online degree programs

Senin, Desember 22, 2008

Genealogy of Genealogy

Malam lalu saya meyelesaikan salah satu tugas kuliah, yang kebetulan tugas kelompok. Tugas itu hanyalah melakukan pengamatan, yang karena terbingkai pigura jas almamater, kurikulum, mata kuliah, maka saya menulisnya observasi. Saya, dan beberapa teman lain, melakukan observasi. Sejauh yang saya tahu, dan mungkin juga sebagian Anda tahu, dan maka dari itu sebagian lain ada yang tidak tahu, bahwa kuliah bukanlah sesuatu yang modern. Kuliah adalah sesuatu yang tradisional ; tradisi-onal. Saya lebih menekankan pada kata “tradisi”, yang dekat dengan rutinitas. Apapun yang menjadi rutin, sehingga menyertakan konsekuensi berupa pendangkalan. Atau pergeseran, jika saya melepaskan sekat antara kategori dalam-dangkal.

Dan hal tradisional lain adalah, membuat laporan observasi. Setebal mungkin, agar mendapatkan nilai “A”. Barangkali itu yang di-idealkan oleh salah satu teman sekelompok saya. Teman saya tersebut, dalam bahasa psikologi a la nggebyah uyah, mempunyai kecenderungan obsesif-kompulsif, atau hasrat akan kesempurnaan, dalam bahasa yang lain. Tetapi ”kesempurnaan” yang dirujuk itu yang seperti apa? Sayangnya saya belum mendapatkan jawaban dari teman saya tersebut, karena memang saya belum menanyakannya.

Malam lalu saya menyelesaikan satu tugas kuliah. Membuat laporan observasi yang telah dilakukan pada hari Sabtu, hari yang katanya sempat dimuliakan pada zaman Musa. Observasi itu berlatar di satu-satunya Rumah Sakit Jiwa di Semarang, daerah Pedurungan. Dan yang menjadi subyek dalam observasi itu bernama Aziz, katakan saja demikian. Dia adalah seorang Jepara, yang dalam satu bulan terakhir menjalani perawatan di Rumah Sakit tersebut. Lepas dari beruntung atau sial, orang itulah, yang menajdi subyek (atau obyek?) observasi kami. Saya, dan teman sekelompok.

Penuturan Aziz, yang saya baca melalui laporan yang belum jadi, pada tahun 2000 lalu, Dia pernah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, di samping diagnosis medis yang menyatakan bahwa dirinya menderita gangguan jantung, asma, dan diabetes melitus. Setelah 40 hari menjalani perawatan, Dia dinyatakan sembuh, dan diperbolehkan pulang. Hari-hari setelah kepulangan sebagian dirinya (Aziz tak mendapati dirinya utuh di rumahnya), Aziz tidak bersedia meminum obat yang dianjurkan oleh dokter. Di sisi lain, Aziz justru menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri, dan tertangkap basah bertindak agresif pada saat marah.

Suatu saat, Aziz merasa bahwa dirinya diguna-guna. Masih menurut Aziz, yang saya baca dari laporan observasi, orang yang dianggapnya bertanggung jawab atas ter-guna-guna-inya dirinya adalah Ali Ridho, sebut saja itu, seorang yang menjadi jengkel karena Aziz menolak untuk menerima tawaran Ali Ridho agar menikah dengan putrinya. Mutmainah, saya mengarang nama putri dari nama karangan saya juga, Ali Ridho.

Entah karena guna-guna, akumulasi ke-galak-an guru ngajinya sewaktu kecil-kebetulan kakek si Aziz sendiri-, atau berkonfrontasi ”head to head” dengan saudara kandungnya mengenai perbandingan gaji (kesemuanya, konon juga dituturkan oleh Aziz, dengan penjelasan yang inkonsisten), Aziz mendapati dirinya sedang marah, sangat marah, sampai-sampai memecahkan beberapa piring. Barangkali juga beberapa gelas, kiraan saya. Dan beberapa saat kemudian, kira-kira satu bulan lalu jika kita mengukurnya dari batas hari ini, dia, si Aziz, kembali dikirimkan ke Rumah Sakit Jiwa. Demikian, menurut cerita laporan yang didapat dari sebuah observasi. Deskripsi ini adalah allo anamnesis, jika saya menggunakan bahasa teknis (harus saya akui, bahwa saya lebih suka mengatakan ”teknis” daripada ”psikologis”, karena bagi saya keduanya, setidaknya seperti yang saya tahu adalah sama saja)

Dalam verbatim wawancara, saya membaca, sehingga saya bisa bercerita bahwa saat masih di rumah, dia sering bercakap-cakap via telpon dengan-entah-rekan, bos, atau pacar (penjelasan Aziz konon berubah-ubah, yang saya rasa adalah hal yang biasa bagi seorang yang punya hasrat untuk mencintai), yang bernama Yunita Hasim. Sedangkan deskripsi pada paragraf ini didapat dari auto anamnesis, jika saya tidak salah memahami apa itu auto anamnesis.

Tetapi, menurut orang tua Aziz, sebenarnya Aziz tak pernah menelpon siapa-siapa. Dia hanya berbicara tanpa lawan bicara di dalam kamarnya. Untuk diperhatikan, saya tidak berharap kata ”sebenarnya” di paragraf dipahami secara mutlak bersifat hakiki.

Sampai di sini, kemudian saya teringat film yang pernah saya tonton beberapa minggu lalu. Film berjudul ”a beautiful mind”, yang bercerita tentang John Nash, salah satu peraih nobel matematika. Saya tak tahu, apakah Yunita Hasim dalam kasus Aziz, adalah sama dengan si agen rahasia, teman sekamar, dan seorang anak kecil, dalam kasus John Nash. Maksud saya, saya tidak tahu, apakah Yunita Hasim adalah sosok yang hanya ada dalam dunia Aziz, dan hanya bisa menyapa Aziz. Bisa saja, Yunita Hasim adalah sosok yang secara materiil ada, hanya terlalu jauh (bukan hanya dalam arti jarak) untuk direngkuh oleh Aziz. Dan bisa saja, Yunita Hasim adalah sosok khayalan (atau kebenaran eksistensial?) Aziz.

Saya membayangkan, mungkinkah saya, akan menganggap Aziz gila, jika saya secara kebetulan menemui dan berbincang dengannya di tempat lain, selain Rumah Sakit Jiwa? Di warung Mie Ayam Stasiun Poncol, atau di terminal Terboyo misalnya. Apakah Aziz gila karena dia berada di dalam Rumah Sakit Jiwa, ataukah dia masuk Rumah Sakit Jiwa karena dia gila?

Hari ini saya dan teman sekelompok saya melakukan presentasi, menyajikan laporan. Dan semua bincang berlanjut tentang skizofrenia, farmakoterapi, delusi, tought echo, tilikan, medikamentosa, prognosis, dan sebagainya. Saya, sesaat setelah menjawab beberapa pertanyaan, di kursi saya duduk, di muka kelas, sedikit menggumam ”Aziz tidak bisa sembuh, karena dia tak dibiarkan sembuh”. Barangkali observasi dan analisa Foucault tentang Rumah Sakit Jiwa bermula dari hal yang agak sama dengan apa yang saya gumamkan, dan dituliskannya dalam bukunya tentang genealogi (asal-usul) pengetahuan.

Ahmad Fahmi Mubarok

19 komentar:

Anonim mengatakan...

....awal lahirnya Fahmi "Foucault" Mubarok....

Imam Semar mengatakan...

Oom Mubarok,

Apa Aziz sudah dikasih serenase atau haldol?

Anonim mengatakan...

Aziz, Ali Ridho, Mutmainah : nama comotan yang sepertinya tak lazim digunakan sebagai nama comotan...

rating Foucault sedang tinggi sekali.
Yog

Anonim mengatakan...

Foucault gila di anut oleh orang-orang gila. He 5 X. Gus Toufiq sih mulanya...sindrom panoptikon

Anonim mengatakan...

Barangkali observasi dan analisa Foucault tentang Rumah Sakit Jiwa bermula dari hal yang agak sama dengan apa yang saya gumamkan, dan dituliskannya dalam bukunya tentang genealogi (asal-usul) pengetahuan. (Fahmi: 2008)

Apa yang dimaksud fah tentang genealogi a la Foucolt? Apakah research-fah hanya dijadikan sandingan dari gagasan Foucolt? Apakah mungkin dan layak perspektif Foucolt dipergunakan untuk membedah kasus atau permasalahan observasimu (as such of problems research) ?

Apa yang di tuju oleh Fah dengan judul "genealogi of geneologi" ? Apa keterkaitan logis antara geneologi dengan research-mu?

Tulisanmu fah lebih kental nuansa emosionalis ketimbang sistemik dan "menyerupai" ilmiah. Mungkin ada relasinya dengan bahan bacaan filsafat yang diperpadukan dengan satra, namun hasilnya tak se-nyaman baca tulisan kesustraan Toufiq, tulisan ilmiah Edhi, dan ekstrem sekalian model Giyanto. Tulisan fah lebih berwarna egoistis yang tak memiliki basis epistemologis yang kuat atau perpaduan pengalaman amarah rendah, alias pengtakhayul layak dilabelkan bagi yang sedemikian itu. Mengawang-awang, tanpa mengindahkan orang lain dan tujuan penulisan.
Kendatipun demikian, tetap saja, "Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut diseberang lautan kelihatan jelas". However, I'am Lazy and bad to learn from my mistake, on the other hand, this is suggestion, I believe can to make destruction and estlabised in our brother spirit, espesially, Fah. Succes Fah, keep your intellectualism.....

Anonim mengatakan...

nama sebenarnya azis adalah luluk..

Anonim mengatakan...

gimana kalo -a beatiful mind- di bandingkan dengan Film -fight club-
john nash dibandingkan dengan tyler durden...yang lebih menyerupai azis yang mana?

Anonim mengatakan...

baiklah mas luluk, saya coba menjelaskan sejauh yang saya tahu..

"Apa yang dimaksud fah tentang genealogi a la Foucolt? Apakah research-fah hanya dijadikan sandingan dari gagasan Foucolt? Apakah mungkin dan layak perspektif Foucolt dipergunakan untuk membedah kasus atau permasalahan observasimu (as such of problems research) ?"

sejauh yang saya tahu, genealogi itu, adalah asal mula sebuah gagasan. dalam genealogi-yang banyak dikatakan pertama kali digunakan oleh nietszche itu-munculnya ilmu pengetahuan tak selalu se-lempang proses dialektika. melainkan juga adanya faktor emosional (mungkin semacam yang mas luluk sematkan kepada saya), faktor motif kultus individu, motif politis, motif ekonomis, dan banyak kemungkinan lainnya.
dalam artikel saya, yang berjudul "genealogi of genealogi", yang saya maksudkan adalah (dan selalu meraba-raba, memang) asal mula foucault menganalisa tentang gagasan Lacan. sejauh yang saya tahu, foucault tidak hanya "menteorisasikan" konsep panopticon, tetapi juga mengemukakan pandangannya tentang pandangan lacan. ya, memang pada waktu itu, foucault, lacan, bordieu, dan levi strauss, adalah 4 orang paling terkenal di dunia pemikir prancis yang kebetulan pernah hidup pada masa yang sama. "peperangan" gagasan semacam itu sepertinya lazim.

lagipula, bukan maksud saya untuk menyandingkan keresahan kecil saya ini dengan gagasan foucault, sama sekali tidak. di sini, saya mencoba meraba-raba, apa yang melatar belakangi analisa foucault tersebut, dan justru tidak berkaitan sama sekali dengan research saya, kalaupun terkait, itu memang secara kebetulan research kemarin mempertemukan saya dengan salah seorang penghuni, sehingga memicu keresahan semacam itu.
dan tambahan, justru genealogi, karena itu genealogi, selalu belum masuk dalam tubuh gagasan, mas..


"Tulisanmu fah lebih kental nuansa emosionalis ketimbang sistemik dan "menyerupai" ilmiah."

di sini, memang saya tak memaksudkan un tuk ilmiah. tapi, saya justru tertarik untuk menanyakan, bagaimanakah ilmiah menurut mas luluk?


"Tulisan fah lebih berwarna egoistis yang tak memiliki basis epistemologis yang kuat atau perpaduan pengalaman amarah rendah, alias pengtakhayul layak dilabelkan bagi yang sedemikian itu."

atau kita musti memulai dengan membahas sedari permasalahan "apa", tentang "epistemologi", "takhayul"?
kita coba, membahas suatu "kata" sebagai konsep, tanpa pretensi tentang "kata" tersebut dulu lah..

"Mengawang-awang, tanpa mengindahkan orang lain dan tujuan penulisan."

marilah, kita instrospeksi diri tentang hal ini..
dan saya pun tak berkeberatan jika dikatai berfilsafat dengan "palu godam" semacam itu..

ttd,
fah

Anonim mengatakan...

Kamu salah fah, kamu keliru besar....
Salah satu kadar ilmiah -bukan satu-satunya- menurutku adalah orisinalitas kutipan. Kita harus jujur bahwa ada pengaruh pemikiran tokoh yang sempat kita baca, dan kebetulan kita mengutipnya. Ketidak-jujuranmu sekarang terlihat, untuk mengutip tulisanku saja untuk kamu kritik tidak kamu cantumkan nama dan tahun terbit. Sekali lagi kamu tidak mencantumkannya, lebih dari 8 kata, akan aku ajukan tuntutan ke pengadilan terkait dengan pelanggaran hak cipta (copy right of intellectual property right (IPR)) !!!
Baiklah kita mulai dari ini;
Sejauh yang saya tahu, genealogi itu, adalah “asal mula sebuah gagasan”. (Fahmi, 2008)
Hari ini memang tak ada satu orang yang menguasai semua ilmu, pengetahuan, dan informasi. Hal itulah yang tidak di sadari oleh Fah, katak dalam tempurung, hanya berbekal buku dan sikap skeptisisme saja. Terlebih dalam mengkonsepsikan genealogy Foucault dengan terlampau sederhana. Padahal Foucault sendiri yang dikutipnya adalah orang yang sangat menolak definisi praksis, singkat, dan sederhana. Semuanya harus dimaknai dengan hati-hati, holistik, berpegang pengetahuan yang kokoh. Pilihan bahasa yang mewakilinya pun haruslah mengalami falsifikasi yang kuat dan ketat, tidak boleh sembarangan-serampangan.
Geneology konsepsinya menurut Foucault adalah pengungkapan sejarah ke dalam kehidupan kontemporer, sejarah bukanlah kepentingan masa lalu, melainkan kebutuhan masa kini-sekarang, dengan kata lain penelusuran sejarah dengan unit sistem kerja yang komprehensif dari perbagai perspektif seni, filsafat, sains, dan literatur adalah semata-mata digunakannya sebanyak-banyaknya data di masa kini guna memotret masa lalu, mengungkap kisah sebenarnya di balik teks, mitos, cerita yang orientasi dan tujuannya tidak lain dipergunakan kemanfaatannya bagi kondisi masa kini-sekarang. Terdapat hubungan kausalitas yang kental antara masa kini dan masa lampau, sehingga pembacaan sejarah berikut data pendukungnya pun sudah seharusnya bukan dalam konteks masa lampau juga, melainkan konteks kontemporer.
Bersepakat dengan Bachelard, Canguilhem dan Cavailles, Foucault mengatakan bahwa sejarah selalu merupakan sebuah intervensi dari kerangka pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah, sedari itu, sejarah haruslah berfokus di masa kini. Sebagaimana pengetahuan dalam tradisi teori kritis -meskipun Foucault bukan Marxian, Freudian, atau structuralism- bahwa tiada pengetahuan tak netral dan bebas nilai, pengetahuan selalu berpihak kepada kepentingan penguasa. Maka dalam menyingkap kebenaran dalam sejarah, patutlah seseorang memandang perspektif masa kini, di mana kebusukan sejarah sudah banyak yang bocor, kedok-kedok di beberkan, tirai-tirai di lucuti, dan kebobrokan penguasa masa lampau pun terkuak.
“....truth, genealogy
teaches us, is never neutral, what counts as truth and claims to be above the parties, is always the result of a battle in which those who are slain, lose the right to speech: “truth is essentially part of a relationship of force, of dissymmetry, decentering, combat, and war...” Rudi Visker, 2008
Genealogi memberikan pemahaman tidak ada kehidupan yang netral, semuanya terdiri dari hubungan penguasa dan penindasnya, maupun hubungan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh besar. Sehingga sejarah pun dibentuk berdasarkan asumsi dan kepentingan status quo pemegang kekuatan-kekuatan ini. Kebenaran di sembunyikannya, kejahatan semakin sempurna oleh penguasa yang melakukannya, dan kebohongan berlangsung bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.

Geneology tak lebih dari sekadar metodology yang betul-betul harus dipahami sebelum diajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadapnya. Kendatipun demikian, geneolgy tetaplah menawarkan banyak pesona karena Foucault juga memberikan landasan epistemologis tentang mekanisme interpretasi terhadap sejarah masa lampau.
If interpretation were the slow exposure of the meaning hidden in an origin, then only metaphysics could interpret the development of humanity. But if interpretation is the violent or surreptitious appropriation of a system of rules, which in itself has no essential meaning, in order to impose a direction, to bend it to a new will, to force its participation in a different game, and to subject it to secondary rules, then the development of humanity is a series of interpretations. The role of genealogy is to record its history: the history of morals, ideals, and the metaphysical concepts, the history of the concept of liberty or of the ascetic life; as they stand for the emergence of different interpretations, they must be made to appear as events on the stage of historical process. (86)
John Lye, 2008
Sejarah masa lampu bukanlah sebuah satuan utuh yang dibangun dari unit pengetahuan dari tokoh-tokoh pemikir besar berikut para penganutnya saja, melainkan sebuah jaringan besar yang tak terbilang jumlahnya, terdiri dari kekuatan-kekuatan yang nampak dan metafisis. Pengetahuan tersusun oleh jalinan kekuatan yang luas, bukan saja kekuatan intelektual semata.
Bahasa umunya adalah refleksi kenyataan, namun tidak bagi Foucault, bahasa adalah medium untuk merubah dan menguasai kenyataan. Bahasa bukanlah pada posisi menginformasian kebenaran, melainkan intrumen guna menyusun kata-kata yang berasal dari tabiat penguasa (kekuatan-kekuatan dari susunan yang luas) untuk mengendalikan dan mempertahankan posisinya.
Foucault intended the term “genealogy” to evoke Nietzsche's genealogy of morals, particularly with its suggestion of complex, mundane, inglorious origins — in no way part of any grand scheme of progressive history. The point of a genealogical analysis is to show that a given system of thought (itself uncovered in its essential structures by archaeology, which therefore remains part of Foucault's historiography) was the result of contingent turns of history, not the outcome of rationally inevitable trends.
Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2008

Pengaruh Nietzsche pada Foucault hanyalah pada keimtiman “tabiat” dari diri manusia yang selalu eksis. Dalam sejarah, kehendak untuk berkuasa antara manusia satu dengan yang lain inilah yang mesti disingkap. Maka perlu upaya yang progresif untuk mengungkapkan keaslian dari sistem pemikiran manusia itu yang esensinya hanyalah kehendak untuk berkuasa, tabiat, nafsu-hasrat, dan lain-lain.

So long and far to explain the thouht of Foucoult, you must learn in yourselves......

Makanya mi,...jangan terlalu sombong, terlalu dini untuk bersikap skeptis, pahamilah banyak konsepsi dari pemikir besar, sikap skeptismu itu akan membuatmu akan memenjarakanmu baik secara intelektual maupun sosial. Ketahuan dech, sekali menginduk, kau salah !!!!!

Anonim mengatakan...

"Kamu salah fah, kamu keliru besar....
Salah satu kadar ilmiah -bukan satu-satunya- menurutku adalah orisinalitas kutipan. Kita harus jujur bahwa ada pengaruh pemikiran tokoh yang sempat kita baca, dan kebetulan kita mengutipnya. Ketidak-jujuranmu sekarang terlihat, untuk mengutip tulisanku saja untuk kamu kritik tidak kamu cantumkan nama dan tahun terbit. Sekali lagi kamu tidak mencantumkannya, lebih dari 8 kata, akan aku ajukan tuntutan ke pengadilan terkait dengan pelanggaran hak cipta (copy right of intellectual property right (IPR)) !!!"

ya, ndak papalah kalau mas luluk menganggap hal mengutip semacam itu salah. tapi, bukankah copy right itu juga sekarang sudah diimbangi dengan copy left? saya rasa hal semacam ini kok kontekstual saja. dan di konteks ini, saya tak merasa harus mencantumkan "luluk;2009". kalau mau dilaporkan, ya silahkan saja...
maksud saya, saya sama sekali tak mengingkari pengaruh bacaan, sama sekali tidak. dan maka dari itu, saya mempertanyakan, adakah sesuatu yang orisinil, bahkan dari ahli-ahli yang sering dikutip itu? saya rasa mereka pun juga membaca banyak hal, dan saya yakin, apa yang mereka katakan juga berasal dari orang lain.
mengutip hanya untuk menjadikan mereka bagai batu nisan yang perlu dikenang, saya rasa sangat naif!
bukankah selalu ada "geseh" dalam suatu penafsiran? saya hanya mencoba berhati-hati untuk tidak terlalu boros dalam mengutip, dan lagipula, teks juga bahasa, sebagaimana yang saya yakini, tak pernah ada maknanya. makna itu telah mati, karena yang ada hanyalah maksud dari si pengucap.
bagi saya, makna tidaklah ada, yang ada hanya maksud, atau apa yang ingin dikatakan oleh si pengucap. sayang sekali saya tak bisa menanyakan apa maksud dari foucault-atau yang lainnya-sehingga saya terpaksa harus meraba-raba.


"Hari ini memang tak ada satu orang yang menguasai semua ilmu, pengetahuan, dan informasi. Hal itulah yang tidak di sadari oleh Fah, katak dalam tempurung, hanya berbekal buku dan sikap skeptisisme saja. Terlebih dalam mengkonsepsikan genealogy Foucault dengan terlampau sederhana. Padahal Foucault sendiri yang dikutipnya adalah orang yang sangat menolak definisi praksis, singkat, dan sederhana. Semuanya harus dimaknai dengan hati-hati, holistik, berpegang pengetahuan yang kokoh. Pilihan bahasa yang mewakilinya pun haruslah mengalami falsifikasi yang kuat dan ketat, tidak boleh sembarangan-serampangan.
Geneology konsepsinya menurut Foucault adalah pengungkapan sejarah ke dalam kehidupan kontemporer, sejarah bukanlah kepentingan masa lalu, melainkan kebutuhan masa kini-sekarang, dengan kata lain penelusuran sejarah dengan unit sistem kerja yang komprehensif dari perbagai perspektif seni, filsafat, sains, dan literatur adalah semata-mata digunakannya sebanyak-banyaknya data di masa kini guna memotret masa lalu, mengungkap kisah sebenarnya di balik teks, mitos, cerita yang orientasi dan tujuannya tidak lain dipergunakan kemanfaatannya bagi kondisi masa kini-sekarang. Terdapat hubungan kausalitas yang kental antara masa kini dan masa lampau, sehingga pembacaan sejarah berikut data pendukungnya pun sudah seharusnya bukan dalam konteks masa lampau juga, melainkan konteks kontemporer."

lho, saya tidak mengutip foucault. silahkan dibaca ulang. saya sama sekali belum masuk untuk membahas gagasannya. genealogi yang saya maksud, bukan yang bagian dari gagasan foucault, tetapi genealogi yang saya pahami dari nietszche, dan yang saya tahu, foucault pun mengkonseptualisasikan hal yang sama. lalu apakah foucault, sampai di sini bisa dikatakan orisinil dengan "o" besar?
yang saya tau, sebuah gagasan itu tidak bisa lepas dari apa yang dilihat, didengar, disentuh (baik langsung ataupun tak langsung) oleh si penggagas. gagasan itu ya hanya untuk dipelajari, kalau untuk dalam konteks sekarang, ya sangat sembrono kalau justru realita yang harus disesuaikan dengan konsep. itu sama halnya dengan merekayasa realita;membuat hiperrealita. itu bahasa yang yasraf suka.


"Bersepakat dengan Bachelard, Canguilhem dan Cavailles, Foucault mengatakan bahwa sejarah selalu merupakan sebuah intervensi dari kerangka pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah, sedari itu, sejarah haruslah berfokus di masa kini. Sebagaimana pengetahuan dalam tradisi teori kritis -meskipun Foucault bukan Marxian, Freudian, atau structuralism- bahwa tiada pengetahuan tak netral dan bebas nilai, pengetahuan selalu berpihak kepada kepentingan penguasa. Maka dalam menyingkap kebenaran dalam sejarah, patutlah seseorang memandang perspektif masa kini, di mana kebusukan sejarah sudah banyak yang bocor, kedok-kedok di beberkan, tirai-tirai di lucuti, dan kebobrokan penguasa masa lampau pun terkuak.
“....truth, genealogy
“....truth, genealogy
teaches us, is never neutral, what counts as truth and claims to be above the parties, is always the result of a battle in which those who are slain, lose the right to speech: “truth is essentially part of a relationship of force, of dissymmetry, decentering, combat, and war...” Rudi Visker, 2008
Genealogi memberikan pemahaman tidak ada kehidupan yang netral, semuanya terdiri dari hubungan penguasa dan penindasnya, maupun hubungan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh besar. Sehingga sejarah pun dibentuk berdasarkan asumsi dan kepentingan status quo pemegang kekuatan-kekuatan ini. Kebenaran di sembunyikannya, kejahatan semakin sempurna oleh penguasa yang melakukannya, dan kebohongan berlangsung bertahun-tahun, bahkan berabad-abad."

jangan terlalu "sombong" lah, untuk menyepakatkan foucault dengan beberapa nama. di sini mas luluk sudah kontradiktif dalam diri sendiri lho..
bahwa pengetahuan tak ada yang bebas nilai. hal ini perlu digaris bawahi, dan maka dari itu saya mengatakan, lahirnya pengetahuan tidaklah se-lempang proses dialektika. dan genealogi, mencoba masuk melalui itu..


"Geneology tak lebih dari sekadar metodology yang betul-betul harus dipahami sebelum diajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadapnya. Kendatipun demikian, geneolgy tetaplah menawarkan banyak pesona karena Foucault juga memberikan landasan epistemologis tentang mekanisme interpretasi terhadap sejarah masa lampau."

genealogi itu bukan cuma "milik" foucault, mas..


"Sejarah masa lampu bukanlah sebuah satuan utuh yang dibangun dari unit pengetahuan dari tokoh-tokoh pemikir besar berikut para penganutnya saja, melainkan sebuah jaringan besar yang tak terbilang jumlahnya, terdiri dari kekuatan-kekuatan yang nampak dan metafisis. Pengetahuan tersusun oleh jalinan kekuatan yang luas, bukan saja kekuatan intelektual semata.
Bahasa umunya adalah refleksi kenyataan, namun tidak bagi Foucault, bahasa adalah medium untuk merubah dan menguasai kenyataan. Bahasa bukanlah pada posisi menginformasian kebenaran, melainkan intrumen guna menyusun kata-kata yang berasal dari tabiat penguasa (kekuatan-kekuatan dari susunan yang luas) untuk mengendalikan dan mempertahankan posisinya.
Foucault intended the term “genealogy” to evoke Nietzsche's genealogy of morals, particularly with its suggestion of complex, mundane, inglorious origins — in no way part of any grand scheme of progressive history. The point of a genealogical analysis is to show that a given system of thought (itself uncovered in its essential structures by archaeology, which therefore remains part of Foucault's historiography) was the result of contingent turns of history, not the outcome of rationally inevitable trends.
Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2008"

iya, kan kira-kira begitu, kesimpulan foucault tentang genealogi ilmu pengetahuan..
tetapi, foucault tak memasukkan faktor personal di dalamnya.
dari situlah, saya sedari awal tak memakai genealogi semacam itu, yang anggaplah milik foucault, sehingga saya mencoba menerawangkan hal itu, dan semoga saja bisa menulis hal-hal semacam itu melalui satu buku utuh. doakan saja ya..


"Makanya mi,...jangan terlalu sombong, terlalu dini untuk bersikap skeptis, pahamilah banyak konsepsi dari pemikir besar, sikap skeptismu itu akan membuatmu akan memenjarakanmu baik secara intelektual maupun sosial. Ketahuan dech, sekali menginduk, kau salah !!!!!"

justru karena itu saya bertolak dari rasa rendah diri saya, kok malah dianggap sombong. ya sudahlah..
salah dan benar itu kan juga membawa "menurut yang bilang salah", saya ndak papa kalau dibilang salah, saya tak merasa salah sama sekali, karena justru karena itu saya termotivasi untuk mencari apa itu "benar", dan lalu "bagaimana yang benar"

mas, jangan terlalu cepat menjelaskan tentang bagaimana, sementara tentang "apa" belum "selesai"



nuwun
fah

Anonim mengatakan...

saya kutipkan lagi apa yang saya katakan,

"Barangkali observasi dan analisa Foucault tentang Rumah Sakit Jiwa bermula dari hal yang agak sama dengan apa yang saya gumamkan, dan dituliskannya dalam bukunya tentang genealogi (asal-usul) pengetahuan."


apakah ada kesan, kalau saya menyamakannya dengan fuocault?
membaca itu bukan melihat deretan huruf yang kebetulan membantuk sebuah kalimat!



ttd
fah

Anonim mengatakan...

Saranku baca foucault lagi lebih banyak lagi sama konsultasi ama gus taufiq...
memang kita berbeda ingatan, namun ketajaman analisa dan pemahaman akan sebuah teori tergantung pada tingkat kedewasaan dan pengalaman seseorang...
Aku mahlum dengan anak seusia-mu yang masih memahami Foucault dengan cara seperti itu.
Aku juga tidak pernah menyebutkan secara implisit tentang kepemilikan absolute geneology oleh Foucault ataupun Nietzsche dalam Geneology of Moralnya.
Titik tekan genealogy adalah sejarah dan metode analisa sejarah itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan produk dari sejarah yang juga perlu diteliti dengan menggunakan genealogy, bukan ilmu pengetahuan dan teknologinya, melainkan sejarahnya, kurang lebih seperti itu.
Tentang copy right itu adalah hak cipta masuk rejim hukum HAKI, dan diskursus tentang tersebut sama halnya jika diskusi dengan Giyanto masalah ekonomi kapitalis liberalis, atau uang fiat serta kebobrokan bank sentral. Lama banget... dan memerlukan banyak kata-kata "...paham rak? mudeng? iso mbayangke?..." trus hingga berulang kali.

Luluk

Anonim mengatakan...

Foucault membuat karya-karya seperti layaknya dia menjelajahi pemehaman akan dirinya sendiri, jadi kemungkinan terbesar orang lebih mengenal Foucault dengan mengerti juga histrografi dirinya dalam karier dan kehidupan nyata yang dijalaninya. Karier dan kehidupan nyata yang di jalaninya telah mempengaruhi motif, isi, dan materi buku-buku yang di buatnya.
Yang tak bisa di tinggalkan dalam ciri khas tradisi pemikiran Foucault, yakni, tidak pernah sedikit pun dia tidak menyinggung masalah "kuasa", "kekuasaan" dan "penguasa". Kekuasaan tidaklah konfrontasi, penindasan, dan penghisapan seperti apa yang di andaikan oleh kaum Marxian misalnya, melainkan juga berbentuk normalisasi dan regulasi, tidak juga sekedar destruktif dan berpusat, tetapi kekuasaan itu menyebar, ada di segala tempat serta sifatnya produktif. Begitu kentalnya masalah masalah "kuasa", "kekuasaan" dan "penguasa" di bicarakan oleh Foucoult hingga tak mungkin juga mempelajari teorinya tanpa orang mengerti akan apa itu kekuasaan dan cara menjalankannya. Begitu juga dengan Foucault sebagaimana yang dikonsepsikan dalam genealogy tak lebih dari jejaring teoritis yang menceritakan tentang sejarah sebagai sarana kekuasaan di laksanakan. Genealogy juga memiliki titik tekan pada kebenaran dan kekinian sejarah dalam persektif kontemporer.

Anonim mengatakan...

tentang haki, saya membayangkan pembahasan itu lebih bersifat falsafi, bukan tehnis.
tentang fuocault, atau semuanya, saya lebih suka paham meski sedikit demi sedikit.

lebih banyaklah me-rasa, mas..


fah

Anonim mengatakan...

dalam hal ini, saya membayangkan dibedakannya sebuah "kata" sebuah "ide".
saya kira kebetulan sejarah saja, bila seorang ahli-semacam foucault atau haermas, atau arendt, atau yang lainnya-membahas suatu kata dengan perspektifnya, sehingga sebuah kata mengacu pada satu nama. hal semacam itu tidaklah mutlak.
foucault, dalam batasan tertentu, bagi saya setara dengan doraemn atau detektive conan. ketiganya adalah "ide", yang maka dari itu tak bisa Benar (dengan huruf b besar). kecuali kalau kita berkepentingan untuk melegitimasi, menguatkan, mengesankan hal-hal tertentu (yang tentu tak selalu perlu, maka dari itu kontekstual), sehingga mengutip atau semacamnya.

saya kira kita perlu jujur (cukup jujur pada diri sendiri, tak harus diungkapkan. itu yang saya sebut me-rasa), dalam knteks apa, dan apa motif dari hal-hal semacam itu. dengan kata lain, apa genealogy dari perilaku mengutip yang kita lakukan.
genealogi, bagi saya selalu bersifat personal. sehingga orang selain orang terkait, selalu hanya meraba-raba. tentang sesuai apa tidaknya, selalu "tidak selalu".
sedikit saya belajar dari yang saya baca, lalu saya menengok hal-hal kecil disekitar saya, saya tak bisa setuju dengan genealogi menurut siapa-siapa itu, bagi saya terlalu jumawa dan memang reduktif.
ide-ide yang selalu ada sekarang, sebagai "produk" hasil pengandaian dari orang-orang di masa lalu, selalu mempunyai genealogi. dan saya keberatan jika genealoginya lebih ditekankan pada hal-hal di liar manusia.
mengapa?
sederhana saja. sebatas logika saya, ide-ide itu adalah benda mati, yang keluar dari manusia. mereka, sama juga dengan saya, adalah manusia. maka dari itu, menurut saya, genealogi harus diberikan porsi lebih pada faktor-faktor manusiawi, bukan politis misalnya (politik adalah di luar manusia, karena terletak dalam ruang piblik, dalam relasi antar manusia. tak mungkin manusia yang hanya satu orang berpolitik.)
politik, sama halnya dengan genealogi, harus dilihat dalam perspektif manusia, bukan kuasa, atau dialog antar manusia, atau apapun yang di luar manusia.

terkait dengn hal ini, apa yang saya pahami dari habermas, sangat bisa dilakukan dalam konteks kecil. dalam diskusi beberapa orang (seperti ini). tetapi dalam Unnes saja, bagi saya itu musykil. saya setuju dengan habermas, jika saya sedang ngobrol dengan mas luluk, bolehlah ditambah mas giy, mas haris, mas tauf, mas ed, mas yog..

tentang ilmiah, bagi saya kutipan adalah nomor sekian, setelah rasional, logis (dalam alurnya sendiri). takhayul itu mungkin tak ilmiah bagi yang rasio dan logikanya tak bisa memahami itu. tetapi, bagi mereka yang bisa memahami itu, jelas takhayul adalah ilmiah.
artinya, satu hal, bisa saja ilmiah dan mistis dalam waktu bersamaan.

dan terakhir, dan yang tidak saya suka, adalah kontradiksi-kontradiksi yang bukan bersifat kontekstual, melainkan kecerobohan.
"kamu salah, salah besar!"
menyalahkan, berarti mempunyai kuasa untuk menyalahkan. jadi, lebih tepat jika dikatakan "saya belum bisa menerima itu", atau lebih tepatnya "menurut saya, kamu salah"
bukankah membuat statement yang menghilangkan subyek adalah sebuah perilaku yang tidak bertanggung jawab?
saya kira, hal ini lebih tidak bertanggung jawab dari mengutip sesuai prosedur. (prosedur? lagi-lagi saya curiga dengan hal ini)


trims
fah

Anonim mengatakan...

Semuanya klo di dasarkan dari "aku" memang terasa terlalau menyederhanakan analisa, banyak hal yang tertinggal, dan berkusar pada subjektivisme berlebihan. Saya tidak akan mempermasalahkan "genealogy versimu"....apa genealogy dari perilaku mengutip yang kita lakukan.
genealogi, bagi saya selalu bersifat personal. (Fahmi: 2009). Yang jadi berbahaya adalah genealogy Fouault yang kamu perlakukan seenaknya, itulah kesan dan citra yang terjadi dalam tulisan dan tanggapanmu. Aku gak peduli dengan genealogymu. Dan pada diskursus berikutnya aku tak ingin melebar pada hal lain, kecuali membenarkan pernyataan yang jelas-jelas salah, pembenaran adalah tanggung jawab ilmiah bagi seorang intelektual

Anonim mengatakan...

Membaca secara biografis terkadang sulit, sebelum men-skema, mempolarisasi, dan memetakan yang terahir tadi masuk dalam ranah tafsir. Setidaknya itu sedikit yang pernah aku dapat ketika kuliah umum di Driyarkara oleh Romo Setyo bersama-sama dengan Gus Tauf dan Cak Edi, kebetulan saat yang telah basi itu pembahasan bedah buku Jean Paul Sarte Being and Nothingness berlangsung. Cara membaca yang tepat -bukan yang benar tentunya- lebih terasa komprehensif, tertata, dan sistematik. Di mulai dari pembacaan secara bigrafis: latar-belakang, definisi-batasan dan maksud tulisan oleh penulis, kondisi zaman lingkup sosio-filosofik-sosiologis-politis.
Begitu halnya Foucoult, belum apa-apa sudah memperlakukannya seenaknya saja. Etika intelektual yang sangat rendah layak dilabelkan bagi penulis semacam itu!!!!!

Anonim mengatakan...

"Yang jadi berbahaya adalah genealogy Fouault yang kamu perlakukan seenaknya, itulah kesan dan citra yang terjadi dalam tulisan dan tanggapanmu. Aku gak peduli dengan genealogymu. Dan pada diskursus berikutnya aku tak ingin melebar pada hal lain, kecuali membenarkan pernyataan yang jelas-jelas salah, pembenaran adalah tanggung jawab ilmiah bagi seorang intelektual"

ya, yang perlu mas luluk pahami, sejak awal mula memang saya tak masuk ke dalam genealogi versi foucault. saya kira ini perlu digaris bawahi, tinta merah kalau perlu!
dan mas luluk sendiri yang terlalu jumawa, yang kemudian mengkaitkannya dengan foucault. bukannya begitu?
kembali saya katakan, perlu dibedakan antara kata dengan konsep.
mengenai "merendahkan foucault", mari kita baca ulang tulisan dan komen2nya.
kalau mas luluk ndak peduli dengan genealogi versiku, justru itulah yang menjadikannya salah. karena saya memang menulis dengan genealogi versi saya.
ini yang nulis "ahmad fahmi" tentang observasiku di rumah sakit jiwa. dan dulu pun foucault (konon) meneliti rumah sakit jiwa. lalu, kesimpulannya (adalah pertanyaan-ingat itu!), mungkinkah, foucault dulu juga memikirkan ini? bukan "foucault" yang nulis, atau tentang "genealoginya foucault".
kalau mau membahas genealogi versi foucault, ya bukan di komen di bawah artikel saya kali ini. pun jika memang berniat membahas itu, saya akan menempatkan diri sebagai pendengar.
mas luluk salah, karena langsung mengkaitkan sebuah kata dengan satu nama besar. tidak selalu lah...

saya cuma tahu, bahwa foucault punya konsep tentang genealogi. dan karena "genealogi" tersebut juga merupakan sebuah konsep baru, maka tentu saja dia (dalam hal ini adalah "genealogi" konsep tersebut) mempunyai genealogi.

lalu apalagi etika intelektual?
yang saya tahu, etika intelektual adalah kesesuaian antara laku dengan tutur.
dan lagi-lagi saya tuliskan di sini, saya sama sekali tak menyentuh gagasan foucault, karena saya sadar saya belum membacanya. bahkan kalau saya membacanya semua bukunya pun, kadang saya masih ragu untuk mengatakan "sebagaimana yang dikatakan foucault".

saya menjadi punya satu kemungkinan baru, mengapa pramudya lebih memilih menulis novel, daripada rabgkaian kutipan yang mirip buku.


"Sebagaimana pengetahuan dalam tradisi teori kritis -meskipun Foucault bukan Marxian, Freudian, atau structuralism- bahwa tiada pengetahuan tak netral dan bebas nilai, pengetahuan selalu berpihak kepada kepentingan penguasa."

dari kalimat di atas, jika saya menanyakan "tolong saya mas, ceritakan yang mas luluk tahu tentang freud, sampai menuliskan sesuatu tentang freud"
bukankah itu tidak relevan? karena mas luluk memang ndak bermaksud membahas Freud, bukan?
sama halnya dengan komentar-komentar mas luluk di atas, ndak relevan, dan ndak tepat konteks!
tapi toh saya tetap menjawab sejauh yang saya tahu, karena saya merasa bertanggungjawab atas apa yang saya tulis.

dan, lepas dari itu, sudahkah mas luluk membaca freud?-pertanyaan ini, saya ajukan dengan mengacu pada konsep "ilmiah" dan "intelektual" dari mas luluk lho..


trims

fah

Anonim mengatakan...

satu lagi yang lupa, saya kira adalah hal yang berbeda, antara subyektif dan personal.