online degree programs

Minggu, Januari 04, 2009

Nyawa Manusia

Sebuah Negara yang memiliki banyak pesawat tempur, tank-tank canggih, ribuan limpahan persediaan misil, entah nuklir, menyerang sebuah kelompok yang hanya punya 2 buah kendaraan patrol, yang konon telah reot. ini adalah cerita tentang Israel dan Hamas, Palestina, yang—kebanyakan—dari kita hanya mengetahuinya melalui kertas peta dan surat kabar, juga dari informasi televisi.


Dalam satu berita sore, MetroTV menayangkan seorang anak kecil dalam perawatan medis, badannya berlumuran darah. Di stasiun TV lain, menayangkan banyak orang yang mengantri untuk mengungsi. Di stasiun TV lain, diceritakan tentang terbunuhnya 400 lebih orang sipil. Di stasiun TV lain, memberitakan banyak demo di berbagai Negara. Di stasiun TV lain lagi, ditayangkan Gus Dur mengatakan pentingnya bagi kita, sebagai “orang luar”, untuk mengetahui duduk dan bergesernya permasalahan tersebut, sebelum mengambil sikap. Tetapi bukankah cerita tentang pembebasan lebih sering tercetuskan bukan oleh kecerdasan?

Pembebasan lahir lebih karena reaksi atas ketertindasan. Karena kemarahan, muak, ketidakterimaan. Barangkali jika ada peran kedahsyatan pikiran, hal semacam itu lebih sering tereduksi menjadi slogan-slogan pembakar semangat (atau amarah). Adanya perasaan ditindas, adalah nyata dating dari rasa dan kenangan masa lalu, bukan dari otak.

Di Indonesia, tahun 1945 lalu, beberapa orang yang berkumpul untuk membahas persiapan kemerdekaan, mungkin sadar bahwa rakyat –yang dijajah oleh Jepang, setelah sebelumnya dijajah oleh Belanda—bukanlah orang-orang yang 100 persen sehat dan terdidik. Mereka, rakyat itu, mungkin merasakan masa kolonialisme lebih banyak memberikan kenangan akan kesengsaraan, sehingga menyimpulkan pentingnya sebuah perubahan keadaan. Merdeka. Mereka saat itu mengesampingkan, atau mungkin sama sekali tak memikirkan ide “kita harus sehat dulu, baru berjuang untuk merdeka!” Sederhana saja, justru karena sakit dan bodoh lah, maka keadaan yang membuat sakit dan bodoh itu harus diakhiri. Alhasil, ide kemerdekaan lebih mendesak.

Dalam bahasa Jawa, ada sebuah kata, yang juga disematkan sebagai nama kepada teman sekamar saya dulu : dunung. Konon, kata itu berarti tempat, tetapi bukan tempat yang hanya dalam batas-batas geometri maupun geografi. Bukan sekedar tempat dalam konsep tiga dimensi. Dunung, adalah sebuah tempat, yang membawa serta kenangan-kenangan sentimental dan bermuatan rasa.

Saya tak mengerti mengapa Israel seperti ingin menghanguskan jalur Gaza. Sebatas perkiraan saya, sebabnya bukan berdasar pada terusiknya dunung, seperti pada Indonesia 63 tahun lalu. Meskipun demikian, haruskah, dalam kematian “tak wajar” 400 lebih manusia seperti di jalur Gaza, Palestina, kita mendahulukan pendapat Gus Dur? Saya kira, biarlah orang setingkat Gus Dur memikirkan tentang apakah duduk permasalahan yang sebenarnya, dan penyelesaian-penyelesaiannya. Dan bagi saya, yang tak setingkat dengan beliau, lebih berharap agar pembantaian manusia semacam itu, segera dihentikan.

Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa Psikologi Unnes,
Pegiat Komunitas Embun Pagi, Semarang

3 komentar:

Anonim mengatakan...

...entahlah mas fahmi, saya jadi merasa aneh....kenapa para kader Islam seperti PKS, KAMMI, dan lainnya yang berada -katanya- di garis konservatif sangat memperhatikan pembantaian Israel dan segera berbondong-bondong mengumpulkan harta, benda, dan bahkan berencana mengirim relawan ke sana dengan biaya yang tentu sangat banyak, ...

tapi lihatlah...aku tak tahu mungkin, kenapa mereka tidak bereaksi ketika saudara-saudara kita di Papua barusan ketimba bencana gempa....diamnya...ah...entahlah

mengapa

Anonim mengatakan...

gajah dipelupuk mata tidak kelihatan,
tapi...
gajah diseberang benua nampak jelas...

itulah mungkin pepatah yang tepat bwat sodara2 kita (kami,pks)
ato mungkin mereka menganggap sodara2kita yang dipapua itu bukan sodara mereka....

karena saya melihat mereka eksklusif banget....

Anonim mengatakan...

Terima kasih untuk blog yang menarik