Pada dasarnya politik adalah sebuah fiksi. Ia adalah sebuah imajinasi, sesuatu yang diada-adakan, sesuatu yang direkayasa dalam dunia khayal kita. Sesuatu yang seolah-olah ada tetapi apakah benar ada atau tidaknya, kita tidak tahu sepenuhnya. Dunia fiksi, seperti kita tahu, adalah dunia novel, dunia cerpen, dunia puisi---dunia sastra. Dulu, demikianlah persepi kita. Tapi, benarkah begitu adanya?
Salah satu dimensi kebudayaan kita---selain sastra---adalah politik. Dulu kita anggap bahwa dunia fiksi hanya monopoli dunia sastra. Kita percaya betul bahwa apa yang di luar sastra adalah dunia riil, kongkret, faktual dan oleh karenanya pasti ‘objektif-empiris’. Politik, sebagai dunia di luar sastra itu, kita anggap sebagai bukan fiksi, bukan dunia seolah-olah, dan akhirnya dia kebal (immuned) terhadap rekayasa ---proses revisi, editing, dan juga manipulasi data. Kita mengandaikan dunia fiksi---sastra berada di dalamnya---sebagai sebuah ketidakpastian, sebaliknya dunia fakta---politik kita andaikan berada di dalamnya---merupakan sebuah kepastian. Apakah yang ‘pasti’ dan ‘tidak pasti’ dalam dua dunia yang tampaknya berbeda ini?
Menjelang tanggal sembilan nanti, beratus-ratus contoh perilaku politik (dalam pengertian tradional) telah menunjukkan kepada kita betapa rentannya batas antara dua dunia tersebut. Tidak hanya rentan untuk dipertahankan, melainkan lebih dari itu---untuk diyakini. Bayangkan, bagaimana kita bisa menjelaskan secara rasional tingkah laku sebuah partai politik yang kemarin mengolok-olok BLT tetapi hari ini mengeluarkan iklan yang simpatik tentang BLT. Lalu, bagaimana menerangkan secara faktual fenomena 1.623.686 caleg yang mati-matian ingin mengabdi kepada bangsa dan mayarakat---justru dengan mengeluarkan ratusan bahkan miliyaran rupiah dari hasil hutang, korupsi, kerja seumur hidup bahkan hasil perampokan. Belum lagi jika kita menacari keterangan; apa yang sesungguhnya mereka cari? Bagaimana kita bisa memahami tokoh-tokoh politik yang kemarin tampak berpolemik hebat di media massa tetapi hari ini sudah duduk satu meja membuat sebuah kesepakatan bersama---tanpa kita tahu bagaimakah akhir dari polemik tersebut. Bagaimana dengan kasus DPT fiktif dan sebaginya. Kita dihujani berbagai macam ‘karya fiksi’ politik oleh ‘pengarang-pengarang’ politik yang sungguh lihai mengelabui ‘pembaca awam’ politik seperti kita ini.
Jauh-jauh hari kita sudah diperingatkan oleh sebuh lagu, dunia ini panggung sandiwara, ceritanya tidak berubah. Dunia ini, demikian kata lagu itu, adalah panggung sandiwara. Tidak hanya dunia sastra tetapi seluruh yang ada di bawah langit adalah sandiwara, tidak terkecuali dunia politik . Dengan kata lain, semua dimensi produk kebudayaan manusia---dari sastra hingga politik---adalah sebuah pertunjukan sandiwara biasa, sebuah fiksi yang selalu terbatas ruang dan waktu. Sandiwara selalu sebuah fiksi yang sementara yang selalu menunggu proses evaluasi usai pementasan. Penulis skenario mempersiapkan cerita, sutradara yang mengatur semuanya, pemain yang berbakat atau dungu, tukang rias make-up, bagian peralatan, promosi-humas, dan tentu saja penonton. Dan ini yang penting, pentas hanya akan jadi pentas sepanjang penonton datang. Yah, penonton berhak kecewa dengan pementasan yang kacau amburadul tetapi pada saat yang sama juga berdaulat untuk bahagia atas pementasan yang memuaskan---apalagi mencerahkan. Yah, beginilah saman dimana kita tak bisa mengelak bahwa politik adalah fiksi belaka.
“Imagined Community”
Clifford Geerts dalam The Interpretation of Cultures (1973:15) menyatakan:
Beberapa contoh tersebut hanya ingin menunjukkan bahwa apa yang dipotret bukanlah apa yang sejati. Potret hanyalah makna yang lahir pada sebuah momen, dia bisa berkurang juga bisa bertambah di momen yang lain. Antropologi (sebagai sebuah ilmu), misalnya, hanyalah sebuah tafsir biasa tentang suatu masyarakat pada momen tertentu. Dengan kata lain, antropologi bukanlah masyarakat itu sendiri. Sebab, masyarakat tersebut---atau apapun saja dalam kebudayaan---memiliki realitas sendiri di dalam dirinya sendiri yang tidak akan terjangkau (undecidebility—kata Derrida). Yang mengerti tentang sesuatu adalah sesuatu itu sendiri, yang lain hanyalah penafsir. Begitu juga negara, ia hanyalah gambaran imajinatif pada suatu momen dan akan terus berkembang di momen yang lain. Apa yang kita gambarkan sebagai Indonesia pada tahun 1945 sangat berbeda dengan Indonesia di tahun 2009 ini apalagi Indonesia 2045 nanti. Semua potret akhirnya adalah selalu fiksi yang terbatas tentang suatu fakta yang tak terbatas.
Sastranisasi Politik
Politik---sebagaimana antropologi, negara dan apapun saja dalam kebudayaan---tidaklah bisa mengelakkan dirinya dari rumus potret tersebut. Setidaknya kita bisa melihanya dalam tiga ruang realitas politik; bagaimana tingkah polah elit politik dan partai, perilaku pemilih, dan pentas politik itu sendiri dimainkan. Artinya, apa yang kita lihat dari ‘lakon’ atau ‘peran’ yang diperagakan oleh elit politik dalam pentasnya mesti kita anggap sebagai fiksi. Misalnya, masa kampanye merupakan masa yang paling produktif ‘mengarang’ bagi para caleg, capres dan semua elit. Dari cerita beras murah hingga roman nasionalisme, dari lukisan iklan di angkot hingga film dokumenter di televisi, dari tingkatan fiktif yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tak terjangkau imaji manusia normal sekalipun.
Kita melihat itu semua sebagai sebuah ‘realitas’ yang bukan faktual, melainkan fiktif. Sebagai fiksi, maka pembaca (warga negara-pemilih dalam hal Pemilu) mesti membacanya dengan cermat, kritis dan tentu empatif. Sebab, sifat utama fiksi adalah ketidakpastian. Kita mesti cermati apakah semua ‘karya sastra’ tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Jangan-jangan ada manipulasi data, logika yang absurd dan keteladanan yang diabaikan. Juga, sebagai ‘karya sastra’ kita mesti membacanya dengan empatif. Misalnya, apakah ada korelasi cinta kasih antara jutaan baleho di sepanjang jalan di seluruh republik ini dengan jutaan manusia yang kelaparan juga di sspanjang jalan baleho itu didirikan, belum lagi dengan mereka yang tak bisa sekolah, tak punya rumah, pengangguran, dan sebagainya.
Tidak hanya ‘pembaca’ tetapi juga ‘pengarang’, yaitu para elit (calon legsilatif dan capres dalam hal Pemilu ini). ‘Pengarang’ yang baik akan selalu mensajikan ‘karya’ yang baik. Ia harus mengerti benar dan mengahyati keadaan ‘pembaca’---apalagi pembaca awam seperti petani, pedagang kecil, nelayan, guru bantu, buruh dan semua yang dipinggirkan. ‘Karya’nya haruslah sebuah karya yang tidak hanya dapat dipertanggungjawabpublikkan secara rasional tetapi juga sebuah ‘pentas’ yang memancarkan nilai-nilai kemanusiaan yang abadi yang lahir dari sebuah keinginan suci untuk membahagiakan dan mensejahterakan sebanyak-banyaknya manusia. Kita sudah rindu sekali untuk ssegera menikmati ‘karya-karya agung’ seperti yang telah ditulis dalam sejarah oleh ‘pengarang-pengarang’ semacam Gandhi, Muhammad, Mandela, Sukarno, Lincoln, dan sebagainya. Kita rindu untuk tidak lagi menjumpai penuhnya ‘toko-toko’ politik yang dipenuhi dengan ‘karya-karya’ sampah yang instan, narsistik-egoistik, plagiat, badut-hipokrit dan tak berperasaan. Kita rindu ingin menikmati sebuah ‘karya besar’ politik yang meniatkan dirinya untuk sebuah visi kemanusiaan yang luas dan abadi, bukan sebuah ‘sampah’ yang ditulis hanya unuk mendapakan honorarium minggu depan. Kita rindu terhadap imaji-fiksi tentang segala ketidakpastian terhadap perubahan-perubahan besar dalam sejarah kita.
Sastranisasi politik, oleh karenanya, hanyalah merupakan sebuah cara memandang politik dengan kaca mata sastra. Sastra dijadikan pijakan untuk memandang politik. Justru bermula dari ketidakpastian fiksi kita sedang mencari kepastian. Mungkin tidak akan pernah sampai kita di sana tetapi setidaknya kita pernah mengejarnya. Masing-masing memandang yang lain dengan mata sastra yang fiktif tersebut. ‘Pengarang’ mensastrakan ‘pembaca’, dan sebaliknya. Sehingga lahirlah sebuah ‘karya’ yang dahsyat karena bersumber dari dialektika nurani yang dalam, tulus, dan jujur antara ‘pengarang’ dan ‘pembaca---justru atas kesadaran akan keterbatasan masing-masing bacaan.
Politik Nurani
Politik kemudian menjadi politik nurani---dunia dimana masing-masing ‘pengarang’ saling berlomba untuk paling produktif menggunakan nurani demi menghasilkan ‘karya-karya’ termasyhur di sepanjang sejarah umat manusia. Semua ‘pengarang’ politik berlomba untuk merebut ‘pasar pembaca’ seluas-luasnya dengan nurani dan bukan duit. Lalu, semua orang – dari elit hingga buruh – saling berkompetisi untuk tidak mau menjadi pemimpin. Sebab, mereka tahu bahwa menjadi pemimpin adalah amanat yang luar biasa beratnya, pengabdian manusia langsung di hadapan Tuhannya. Politik nurani tidak mencari duit, pangkat, jabatan. dunia dan sebagainya. Ia menuntun manusia untuk mencari yang sejati: cinta, pengabdian, kasih, kemanusiaan, dan berujung di Tuhan. Bagus juga kita lihat baleho besar-besar di jalan-jalan berbunyi: ”ampun, tolong jangan pilih saya”, ”Ampun, jangan siksa saya jadi pemimpin”, Please, pilih pak X saja, saya ini ndak nisa apa-apa”, atau ”Awas, pilih saya! Pilih saya, putus hubungan!”. Yah, kapankah kita menemukan iklan yang seperti ini?
Yah, saya tahu Indonesia memang sebuah proyek yang belum selesai—bahkan mungkin tak pernah selesai. Tapi, apakah di dunia mimpi ini saya sedang bermimpi bahwa saya memimpikan mimpi? Tolong jangan bangunkan saya. Terima kasih.
Muhammad Taufiqurrohman
Pegiat Komunitas Embun Pagi
(www.komunitasembunpagi.co.cc)
Salah satu dimensi kebudayaan kita---selain sastra---adalah politik. Dulu kita anggap bahwa dunia fiksi hanya monopoli dunia sastra. Kita percaya betul bahwa apa yang di luar sastra adalah dunia riil, kongkret, faktual dan oleh karenanya pasti ‘objektif-empiris’. Politik, sebagai dunia di luar sastra itu, kita anggap sebagai bukan fiksi, bukan dunia seolah-olah, dan akhirnya dia kebal (immuned) terhadap rekayasa ---proses revisi, editing, dan juga manipulasi data. Kita mengandaikan dunia fiksi---sastra berada di dalamnya---sebagai sebuah ketidakpastian, sebaliknya dunia fakta---politik kita andaikan berada di dalamnya---merupakan sebuah kepastian. Apakah yang ‘pasti’ dan ‘tidak pasti’ dalam dua dunia yang tampaknya berbeda ini?
Menjelang tanggal sembilan nanti, beratus-ratus contoh perilaku politik (dalam pengertian tradional) telah menunjukkan kepada kita betapa rentannya batas antara dua dunia tersebut. Tidak hanya rentan untuk dipertahankan, melainkan lebih dari itu---untuk diyakini. Bayangkan, bagaimana kita bisa menjelaskan secara rasional tingkah laku sebuah partai politik yang kemarin mengolok-olok BLT tetapi hari ini mengeluarkan iklan yang simpatik tentang BLT. Lalu, bagaimana menerangkan secara faktual fenomena 1.623.686 caleg yang mati-matian ingin mengabdi kepada bangsa dan mayarakat---justru dengan mengeluarkan ratusan bahkan miliyaran rupiah dari hasil hutang, korupsi, kerja seumur hidup bahkan hasil perampokan. Belum lagi jika kita menacari keterangan; apa yang sesungguhnya mereka cari? Bagaimana kita bisa memahami tokoh-tokoh politik yang kemarin tampak berpolemik hebat di media massa tetapi hari ini sudah duduk satu meja membuat sebuah kesepakatan bersama---tanpa kita tahu bagaimakah akhir dari polemik tersebut. Bagaimana dengan kasus DPT fiktif dan sebaginya. Kita dihujani berbagai macam ‘karya fiksi’ politik oleh ‘pengarang-pengarang’ politik yang sungguh lihai mengelabui ‘pembaca awam’ politik seperti kita ini.
Jauh-jauh hari kita sudah diperingatkan oleh sebuh lagu, dunia ini panggung sandiwara, ceritanya tidak berubah. Dunia ini, demikian kata lagu itu, adalah panggung sandiwara. Tidak hanya dunia sastra tetapi seluruh yang ada di bawah langit adalah sandiwara, tidak terkecuali dunia politik . Dengan kata lain, semua dimensi produk kebudayaan manusia---dari sastra hingga politik---adalah sebuah pertunjukan sandiwara biasa, sebuah fiksi yang selalu terbatas ruang dan waktu. Sandiwara selalu sebuah fiksi yang sementara yang selalu menunggu proses evaluasi usai pementasan. Penulis skenario mempersiapkan cerita, sutradara yang mengatur semuanya, pemain yang berbakat atau dungu, tukang rias make-up, bagian peralatan, promosi-humas, dan tentu saja penonton. Dan ini yang penting, pentas hanya akan jadi pentas sepanjang penonton datang. Yah, penonton berhak kecewa dengan pementasan yang kacau amburadul tetapi pada saat yang sama juga berdaulat untuk bahagia atas pementasan yang memuaskan---apalagi mencerahkan. Yah, beginilah saman dimana kita tak bisa mengelak bahwa politik adalah fiksi belaka.
“Imagined Community”
Clifford Geerts dalam The Interpretation of Cultures (1973:15) menyatakan:
“anthropological writings are…fictions; in he sense that they are ‘something made’, ‘something fashioned’…not that they are false, unfactual, or merely ‘as if’ thought experiments.”Ariel Haryanto menerjemahkannya sebagai berikut:
“karya-karya antropologi tentang masyarakat adalah fiksi…dalam pengertian sesuatu yang dibuat-buat, direka-reka…bukan sesuatu yang palsu, tidak nyata, atau mengada-ada."Ditambahkan lagi oleh tesis Ben Anderson, bahwa apa yang disebut sebagai “nasion” oleh masyarakat modern tak lebih adalah suatu karya budaya yang ada dalam imajinasi masyarakat atau komunitas tertentu. Lebih tepatnya, sebuah negara adalah hanya “imagined community”, sebuah komunitas yang diimajinasikan. Sebagai fiksi negara tidak bisa melepaskan kodratnya untuk terus menerus dalam ‘ketidakpastian’. Ia bisa lahir dari goresan pena pengarang yang handal dan bijak, tapi juga bisa lahir dari seorang yang hanya memburu honorarium mingguan. Lalu bagaimana kualitas editor, percetakan, distribusi promosi dan sebagainya. Setelah melewati proses produksi tersebut, ketidakpastian belum juga hilang dari dirinya. Ia, sebuah negara, mesti berhadapan dengan pembaca, yaitu warga negaranya. Sebagai karya bisa jadi ia merupakan karya yang berkualitas tinggi tetapi---apa boleh buat---jika ternyata dia berada di tangan seorang pembaca yang buruk, atau sebaliknya. Itulah nasib negara sebagai sebuah fiksi.
Beberapa contoh tersebut hanya ingin menunjukkan bahwa apa yang dipotret bukanlah apa yang sejati. Potret hanyalah makna yang lahir pada sebuah momen, dia bisa berkurang juga bisa bertambah di momen yang lain. Antropologi (sebagai sebuah ilmu), misalnya, hanyalah sebuah tafsir biasa tentang suatu masyarakat pada momen tertentu. Dengan kata lain, antropologi bukanlah masyarakat itu sendiri. Sebab, masyarakat tersebut---atau apapun saja dalam kebudayaan---memiliki realitas sendiri di dalam dirinya sendiri yang tidak akan terjangkau (undecidebility—kata Derrida). Yang mengerti tentang sesuatu adalah sesuatu itu sendiri, yang lain hanyalah penafsir. Begitu juga negara, ia hanyalah gambaran imajinatif pada suatu momen dan akan terus berkembang di momen yang lain. Apa yang kita gambarkan sebagai Indonesia pada tahun 1945 sangat berbeda dengan Indonesia di tahun 2009 ini apalagi Indonesia 2045 nanti. Semua potret akhirnya adalah selalu fiksi yang terbatas tentang suatu fakta yang tak terbatas.
Sastranisasi Politik
Politik---sebagaimana antropologi, negara dan apapun saja dalam kebudayaan---tidaklah bisa mengelakkan dirinya dari rumus potret tersebut. Setidaknya kita bisa melihanya dalam tiga ruang realitas politik; bagaimana tingkah polah elit politik dan partai, perilaku pemilih, dan pentas politik itu sendiri dimainkan. Artinya, apa yang kita lihat dari ‘lakon’ atau ‘peran’ yang diperagakan oleh elit politik dalam pentasnya mesti kita anggap sebagai fiksi. Misalnya, masa kampanye merupakan masa yang paling produktif ‘mengarang’ bagi para caleg, capres dan semua elit. Dari cerita beras murah hingga roman nasionalisme, dari lukisan iklan di angkot hingga film dokumenter di televisi, dari tingkatan fiktif yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tak terjangkau imaji manusia normal sekalipun.
Kita melihat itu semua sebagai sebuah ‘realitas’ yang bukan faktual, melainkan fiktif. Sebagai fiksi, maka pembaca (warga negara-pemilih dalam hal Pemilu) mesti membacanya dengan cermat, kritis dan tentu empatif. Sebab, sifat utama fiksi adalah ketidakpastian. Kita mesti cermati apakah semua ‘karya sastra’ tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Jangan-jangan ada manipulasi data, logika yang absurd dan keteladanan yang diabaikan. Juga, sebagai ‘karya sastra’ kita mesti membacanya dengan empatif. Misalnya, apakah ada korelasi cinta kasih antara jutaan baleho di sepanjang jalan di seluruh republik ini dengan jutaan manusia yang kelaparan juga di sspanjang jalan baleho itu didirikan, belum lagi dengan mereka yang tak bisa sekolah, tak punya rumah, pengangguran, dan sebagainya.
Tidak hanya ‘pembaca’ tetapi juga ‘pengarang’, yaitu para elit (calon legsilatif dan capres dalam hal Pemilu ini). ‘Pengarang’ yang baik akan selalu mensajikan ‘karya’ yang baik. Ia harus mengerti benar dan mengahyati keadaan ‘pembaca’---apalagi pembaca awam seperti petani, pedagang kecil, nelayan, guru bantu, buruh dan semua yang dipinggirkan. ‘Karya’nya haruslah sebuah karya yang tidak hanya dapat dipertanggungjawabpublikkan secara rasional tetapi juga sebuah ‘pentas’ yang memancarkan nilai-nilai kemanusiaan yang abadi yang lahir dari sebuah keinginan suci untuk membahagiakan dan mensejahterakan sebanyak-banyaknya manusia. Kita sudah rindu sekali untuk ssegera menikmati ‘karya-karya agung’ seperti yang telah ditulis dalam sejarah oleh ‘pengarang-pengarang’ semacam Gandhi, Muhammad, Mandela, Sukarno, Lincoln, dan sebagainya. Kita rindu untuk tidak lagi menjumpai penuhnya ‘toko-toko’ politik yang dipenuhi dengan ‘karya-karya’ sampah yang instan, narsistik-egoistik, plagiat, badut-hipokrit dan tak berperasaan. Kita rindu ingin menikmati sebuah ‘karya besar’ politik yang meniatkan dirinya untuk sebuah visi kemanusiaan yang luas dan abadi, bukan sebuah ‘sampah’ yang ditulis hanya unuk mendapakan honorarium minggu depan. Kita rindu terhadap imaji-fiksi tentang segala ketidakpastian terhadap perubahan-perubahan besar dalam sejarah kita.
Sastranisasi politik, oleh karenanya, hanyalah merupakan sebuah cara memandang politik dengan kaca mata sastra. Sastra dijadikan pijakan untuk memandang politik. Justru bermula dari ketidakpastian fiksi kita sedang mencari kepastian. Mungkin tidak akan pernah sampai kita di sana tetapi setidaknya kita pernah mengejarnya. Masing-masing memandang yang lain dengan mata sastra yang fiktif tersebut. ‘Pengarang’ mensastrakan ‘pembaca’, dan sebaliknya. Sehingga lahirlah sebuah ‘karya’ yang dahsyat karena bersumber dari dialektika nurani yang dalam, tulus, dan jujur antara ‘pengarang’ dan ‘pembaca---justru atas kesadaran akan keterbatasan masing-masing bacaan.
Politik Nurani
Politik kemudian menjadi politik nurani---dunia dimana masing-masing ‘pengarang’ saling berlomba untuk paling produktif menggunakan nurani demi menghasilkan ‘karya-karya’ termasyhur di sepanjang sejarah umat manusia. Semua ‘pengarang’ politik berlomba untuk merebut ‘pasar pembaca’ seluas-luasnya dengan nurani dan bukan duit. Lalu, semua orang – dari elit hingga buruh – saling berkompetisi untuk tidak mau menjadi pemimpin. Sebab, mereka tahu bahwa menjadi pemimpin adalah amanat yang luar biasa beratnya, pengabdian manusia langsung di hadapan Tuhannya. Politik nurani tidak mencari duit, pangkat, jabatan. dunia dan sebagainya. Ia menuntun manusia untuk mencari yang sejati: cinta, pengabdian, kasih, kemanusiaan, dan berujung di Tuhan. Bagus juga kita lihat baleho besar-besar di jalan-jalan berbunyi: ”ampun, tolong jangan pilih saya”, ”Ampun, jangan siksa saya jadi pemimpin”, Please, pilih pak X saja, saya ini ndak nisa apa-apa”, atau ”Awas, pilih saya! Pilih saya, putus hubungan!”. Yah, kapankah kita menemukan iklan yang seperti ini?
Yah, saya tahu Indonesia memang sebuah proyek yang belum selesai—bahkan mungkin tak pernah selesai. Tapi, apakah di dunia mimpi ini saya sedang bermimpi bahwa saya memimpikan mimpi? Tolong jangan bangunkan saya. Terima kasih.
Muhammad Taufiqurrohman
Pegiat Komunitas Embun Pagi
(www.komunitasembunpagi.co.cc)
6 komentar:
Menarik pernyatan ini:
"1.623.686 caleg yang mati-matian ingin mengabdi kepada bangsa dan mayarakat---justru dengan mengeluarkan ratusan bahkan miliyaran rupiah dari hasil hutang, korupsi, kerja seumur hidup bahkan hasil perampokan. Belum lagi jika kita menacari keterangan; apa yang sesungguhnya mereka cari? Bagaimana kita bisa memahami tokoh-tokoh politik yang kemarin tampak berpolemik hebat di media massa tetapi hari ini sudah duduk satu meja membuat sebuah kesepakatan bersama---tanpa kita tahu bagaimakah akhir dari polemik tersebut. Bagaimana dengan kasus DPT fiktif dan sebaginya. Kita dihujani berbagai macam ‘karya fiksi’ politik oleh ‘pengarang-pengarang’ politik yang sungguh lihai mengelabui ‘pembaca awam’ politik seperti kita ini."
Kami selalu mengatakan"
“Ada penipu kecil, penipu ulung, politikus dan Cut Zahara Fonna”
Tentu saja kami tidak setuju jika anda mensetarakan Gandhi, Muhammad (saw), Sukarno dan Lincoln.
Untuk Lincoln kami punya cerita sendiri dihttp://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2007/12/renungan-politik-di-akhir-2007-kelas.html
Untuk Sukarno dengan Dwikora, trikora, caturkora, pancakora, sebagian ada di http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2007/06/visi-2030-kemakmuran-atau-ilusi-gdp.html
Mungkin anda tidak pernah hidup dimasa Sukarno, sehingga tidak tahu apa yang dilakukan oleh 'Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Panglima Tertinggi ABRI, Madataris MPRS" Dr. Ir. Sukarno.
Catatan, kalau anda membuka koran-koran lama dan melihat kolom "Ajaran-Ajaran Pemimpin Besar Revolusi", gelar itu selalu dipakainya. Bagaimana Sukarno menghancurkan ekonomi Indonesia dengan program 'kora-kora'nya.
Jangan terpukau dengan romantisme sejarah. Sejarah seringnya fiksi yang aromanya tergantung pada pengarangnya.
Mencerahkan! saya baru sadar bahwa ternyata dunia "politik" juga sebuah "karya sastra". Atau karena Gus Taufiq sudah sering bermain di dalamnya ya? kok tau tentang proses produksi "karya politik".
Entah sudah berapa milyar tulisan yang ditujukan mengkritik sistem "demokrasi". Tapi hasilnya selalu paradoks yang menganga.
Kemungkinan menurut 'tesis' saya, dunia politik sebenarnya hanya sebuah 'alat/cara/modus' bagi tujuan bersama, tapi kata 'demokrasi' telah soalah-olah menjadi suatu tujuan. Benarkah pendapat saya tersebut Gus Taufik?saya kok masih ragu.
Maksudnya, sekarang qt telah 'terjebak' oleh imajinasi dari 'pemikir2 politik' yang menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Padahal menurut saya, mereka hanya mengajukan sebuah cara 'alternatif' bagi pengaturan hidup bersama. Bukankah demikian?
Embuh lah, saya melihat dunia politik ibarat obat bius saja bagi orang-orang sedang 'luka parah/sakit jiwa' yang tidak percaya terhadap kemampuan dirinya sendiri untuk memimpin sekitar dengan cara mereka masing-masing. Mungkin. Atau barangkali seperti itu?
pak imam, terima kasih atas nasehat Bapak.
sungguh saya tidak bermaksud membanding-bandingkan beberapa tokoh tersebut. saya bukan bermaksud mensejajarkan. sebab, khususnya bagi kami orang Islam, Muhammad SAW adalah manusia termulia, teragung, ter-segala-galanya.
tentu, masing-masing tokoh memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, tak terkecuali Sukarno. perhatian saya terletak pada kesamaan mereka, yaitu kemampuan menciptakan 'karya politik' yang luar biasa yang akan sulit dilupakan dalam sejarah umat manusia.
Sukarno, dengan segala kekurangannya, bagi saya telah berhasil membuat 'karya agung' tersebut. Karya yang akan sulit dilupakan orang. Bahwa kita bisa berbeda pendapat terhadap "cara/sistem/jalan" yang ditulisnya dalam kitab sejarah adalah sesuatu yang harus. tetapi, kita akan sulit menolak terhadap kesungguhan "cita-cita"nya menuju Indonesia yang "Pancasialis"---berketuhanan,berperikemanusiaan,bersatu,berdaulat, dan berkeadilan sosial.
Contoh2 "romantis" tersebut hanya merupakan cermin terhadap kemirisan saya terhadap "kemampuan mengarang" tokoh-tokoh elit kita sekarang. ibarat penulis, mereka ini rasa-rasanya hanya ingin jadi penulis yang bikin karya "ecek-ecek" biar dapat honorarium mingguan. bukan penulis yang bervisi jauh untuk jangka 100 tahun - 1000 tahun ke depan.
tidak tahulah saya, Pak. tapi, ngomong2 usia Bapak berapa ya? kok "menangi" zaman Revolusi? luar biasa pasti ya Pak.
salam,
tauf
buat mas Giy, komentar yang mencerahkan...
bagi saya, ibarat mobil sekarang. demokrasi itu dianggap orang-orang ya kayak mobil BMW lah. kosmologi rang2 sekarang, BMW itulah yang paling jos misalnya. kalo sudah kendaraan jos, dianggapnya akan pasti cepet nyampe-nya ke tujuan.tujuan kita ya keadilan dan yang luhur2 itulah.kita menganggapnya begitu....
sayangnya, kondisi jalan di Amerika dan Eropa sana tidak seburuk jalan kita yang blegong2... Lalu kita sibuk memeprsoalkan mobil kita ini.
parahnya lagi, saking sibuknya mikirkan mobil ini kita jadi lupa terhadap soal2: bagaimana kualitas sopirnya, orang-orang yang di dalamnya. intinya lupa pada 'manusia'nya. seolah-olah kalau mobilnya sudah bagus lalu kita anggap orangnya juga bagus.padahal, kita tahu "mobil boleh berubah, tapi tergantung kualitas sopirnya to".
sayang, tenaga kita habis untuk mikir mobil, manusianya kita telantarkan tak karuan.. tapi ya gimana, besok makan apa kita masih susah... he...
salam,
tauf
Semar lho.. Mas Taufik. Sampeyan gak ngerti umure Semar piro tah?
Ojok'o Revolusi, jaman Firaun ijek bujang, Semar wis ono...
Dia tau segalanya.
ingin tahu segalanya,
yOg.
Inggih,....
kolu meniko lahir tahun Dal sasi Ehhe. :D
Posting Komentar