baru? dan, punyakah kita cukup cadangan kesetiaan untuk menjalankannya?

tauf

luluk mengatakan...

Tiada negara lahir tanpa proses intelektual yang turut campur di dalamnya. Batasan intelektual terkikis sudah tanpa sekat dengan gagasan biasa-operasional, berparadigma kekuasaan, dan menindas. Bukannya sebuah negara lahir dengan pola kontrak sosial. Tetapi kontrak sosial yang bagaimana? untuk siapa? apa elemen teknisnya?, sementara ini kita masih mencari-cari bentuk yang cocok. Tujuannya tidak lain membongkar anomali dan menuju ke keteraturan kehidupan sosio-politik.
Samai pada batas "intuisi" manakala menyelidikan nalar tidak memenuhi unsur kesempurnaan, maka kearifan lokal kebudayaan bisa digali lebih dalam. Mengkombinasikan antara kebudayaan lokal berikut nilai-nilai transenden-nya dengan kententuan akta integritas demokrasi, sebut saja demokrasi liberal gaya American Style. Bukannya kita latah denga menentukan kiblat intelektual ke satu arah tertentu. Tetapi berharap banyak untuk bisa menguasainya, kemudian mengusung nilai kepribadian kebudayaan sendiri yang terbangun dengan kokoh dan kuat.
Kesempurnaan memang harus dicari dan di pikirkan secara mendalam. Butuh kerja keras untuk itu. Sehingga tidak mustahil jika kesempurnaan itu terejawantahkan di dalam dunia melalui kepuasan dan rasa keadilan. Hanya ada satu jalan untuk menuju ke arah itu, pencarian dengan menggunakan akal budi berdasarkan ihtikad baik dan keuletan.