Beberapa bulan lalu, mungkin tiga bulan lalu, seorang Rizal Malarangeng menuliskan sebuah “artikel” (baca : tulisan yang mirip artikel), satu halaman penuh, di salah satu harian ternama berskala nasional (Kompas). Judulnya, berselisih apitan tanda petik dengan judul tulisan ini; Surat untuk Semua.
Sebuah momen, selalu menyimpan sesuatu, yang bagi sebagian orang begitu berarti. Momen menyimpan sesuatu yang dianggap sakral, meskipun bagi sebagian lain menganggapnya profan. Kalender yang berlaku untuk sekarang ini, adalah yang bertahun 2008, oleh karena itu, 1 Januari mendatang, pasti menginjak 2009. Dan tahun itu, sebagai masa depan, selalu menyimpan banyak momen yang belum bias diketahui di masa sekarang. Sehingga kita, manusia, merencanakan sesuatu, juga menggantungkan harap akan datangnya momen yang ditunggu. Entah launching sebuah album, entah kelahiran jabang manusia yang dinanti semenjak 2008. Juga, sebuah Negara yang bernama Indonesia, berencana menggelar satu momen di tahun itu. Pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden.
Saat kalender berangka 2008 hampir usang-sehingga menandakan akan datangnya 2009-seperti sekarang ini, saat periode waktu semakin menghampirkan kita pada momen tersebut-pemilu-, kita sekaligus telah merasakan “aroma” khasnya. Rizal Malarangeng, barangkali salah seorang yang menganggap momen tersebut sakral, pada akhirnya merasa perlu untuk memperkenalkan dirinya, dengan menyajikan citra dirinya melalui sebuah iklan. Penyajian citra itu ditujukan untuk “merayakan” momen yang berskala Indonesia, yang harus bisa dilihat oleh orang-orang Indonesia, sehingga harus disampaikan melalui media berskala Indonesia pula. Dan Rizal tak salah, saat dia memilih televisi dan surat kabar berskala Indonesia, sebagai media penyampaian citranya.
Pencitraan Rizal, adalah pencitraan yang bertujuan politis. Sebuah citra yang dimaksudkan menghadirkan sosok Rizal, beserta visi, misi, dan berbagai hasil loncatan listrik antar neuron dalam otaknya. Tetapi bukankah citra, sebagaimana hasil foto, tak pernah bisa menggambarkan suasana yang dipotretnya? Seseorang yang melompat, bisa seolah-olah melayang, ketika kita melihatnya dalam sebuah hasil foto. Citra, apalagi yang bertujuan semacam citra Rizal, tentu saja akan mengedepankan hal-hal yang mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Dalam citra semacam itu, selalu ada bagian-bagian yang dikedepankan, sehingga ada bagian lain yang tidak dikedepankan, bagian yang tidak disampaikan-untuk tidak mengatakannya sebagai bagian yang disembunyikan. Maka citra, sebagaimana hasil foto, tak bisa menghadirkan sesuatu secara utuh. Citra hanya menggambarkan sebagaian dari sesuatu yang dicitrakannya, dan tidak menutup kemungkinan, citra justru menghadirkan hal yang sama sekali lain dari sesuatu yang dicitrakannya. Citra bisa sama sekali tak merujuk pada realita yang dicitrakannya, sehingga lebih mirip dengan parodi. Dan hal ini perlu dicetak tebal dengan tinta berwarna merah.
Tabloid Express edisi 3 minggu lalu, juga mencetakkan beberapa potret dan citra, yang tak terdapat pada edisi-edisi sebelumnya. Jika Rizal memasang citra dirinya pada media berskala nasional untuk menyambut momen pemilu nasional, apakah “ramah tamah” yang tercetak dalam Express 3 minggu lalu, juga berpretensi hal yang serupa tetapi pada skala yang berbeda?
Bisa jadi jawabannya adalah “ya”, karena tabloid Express bulan-bulan lalu, tak pernah memuat “ucapan selamat” yang disampaikan atas nama individu. Juga beberapa waktu lalu, saya membaca pamflet pengumuman dari KPU Keluarga Mahasiswa Unnes, bahwa Pemilu Presiden Mahasiswa (presma) akan dilaksanakan pada 11 Desember 2008. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, setidaknya 2 tahun saya mendapati pemilihan Presma Unnes, kita akan segera melihat citra rekan-rekan kita, yang tersaji dalam bentuk foto, rentetan pengalaman organisasi, retorika-retorika, dan terkadang baliho besar yang memakan biaya jutaan rupiah. Kita akan segera melihat kampus ini menjadi “galeri” foto.
Momen itu kian dekat. Kemudian saya, dan barangkali juga kita, akan melihat dengan sedikit heran, dan menggumamkan beberapa pertanyaan yang-seperti 2 tahun belakangan- tidak pernah terjawab, sembari teringat banyak janji yang telah terucap pada momen serupa di tahun lalu, yang sampai sekarang tidak ditepati.
Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa Psikologi Unnes
Selasa, Desember 02, 2008
“Surat untuk Semua”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar