online degree programs

Rabu, Desember 31, 2008

Waktu


Tiap kelahiran adalah kesakitan, darinya selalu bermula sebuah kehidupan, yang baru, yang telanjang, yang jauh dari keseakanan. Kelahiran peradaban baru selalu sebuah kesakitan bagi peradaban lama, bagi kesadaran kemanusiaan. Kelahiran kesadaran baru juga kesakitan bagi pemahaman yang mula, tiap perjuangan adalah kesakitan tuk lahirnya kemenangan atau kekalahan, tiap ketidakpastian adalah kesakitan menyongsong lahirnya kepastian.

Ganti tahun tidak pasti kelahiran kehidupan baru, mana ada pergantian tahun diawali kesakitan yang darinya lahir kehidupan baru. Ganti tahun selalu diawali dengan canda, tawa, nirkesakitan. Apa pula beda awal dan akhir ketika ia ada dalam satu titik, bukankah akhir tahun -2008- adalah awal tahun -2009? Hanya bilangan “nol”, petanda “kosong” yang tiada rujukan penandanya, karena “kosong” itupun ada, dan itu pasti, bukan ketidakpastian, karena kalau “kosong” itu tiada, pasti ia tiada nama, tiada imaji yang menciptakannya. Dan “kosong” itulah yang mencengkeram waktu, dalam salah satu ujudnya adalah kekosongan, ketiadaan, tepatnya adalah: waktu adalah “kosong” itu sendiri, ia tiada terbilang.

Angka petanda waktu adalah imaji belaka, ia tiada rujukannya kecuali dalam imaji. Makanya waktu tiada termakan usia, waktu tiada dapat dikuasai bilangan, angka-angka itu. Dan dengan demikian pada hakikatnya waktu tiada memakan dan mencengkeram dunia bumi, bumi manusia ini, tempat kelahiran adalah kesakitan. Waktu tiada pengaruhnya pada kesakitan yang lahirkan kehidupan baru. Evolusi, revolusi, tiada dipengaruhi dan tercengkeram oleh waktu.

Waktu tiada berputar, tiada bergerak, waktu kalaupun ia dapat direduksi dalam nama “waktu” itu karena hakikatnya ia adalah kosong, namun bukan tiada, maka yang bergerak sebenarnya hanyalah pendulum jam, jarum jam, yang bergerak adalah bumi mengelilingi matahari, bulan mengelilingi bumi, dan waktu….ah ia tiada bergerak, karena ia tiada di alam riil, ia hanya ada dalam imaji, sebagaimana bilangan yang dipaksa memperlambangkan waktu, yang sehari dipaksa dalam 12 jam, dan jam…ah itu imaji pula. Ah…aku belum baca oleh-oleh dari guru besar yang saya daku sebagai guru saya, Prof. Abu Su’ud, buku kecilnya yang berjudul “Ruang, Waktu, dan Tuhan”. Entahlah kalau sudah baca, hanya waktukah yang dapat menjawabnya, ku sekali ini ragu, bukankah waktu itu kosong, walaupun begitu ia ada, karena itu ternamai.

Imaji manusia sajalah yang jadikan kita menyalahkan waktu, dan seolah-olah dicengkeram waktu, dan tiada berdaya “melawan” waktu, bagaimana yang “kosong” bisa mencengkeram, bagaimana yang “kosong” dilawan. Sekali lagi aku mulai yakin bahwa waktu tiada pengaruh pada hidup, pun usia manusia, usia bumi, “usia” mungkin dengan demikian hanya aksiden dari konsep “waktu”, dan karenanya ia tiada bersalah. Dengan demikian usia tiada bertambah, tapi hanyalah semakin berkurangnya hormon-hormon kekebalan, hilangnya pigmen hitam rambut, memudarnya kekuatan melihat, merasa, membaui, mencecap, mendengar, berkurangnya kekuatan indra. Bukan karena dimakan waktu, tapi karena memang secara fisiologis kekuatan fisik manusia akan menurun, berkurang.

Sampai di sini, sadar saya agaknya sekadar berbicara dalam ruang empiris-indrawi, fisikal, fisiologis, belum atau tidak pada ruang idea, imaji, dan idea dan imaji itu –termasuk “kosong”, “angka”, “waktu” tetaplah ada, bahkan “ketiadaan”, “ketidakadaan”, itu juga ada. Imaji itu bukanlah tiada guna, secara kasar “tipuan” itu pun berguna. Mungkin benar kata Nietzsche bahwa manusia memang ingin selalu ditipu, termasuk oleh imaji konseptualnya sendiri, citanya sendiri. Imaji waktu berguna untuk menandai torehan sejarah, kelahiran yang selalu adalah kesakitan abadi bagi lahirnya kehidupan baru, yang mungkin juga sekadar imaji. Dengan begitu agaknya waktu adalah tiada dan ada, toh... kisah selalu lahir dalam “kurun waktu”, dalam imaji waktu itu, pun kisah percintaan, yang sebagaimana kata Pramoedya dalam Bumi Manusia-nya kira-kira:

“Tiap kisah percintaan adalah kisah pribadi, personal, yang pada hakikatnya bukanlah konsumsi publik. Kisah pribadi itulah yang kan jadikannya berkepribadian, memiliki personalitas. Berterimakasihlah pada setiap kisah percintaan yang personal itu, yang darinya terbentuklah kepribadian, lain dari yang sebelumnya.”

Salam, Edi Subkhan, penulis...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kesengsaraan adalah kehidupan jelang umur tua, kenikmatan adalah tidak dilahirkan atau paling tidak mati muda...
Ah...itu hanya pandangan Soe Hok Gie dan Nietszche orang-orang gila yang memporak-porakdakan manusia dalam skeptimisme baru sebagai paham pengganti yang juga rawan kemapanan.
But development's nothing, humant must to search truth, liberty, and freedom from themselves. Nothing only "Will to Power" says everything in our live. And then nothing "ubermanch/ overman" can has been changing value in ourserlves, but those only method for application themselves become a good humant, absolute knowledge, and perfect truth.
Twice both in our science to influences for public opinion. Time and room, this's Kant says, being and nothingness's such opportiniting contruction for everyone mind. The thought of humant get some subtance from both himtheory. Whole subtance up to ourselves mint to do. The most important, nothing time and room, but think-mind, existance think-mind must be firstly than essence subtance. That all for me.


Luluk