online degree programs

Sabtu, April 04, 2009

Penegakan Hukum

Konon katanya Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum namun semua itu masih dipertanyakan ke tegasannya, padahal dalam negara hukum, semua kegiatan lembaga Negara maupun masyarakatnya diatur oleh aturan hukum. itu semua agar tercipta suasana ketertiban dalam kehidupan. Negatifnya, hukum menjadi wilayah yang basah akan kontrofersi dalam pengartian makna, suatu kekhawatiran tersendiri bagi penulis bila hukum di salah gunakan oleh oknum tertentu untuk melanggengkan kekuasaan dengan mencari celah-celah pembenaran dalam perbuatan seseorang. Fenomena seperti itu juga di amini oleh Antonio Gramcy bahwa “Negara adalah tempat legalisasi penguasa untuk menghisap kaum yang mencoba melawan dari penghisapan.

Kembali ke pembicaraan masalah hukum, pada dasarnya hukum itu berasal dari kesepakatan-kesepakatan. Dan dalam kesepakatan itu tidak bisa dipungkiri adanya unsur-unsur kepentingan individu maupun golongan yang masuk. Unsur kepentingan itulah yang menyebabkan ketidakmurnian hukum. Karena prinsip dan obyek umum undang-undang adalah ungkapan kehendak umum.

Sungguh tentram jika melihat pasal-pasal yang termaktub dalam konstitusi maupun perundang-undangan, sangat kentara jika tujuan konstitusi itu melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun dalam kenyataannya belum mencerminkan semua itu. Banyak masyarakat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh oknum penegak hukum. Banyaknya masyarakat yang pengetahuannya minim dipermainkan dengan dasar hukum.

Kau suruh aku menggarap sawah sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau suruh aku punya rumah, aku punya rumah kau ratakan dengan tanah,
Kau itu bagaimana(Gus Mus).

Idealnya sebuah hukum itu ada tiga dan tiga kategori itu disebutkan oleh Gustav Radbruch yaitu nilai kepastian hukum, nilai keadilan dan nilai kemanfaatan. Namun semua itu sangat mustahil untuk bisa dicapai, akan tetapi setidaknya ada satu dari tiga kategori yang jadi pedoman yaitu asas keadilan.

Budaya Negeri Azketik

Akan tetapi untuk terciptanya sebuah keadilan diperlukan kerja ekstra keras dari pemerintah dan masyarakat. Apalagi budaya masyarakat kita termasuk dalam budaya negeri Azketik. Dalam menilai sesuatu masih bersikap subyektif, sifat seperti itu jika tidak cepat dirubah akan menjadi presiden buruk didunia per-hukuman.

Karena masyarakat kebanyakan memahami hukum sebagai suatu proses penegakan hukum (Hij denk bij recht dus dadelijk aan een process). Tatkala penegakan hukum buruk (atau dilaksanakan secara tidak benar dan korup) maka (citra persepsi)orang banyak terhadap hukum menjadi buruk serta koruptif pula.

Memang, pandangan masalah penegakan hukum itu sangat relatif , tetapi pedoman untUk berbuat adil sudah jelas terkandung dalam pasal 27 UUD 1945, tentang equal justice before the law. Keadilan itu bukan berarti semua subyek hukum diberlakukan sama tanpa melihat kondisi yang dimiliki oleh setiap pihak masing-masing, keadilan justru harus menerapkan prinsip proporsionalitas, artinya memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama dan memberlakukan berbeda terhadap hal-hal yang berbeda. Dua prinsip itu jangan pernah diselewengkan hanya karena memnadang salah satu piha.-karena orang penting dinegeri ini misalnya-.

Jadi diharuskan kepada struktur hukum untuk tidak tebang pilih dalam pelaksanaan ketertiban hukum, apalagi mengorbankan wong cilik demi kepuasan pribadi. Ingat prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam gagasan ”rechsstaat” atau the rule of law1. Dimana prinsip supremasi hukum selalu kita dengung-dengungkan setiap waktu.
Pada prinsipnya untuk bisa mencapai itu semua maka kita harus mencoba memperbaiki diri kita sendiri dulu dan bersama-sama membangun budaya yang peduli akan suasana religius. Karena dengan menciptakan suasana yang religius maka ketakutan akan adikodrati bisa menjadi pedoman untuk menjalankan suatu amanah. Namun untuk menuju sifat religius tersubut juga harus di awali dengan beberapa tingkatan.

Ada tiga tingkatan dalam kehidupan menurut Theo Huijbers (1995)yang pertama tingkatan estetis yang berkenaan dengan seni. Manusia merasa senang, bahagia puas jika mendengar, merasa, melihat sesuatu yang indah. Sebaliknya manusia merasa bosan, sengsara, dan kesal jika melihat hal-hal yang jelek. Yang kedua, tingkatan Etis (tentang kebaikan) manusia merasa senang, bahagia dan puas jika melihat sesuatu yang dianggap baik. Yang ketiga tingkatan Religius(agama) manusia merasa tentram jiwanya apabila mereka bertaqwa kepada tuhan yang maha esa.


Said
Disajikan(dan Sudah direvisi lagi) Dalam Diskusi yang diadakan oleh BEM FH.

2 komentar:

luluk mengatakan...

Penegakan hukum mrp dogma hukum. Artinya tiada hukum yang bisa dilaksanakan kecuali hukum yang operasional sehingga di luar daripada itu adalah penyimpangan. Bagaimana pandangan ini selaras atau tidak dengan doktrin hukum negara?
Bagaimana hukum positif jika dikaitkan dengan epistemologi positivisme di dunia sains? Apakah penegakan hukum (law enforcement) merarti membuka peluang hukum yang lebih menitik beratkan pada perlindungan status quo?

Salam

David Pangemanan mengatakan...

PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya berhak mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" dan menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675