“To change something in the minds of people - that is the role of an intellectual”
-Michel Foucault -“Truth, Power, Self: An Interview with Michael Foucault"
Sebenarnya saya hanya ingin menulis beberapa kata ini. Kita punya masalah bersama soal intelektualisme; baik mikro maupun makro. Secara mikro, anda bisa melihat dalam kegiatan sehari-hari; kuliah hanya untuk ijazah dan kerja, dosen hanya cuap-cuap nggak penting, rektor dan dekan yang tidak pernah menulis, perselingkuhan intelektual dengan korporasi dan politik, dsb. Secara makro, kita tahu, liberalisme pendidikan adalah sebuah hasil globalisasi yang bukan perkara mudah, sebab anda harus jadi presiden dulu agar
Bagi saya, musuh kita saat ini bukanlah mengubah sistem dan merebut sistem. Badi saya, yang paling berat adalah mengubah kesadaran manusia (termasuk kesadaran kita sendiri).
Persoalan demikian akut dan ruwet dan soalnya adalah; kita mulai dari mana? Bisakah hanya dengan semalam kita merubah kesadaran manusia? Apakah hanya dengan wacana dan konsep? Ataukah semua memang memerlukan keringat dan tenaga kita meski tanpa mendapatkan imbalan materi apa-apa? Lalu mau apa? Ini soal saya yang ingin saya bagikan pada anda.
Pengantar
(Beberapa paragraf di bawah ini hanya pengantar yang boleh untuk tidak anda baca.)
Ada empat seminar (sebenarnya bukan seminar tentang teoti-teori keilmuan melainkan hanya seminar refleksi oleh Dewan Guru besar FIB UI tentang intelektualisme kampus dalam rangka HUT FIB UI); pertama, seminar ”Ilmu Pengetahaun Budaya sebagai Paradigma Keilmuan” di FIB UI. Prof Soerjanto Poespowardojo dari Departemen Filsafat, Prof Sapardi Djoko Damono dari Departemen Sastra didaulat sebagai pembicara dan Prof Melani Budianta dari Departemen Sastra didaulat sebagai moderator. Khusus kepada Prof Melani saya perlu memberikan catatan; bahwa iklim seperti inilah yang mestinya ditiru ketika seorang profesor yang sudah sangat disegani di bidangnya berkenan sengan segala kerendahan hatinya untuk hanya menjadi seorang moderator.
Ada beberapa hal yang penting dari seminar ini. Pertama, tentang paradigma ilmu pengetahuan. Perubahan nama dari Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya mestinya benar-benar dirasakan secara kongkret. Alasan perubahan sebenarnya adalah karena nama Sastra (meskipun sebenarnya memang berarti tidak hanya pada karya sastra melainkan sebagai kebudayaan secara luas) berimplikasi pada hanya jurusan-jurusan sastra, misalnya sastra jepang, sastra, Inggris, sastra Arab, dll. Padahal, di dalamnya terdapat juga jurusan sejarah, arkeologi, filsafat, dll. Faktor yang juga penting adalah perubahan paradigma ilmu pemgetahun kontemporer yang menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia dan kemanusiaan mulai dari ekonomi, politik, sastra, budaya dan sebagaiya adalah kebudayaan. Makna kebudayaan menjadi sesuatu yag jauh lebih luas. Di luat negeri kita menganlnya sebagai Faculty of Humanism.
Bahwa sesungunya ilmu pengetahuan adalah lintas disipliner, itu semua anda tahu. Saya kira ini memang bukan hal yang baru bagi semua. Persoalannya adalah ketika dalam prakteknya (level tindakan) tidak ada perekat ilmiah antar departemen, antar displin untuk mengembangkan keilmuan dan akhirnya bisa memberikan jawaban-jawaban yang kongret bagi kegelisahan sosial budaya masyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan tentu Ilmu Pengetahuan memerlukan metodologi. Dan kita bisa menggunakan metodologi yang sudah sangat cair seperti misalnya femomenologi, hermeneutika, strukturalisme, poststrukrturalisme, semiotika (sosial), teori kritis, postmodernisme, psikoanalisa, dialektika dan lain sebagainya.
Sebenarnya anda tahu semua tahu bahwa memang inilah kegelisahan kita bersama. Sekali lagi, sebenaenya semua ini tidak begitu menarik bagi saya. Namun, saya merasa tetap penting untuk mencatatnya.
Kedua, seminar ”Kode Kehormatan (Honor Code) di Perguruan Tinggi)”. Yang berbicara di seminar ini adalah Prof Riris Sarumpaet dan Prof Benny H Hoed (beliau adalah salah satu pakar semiotika terbaik Indonesia). Kode kehormatan adalah semacam kode etik jurnalistik di bidang media massa. Lahinya kode ini sebenarnya merupakan suatu tanggapan dari sesuatu yang sudah sangat menjijijkkan (ini bahasa saya sendiri) dalam dunia akademik kita. Anda bisa mencatatnya; proyek-proyek penelitian jangka pendek, perselingkuhan intelektualisme dengan korporasi dan politik, plagiarisme, profesor palsu, prodi fiksi, dan bertumpuk-tumpuk maslah dalam dunia akademik kita. Ini semua adalah masalah besar dalam dunia akademik kita. Sekali lagi, seminar ini sesungguhnya hanya meneguhkan kegelisahan-kegelisahan saya.
Dan ini yang saya tunggu; rekomendasi. Anda tahu rekomendasi dari para dewa tersebut. “Hanya”; 1. Kelompok/lingkaran studi (lintas dispilin) 2. Diskusi-diskusi non-formal (Di kantin-kantin, cafe, jagongan, di warung kucing, dsb) 3. Networking (jejaring informal, seperti menyambangi komunitas-komunitas lain, silaturahmi ke tokoh-tokoh, datang ke seminar-seminar, dll). Anda tahu; semua itu adalah juga jawaban-jawaban yang pernah kita rumuskan bersama.
Ketiga, seminar “Strategi Kebudayaan Indonesia”. Saya lebih suka menyebut seminar ini sebagai kamapanye. Yang diundang Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Dr Bambang Wibawarta (Dekan FIB). Seperti anda tahu, soal memang sedikit berbeda dari beberapa tokoh nasional yang akan maju manjadi Presiden. Proposal yang ditawarkannya memang agak lain, yaitu Restorasi pemerintaham dari koninental (pedalaman) menjadi matitim. Memang cukup segar dan baru. Namun, saya kira kita tak perlu boros dalam berharap.
Pertanyaan besar saya untuk Sultan adalah jika mau restorasi Sultan sudah mempunyai kongsi-kongsi di lapisan bawah berapa yang tersebar di seliruh Indonesia? Ini yang penting dari seminar ini. Sebab saya adalah orang yang tidak percaya bahwa perubahan besar hanya akan terjadi jika hanya ada seorang pahlawan di atas singgasana kekuasaan.
Keempat, seminar ”Asia Renaissance” oleh Dr. Anwar Ibrahim (Ketua Partai Oposisi Malaysia). Saya suka anwar justru bukan sebagai seorang politisi tetapi sebagai seorang intelektual. Pengetahuan yang luas dan kekuataan tekad dalam perjuangannya saya kira adalah tamparan bagi kita yang muda tapi loyo. Anda tahu apa yang disarankannya bagi generasi muda adalah ”hanya”; belajarlah dan terus belajar! Tidak ada yang baru bukan?
Lalu mau apa?
Salam ta'dzim,
Taufiq
9 komentar:
Okeh gus...sekitar tanggal 25-an kita ke semarang tuk diskusikan dengan temen2 dan para sesepuh kita ya....
@Foucoult
“To change something in the minds of people - that is the role of an intellectual”
Giy:
“To change something in the minds of people - that is the role of an intellectual (But not stupid intellectual)"
ah, mas Gie ada-ada saja...
saya pikir, tidak ada stupid atau tidak stupid. menurut saya, semua orang yang mau belajar tentang apa saja, dimana saja, dari mana saja dan kapan saja adalah intelektual.
saya tidak percaya ada yang bodoh dan tidak bodoh, yang ada hanyalah orang yang merasa dirinya bodoh (ini bagus bagi kesehatan, menurut saya) dan orang yang merasa dirinya tidak bodoh (yang ini tidak terlalu baik untuk pertumbuhan tulang dan gigi). he he...
Siap, Cak.
Saya yakin teman-teman juga mempunyai kegelisahan yang sama. Saya sungguh tidak bisa menawarkan solusi apa-apa atas masalah ini. Saya hanya ingin mencoba bicara bersama dan memecahkan bersama; (mungkin) kita punya masalah bersama dan kira-kira apa yang bisa kita perbuat bersama untuk perkembangan intelektualisme yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi sebanyak-banyak manusia.
salam,
Taufiq
strategi intelectual seharusnya ke dalam (m) , bukan ke luar...intelektual yang bodoh ialah yang menyerukan sesuatu, tapi tidak berbuat sesuatu...menyalahkan sesuatu yang dia ciptakan sendiri...mengebiri kehakikian...berlindung dibalik mimpi yang tidak dapat dia ciptakan sendiri...itulah intelektua bodoh...sepanjang sejarah: mereka adalah sumber masalah....
Ket:
(m): manusia
saya masih percaya dengan keterbatasan. intelektual, menurut saya, adalah mereka yang tidak pernah merasa paling benar sendiri.
mereka yang selalu berusaha untuk bicara bersama, mencari kemungkinan-kemungkinan perumusan masalah bersama dan akhirnya merumuskan titik temu-titik temu bersama.
strategi kebudayaan yang ditempuh mereka, oleh karena itu, adalah keluar dan ke dalam pada saat yang sama.
yang berbahaya adalah mereka yang terlalu obsesif terhadap dirinya dengan segala apa yang dimilikinya (ke dalam). dan oleh karenanya, merasa tak perlu untuk berbicara dengan 'liyan' dan membuka kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa diperbuat untuk 'liyan'(masyarakat,lingkungan,bangsa, negrara, kemanusiaan, dsb.)(ke luar).
intelektual adalah mereka yang selalu berani curiga;jangan-jangan dirinya sendiri adalah sumber masalah bersama.dan oleh karenanya, selalu merasa bodoh dan hina sepanjang hayatnya.
salam,
taufiq
maaf dengan berat hati saya katakan, saya sebenarnya tidak tertarik untuk menjadi intelektual (barangkali mending jadi petani), alasan saya menjadi 'intelektual' karena saya merasa ada banyak 'intelektual gadungan' yang membahayakan petani...
so...I am "intellecutal" anti "intellectual"...and its about ideological wars...to fight fool ideas...
sepakat, mas Gie. intelektual bahkan bisa berupa tukang becak, buruh, petani, sopir, seniman, sastrawan, guru, rektor dan siapa saja yang mau membuka diri untuk terus menemukan titik temu-titik temu bersama untuk kebaikan bersama...
salam,
Taufiq
sepakat, mas giy. mungkin, sebut saja seperti itulah intelektual yang non-intelektual.
mungkin memang bisa dikatakan ptagmaris, atau apapun lah. naun, seperti mas tauf juga, tidak perlu boros dalam berharap..
ya, semua yang ada di tangan saya memang berasal dari tangan 'liyan', stranger maupun foreigner, juga orang lain.
fah
Change will not come if we wait for some other people or some other time. We are the ones we've been waiting for we are the change that we seek
Posting Komentar