Itulah kawan mimpi-mimpiku, salam anarkis.
Ttd
Giyanto
online degree programs |
Komunitas ini ada karena kegelisahan intelektual beberapa intelektual muda di Semarang. Lahir pada akhir 2007, mewadahi diskusi dan kajian tentang semuanya: filsafat, agama, sastra, politik, pendidikan serta permasalahan sosial. Berupaya menjadi salah satu yang mewarnai dan menjadikan Semarang kota intelektual. kontak e-mail: pagiembun@gmail.com
Perkembangan hukum dari zaman klasik sampai zaman modern telah melalui perubahan yang sangat pesat dengan perjalanan yang penuh liku.Ada yang pro dan kontra seiring dengan lahirnya para pemikir yang memiliki keahlian berpetualang dalam alam intelektual. Pengertian tentang hukum dari pemikir yang satu dengan pemikir yang lain tidak selalu sama, hal ini berkaitan dengan pandangan hidup dan keadaan dari zaman ke zaman yang berbeda. Sejak zaman awal modern (abad ke – 15) banyak orang secara langsung mengartikan hukum sama dengan hukum negara. Masyarakat berasumsi bahwa hukum adalah undang – undang ( aliran hukum positif ). Akan tetapi secara tradisional hukum dipandang sebagai bersifat idiil atau etis.
J.J Rousseau berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis. Manusia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat pergumulannya di tengah masyarakat yang egoistis. Permasalahan timbul dalam masyarakat karena terdesak oleh kepentingan – kepentingan pribadi yang harus dipenuhi, maka masing – masing individu menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Maka terjadi benturan kepentingan antara individu yang satu dengan individu yang lain dan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain yang mengakibatkan konflik bahkan sampai pertumpahan darah. Dengan terjadinya gejolak dimasyarakat dan kekacauan masyarakat maka Rousseau menggagas perlunya kontrak sosial yang menjadi aturan main bersama agar tidak ada pihak yang dirugikan. Kontrak sosial yang disepakati masyarakat meliputi segala bidang kehidupan ekonomi, sosial, politik termasuk hukum.
Sesuai dengan pendapat Rousseau tentang kontrak sosial, hukum terbentuk dari kesepakatan sosial dari sekelompok manusia yang mengikatkan diri dalam satu kesatuan untuk mencapai tujuan bersama yaitu keadilan,ketertiban dan kesejahteraan . Hal ini sejalan dengan Cicero yang berpendapat bahwa “ dimana ada masyarakat, di sana pasti ada hukum ” (ubi societas ibi ius ). Dari argumen cicero memiliki arti bahwa hukum lahir baik sadar atau tidak sadar dengan sendirinya telah ada dalam masyarakat. Kalau boleh ditarik kesimpulan, hukum adalah kontruksi dari manusia. Sudah barang tentu hukum itu ada untuk kepentingan dan kebutuhan manusia. Dan bukan disalahartikan bahwa manusia ada untuk hukum. Karena apabila memiliki konsep pemikiran tersebut, maka manusia sebagai objek. Yang mana terjadi perbudakan manusia akan hukum. Hukum bagaikan sebagai dewa yang memposisikan lebih tinggi dari manusia. Pemikiran yang salah kaprah inilah yang sedang terjadi dalam praktek hukum pada saat ini. Para lawyer menganggap hukum seperti suatu kebenaran yang hakiki yang tidak memandang kecacatan didalamnya. Mereka hanya berasumsi hukum adalah aturan - aturan yang harus ditegakkan dan apa yang ada dalam hukum itu benar . lawyer dengan bersilat lindah dapat mengutak – atik arti kebenaran dan keadilan dengan sesumbar “ semua harus berdasar atas hukum dan demi hukum ”!! . Bagi mereka hukum sebagai permainan bahasa ( Language Game ) saja. Yang ada dalam benak para lawyer bukan penegakan substansi dari nilai – nilai hukum itu sendiri tetapi bagaimana penerapan hukum secara praktis itu dapat dijadikan pemenangan dalam setiap perkara yang ada dalam tangannya. Maka yang terjadi Hukum sebagai objek penghasil finasial ( bisnis ) belaka. Gerry Spencer ( advokad senior Amerika ) mengatakan bahwa Kemampuan dalam segi finansial dapat membiayai pemenangan di Pengadilan. Pendapat dari spencer itu mendeskripsikan bahwa disini ada arti pentingnya uang dalam proses hukum dan penegak hukum yang bermoral rendah. Inilah realita yang nampak dalam dunia hukum kita, Hukum yang seharusnya untuk keadilan dan kesejahteraan untuk semua orang ( John Stuart Mill “ The greates happines of the greates number “ ) malah menjadi keadilan dan kesejahteraan oleh segelintir orang tertentu ( “ Beruang “ ). Perlu diingat bahwa hukum adalah buatan manusia dan hukum dibuat pada ruang dan waktu yang berbeda. Hukum dibuat dipengaruhi oleh kondisi pada zaman pada saat itu,baik politik,sosial cultural maupun ekonomi. Jadi hukum juga mengenal daluarsa seperti jajanan, ketika hukum dipakai melebihi batas waktu maka akan membawa kerugian bagi yang mengkonsumsinya.
Perkembangan era globalisaisi membuat batas – batas negara semakin kabur, arus informasi, iptek, isu internasional dan ajaran - ajaran baru yang seolah tidak dapat terbendung. Dengan perkembangan seperti itu juga harus diimbangi dengan aturan – aturan hukum yang memadai. Hukum mengalami perkembangan yang sangat lambat jadi tidak dapat menampung dan mengatasi permasalahan manusia yang semakin kompleks. Lambatnya perkembangan hukum mengakibatkan banyak permasalahan manusia yang tidak dapat diorganisir dengan baik. Akhirnya banyak kasus –kasus yang lepas sehingga si pelaku dapat menghirup udara segar, hal ini terbentengi oleh asas Legalitas ( pasal 1 KUHP ) , jadi disini peran seorang hakim bukan sebagai mulut undang - undang tetapi sebagai tangan keadilan. Bagaimana seorang hakim dengan keahliannya untuk menafsirkan hukum sesuai dengan porsinya . Oliver Wendell Holmes (1841 – 1935) berkata, bahwa “ melihat kelakuan para hakim, menjadi jelas bahwa hukum adalah apa yang dilakukan oleh para hakim di pengadilan. “ The pattern of behavior ” para hakim menentukan apa itu hukum. Kaidah – kaidah hukum hanya memberikan bimbingan. Moral hidup pribadi dan kepentingan sosial ikut menentukan putusan “. Jadi posisi hakim disini sangat urgen dalam setiap pemutusan sebuah perkara, karena ketika salah dalam pemutusan maka hukum sudah menciderai nilai – nilai keadilan. Kemudian Jerome Frank (1889 – 1957) menegaskan argumen dari Holmes , bahwa “ hukum ditemukan dalam putusan – putusan pengadilan. Unsur – Unsur pertimbangan adalah antara lain kaidah – kaidah hukum, tetapi juga prasangka politik, ekonomi, moral bahkan juga simpati atau antipati pribadi “. Hakim haruslah bersikap netral serta berpihak pada pihak yang tertindas.
Hukum di Indonesia cenderung bersikap prosedural bukan substansial, artinya hukum yang ada harus taat azas dan administrasinya. Ini merupakan sebuah fakta yang sangat ironis ketika suatu kebenaran hanya dapat dinilai dengan undang – undang, berkas – berkas, surat – surat dan sebagainya. Celakanya ketika dalam proses peradilan terjadinya kekurangan berkas – berkas atau kelengkapan lain yang tidak terpenuhi maka hukum tidak dapat menghadirkan nilai – nilai kebenaran dan keadilan. Banyak kasus yang lepas hanya karena si penuntut cacat dalam hal prosedural. Dengan realita tersebut, menurut Dr. Indah Sri Utari maka hukum yang dihasilkan bersifat formal. Jadi disini hukum tidak leluasa dalam menjalankan fungsinya dan harus terikat dalam suatu sistem yang kurang baik. Pada dasarnya hukum merupakan instrumen atau kendaraan, sedangkan keadilan merupakan tujuan dari kendaraan itu. Hukum seharusnya dapat membawa keadilan dan kesejahteraan bagi banyak orang ( bringing justice and welfare of peoples ). Inilah gambaran utuh hukum bukan hanya keteraturan ( order ), tetapi ketidakaturan ( Sampford,1989 ).
Indonesia mengadopsi sistem Rule of Law yang diwarisi oleh Belanda. Usia Rule of Law di Indonesia lebih tua ketimbang republik ini. Indonesia hanya menelan mentah – mentah produk impor ini tanpa berusaha mengkritisi substansi dari sistem ini. Rule of Law menurut Thompson lahir di Inggris pada abad ke – 19 sebagai akibat dari munculnya gerakan membebaskan diri dari penindasan raja, kekuasaan negara yang serba meliputi dan absolut dan kelas – kelas sosial yang kuat. Di Amerika, sistem ini diberlakukan untuk menjamin kemerdekaan individu melalui hukum. Dengan demikian , konsep ini memiki akar historis dan sosiologis yang kental dengan dunia barat. Sistem ini hanya mampu memberikan keadilan yang bersifat individual. Sistem ini di dunia barat mendapat kritikan dari Robert M Unger sebagai salah satu anggota CLS ( Critical Legal Studies ).
Menurut Dr. Achmad Gunaryo bahwa Hukum akan berjalan sesuai dengan fungsinya ketika adanya keterpaduan antara sistem sosial dengan sistem hukum. Kalau kita coba menilik hukum Indonesia berdasarkan historis dan sosiologisnya, dapat ditemukan sesuatu yang tidak kontras antara sistem sosial dan sistem hukumnya. Dari sisi historisya dapat dilihat, Indonesia dijajah oleh negara asing ( Belanda ) selama 350 tahun yang menghasilkan struktur, tatanan sosial, paham, budaya termasuk hukum. Sistem hukum yang diterapkan merupakan hukum Belanda bukan hukum asli Indonesia. Dilihat dari sisi sosiologisnya bahwa dari semua yang diterapkan Belanda di Indonesia bertentangan dengan nilai – nilai dan norma – norma masyarakat Indonesia baik pranata, adat – istiadat, kebiasaan dan perilaku. Perlakuan Belanda merupakan sebuah penindasan dan pemaksaan kehendak. Kegundahan dan kegelisahan inilah yang sebenarnya dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Hemat saya, pada akhirnya sistem yang dibawa oleh Belanda tersebut dalam penerapannya tidak efektif dan tidak sesuai dengan fungsinya. Dengan berasumsi pada hukum progresif sebagaimana seharusnya hukum yang layak diterapkan di Indonesia adalah hukum untuk manusia ( berdasarkan nilai – nilai dari bangsa indonesia kemudian menciptakan hukum yang khas Indonesia )
Yang harus perlu dilakukan oleh para praktisi hukum dan negarawan adalah melakukan perenungan terhadap sistem hukum yang selama ini kita praktekan apakah sudah sesuai dengan porsinya dalam penyuguhan keadilan bagi masyarakat. peninjauan kembali ( judicial review ) dan bersama melakukan pembenahan agar sistem hukum yang dipakai nantinya dapat mengakomodir aspirasi, kehendak dan cita – cita bangsa.
*Mahasiswa Hukum Unnes
Jelentik tangan kanan seorang pemilih telah dicelupkan dalam tinta berwarna hitam. Sebagai tanda ia telah menggunakan hak pilihnya. Merepotkan sekali rasanya, sekali mencontreng empat kertas seluas koran, memilih DPR Pusat, dua DPR daerah, dan DPD. Susah melipat, susah memberikan suara yang sah, susah milih mana yang terbaik, apalagi nagih janji calon terpilih, itu lebih susah lagi.
Ada yang menarik dari pemilu Legislatif dari pemilu 2009, hasil perolehan suara Partai Demokrat keluar sebagai pemenang menyusul PDI-P dan Golkar diurutan berikutnya. Lembaga survei tercengang melihat peristiwa tersebut. Pasalnya, hasil kuantifikasi politik sebelumnya banyak menyebutkan Partai Demokrat berada di urutan tengah. Hal tersebut juga di sadari oleh fungsionaris Partai Demokrat. Ketika membahas RUU Pilpres, Demokrat paling keras menolak syarat 20 % untuk bisa mencalonkan Presiden. Sekarang, mimpi buruk Partai Demokrat telah selesai. Kini mereka di atas angin.
Apa yang melatar belakangi kemenangan Partai Demokrat. Ternyata kemenangan Partai Demokrat bukanlah kemenangan Partai, melainkan kemenangan Susilo Bambang Yudoyono yang membangun citra Partai. Memilih Partai Demokrat itu memilih SBY!.
Ya, di dunia yang dilipat dalam sebuah layar kaca, ungkap Baudrillard. Realitas itu nampak semakin nyata di kotak telivisi, media, dan internet. Ramainya kampanye arak-arakan dan rapat umum partai lain di sekitar tempat tinggal mereka terasa tak nampak. Kenyataan itu ada di dalam stasiun televisi. Bersama SBY, contreng Partai Demokrat. Bahkan di kawasan Aceh, Demokrat menang tanpa memiliki supratruktur yang mapan dan kuat hingga ke tingkat bawah. Namun di Aceh, Demokrat menang setelah di susul Partai Lokal.
Kita tidak bisa menampikan bahwa kiblat demokrasi itu adalah Amerika. Bahkan sekarang menjadi kiblat segala-galanya. Seperti yang ditegaskan oleh Baudrillard dalam America (NY: Verso, 1986, 1988) pent. Chris Turner. Ia menjelaskan bahwa to undertake a symptomatic reading’ of America which looks beneath the surface. Masyarakat Amerika telah menjadi masyarakat konsumer yang telah menyihir masyarakat dunia untuk menirunya. Apa yang nampak di permukaan, informasi yang mudah di dapatkan melalui media, dan tentunya yang menghibur, sebagai sesuatu yang dipercaya.
Ketergantungan pada jaringan infomasi adalah watak dasar masyarakat konsumer yang hidup di atas lingkaran logika penanda. Bagaimana kita melihat kemenangan Obama lewat efektivitas media komunikasi internet yang di mainkannya untuk membentuk positioning.
Kemenangan Demokrat sekarang menunjukan watak dan perkembangan masyarakat Indonesia sekarang ini. Di bawah tekanan arus informasi dan teknologi yang tidak bisa di hindari, masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat konsumtif. Menelan apa yang tampak itu sebagai realitas sesungguhnya. Lalu, apakah kemudian mereka-masyarakat indonesia-bisa mengawasi kinerja parlemen terpilih melalui media dan teknologi yang tersaji. Tentunya tidak. Sebagian kecil yang menguasai media dan teknologi, kekuatannya tak berimbang dengan kekuasaan elit politik atau negara. Media telah dikuasai oleh penguasa tunggal yang telah memodifikasi bentuk sebagai realitas buatan yang melahirkan citra. Dan masyarakat kita telah terjebak dalam citra tersebut. Citra itu mempengaruhi kesadaran, tetapi bukan untuk mendorong upaya rasional, melainkan untuk hanya terlarut dalam simulasi yang dibangun oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Rakyatlah yang menjadi korban.
Awaludin Marwan alias Luluk
Beberapa hari yang lalu saya mengamati dan menerungkan kampus yang telah memberikan ilmu. Setelah kuamati banyak perbedaan di
Jika kader bangsa semua yang dilakukannya cuma dihitung dengan ukuran materi maka ini adalah keberhasilan "settingan global" untuk membuat bangsa-bangsa yang mempunyai kearifan lokal punah sehingga yang tersisa hanya bangsa yang penuh ketamakan dan kerasukan dengan ukuran materi semata.
Dulu saya masuk Unnes sudah 3 Jutaan akan tetapi tidak ada paksaan dan sudah biaya 1 semester, SPL dll. Sekarang lihat pengumuman SPMU yang mewajibkan SPL 5 juta rupiah bahkan ada informasi yang ngisi 5 Juta banyak yang ndak diterima karena banyak yang ngisi diatas 5 juta bahkan sampai 24 Juta. Jadi untuk masuk Unnes minimal harus menyediakan 9 Juta rupiah. Gila…. Sungguh gila. Sungguh mahal pendidikan ini. Di Undip lebih parah lagi, 15 Juta harus di siapkan di awal sebelum mendaftar dengan membuat
Entah apa yang ada di otak pemerintah dan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, Jangan dengan dinaikkannya anggaran untuk kaji pendidik dan PNS menjadikan semua kemampuan diukur dari diri mereka, padahal berapa orang saja yang bernasib baik seperti mereka. Mereka tidak tahu kalo gaji yang mereka makan adalah hasil dari pajak perusahaan, dan kita tahu bahwa pajak perusahaan dihasilkan dari keringat para buruhnya. Berari gaji mereka berasal dari keringat buruh, tani dan orang-orang kecil lainnya.
Indahnya Unnes jaman dulu kawan, dulu kita dapat berteriak dengan nuansa pendidikan, dulu kita dapat bebas belajar demokrasi dengan Demonstrasi, dulu kita buat karya tak kefikiran uangnya, dulu kita dapat berdiskusi dengan dosen sampai larut malam, dulu kita dapat bertarung dalam pentas pemira, dulu kita dapat kumpul di sudut FIS, dulu kita dapat belajar dengan murah.
Tapi sekarang Unnes telah berubah, tidak ada belajar murah, tidak ada Demonstrasi, tidak ada keikhlasan membuat karya karena uang di taruh di depan mata, tidak dapat diskusi dengan dosen larut malam karena dosen tidur jam delapan malam alasan lelah pulang jam 4 sore, tidak ada kumpul-kumpul dis udut kampus karena semuanya disibukkan oleh tugas kuliah yang menumpuk. Katanya mencerdaskan padahal hal itu kurang manfaatnya di dunia nyata.
Sepertinya Unnes hanya menyiapkan alumninya jadi PNS. Padahal berapa orang yang dapat jadi PNS? dunia wiraswasta dan wirausaha tidak membutuhkan mahasiswa yang pintar tapi lebih membutuhkan mahasiswa yang cerdas dan penuh kreativitas. Dan kayaknya mahasiswa cerdas dan kreatif tinggal kenangan jika Unnes tak berubah. Salam,
M. Azil Maskur
Alumni yang masih merasakan masa ke indahan Unnes
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah salah satu organisasi mahasiswa islam besar di Indonesia. Walaupun organisasi ini melabelkan islam di namanya, dia tak lupa mencantumkan Indonesia sebagai negara maupun kumpulan suku yang akhirnya disebut bangsa.
Sejarah Singkat PMII
PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Studens Movement) adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa Nu bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis seakli. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU (PMII), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini sudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian departemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahasiswa NU, yang disambut Rekomendasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh 13 tokoh, yakni; Chalid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shabih ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA. (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi (Yogyakarta), Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul Wahab Djailani (semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko (Malang), dan Ahmad Husein (Makasar), dalam sebuah musyawarah selama tiga hari(14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah (Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Dr. Idam Kholid memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Bernuansa Islam Tradisional
Organisasi PMII walaupun mewadahi mahasiswa yang tergolong intelektual muda tidak menghilangkan ciri khas sebagai kaum muda nahdlatul ulama (NU). Tetap memegang teguh tradisi keagamaan islam keindonesiaan ala ahlussunnah waljamaan. Bahkan dalam tantangan dan gempuran organisasi islam maupun kaum muda islam baik fundamental maupun liberal, PMII tetap memegang teguh ajaran yang menggunakan ahlussunnah waljamaah sebagai manhajul fikr.
Bagi pandangan PMII islam tradisional atau Islam Indonesia perlu di jaga karena itulah islam yang pas dan sempurna di Indonesia. Mahasiswa PMII menolak mentah-mentah jika tahlilan, manaqiban dan nyekar di maknai bid’ah yang perlu di tinggalkan. Menurut pemikiran kaum muda PMII yang teilhami oleh ajaran para kiai, membagi bid’ah dalam dua bagian yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Kalo kalangan fundamental memaknai semua yang tidak dilakukan nabi adalah bid’ah yang harus ditinggalkan maka seluruh kehidupan masyarakat islam di luar arab telah terselimuti oleh bidah. Pandangan sempit inilah yang di kecam oleh para kalanganmuda NU. Sehingga sebagai benteng islam tradisional yang memperjuangkan islam ala Indonesia den memegang teguh ajaran islam ahlussunnah waljamaah PMII selalu berseberangan pemikiran dengan kaum-kaum islamis fundamental.
Pmii dan Tantangan Modernitas
Modernitas yang menjadi akibat dari era globalisasi adalah sebuah fakta yang harus dihadapi bukan ditentang. Bagaimanapun dengan kecanggihan jaman, sampai jarak tidak menjadi persolan untuk berkomunikasi dengan adanya Hp maka modernitas menjadi hal yang tak terelakkan dan di manfaatkan nili-nilai positifnya.
Bahkan PMII memaknai modernitas harus di fahami dengan nilai moderat sehingga tak ada lagi problem. Antara modernitas dengan tradisional yang dari kacamata luar dianggap bertentangan dapat di jembatani oleh PMII sebagai dua hal yang seirama dan sejalan walaupun bagi yang belum tahu benar nilai-nilai ASWAJA (tawassuth, tawazun, tasamuh dan taadul) akan terjebak pada pertentangan. Alhasil warga PMII ada yang dianggap kekiri-kirian dan kekanan-kananan.
Dalam kurun waktu 49 tahun ini PMII telah mampu menunjukkan bagaimana menjembatani antara tradisionalitas yang menjadi ciri khas warga NU dan modernitas yang menjadi bagian dari perkembangan zaman. Dengan demikian kader PMII sekarang telah bermertamorfosis menjadi kader bangsa yang telah mumpuni dan dapat diterima di berbagai elemen bangsa baik di wilayah state, modal maupun wilayah gerakan sosial.
PMII pun telah menampik dari tuduhan miring berafiliasi dengan partai politik yang menjadi godaan yang menggiurkan dengan menunjukkan bahwa kader PMII diberi kebebasan dalam menentukan kehidupan berpolitiknya. Kader PMII tersebar di berbagai partai dan pemerintahan, tersebar di berbagai dunia usaha, tersebabar di berbagai lembaga sosial kemasyarakatan akan tetapi tetap satu tujuan mengawal ajaran islam berwawasan kebangsaan serta tidak meninggalkan tradisi islam Indonesia ala ahlussunnah waljamaah.
M. Azil Maskur
Mantan Ketua PMII Universitas Negeri Semarang
Semua yang real menjadi simulasi. Sebuah pernyataan yang metafor, berlebih-lebihan, hendak melampaui dirinya sendiri, namun menusuk jantung pemikiran. Dunia hanyalah sebuah konstruksi ilusi dan inovasi manusia. Peradaban kontemporer sudah tidak ada lagi menampakan perbedaan antara realitas dan imaginasi. Imaginasi telah menjadi nyata, dan yang fakta berubah menjadi fiksi. Sekat antara yang abstrak dan yang konkret telah terkikis. Dunia menjadi hiperealitas.
Dalam dunia yang sudah sedemikian konsumeris ―masyarakat telah menjadi kekuatan tersendiri di samping produksi dan distribusi― ini, kejahatan tidak menampakan batang hidungnya. Ia telah melebur dan menyatu dengan aturan. Di situlah hiperkriminal atau hiperkejahatan muncul. Kejahatan yang legal karena terlindungi oleh sistem dan aturan yang diberi otoritas dan legitimasi oleh institusi yang berwenang. Ia adalah ”kejahatan sempurna”. Kejahatan yang tanpa terlihat, tidak mungkin dimasukan ke meja peradilan, apalagi terkena sanksi hukum. Tetapi watak, perilaku dan dampak kejahatan tersebut melampaui kejahatan pada umumnya.
Kejahatan diatur dalam sebuah permainan yang terbangun dalam teks bahasa hukum berupa produk perundang-undangan. Membuat bias perbuatan yang sesungguhnya jahat menjadi perbuatan baik, mengubah perbuatan baik menjadi perbuatan buruk. Dan hukum menjadi jalan melegalisasi praktek kejahatan tersebut.
Hukum modern telah kehilangan terdelegitimasi. Ia kehilangan kepercayaannya untuk menanggulangi praktek kejahatan. Padahal hukum modern bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat. Lyotard berharap banyak pada kemajuan teknologi. These technological transformations can be expected to have a considerable impact on knowledge (Lyotard:1979). Teknologi diharapkan mampu mengantarkan orang untuk memenuhi hasrat kesempurnaan di bidang pengetahuan. Taruhlah misalnya, internet. Kebutuhan informasi tersedia hampir mendekati kesempurnaan dalam mengakses dunia maya tersebut. Tetapi pada saat bersamaan, kemajuan teknologi informasi tersebut, merusak moral gerenasi muda dengan banyaknya situs porno, dan bahkan dari internet inilah kejahatan mayantara, cyber crime tumbuh subur.
Di balik kemungkinan ketersediakan akses data dan informasi yang mengkonstruksi pengetahuan, jejaring internet telah menciptakan patologi yang jauh lebih jahat dan rumit dari sekadar kejahatan biasa. cyber crime, yang berupa pembobolan kartu kredit, pengrusakan data melalui virus, ataupun menayangkan informasi yang membuat ajang penipuan, semuanya itu tidak sekadar kejahatan yang bisa ditanggulangi dengan mudah.
Konggres PBB ke X tahuan 2000 sendiri mengakui bahwa cyber crime merupakan kejahatan yang sulit diungkap apalagi ditanggulangi. Sebagai masalah internasional, cyber crime sulit ditanggani sebab: perbuatan yang kejahatan yang dilakukan berada di lingkungan elektronik; melaumpaui batas-batas negara; dan struktur terbuka jaringan komputer internasional memberikan peluang kesempatan yang lebar pada penjahat mayantara.
Ya, kejahatan telah teroperasionalisasi melalui banyak medium. TV, radio, koran, dan lain sebagainya. Ia menayangkan adegan kekerasan, perkosaan, pembunuhan, dan seksualitas. Media pada akhirnya membentuk realitas yang lebih nyata ketimbang fakta empirik. Hal itu yang tidak bisa dirangkai menjadi sebuah bahan evaluasi kelemahan hukum modern. Hukum modern pada akhirnya dikritik habis, terlalu mengunggulkan unsur rasionalitas. Terkadang yang rasionalitas terdistorsi menjadi sebuah mesin mekanistis. Hukum yang tidak bisa menempatkan aspek mistis dan metafisis. Santet, pelet, teluk, dan upaya kejahatan melalui jalan mistis tak bisa disentuh oleh hukum modern. Hukum modern juga tidak bisa menghindar dari praktek penyalah-gunaan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kekuasaan.
Membiarkan semuanya ini terjadi begitu saja, juga merupakan kejahatan itu sendiri. Bagaimana juga dengan media yang saat ini sudah jadi kekuatan super-power. Ia malah sebagai sarana pendidikan kejahatan kelas wahid. Baudrillard Review of Understanding Media (1967) secara tegas menyatakan, pertama, media melahirkan dunia simulasi yang kebal dari kritik para rasionalis. Kedua, media menghadirkan kemelimpahan informasi dan mengabaikan respon dari para penerima pesannya. Ketiga, realitas yang tersimulasi ini tidak memiliki dasar, sumber, acuan atau referent. Realitas simulasi beroperasi diluar logika representasi.
Dari permainan inilah pada akhirnya mencerminkan watak masyarakatnya sendiri, tak ada media tanpa massa. Massalah yang menikmati media, menjadi konsumen setia, dan memiliki otoritas atas suatu keberadaan sebuah media. Sehingga kejahatan di budaya kontemporer telah melampaui kapasitasnya sebagai perilaku jahat itu sendiri. Ia di balut oleh hukum, media, dan perangkat kognitif masyarakat konsumer itu sendiri. Awaludin Marwan alias Luluk
Tak bisa ditampikan bahwa pemerintahan desa ketinggalan informasi, dan memang semakin tertinggal. Ah, dasar orang desa, ya memang terbelakang. Masa orang desa dibandingi orang kota. Ndeso!!!! Serius sedikit ach....Jadi begini kawan-kawan, bacalah tulisanku yang serius ini.
Pemerintahan Desa hendaknya sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Oleh karenanya, prinsip pemerintahan desa yang baik perlu di rekonstruksi, bagaimana memanisfestasi sistem dan struktur desa berdasarkan kondisi sosio-kultural masyarakat desa. Hasil konstruksi inilah yang dipakai dalam merumuskan prinsip pemerintahan desa yang baik, tidak sebagaimana prinsip pemerintahan pada umumnya (the ordinary principle of good governance), desain pemerintahan nasional atau pemerintahan a la Barat. 1
Di era keterbukaan, globalisasi kehidupan sosio-politik hampir selalu menuntut banyak perubahan. Perubahan paradigma, menjadi struktur feodal ke elemen demokratis yang lebih memanusiakan manusia. Sehingga struktur di semua tingkatan sudah seharusnya sesuai dengan kondisi manusia baik secara individu maupun kelompok. Postulat demokrasi menciptakan komitmen antar-pranata atau institusi untuk melayani masyarakat.
Proses demokrasi sangat memungkinkan peningkatan secara prinsipil komitmen lembaga untuk membuka keran lebar-lebar bagi peran masyarakat.2 Dengan demikian elemen pelayanan bisa berjalan secara responsif dan menjawab persoalan kehidupan masyarakat.3 Sebab, inti dari demokrasi itu sendiri adalah partisipasi.4 Sehingga, jika di kaitkan dengan konteks pembaharuan struktur desa, partisipasi masyarakat desalah yang menjadi keutamaan.
Kelayakan pelayanan publik pemerintahan desa merupakan problem masyarakat desa yang bisa di atasi dengan modal sosial. Modal sosial5 masyarakat desa dapat diyakini sebagai instrumen yang paling ampuh untuk menanggulangi masalah-masalah kemasyarakatan, layak untuk kembali didiskursuskan di sini. Sebab di dalam rejim itulah, integritas sosial masyarakat desa yang masih kuat dapat dijadikan investasi sosial dalam membangun sistem pemerintahan desa yang lebih baik dan responsif. Dari desalah iklim kekeluargaan, gotong royong, kolektivisme komunal, dan sebagainya itu masih berlangsung dengan baik.
Desa sudah selayaknya ditopang dengan pemerintahan yang bekerja secara pos-biroktarik. Pos-birokratik adalah sistem kekuasaan yang berjalan melampaui tipe organisasi tradisional dan birokratis.6 Ia berjalan berdasarkan orientasi dan tujuan, bukan pada sistem, prosedur, dan mekanisme yang justru melupakan tujuan di mana dibentuknya sistem-sistem itu.
Pemerintahan desa hendaknya menjawab segala macam perubahan, menyesuaikannya pada kondisi struktural yang melingkupinya.7 Tetapi pemerintahan desa juga tidak boleh terjebak dalam arus perubahan yang justru membuat struktur di dalamnya tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Sehingga dalam menjadikan pemerintahan yang baik, selain mampu mengadaptasikan kondisi perubahan-perubahan yang ada juga masih mengemban nilai dan tradisi masyarakat desa.
Seperti halnya yang diungkapkan di atas, bahwa watak dasar masyarakat desa adalah komunalitasnya. Nilai solidaritas semacam ini murni tak bisa dikesampingkan dalam pembaharuan pemerintahan desa. Tipikal desa yang menyerupai paguyuban menentukan arah perkembangan maupun stagnanisasi masyarakat desa. Paguyuban menempatkan semua anggota masyarakat desa sebagai keluarga. Sehingga memperlakukannya bagai basis paling dasar dalam memanajemen lingkungan dan sumber daya manusianya, demi kepetingan keluarga bersama.
Dengan modal solidaritas sosial masyarakat desa, pembaharuan pemerintahan desa telah memiliki satu investasi berharga, yakni, partisipasi. Partisipasi warga dalam pembaharuan sangat menentukan validitas kesesuaian kebutuhan mereka dengan pembaharuan yang terjadi nantinya. Sebab partisipasi menciptakan refleksi terhadap harapan dan keinginan politik warga,8 kesadaran bernegara masyarakat,9 komunikasi yang sukses terjalin,10 dan relevansi proyeksi out put terhadap keinginan publik.11
Pemerintahan desa memiliki otonomi yang lebar. Sehingga memungkinkan modifikasi struktur dan fungsi di satu institusi tersebut. Modifikasi yang berdasarkan kehendak publik tentunya, bukan keinginan pejabatnya semata atau niatan penguasa struktural vertikal ke atas (Kepala Daerah). Projek otonomi desa sempat menjadi persoalan serius manakala hukum nasional tidak sesuai dengan tradisi dan kebudayaan lokal (kasus Desa vs Nagari). Tetapi kesempatan nampak pada ruang-ruang yang terbuka cukup lebar pada otonomi desa itu sendiri yang bisa memperoleh kemandirian.
Ruang tersebut terdiri dari lapangan yang disediakan pada wilayah hermeneutis teks12 dan pengembalian pada nilai dasar regulasi.13 Dua hal ini hendaknya tetap bertujuan penyesuaian struktur dengan kebutuhan dan kondisi sosio-kultural masyarakat. Pada wilayah hermeneutis teks, tafsir terhadap produk hukum yang mengatur pengelolaan desa hendaknya berbasis pada kearifan lokal, kebutuhan masyarakat, dan kondisi masyarakatlah yang didahulukan. Atau dengan kata lain, menafsirkan teks regulasi untuk dipergunakan kemanfaatan yang sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa. Pada pengaturan yang secara teknis, di mulaikah pencarian payung atau landasan yang lebih tinggi dari sekadar juklak dan juknis positivistik dan kaku. Pencarian payung atau landasan yang berorientasi pada keperluan dan kepentingan masyarakat desa tentunya.
Singkat kata, pambaharuan pemerintahan desa sudah selayaknya seiring dengan kepentingan nasional dan tuntutan global, tetapi tidak kemudian meninggalkan masyarakatnya. Meninggalkan masyarakatnya berarti menjadikan pemerintahan desa yang tidak efektif dan penuh dengan kesan pemaksaan. Sehingga bisa saja ini memunculkan konflik vertikal maupun horisontal.14 Baik konflik yang timbul antara pemerintahan desa dengan masyarakatnya, 15 ataupun antarmasyarakat yang disebabkan ketidak-berdayaan pemerintahan desa meredam spiral konflik. 16
1 Prof. Dr. G.H. Addink, 2001, General Principles of Good Governance Under General Administrative Law Act (GALA), Utrecht University, hlm. 12. Pemerintahan Eropa barat pada masyarakat pos-industrial lebih banyak melakukan pembaharuan dengan basisi ilmu pengetahuan dan teknologi dan penghormatan yang berlebih-lebihan pada hak milik pribadi.
2 Laurence Whitehead, 1989, “The Consolidation of Fragile Democracy”, dalam Robert Pastor (ed.), Democracy in the Americas, (New York : Holmes), hlm.30.
3 Andreas Schedler, 1998, “What is Democratic Consolidation?”, Journal of Democracy, No. 2.
4 James A Gould. 1971. Classic Philosophical Questions. Columbus. Ohio. p. 502. Democracy and Educational Administration sebuah buku yang dikarang oleh John Dewey (1937) menegaskan bahwa esensi demokrasi adalah partisipasi politik dan perebutan kekuasaan yang damai. Democracy is more than a special political form; it allows the necessary participation of every mature human being in the formation of the values that regulate a peaceful society.
5 Roger Cotterrel.1981. Sociological Perspectives on Law Volume I Classical Foundations. University of London. United Kingdom. p. 246. Bukunya yang termasyur The Devision of Labour in Society, Emile Durkheim mengenalkan konsepsi solidaritas yang banyak di pakai dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu sosial. Tak ada salahnya mengingat dan mempertautkan konsepsi ini di wilayah politik, sebagai sebuah optik yang bisa menerjemahkan dan menjawab persoalan yang ada di lingkup dunia politik. Terutama konsepsi tentang solidaritas, di dunia politik kecenderungan elit politik membuat banyak kesamaan, atau dengan bahasa lain meng-homogenitis-kan masyarakat, baik melalui pengusahaan warna partai/ kepentingan sesuai atau sama dengan karakteristik masyarakat, atau memaksakan karakteristik masyarakat agar sama dengan warna partai, semuanya itu merupakan sebuah cermin yang merefleksikan keberadaan masyarakat primitif yang memperlihatkan solidaritas mekanik. Solidaritas mekanik adalah standar relasi yang diciptakan sebuah komunitas tradisional bahkan primitif yang disebabkan oleh dorongan homoginitas dan kesamaan yang tumbuh sebelumnya. Dengan kata lain, solidaritas mekanik mensaratkan kesamaan, manusia dianggap sama semuanya, dan hanya ada satu kepentingan bersama atas kesamaan yang permanen. Berbeda dengan solidaritas organik di tubuh masyarakat modern, yang melahirkan sebuah kontrak sosial di atas perbedaan yang muncul dalam masyarakat. Perbedaan memang tak bisa dihindarkan di dunia ini, sehingga konsepsi yang kedualah bagi Durkheim dipercayai sebagai gagasan yang perlu direalisasikan.
Mechanical solidarity birth people who are alike those who live in simple societies and share similar values and activitas. Organic solidarity is glue that birth people who are different from are another but who need to find a way to live together in complex modern societies.
6 Philip Nonet&Philipe Selznick. 1978. Law&Society in Transition: Toward Responsive Law. Penguin Book. London. p. 19. Nonet dan Selnick percaya bahwa di dalam metamorfosis organisasi baik pemerintah maupun masyarakat selalu mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Tahap pertama merupakan paruh waktu di mana organisasi masih memiliki tipe pra-birokrasi, sistem-sistemnya dijalankan dengan pertimbangan dan pembagian tidak begitu jelas. Sedangkan menuju ke tahap birokrasi yang kaku dan proseduralistik, kemudian tahap terakhir tipe pos-birokrasi.
7 Theda Skocpol, 1994, Social Revolutions in The Modern World, (Cambridge : Cambridge University Press). p. 17. Perubahan tidak hanya berakar pada perubahan paradigma di dunia sains ataupun gerakan sosial kemasyarakatan, melainkan perubahan struktur-struktur negara sesuai dengan kondisi zamannya.
8 Robert Dahl, 1977, Modern Political Analysis, (New Delhi : Prentice Hall of India Private Ltd.), hlm. 29.
9 Jeffry M. Paige, 1971, “Political Orientation and Riot Participation”, American Sociological Review, hlm. 810-820.
10 Paul R. Abramson, 1995, “Political Participation”, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, Vol. III, (Wahington D.C. : Congressional Quarterly Inc.), hlm. 913-920.
11 S.N. Eisendstadt, 1968, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago : Chicago Univerity Press), hlm. 46.
12 William Ewald. 1988. Unger's Philosophy: A Critical Legal Study. p. 3. Penafsiran teks secara konstktual, menghilangkan logosentrisme yang berasal dari antagonisme kelas, sehingga teks diperlakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pinggiran yang lebih membutuhkan. Lihat juga, Inyiak Ridwan Munir. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Ar-Ruzz Media Yogjakarta. Halm. 249-250, dan lihat juga, Michel Foucault. The Order of Thing An Arceology of Human Sciences. Diterjemahkan oleh B. Priambodo&Pradana Boy. 2007. The Order of Thing: Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan. Pustaka Pelajar. Yogjakarta.
13 Hans Kelsen. 1978. Pure Theory of Law. Berkeley University California Press. Diterjemahkan oleh Rasul Nuttaqin. 2005. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Hans Kelsen. Halm. 1
14 M. Mukhsin Jamil. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai: Teori, Strategi, dan Implementasi Resolusi Konflik. Walisongo Media Centre. Semarang. Halm. 155-156
15 Paul R. Abramson, 1995, “Political Participation”, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, Vol. III, (Wahington D.C. : Congressional Quarterly Inc.), hlm. 913-920.
16 Jeffry M. Paige, 1971, “Political Orientation and Riot Participation”, American Sociological Review, hlm. 810-820. Juga : Alfian, 1983, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, (Jakarta : Gramedia), hlm. 256-257.
Hiperkejahatan nampak terlihat dalam pemilu kali ini. Sebuah kejahatan sempurna yang terlindungi oleh sistem hukum. Watak jahat yang teroperasionalisasi melalui aktivitas yang legal.
Misalnya saja, pembunuhan orang melalui penghilangan hak pilih. Antusiaisme warga yang hendak mencoblos perlu diapresiasi. Cuman lantaran secarik kertas yang disebut DPT itu, banyak warga kehilangan suaranya.
Sejarah negara yang terimplementasi sebagai ”Roh Absolute” pada dirinya dan bagi dirinya, ungkap Hegel menempatkan negara yang sadar akan posisi dan eksistensinya. Bagaimana bisa menjadi negara yang bermartabat jika ”ora nguwongke wong”. Tidak menghargai rakyatnya, menghormati haknya, dan melindungi suaranya.
Harus ada tujuan yang hakiki, bukan proseduralistik. Benar jika Democracy and Civil Society in The Third World Politics & New Political Movement buku yang ditulis oleh Jeff Hayness, mendudukkan bahwa demokrasi pada akhirnya lebih bersifat proseduralistik ketimbang suntansional di negara berkembang.
Hal inilah yang kemudian diberlakukan oleh supratruktur penyelenggara teknis pemilu lebih mementingkan DPT yang sama sekali tidak valid itu ketimbang mengakomodir pemilih murni yang tidak terdaftar tetapi memiliki niat sungguh-sungguh untuk mencoblos. Tata administrasi itu lebih unggul dari pada ”hak” warga sebagai orang asli Indonesia.
Hak itu tak sederhana, tetapi serangkaian institusi yang terkait. Ia masuk dalam tatanan tubuh, pikiran, jiwa dan roh. Distingsi keseimbangan hak dan kewajiban ini bukannya sudah dikupas tuntas oleh Hegel. Hak itu bukan sesuatu yang nampak dalam diri manusia, tetapi ia masuk kedalam benak hingga ke alam bawah sadar (unconscience mind) manusia.
Hak itu mencerminkan impian, harapan, kebutuhan, keinginan, cita, dan insititusi transenden manusia. Sehingga, hak adalah kekuatan yang tidak bisa dipisahkan dengan manusianya. Jika ia tidak lagi diberi hak, maka tak ubahnya sebagai mahluk diluar manusia (hewan atau tumbuh-tumbuhan) yang tak bisa menuntut apapun akan dirinya pada pihak lain.
Sekarang kita melihat betapa kejamnya sistem proseduralistik itu. Ia melarang orang bermimpi. Ia menghina manusia bukan pada kodratnya. Ia memanipulasi legitimasi moral yang diberikan dari rakyat untuk menghancurkan hati rakyat sendiri.
Berbeda dengan golput ideologis seperti kita (maksud saya, ”aku” tanpa melibatkan siapapun). Golput yang lahir dari proses pe-matian manusia oleh lembaga penyelenggara pemilu sebuah kejadian yang tragis. Saya ingin menyampaikan kepada mereka, ”apa yang kamu harapkan dari politisi busuk macam produk pemilu yang seperti ini”.
”Mereka akan menyakitimu, seperti anggota dewan yang lalu, menyakiti hati rakyat ketika harga BBM naik, menyengsarakan rakyat, ramai-ramai mengajukan hak angket dan interpelasi yang mandul”
”kasus korupsi dan skandal seks politisi yang biadabnya melampaui zaman jahiliyah” ungkapku dalam hati.
Tapi saya tidak tega, mereka terlalu polos untuk itu. Mereka hanya berniat baik, berharap politisi yang dulu bisa berubah dan pemilu yang baru benar-benar membawa perubahan yang lebih baik.
Tapi inikah perlakuan negara terhadap mereka. Dasar kejam. Jahat.
Awaludin Marwan Alias Luluk