Semua yang real menjadi simulasi. Sebuah pernyataan yang metafor, berlebih-lebihan, hendak melampaui dirinya sendiri, namun menusuk jantung pemikiran. Dunia hanyalah sebuah konstruksi ilusi dan inovasi manusia. Peradaban kontemporer sudah tidak ada lagi menampakan perbedaan antara realitas dan imaginasi. Imaginasi telah menjadi nyata, dan yang fakta berubah menjadi fiksi. Sekat antara yang abstrak dan yang konkret telah terkikis. Dunia menjadi hiperealitas.
Dalam dunia yang sudah sedemikian konsumeris ―masyarakat telah menjadi kekuatan tersendiri di samping produksi dan distribusi― ini, kejahatan tidak menampakan batang hidungnya. Ia telah melebur dan menyatu dengan aturan. Di situlah hiperkriminal atau hiperkejahatan muncul. Kejahatan yang legal karena terlindungi oleh sistem dan aturan yang diberi otoritas dan legitimasi oleh institusi yang berwenang. Ia adalah ”kejahatan sempurna”. Kejahatan yang tanpa terlihat, tidak mungkin dimasukan ke meja peradilan, apalagi terkena sanksi hukum. Tetapi watak, perilaku dan dampak kejahatan tersebut melampaui kejahatan pada umumnya.
Kejahatan diatur dalam sebuah permainan yang terbangun dalam teks bahasa hukum berupa produk perundang-undangan. Membuat bias perbuatan yang sesungguhnya jahat menjadi perbuatan baik, mengubah perbuatan baik menjadi perbuatan buruk. Dan hukum menjadi jalan melegalisasi praktek kejahatan tersebut.
Hukum modern telah kehilangan terdelegitimasi. Ia kehilangan kepercayaannya untuk menanggulangi praktek kejahatan. Padahal hukum modern bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat. Lyotard berharap banyak pada kemajuan teknologi. These technological transformations can be expected to have a considerable impact on knowledge (Lyotard:1979). Teknologi diharapkan mampu mengantarkan orang untuk memenuhi hasrat kesempurnaan di bidang pengetahuan. Taruhlah misalnya, internet. Kebutuhan informasi tersedia hampir mendekati kesempurnaan dalam mengakses dunia maya tersebut. Tetapi pada saat bersamaan, kemajuan teknologi informasi tersebut, merusak moral gerenasi muda dengan banyaknya situs porno, dan bahkan dari internet inilah kejahatan mayantara, cyber crime tumbuh subur.
Di balik kemungkinan ketersediakan akses data dan informasi yang mengkonstruksi pengetahuan, jejaring internet telah menciptakan patologi yang jauh lebih jahat dan rumit dari sekadar kejahatan biasa. cyber crime, yang berupa pembobolan kartu kredit, pengrusakan data melalui virus, ataupun menayangkan informasi yang membuat ajang penipuan, semuanya itu tidak sekadar kejahatan yang bisa ditanggulangi dengan mudah.
Konggres PBB ke X tahuan 2000 sendiri mengakui bahwa cyber crime merupakan kejahatan yang sulit diungkap apalagi ditanggulangi. Sebagai masalah internasional, cyber crime sulit ditanggani sebab: perbuatan yang kejahatan yang dilakukan berada di lingkungan elektronik; melaumpaui batas-batas negara; dan struktur terbuka jaringan komputer internasional memberikan peluang kesempatan yang lebar pada penjahat mayantara.
Ya, kejahatan telah teroperasionalisasi melalui banyak medium. TV, radio, koran, dan lain sebagainya. Ia menayangkan adegan kekerasan, perkosaan, pembunuhan, dan seksualitas. Media pada akhirnya membentuk realitas yang lebih nyata ketimbang fakta empirik. Hal itu yang tidak bisa dirangkai menjadi sebuah bahan evaluasi kelemahan hukum modern. Hukum modern pada akhirnya dikritik habis, terlalu mengunggulkan unsur rasionalitas. Terkadang yang rasionalitas terdistorsi menjadi sebuah mesin mekanistis. Hukum yang tidak bisa menempatkan aspek mistis dan metafisis. Santet, pelet, teluk, dan upaya kejahatan melalui jalan mistis tak bisa disentuh oleh hukum modern. Hukum modern juga tidak bisa menghindar dari praktek penyalah-gunaan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kekuasaan.
Membiarkan semuanya ini terjadi begitu saja, juga merupakan kejahatan itu sendiri. Bagaimana juga dengan media yang saat ini sudah jadi kekuatan super-power. Ia malah sebagai sarana pendidikan kejahatan kelas wahid. Baudrillard Review of Understanding Media (1967) secara tegas menyatakan, pertama, media melahirkan dunia simulasi yang kebal dari kritik para rasionalis. Kedua, media menghadirkan kemelimpahan informasi dan mengabaikan respon dari para penerima pesannya. Ketiga, realitas yang tersimulasi ini tidak memiliki dasar, sumber, acuan atau referent. Realitas simulasi beroperasi diluar logika representasi.
Dari permainan inilah pada akhirnya mencerminkan watak masyarakatnya sendiri, tak ada media tanpa massa. Massalah yang menikmati media, menjadi konsumen setia, dan memiliki otoritas atas suatu keberadaan sebuah media. Sehingga kejahatan di budaya kontemporer telah melampaui kapasitasnya sebagai perilaku jahat itu sendiri. Ia di balut oleh hukum, media, dan perangkat kognitif masyarakat konsumer itu sendiri. Awaludin Marwan alias Luluk
Sabtu, April 11, 2009
Dunia Hiperkejahatan Jean Baudrillard
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
saya kira ga da yang namanya hiperkriminal...ato hypercrime..
dari dulu kejahatan,pada dasarnya kejahatan itu sama...,hy medianya saja yang berbeda...,
ex: cyberporn
ga da bedanya dengan pornografi di media cetak.cm accesnya sj yang beda.
anda saya kira salah menerrapkan istilah."its too exxesive, Dude"..belajar hukum ato criminology dulu lah... baru nulis...oke.
btw foto anda sangat membosankan, alias rak mutu..apalagi tulisan anda!!! belajar lagi ya mas.
he he... benar kata anda, mas anonim. luluk memnag harus lebih banyak belajar lagi. juga, saya dan tman2 yang lain...
persoalannya, teknologi -internet khususnya- memang sebuah dilema. di satu sisi, dia adalah salah satu fasilitas yang dapat digunakan sebagai instrumen gerakan sosial, tetapi di sisi yang lain dia pasti lahir dari sebuah ideologi tertentu. Internet, yang kita anggap sebagai free from ideology, ternyata punya ideologi:ada siapa dan kepentingan apa di baliknya. he... hiii, ngeri juga..
tauf
Pertama-tama, saya akan meluruskan pemaknaan cyber crime atau cyber porn, yang terbatas pada aktivitas komersialisasi kejahatan pornografi saja.
Tetapi jaringan teknologi itu leih luas. Internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace, yaitu sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang
menawarkan realitas yang baru
berbentuk virtual (tidak langsung
dan tidak nyata).
Cyber porn hanya bagian kecil dari cyber crime saja. Kalau seandainya kita terjebak pada persoalan penangulangan kejahatan cyber porn saja maka kejahatan mayantara yang lain tak bisa dicegah. Umpananya, money laundryng, pembobolan kartu kredit, penciptaan virus komputer, perusakan data, dst.
Justru yang berpikiran picik, kolot, sempit, bahkan bodoh adalah yang menyamakan antara cyber porn dengan cyber crime.
Cyber crime memiliki arti yang lebih luas.
Dalam beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime ebagai:"…any illegal act requiring knowledge of Computer technology for its perpetration, nvestigation, or prosecution". Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data".
Batasan cyber crime yang luas dan bukan bersifat transaksional konvensional, melainkan berkedok teknologi menembus ruang dan waktu.
Bang anonim, tidakkah pernyataan anda menunjukan ke-idiotannu sendiri. Tidak tahu konsepsi kejahatan mayantara, tetapi memberikan justifikasi yang tidak materiil. Sangat jalanan...
Sebelum memberikan komentar, saya harapkan anda membaca yang lebih banyak lagi...
Buat Mas Anonim. sering2lah mampir di blog ini tuk selalu nglurus2-in hal-hal yang perlu dilurusin. Di sini memang kumpulan tulisan yang sering keblablasan ato kebebabalan.
Eh, pendapat ente ttg foto itu benar juga ya, kwak2....
Ya harap dimaklumi lah, di sini memang tempatnya orang belajar, masih jauh dari benar2 nulis. Di sini tepatnya tempat 'MUNTAH'....huak-huak....
mas giyanto, saya juga sering melihat tulisan2 anda....tp kmaren belum saya singgung, sepertinya anda sosok pemuja kaptalis..ya...,
...mbok pada belajar dulu mengenai istilah "hyper" itu, baru nulis dan berkomentar, tapi ngomong2 apa sie "hyper" itu, ia apanya "post", bedanya yang "hyper" sama yang ndak "hyper" apa, bilamanakah sesuatu mesti dikatakan "hyper"? klo mas anomi mengatakan tidak ada hiperkriminal, mungkinkah kata "hyper" itu memang tidak diperlukan, kalau iya mengapa ada kata "hyper"? darimana ia berasal? bukankah kata berasal dari konsepsi abstraksi konseptual dari yang "Ada" baik dalam idea maupun realita? apakah sesuatu dapat dikatakan "hyper" atau tidak berdasarkan pada "media" spt kata mas anonim? atau apa?
mohon dijawab dengan amat sangat tidak serius...hehe..
Begini kang,
Kata hiper memang semula tidak banyak dipakai dalam kamus berdebatan intelektual setelah tabuh genderang kata hiper ini bersemai dalam tulisan Baudrillard. Maka terlebih dahulu kita menyelidiki, hiper versi Baudrillard itu.
Budrillard menyebutkan The very definition of the real has become: that of which it is possible to give an equivalent reproduction. . . The real is not only what can be reproduced, but that which is always already reproduced: that is the hyperreal. . . which is entirely in simulation.
Tentang sebuah kenyataan, eksistensi yang real sebenarnya telah menjadi simulasi. Di mana biner sudah tidak lagi terdistingsi, melainkan menyatu. Tidak ada bedanya yang ilusi dan yang real, bgitu sebaliknya. Bahkan yang ilusi itu terasa lebih nyata ketimbang yang real. Dunia yang imaginer inilah yang melampaui dunia real, atau palinmg tidak bersatunya dunia real dengan dunia imajiner.
Sementara itu kang
Posting Komentar